Aku mencoba berbicara dengan logis padanya. "Setidaknya ...," kataku sambil menunjuk ke ponsel di genggamannya. "Seperti yang pasti sudah kamu lihat, aku nggak pernah berhubungan sama ...," lanjutku mengangkat alis dan membuat tanda kutip di udara dengan jari-jariku. "Cowokmu sejak perceraian. Jadi, aku bukan ancaman bagimu."Namun, tak peduli apa yang kukatakan, Bella tetap mencengkeram ponsel itu erat-erat sambil berkata, "Duduklah dan minum kopi bareng, lalu aku akan kembalikan." Apa-apaan!"Aku nggak mau duduk dan minum kopi denganmu. Kembalikan saja ponselku!" tegasku dengan nada kesal sambil menahan diri untuk tidak menerjangnya. "Oke," katanya sambil menyandarkan tubuhnya di kursi dan menyelipkan ponsel itu ke dalam sakunya. Dia melirikku dengan senyum manis yang penuh tipu daya. "Kamu boleh pergi."Napasku menggebu-gebu karena menahan amarah. Sayangnya, dia sedang hamil. Kalau tidak, aku tidak akan ragu untuk melampiaskan rasa frustrasiku padanya. Aku tahu dia juga memanfaatkan
'Dia pernah punya anak?' pikirku, tubuhku sedikit menegang. Sama sekali tidak pernah kuharapkan kabar seperti itu.Kapan ini terjadi? Apakah saat tiga tahun panjang yang tak berujung itu, ketika dia menghilang tanpa jejak? Meskipun banyak pertanyaan berkecamuk di benakku, aku tetap berusaha bersikap tenang, mengatur ekspresiku menjadi datar tanpa emosi.Aku memusatkan perhatian pada riak-riak kecil yang hampir tak terlihat di permukaan kopiku, mengaduk perlahan cairan panas itu. "Aku nggak mau dengar," ucapku datar, seolah tak peduli.Sejujurnya, aku tidak terlalu tertarik mendengar cerita tentang masa lalunya yang suram, meskipun dulu sempat ada waktu di mana aku ingin mengetahuinya. Apa gunanya mengungkit cerita-cerita itu sekarang?Di belakang, di tempat kami duduk, aku mendengar suara orang bercakap-cakap dan dentingan alat makan. Namun, semuanya terasa menjauh seperti bisikan samar, sementara tatapan Bella menusukku seperti paku. Jari-jarinya melingkari cangkirnya sendiri, lalu di
"Aku memeluk anakku dan menangis tersedu-sedu di atas ranjang persalinan."Aku kehilangan kata-kata saat itu. Apa yang harus kulakukan? Apa yang seharusnya kukatakan padanya? Jelas, bukan ucapan belas kasih yang mendalam, karena meskipun kisahnya sedikit menyentuhku, sebagian besar diriku tidak merasa begitu iba. Aku bersandar di kursiku, cangkir kopi di tanganku sudah kosong. "Cerita yang bagus," ucapku sambil mengibaskan tangan."Tapi itu nggak membuat kita jadi teman. Dengar, wanita yang mengusik pernikahan orang lain itu pelakor, dan kamu memilih untuk mengusik pernikahanku, berarti kamu juga pelakor. Apa pun yang baru saja kamu ceritakan, benar atau salah, penderitaanmu bukan disebabkan olehku. Sebaliknya, aku harus menghadapi akibat dari kecerobohanmu, jadi aku nggak akan bersimpati denganmu."Raut wajah Bella berubah marah, lubang hidungnya mengembang dan mengempis saat dia mencengkeram cangkir kopinya lebih erat, urat-urat menonjol di punggung tangannya."Aku nggak butuh belas
Sudut pandang Mark:Setelah resmi bercerai dengan Sydney, Doris mentransfer sisa sahamnya kepadaku. Aku menjadi pemegang saham terbesar dan secara de facto orang yang bertanggung jawab atas GT Group dengan memegang 46% saham.Dengan perkembangan baru ini, resume pemegang saham diperbarui secara resmi. Seperti yang diharapkan, kekayaan bersihku melambung. Publik mencium kabar itu dan gelombang permintaan wawancara pun datang bertubi-tubi dari stasiun TV, penerbit surat kabar, hingga jurnalis yang selalu siaga menangkapku di luar.Posisiku di GT Group sekarang sudah kokoh dan tidak lagi bergantung pada siapa pun. Namun, aku tahu harus tetap berhati-hati terhadap mereka yang mungkin akan bersatu menjual saham mereka kepada satu orang untuk menjatuhkanku.Ketika permintaan wawancara terus berdatangan tanpa henti, akhirnya aku memerintahkan asistenku untuk menerima salah satu permintaan wawancara. Aku memilih saluran TV ekonomi paling terkenal, dengan tujuan agar semua orang mendapat sediki
Mereka bersorak dan bertepuk tangan saat kamera dimatikan. Sang pembawa acara kembali menjabat tanganku dengan senyum lebar di wajahnya. Ketika aku keluar dari ruang konferensi dengan asisten dan pengawal pribadi di belakangku, beberapa penggemar wanita mendekat meminta tanda tangan, sementara beberapa jurnalis nekat bertanya tentang pernikahanku."Tidak ada komentar," kata asistenku dengan tegas kepada mereka, sementara aku menandatangani kaos, buku, sarung ponsel, atau apa pun yang mereka bawa. Begitu aku masuk ke dalam mobil, raut wajahku berubah. Semua senyum dan keramahan yang kutunjukkan tadi menghilang sembari aku melepas dasiku dengan kasar. "Sial, wajahku sakit karena terlalu banyak tersenyum."Asistenku tersenyum dan menoleh ke belakang. "Penampilan Anda bagus, kok. Penonton benar-benar menyukai Anda." Aku menjawab, "Memang seharusnya begitu." Meski pipiku terasa nyeri, aku tak bisa menahan senyum saat memikirkan keberhasilan wawancara itu dan dampak positifnya bagi GT Group.
Sudut pandang Sydney:Satu-satunya cahaya di ruangan itu berasal dari layar ponsel kami dan layar TV. TV-nya dimatikan suaranya sementara aku dan Grace sibuk dengan ponsel masing-masing. "Wow," kata Grace sambil mendekatkan ponselnya ke wajahku. "Sydney, lihat ini."Pandangan mataku tertuju pada gaun di layar. Hampir mirip dengan salah satu desain milik Grace. Aku mengernyit. "Itu terlihat seperti gaun yang kamu desain." Grace tertawa kecil dan berkata, "Itu memang desainku." Dia menggulir ke slide sebelumnya. "Ini yang aslinya. Dia salah satu klien kami, dia membelinya dari kami, lalu menirunya dan menandai kami."Mulutku membentuk huruf 'O' sambil mengangguk. "Iya," lanjutnya sambil menyandarkan diri di sofa tempat dia berbaring. "Dia cukup bagus, 'kan?" tanyanya. Aku menjawab, "Iya, tapi aku tetap bisa tahu kalau itu bukan hasil kerjamu. Itu cuma desainmu.""Hmm," dia bergumam. "Menurutku dia cukup bagus. Mungkin kita harus merekrutnya," lanjutnya. "Oh, yang benar saja." Grace terta
"Selamat malam, Nenek," sapaku di telepon setelah mengangkat panggilan itu. Aku mencoba terdengar sesantai mungkin, meskipun aku sangat penasaran kenapa dia menelepon, sementara basa-basinya terasa begitu panjang."Bagaimana kabarmu, Sayang? Sudah lama banget." Suara khasnya yang melengking memenuhi telepon. "Aku baik-baik saja, Nek. Gimana denganmu?" tanyaku. "Aku baik-baik saja, Sydney. Gini, aku menelepon untuk mengundangmu ke pesta ulang tahunku hari Minggu nanti."Aku melepaskan napas yang ternyata kutahan. "Gini, Nek." Aku mulai tidak yakin bagaimana menyampaikannya dengan hati-hati. "Nenek tahu aku sudah bercerai dengan Mark. Aku rasa nggak pantas kalau aku menghadiri acara keluarga yang sifatnya intim seperti ini." Grace berkata, "Apa-apaan itu. Kamu ini keluarga, kamu akan selalu menjadi keluarga bagiku."Hatiku tersentuh mendengar pernyataannya dan aku terisak kecil, tapi aku tetap berniat untuk mempertahankan pendirianku. "Aku tahu, Nek, tapi …. Gimana kalau aku merayakannya
Aku menggigit bibir, menahan dorongan untuk mengeluh saat Grace menambahkan 'sentuhan akhir' pada riasan wajahku. Dia sudah menghabiskan waktu lebih dari sejam hanya untuk menambah 'sentuhan akhir' pada riasan dan gaunku. "Grace …," keluhku, tak bisa lagi diam. "Apa lagi yang kamu lakukan?""Sentuhan akhir.""Sentuhan akhir."Kami mengatakannya bersamaan dan Grace tertawa terbahak-bahak. "Santai saja. Bukannya kamu yang bilang mau datang terlambat? Aku memanfaatkan keterlambatanmu dengan baik," ucapnya. "Ya, aku memang mau datang terlambat, tapi sekarang aku terlalu terlambat. Aku yakin acara itu sudah selesai sekarang," jawabku.Nenek Doris mengirimkan undangannya dan sekarang sudah jauh melewati waktu yang tertera di sana. Aku sudah terlambat tiga jam. "Kamu habiskan terlalu banyak waktu untuk riasan ini, aku nggak mau terlalu menor. Kalau hujan gimana?" Sebenarnya, bokongku sudah terasa sakit dan pegal karena duduk terlalu lama di kursi, meskipun kursinya empuk."Riasannya nggak teb
Mataku dipenuhi air mata yang tak akan pernah jatuh, terutama di hadapan Mark. Menjadi rentan sudah menjadi hal biasa di sekitar Mark, tetapi segala sesuatu ada batasnya. Setelah aku selesai berbicara, ada keheningan panjang yang nyaman. Mark meraih tanganku dan memberiku genggaman yang menenangkan. Aku menghargainya. Aku selalu menghargai kehadirannya dalam hidupku. "Jadi, apa yang kamu harapkan saat bertemu dengannya?" Aku tersenyum. Tenggorokanku tidak lagi terasa sesak, mataku tidak lagi dipenuhi air mata dan yang terpenting, suaraku tidak lagi bergetar. "Tentu saja, aku berharap kami bisa berdamai. Kalau itu terjadi, aku akan kembali dengan Lucas. Kami akan menghabiskan waktu di sini untuk berkemas dan menyelesaikan semua hal, lalu kami akan membawa Aiden dan menetap di Idelia." Kali ini, aku benar-benar melihat kilatan luka di mata Mark. "Aduh, Sydney. Aduh." "Apa?" Aku tertawa dan mengangkat bahu. "Aku harus jujur. Kalau kalian berdamai, itu akan sangat menyakitkan
Sudut pandang Sydney:Dengan lembut, Mark mendekati keranjang bayi dan menurunkan Aiden yang telah tertidur di pelukannya. Dia menyelimuti Aiden dengan baik dan masih menepuknya beberapa kali sebelum menjauh. Mark meregangkan bahu dan memutar leher serta lengannya, mungkin terasa pegal karena menggendong Aiden begitu lama. Kemudian dia duduk santai di ujung tempat tidur, tangannya sempat menyentuh kakiku sebelum dia meletakkannya di pahanya."Kenapa kamu begitu ingin mencari Lucas?" tanyanya sambil menghadap tiang di ujung tempat tidur. Dia menoleh padaku dan mengangkat bahunya sedikit. "Maksudku, sudah begitu lama sejak dia menghubungimu atau mencoba menghubungimu. Dia nggak pernah berusaha sejak dia pergi.""Kamu nggak bisa bilang begitu." Aku merasa bodoh karena membelanya. "Gimana kalau sesuatu terjadi padanya dan dia nggak bisa menghubungi siapa pun?" Aku mengangkat bahu. "Ada banyak kemungkinan, kamu tahu."Mark mengangguk, "Kamu benar. Aku setuju denganmu dalam hal itu. Selalu
Mark mengangkat bahunya sambil berkata, "Aku nggak tahu, Sydney, tapi percayalah, aku nggak mengatakan apa pun kepada siapa pun." Mark berhenti sejenak dan dengan hati-hati menopang berat badan Aiden dengan tangan yang satunya sebelum melanjutkan. "Para jurnalis hiburan sering berbicara omong kosong, itu nggak ada hubungannya denganku.""Siapa tahu? Mungkin salah satu perawat yang memberi tahu mereka. Nggak adil kalau kamu menyalahkanku soal ini.""Aku nggak peduli apakah kamu melakukannya atau nggak," sahutku dengan marah. "Berita palsu seperti itu harus segera dihapus begitu muncul di berita."Mark mengatupkan bibirnya dan mengangguk. "Aku setuju denganmu.""Sudah berapa lama berita palsu ini beredar di mana-mana? Aku sudah keluar dari ruang bersalin berapa lama dan berita palsu seperti itu masih dibuat ulang dan disebarkan. Jangan bilang bahwa sebagai CEO GT Group, tanpa persetujuanmu, berita ini bisa bertahan begitu lama?""Aku akui bahwa aku mungkin memiliki motif egois." Mark men
Sudut Pandang Sydney:Mark pasti menyadari bahwa aku telah mengalihkan pandanganku dari sosok Grace yang semakin menjauh dan kini menatapnya, karena ia menoleh dari Aiden dan langsung berkata, "Apa?" "Kamu serius menanyakan itu padaku?" Aku melotot padanya. Mark tersenyum dan bertanya dengan lembut, "Ayolah, ada apa? Apa aku melakukan sesuatu yang membuatmu kesal?" Sejak aku memutuskan untuk memiliki Aiden, Mark selalu ada untukku tanpa henti. Aku dan Grace sama-sama terkejut, dan aku terus menahan napas …. Aku terus berharap dalam diam, berpikir bahwa suatu hari nanti dia akan lelah berpura-pura atau sekadar bosan merawat seorang wanita yang bukan miliknya dan pergi. Tetapi dia tetap tinggal dan bertahan sampai akhir. Mark menawarkan segala bantuan yang bisa dia berikan. Kapan pun aku merasa sendirian atau merasakan sedikit pun rasa sakit dan tidak bisa menghubungi Grace, aku akan menelepon Mark dan dia akan segera datang.Aku ingat suatu waktu, kurasa saat itu bulan keempat k
Aku menggeleng melihat dramanya. Aku menatap mereka berdua, Aiden dengan mata tertutup dan Grace yang sepenuhnya fokus padanya. Hatiku menghangat melihat mereka bersama. Aku sudah bisa merasakan bahwa Aiden akan memiliki begitu banyak dukungan dan cinta dalam hidupnya. Dia akan dikelilingi oleh itu semua, aku akan memastikannya.Senyumku perlahan memudar. Aku menggigit bibirku saat dia terlintas dalam pikiranku. Aku berkata kepada Grace, "Aku berpikir untuk pergi ke Idelia." Grace terdiam sesaat, lalu menghela napas dan terus mengayun Aiden dalam pelukannya. "Untuk apa, Sydney?" tanyanya dengan nada lelah. Aku tahu Grace sudah tahu alasanku ingin ke sana, tetapi karena dia bertanya, aku akan menjawabnya juga. "Untuk mencari Lucas." Aku merasa kecewa dan terkejut ketika setelah sebulan, Lucas tidak kembali atau bahkan menghubungiku. Berminggu penantianku berubah menjadi berbulan-bulan, dan tetap tidak ada kabar dari bajingan itu. "Kamu bercanda, 'kan?" Grace berbalik ke arahku
Beberapa bulan kemudian. Sudut pandang Sydney:"Selamat datang ke dunia ini, Aiden. Mama sangat menyayangimu," bisikku ke telinga kecilnya. Dia menyipitkan matanya padaku sebelum kembali menutupnya. Aku bertanya-tanya apakah dia mendengarku, apakah dia bisa merasakan dan mengetahui bahwa dia berada dalam pelukan ibunya. Mataku mulai berkaca-kaca, dipenuhi air mata kebahagiaan saat aku membelai pipi putraku. Hanya dengan berpikir bahwa dia adalah milikku, hatiku langsung dipenuhi dengan begitu banyak cinta dan kebahagiaan. Astaga, dia terlihat begitu polos. Terlalu suci untuk dunia ini. Tanpa kesulitan apa pun, aku berhasil melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat di rumah sakit yang sama saat aku pertama kali mengetahui bahwa aku hamil. Aku tersenyum. Beberapa bulan terakhir ini benar-benar penuh dengan banyak hal. Bulan-bulan yang dipenuhi dengan gejolak emosi, bulan-bulan di mana aku menerima dukungan dan cinta, bahkan dari orang-orang yang tidak aku duga. Sebenarnya, beb
Aku berbalik dan melihat bangku yang selalu ada di sana, di ujung kedai kopi di sebelah gedung GT Group. Syukurlah, tidak ada orang di sana. Aku langsung berjalan mendekat dan perlahan duduk di kursi itu. Mataku terfokus ke kejauhan, tetapi pikiranku ke mana-mana, dipenuhi dengan keraguan dan ketakutan. Tak lama kemudian, mobil Grace muncul. Syukurlah, aku tidak perlu berteriak memanggil namanya atau berjalan kembali ke depan gedung GT Group karena dia sudah melihatku duduk di sana. Dia mengangguk dan menghentikan mobilnya. Aku berdiri dengan lemas, membuka pintu yang sudah setengah terbuka oleh Grace, lalu naik ke dalam mobil dan duduk di sebelahnya. Tak ada satu kata pun yang terucap saat Grace mengarahkan mobilnya ke tempat parkir GT Group dan berbalik arah. Saat dia mengemudi menuju apartemen, aku tetap menatap jendela di sampingku. Tetapi aku bisa merasakan tatapan Grace yang terus mengarah padaku. Akhirnya, dia memecah keheningan dengan suara lembut, "Kamu mau bicara te
Sudut pandang Sydney:Mark tampak membeku di tempat. Tangannya yang memegang korek api tetap berada di ujung rokok yang masih terselip di antara bibirnya saat dia menatapku, atau lebih tepatnya, saat dia ternganga menatapku.Tangannya terkulai ke samping. Ucapannya dipenuhi oleh ketidakpercayaan. "Kamu nggak bercanda."Aku menatapnya kosong. Sejak kapan kami menjadi sahabat karib sampai-sampai aku harus membuat lelucon seperti itu? Pikirku. Dia pasti berpikiran sama karena dia menggelengkan kepala dan kami hanya saling menatap seperti itu selama beberapa saat.Tiba-tiba, Mark tampaknya memahamiku saat dia dengan cepat menyimpan rokok dan korek api ke sakunya.Dia tampak khawatir, sedikit panik saat melangkah mendekat. Tatapannya beralih dari lorong ke wajahku. Aku penasaran, sedikit geli di tengah semua kekacauan emosional ini, apakah dia akan lari. Apakah pembicaraan tentang bayi atau pemandangan wanita hamil membuatnya begitu takut?Sebaliknya, Mark melangkah maju dan bertanya dengan
Apa maksudnya ini? Apakah aku dicampakkan lagi? Setelah akhirnya aku menemukan pria impianku, sekarang harus begini? Setelah begitu banyak ucapan "aku nggak akan pernah melepaskanmu lagi" darinya?Lucas memasukkan tangannya ke saku. Meskipun dia berdiri tidak jauh dariku, aku bisa melihatnya menjauh dariku.Lucas mengangguk dan menatap mataku sambil menjawab, "Ya, aku akan kembali sendiri. Kalau aku berhasil, aku akan menghubungimu.""Kalau!" kataku tidak percaya. "Apa-apaan ini, Lucas?" Suaraku bergetar. "Semacam kesepakatan bisnis?"Dia membuang muka dan aku ingin memegang wajahnya, menatap matanya dan melihat bahwa dia bercanda. Dia akan tertawa terbahak-bahak dan aku juga. Kemudian, dia akan menciumku dan kami akan pulang. Namun, aku tidak bisa memegang wajahnya dan menatap matanya karena semua itu tidak akan terjadi kecuali dalam khayalanku.Aku menelan ludah dan melangkah maju. Meskipun hatiku hancur dan yang ingin kulakukan hanyalah berlari menyusuri lorong, mencari toilet, dan