Aku tak dapat mendengar apapun lagi. Pernyataan Mas Akram membuatku sangat terpukul sehingga aku tak bisa fokus pada apa pun selain kalimatnya yang terus terngiang di telinga. Inikah saatnya aku harus menyerah?Belum sempat aku menjauh, tiba-tiba pintu kamar mama terbuka dengan kasar. Kulihat Mas Akram melintas di hadapanku dengan menoleh sekilas. Dia menyadari keberadaanku di sana, tapi tak sekalipun mencoba untuk memberikan klarifikasi sama sekali. Tak lama setelahnya, mama mertua keluar dengan langkah tertatih. “Hafsa ,” ucapnya lemah dengan air mata yang berurai. “Kamu sudah mendengar semuanya, 'kan?” tanya mama mertua. Aku bergeming dengan pikiran kalut. Mama mertua memelukku dengan tangis yang menjadi.Beliau berbisik, " Maafkan mama, Nak. Mama sudah ‘gak punya wibawa samasekali di rumah ini. Akram ’gak mau dengerin kata-kata mama. ____POV Mama MertuaKebahagiaanku setelah melahirkan tak lantas disertai dengan kabar baik. Aku terpaksa harus melewati proses tubektomi karena
Akram … Bagaimana bisa dia dengan mudahnya menerima gadis itu sebagai adiknya. Mereka seolah telah saling mengenal satu sama lain sehingga terlihat seakrab itu. Bukankah selama ini putraku selalu menutup diri dari orang asing. Aku sudah dikecewakan oleh Ashraf, apakah Akram akan melakukan hal serupa?Akhirnya, rasa luka itu kupendam sendiri. Atas permintaan Akram, gadis bernama Fara itu tinggal di rumah kami. Aku tak mampu menolak jika Akram bersikeras seperti itu, meski aku harus menahan sakit di hati ini. Namun, aku masih berharap suatu hari nanti aku dapat membuktikan keyakinan yang bersumber dari hati kecilku. Fara bukanlah anak kandung suamiku meski saat ini aku belum memiliki bukti apa pun. Kucoba untuk bersikap biasa saja atas kehadiran Fara di rumah ini. Namun, sepertinya keadaan justru berubah menjadi kacau. Aku tak mengerti mengapa kini Akram mulai memberi jarak padaku dan justru begitu dekat dengan Fara. Usia mereka sudah beranjak dewasa dan aku khawatir jika kedekatan mer
"POV HafsaSejak kejadian di mana aku dan suamiku berpapasan di depan kamar mama, sejak saat itu lah terakhir kali aku melihatnya. Sudah lebih sepekan Mas Akram menghilang tanpa kabar. Bahkan, ponselnya pun tak bisa dihubungi sama sekali. Kucoba untuk mencari tahu keberadaan suamiku di perusahaan miliknya, tak seorang pun tahu dengan pasti di mana keberadaannya. Ada yang mengatakan bahwa suamiku sedang melakukan dinas ke Sydney, ada pula yang mengatakan bahwa dia sedang mengambil cuti panjang karena alasan kesehatan. Entah informasi yang mana yang bisa aku yakini. Para karyawan bahkan mengatakan hal itu dengan ragu-ragu, dan yang lebih aneh lagi sikap mereka terlihat lebih acuh daripada terakhir kali aku datang sebelum hari ini. Jika dulu semuanya berbaris menunduk menyambut kedatanganku, kini bahkan banyak dari mereka lalu lalang tanpa menyapa sama sekali.“Hafsa---” Aku melengos karena sadar suara siapa yang sedang memanggil namaku dari balik tubuh ini. Sejak meninggakan rumah menu
Via melajukan kendaraannya ke salah satu taman kota yang kebetulan sekali suasananya sedang lengang. Tadinya aku menolak dengan alasan ingin segera pulang menemui putraku--Zubair. “Lo mau alasan nyusuin anak lo sementara lo sendiri sedang galau kayak gini? Lo pikir anak lo ga bisa ngerasain apa yang lo rasakan? Lo pengen ngebagi rasa sakit lo ke darah daging lo?” Rentetan kalimat diucapkan Via saat mendengar niatku untuk pulang, lebih tepatnya aku sedang ingin menghindar dari siapa pun yang berpotensi mengetahui prahara rumah tanggaku. Namun, ucapan Via terdengar masuk akal. Aku pernah mendengar jika suasana hati buruk seorang ibu akan menginfeksi suasana hati bayi yang sedang ia susui. Entah mitos atau fakta, aku lebih memilih untuk menghindar dari akibat buruk yang bisa saja membuat bayi kecilku ikut bersedih. Dari perbincangan kami di taman, tanpa kusadari selama ini Via telah tahu banyak tentang masalah yang aku alami. Dia juga tahu sejak lama seperti apa kedekatan Mas Akram da
“Pacar si Fenny menang tender.” Mami mengepulkan asap ke udara melalui bibir indahnya. Wajah mami memang cantik. Pantas saja pelanggannya banyak sekali dari kalangan pengusaha dan pejabat negara. Jika aku sering menyaksikan seperti apa anak-anak peliharaan mami memberikan servis pada pelanggannya di kandang kami, tapi tidak dengan mami, dia lebih berkelas. Biasanya mami melayani pelanggannya di luar kota bahkan luar negeri. Dia akan menghilang beberapa hari dan kembali membawa banyak uang setelahnya. Mami mengatakan bahwa kekasihnya adalah pejabat negara yang terbiasa berlibur ke luar negeri dengan beralibi untuk melaksanakan tugas negara. Mami ikut serta dibawa oleh laki-laki pecinta syahwat itu ke luar negeri. Bagaimana aku tidak iri ingin juga menjadi seperti mami. Mami selalu diamanjakan dengan kemewahan, bisa menikmati indahnya negara luar dan pulang membawa uang yang banyak, oleh karena itu lah mami menyanggupi full service selama beberapa hari bahkan hingga sepekan hanya untuk
Kupikir, aku berangkat ke Jepang bersama Om Ashraf. Nyatanya aku berangkat bersama utusan dari rekan bisnis Om Ashraf yang memberikanku sebagai hadiah untuknya. Beruntung negara yang kutuju adalah salah satu negara yang memberikan Visa Waiver dengan mudah, sehingga prosesnya tidak butuh waktu tunggu yang lama. Aku menatap awan yang berarak di sisi jendela pesawat dengan kagum. Akhirnya aku bisa juga bepergian ke luar negeri tanpa harus bersush-susah mengumpulkan uang. Di sisiku seorang pria yang kutaksir berumur 25 tahun. Dari tadi dia seolah enggan mengajakku berbicara, wajahnya tampan hingga terbesit di hatiku untuk menggodanya. Namun, sepertinya aku bukanlah tipe menarik bagi pria ini. Dia lebih banyak membuang muka saat berhadapan denganku. "Kak, boleh tanya?" ucapku mencoba membuka pembicaraan. Baru kali ini aku merasa kikuk bersisian dengan lawan jenis, dan baru kali ini pula ada pria yang seolah tak terpesona dengan kecantikanku yang paripurna. "Hm," jawabnya. Hanya sesing
Aku pikir akan terjadi penolakan Om Ashraf terhadapku. Dari penampilannya, dia terlihat angkuh dan sulit untuk disentuh. Kesan pertama yang aku lihat adalah tatapannya yang datar dan wajah yang tak memiliki ekspresi. Meski tampan, dia terlihat menakutkan dengan gesturnya. Namun, rupanya aku salah. Om Ashraf benar-benar seorang yang liar. Kupikir dia akan mengabaikanku begitu saja. Dari caranya melewatiku tanpa menoleh dengan kondisi polos seperti tadi. "Masuk." Suara Om Ashraf terdengar seperti perinta yang tak kenal penolakan. Aku melangkah pelan, ragu-ragu tapi penasaran dengan apa yang akan terjadi setelah ini. "Kamu berjalan seperti orang yang kelaparan, apa kamu bisa melayani saya dengan cara seperti itu?" ucapnya di depan pintu kamar mandi. Om Ashraf rupanya kesal menungguku terlalu lama. Om, tidak tahu kah kau bahwa ini adalah pengalaman pertamaku? Meski sudah banyak pria asing di luaran sana menikmati tubuh ini, kesucianku masih terjaga dan sebentar lagi kamu akan menjadi
Aku terus berusaha meyakinkan Om Ashraf agar dia tidak mencari gadis lain untuk ditiduri. Om Ashraf bergeming saat aku terus saja memeluknya. Hem ... Jangan pikir aku tidak luput dari kesempatan yang hampir saja pupus. Tanganku bergerilya ke area-area tertentu di tubuhnya seolah-olah hal itu kulakukan tanpa sengaja sehingga Om Ashraf kembali terpancing. Tangisku rupanya tak terlalu berefek. Namun, sentuhanku memiliki pengaruh yang luar biasa padanya. "Fara," ucap Om Ashraf dengan suara serak. Dia meraih daguku yang bertumpu di punggung jari telunjuk dan jempolnya. Tak butuh waktu lama dia menciumku dengan rakus. Aku pun membalas tak kalah rakusnya, hingga meski pun kesucianku malam itu masih belum bisa dimilikinya, aku sudah berhasil membuatnya terkulai dengan keahlianku yang lain. Semalam penuh aku habiskan bersama Om Ashraf. Seperti pengantin baru, dia memintaku melakukan yang yang sama berulang-ulang dan mengabaikan beberapa panggilan telepon yang masuk di ponselnya. "Kamu yak
Lelah, tapi seolah beban besar di dadaku seperti lenyap setelahnya. Aku hanya ingin menetralkan degup jantung dengan memejamkan mata. Namun, sepertinya aku kebablasan. Aku terlelap. Terlalu dalam, hingga saat aku tersadar tak kudapati lagi Hafsaku di sisi tubuh ini. Ah, pasti dia sudah pergi. Bukankah dia sudah meminta izinku tadi. Kupikir dia akan membatalkan janji temu itu. Kuregangkan tubuh dan menyentuh permukaan seprei bekas tubuh istriku. Jika dulu biasanya aku ingin segera mengganti seprei sisa percintaan kami, kali ini aku justru membiarkannya begitu saja. Entah mengapa bahkan bekas keringat istriku saja aku enggan kehilangan. Bagaimana jika aku benar-benar kehilangan sosoknya secara utuh?Hari ini aku bertekad untuk mempertahankan hubungan sakral pernikahan kami. Aku ingin memantaskan diri untuk mendampinginya. Aku tak boleh kehilangan Hafsaku hanya karena kebodohanku sendiri.Tanpa banyak membuang waktu, aku bersegera membersihkan diri. Tujuanku setelah ini adalah menjemput
AkramSepekan setelah kematian mama, aku mencoba untuk kembali bangkit. Hari ini adalah hari pertamaku kembali bekerja. Sejak kejadian nahas itu, aku seolah kehilangan semangat hidup. Namun, Hafsa tak henti-hentinya menyemangatiku. Kutanamkan tekad untuk memberi jarak pada Hafsa agar dia sadar bahwa melanjutkan rumah tangga ini bukanlah keputusan bijak baginya. Kupikir inilah yang terbaik. Saat ini kami tinggal di unit apartemen milikku yang lokasinya sedikit lebih jauh dari perusahaan yang kupimpin. Lokasi ini searah dengan kediaman Ustadz Faisal--laki-laki yang entah mengapa membuatku tak suka meski kuakui jika sikapnya begitu santun. Hafsa yang tidak peka atas apa yang aku rasakan justru seolah menabur garam di atas luka. Kedekatannya bersama Ustadz Faisal seakan memperburuk rasa cemburuku. Padahal tadinya aku ingin melepaskan Hafsa demi kebaikannya. Aku bahkan berencana menceraikannya setelah empat puluh hari kematian mama. "Mas, mau ke kantor pagi ini?" Pertanyaan yang sebenar
"Lo lama banget, abis ngapain aja sih sama Si Bos?" ucap Via memberengut setelah menyerubut sedotan terakhir lemon tea-nya. Aku tak mungkin menceritakan kejadian yang baru saja kualami di rumah. Bagaimana pun juga ini adalah kisah rumah tanggaku yang harus kujaga dari orang luar. Sedikit banyak aku mulai menulusuri link-link sosial media untuk memperdalam agama. Sebagian orang meremehkan caraku yang belajar tanpa duduk langsung di majlis ilmu. Gelar santri online dadakan kerap dijadikan gunjingan dari mereka yang merasa lebih berilmu. Padahal, aku punya alasan untuk itu, yang tentunya tidak menyalahi usahaku akhir-akhir ini. "Lo pernah denger gak hadis riwayat Muslim dan Abu Dawud?" ucapku tersenyum. "Feeling gue, lo bakal ngasih tausiyah buat calon pengantin deh." Via terkekeh sebelum melipat bibirnya ke dalam."Exactly!" seruku sambil terkekeh. "Ya walau pun rumah tangga gue bukan contoh yang baik, setidaknya ucapan gue bisa jadi nasihat buat gue sendiri dan lo yang sebentar la
Aku kembali ke kamar setelah tadi menempatkan Zubair di dalam playfence-nya. Aku beruntung karena putraku bukanlah balita yang rewel dan mudah sekali menyesuaikan keadaan. Rupanya dia tertidur karena kelelahan bermain sendiri. Rasa iba mendera hatiku saat melihat wajah lugunya yang terlelap. Nak, semoga dosa ayahmu tidak diwariskan padamu. Semoga Allah menjagamu, memeliharamu dari kemaksiatan seperti yang sedang dilakukan ayahmu. Kuketikkan pesan pada Via melalui ponselku, "Vi ... Gue ga bisa on time. Zubair ketiduran, gue gak tega langsung bangunin. Tunggu bentar lagi ya. Lo ga papa nunggu 'kan?" Saat itu juga Via yang terlihat online membalas pesanku dengan persetujuannya. Walau hatiku masih bergemuruh, aku masih bisa mengembangkan senyum saat menerima pesan Via dan saat mataku menyorotkan pandangan ke arah Zubair. "Kamu belum berangkat, kan? Zubair tidur, 'kan? Ayo!" Mas Akram tiba-tiba saja muncul, menarik tanganku ke luar kamar dan mambawaku mengikutiya ke dalam kamar milikn
"Assalamu'alaykum Via?" ucapku saat tiba-tiba mantan rekan kerjaku menghubungi. Akhir-akhir ini dia kerap menanyakan kabarku dan Zubair. Kurasa tak ada salahnya jika aku memiliki teman dekat, bukan? Apalagi Via selalu memberikan masukan positif padaku. Dia pun mengerti batasan di antara kami. Komunikasi kami tak melulu tentang masalah hidupku karena Via mengerti kapasitasnya sebagai seorang teman yang tak harus tahu segalanya. Aku pun berusaha untuk menghindari menceritakan hal-hal yang terlalu pribadi padanya. "Lo kenapa Sa?" tanyanya di dalam panggilan telepon. "Apaan?" Aku terkekeh, tak ingin Via curiga. Ya, mungkin saja nada suaraku membuatnya sedikit heran. Aku berdehem, " Gue blm sempat minum habis sarapan dan udah buru-buru nerima panggilan dari lo," kilahku lagi. "Napas lo, Sa. Napas lo! Lo habis ngapain sama Pak Bos?" goda Via. Kuembuskan napas dengan menjauhkan wajah dari ponsel, agar Via tak semakin curiga. Jantungku berdenyut perih untuk kesekian kalinya. Andai saja
HafsaDi sinilah kami sekarang, salah satu apartemen mewah milik almarhum papa mertua. Tempat yang sementara ini dapat menaungi kami setelah kejadian nahas yang menimpa rumah utama Mas Akram. Mas Akram pernah mengatakan padaku bahwa dia akan segera membangun kembali hunian di atas tanah yang yang terbakar agar memorinya tentang kedua orang tuanya tetap terjaga.Aku pun menyetujui semua keputusan Mas Akram, meski aku khawatir jika ingatan tentang Fara bisa saja terus menghantui pikitran kami. Namun, akhir-akhir ini Mas akram tak sekali pun membahas tentang wanita itu. Apa dia sudah melupakannya?Kupikir setelah kejadian ini suamiku bisa sedikit berubah sikapnya. Jujur saja aku bisa sangat mudah memaafkan kejadian yang telah berlalu, asalkan Mas Akramku mau berubah dan memulai hubungan kami dari awal dengan kesungguhan untuk berubah. Nyatanya tidak!Dia bahkan meminta kamar terpisah denganku dan Zubair dalam rentang waktu yang tak bisa ditentukan!"Mas ingin menenangkan diri," ucapnya
'Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.' (QS. An-Nisa:78)'Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami lah kamu dikembalikan.' (QS. Al-Anbiya:35)Tubuhku luruh ke tanah dengan lutut yang menopang berat badan. Mobil ambulan berlalu dengan sirine yang memekakkan telinga. Jiwa sekarat yang berada di dalam sana sedang menanti keputusan Allah. Apakah masih diberi kesempatan untuk hidup dan bertaubat, atau kah pergi menuju azab Allah dalam kematian yang buruk. "Ma!" teriak Mas Akram di sisi kantong jenzah yang akan dibawa oleh mobil bersirine untuk dilakukan pemeriksaan forensik. Ya, mertuaku lah korban yang tak selamat dalam kejadian ini. Layak kah beliau menjadi korban? Allah Maha Tahu. Aku pu tak mampu menghakimi Fara yang juga memiliki nasib nahas. Apa lagi aku belum mengetahui sedikit pun kronol
WIDYABang**t!Rupanya Fara tidak kapok dengan ancamanku. Apa dia tidak takut mendekam di penjara jika aku lanjutkan penyelidikan yang tertunda atas kematian Ashraf bersama selingkuhannya itu. "Kamu pikir aku selamanya bod*h? Aku tahu kamu sengaja memanipulasi semuanya! Kamu yang membuat Om Ashraf dan Tante Fenny meregang nyawa--bukan aku!" ucap Fara saat Akram dan Hafsa tak sedang berada di rumah. Baru saja aku menyaksikan adegan menjijikkan antara mantan maduku itu bersama putra semata wayangku. Aku yakin Fara-lah yang membuat Akram tunduk seperti itu. Mana mungkin Akram suka rela menyentuh perempuan kotor itu jika bukan dalam keadaan sadar. Bukankah Akram hanya menganggapnya sebagai adik se-ayah.Mataku membola saat melihat Fara menunjukkan bukti CCTV yang selama ini kusimpan di tempat yang paling aman. Bagaimana dia bisa menemukan benda penting itu. Dia pasti sudah mencurinya. Argh! Seharusnya sejak lama aku memusnahkan benda itu! Pantas saja dia semakin berani menunjukkan perla
HAFSAPlak!Kudengar suara tamparan keras mendarat di pipi Mas Akram. Dia pikir aku tidak tahu atas apa yang baru saja terjadi. Namun, aku berusaha bersikap seolah-olah tak melihat atau mendengar apa pun. Sebenarnya sejak tadi aku sudah mencurigai sikap suamiku, sehingga kubuntuti dia sampai kejadian itu berlangsung. Memang awalnya bukan salahnya, bahkan aku melihat sendiri saat Mas Akram menghempas paksa tubuh Fara saat perempuan tak tahu diri itu melabuhkan ciu*an di bibir suamiku. Namun, yang membuat hatiku sakit ketika melihat adegan yang terjadi setelahnya. Mas Akram seolah tak mampu menolak pesona perempuan itu. Dia seolah ikut terbawa suasana. Mereka tak menyadari jika mama mertua berada di bakon utama lantai dua setelah menyiram koleksi bunga milik beliau. Kehadiran beliau membuat kejadian itu terhenti. Sakit! Tentu rasa perihtak terbayarkan dengan sendu tangis yang ingin kutumpahkan. Tekad ini sudah bulat untuk pergi dari kehidupan yang penuh dengan kebusukan dan kemunafikan