"Apa maksudmu aku harus hamil?"Dia berkedip menatapku. "Ayolah. Kamu tahu maksudku. Tidurlah dengan Mark tanpa perlindungan dan pastikan dia menghamilimu.""Oh," gumamku muram dan aku bersandar kembali."Kamu tak bisa melakukannya?" Suaranya yang tajam membuatku keluar dari lamunanku."Apa? Tidak, ya, aku bisa," kataku terbata-bata. Aku duduk lebih tegak di kursi. "Aku akan melakukannya. Apa saja agar dia sepenuhnya jadi milikku.""Bagus," dia tersenyum, "karena tak ada cara yang lebih pasti untuk memiliki seorang pria daripada mengandung anaknya di dalam perutmu."Aku mengangguk, sudah merancang rencana di kepalaku. "Kenapa aku tak kepikiran ini sebelumnya?" Bawah sadarku mengejekku saat aku bertanya; aku mengabaikannya."Aku sendiri juga terkejut. Kamu akan lihat, ketika kamu hamil anaknya, dia akan dipaksa menceraikan Sydney." Dia mengangkat bahu, "Bagaimanapun juga, kamu yang mengandung pewarisnya, jadi kenapa dia tidak sepenuhnya mengabdikan hidupnya untuk membuatmu bahagi
Aku menatapnya; mataku terasa basah oleh air mata. "Saat itu seperti di neraka, Mark. Aku berharap kamu ada di sana waktu itu. Aku berharap kamu ada untuk memelukku seperti yang kamu lakukan sekarang dan mengatakan bahwa itu hanya mimpi buruk yang tidak berarti..." Aku terdiam, dan satu tetes air mata mengalir di pipiku."Ayolah, Bel," Mark mendorong kursinya ke belakang dengan kasar dan cepat berdiri. Dia melangkah ke arahku dan memegang bahuku. Dia mengusap air mata dengan ibu jarinya; sentuhan lengannya di sekelilingku dan ibu jarinya di pipiku membuat bulu kudukku merinding. "Itu sudah berlalu," dia mencium keningku lembut. "Jangan dipikirkan lagi."Aku menghela napas dan mengangguk, memegang erat sisi kemejanya."Sekarang, jangan biarkan makanan enak ini terbuang," dia tersenyum lembut dan mencubit pipiku dengan manja.Dia menyuapiku saat kami makan, dan aku menuangkan lebih banyak alkohol untuknya sambil menceritakan kisah-kisah sedih palsu lainnya tentang hari-hari sakitku d
SUDUT PANDANG SYDNEYAku menepuk pipi Mark dengan kesal. "Bangun! Aku Sydney, bukan Bella."Aku menggerutu keras sambil mendorong bahunya, mencoba lagi untuk membuatnya bangun. Bahuku terkulai saat aku menghela napas pasrah. Bagaimana bisa dia mabuk sampai seperti ini?!Setelah mengagetkaniku setengah mati dan di bawah pengaruh mabuknya dia memanggilku "Sayang." dengan senyum linglung, dia terjatuh ke dadaku, dan dia berat sekali.Sulit bernapas dengan kepalanya di dadaku seperti itu. Dan dengkuran yang keluar dari tenggorokannya makin membuatku jengkel."Mark! Sialan!" Aku berteriak kesal. Aku terlalu lelah untuk semua ini. Aku hanya ingin pulang, mengunci diriku di kamar, dan cukup istirahat untuk mengisi ulang energi dan mempersiapkan diri untuk hari esok. Tapi di sinilah aku, menguras otak berpikir cara untuk menyingkirkan dia dari atasku sambil terus mendorong bahunya yang kokoh.Mataku menelusuri ruangan yang remang-remang, berharap salah satu bayangan itu adalah pegawai ru
Butuh beberapa saat sebelum akhirnya dia mengangkat telepon. Aku hampir tidak membiarkannya menyelesaikan ucapan 'halo' dinginnya sebelum aku mulai bicara, "Aku tidak tahu bagaimana, tapi Mark mabuk berat. Dia butuh seseorang di sisinya untuk merawatnya. Kamu sebaiknya datang ke sini."Aku mendengar suara berdesir di latar belakang sebelum jawabannya muncul, "Aku akan segera ke sana." Lalu dia menutup telepon.Aku membuat secangkir kopi untuk diriku sendiri, lalu berjalan kembali ke kamar Mark. Aku duduk dan menyeruput kopiku sambil menunggu dia datang. Sekitar sepuluh menit kemudian, terdengar ketukan keras di pintu utama. Lalu beberapa detik kemudian, pintu kamar terbuka, dengan Bella yang terlihat terburu-buru.Aku mengernyit melihat penampilannya. Dia tampak sedikit berantakan, jelas karena terburu-buru ke sini, tapi yang benar-benar menarik perhatianku adalah lingerie yang terlihat di bawah mantel tipisnya.Oke. Apakah dia salah paham dengan kata-kataku? Kenapa datang merawat
Aku menutup mata dan bergumam, "Sial!" Kenapa dia harus bangun sekarang?Bella dan aku menatapnya. Tatapan Bella dipenuhi kekhawatiran, sementara tatapanku, aku yakin, sedang mengebor lubang di kepalanya."Jangan beri dia uang," ulangnya, tatapannya tertuju padaku. Dia terlihat tidak terlalu mabuk sekarang. Kata-katanya tidak begitu terbata-bata lagi, dan tatapannya lumayan stabil.Sup itu pasti sangat efektif, meskipun kelihatannya seperti muntahan. Aku sempat berpikir untuk menanyakan resepnya pada Bella.Bella bergeser lebih dekat padanya, alisnya berkerut. "Mark," dia menempelkan telapak tangannya di pipi Mark dan membuatnya menoleh ke arahnya, "Kamu harus istirahat lebih banyak.""Tidak," dia menggeleng dan menyingkirkan tangan Bella dari pipinya. "Aku harus tetap terjaga untuk memastikan kamu tidak memberikannya." Dia berkedip cepat beberapa detik sebelum menggeleng lagi, dan pandangannya kembali stabil.Rasa sakit dan kebingungan tampak di wajah Bella. "Memberikan apa? Apa
"Mark," bisik Bella dengan suara gemetar, berusaha menarik perhatianku dan Mark. "Katakan padaku!" Dia berteriak, urat di lehernya menegang, dan matanya berkilat dengan air mata. "Apa kamu mencintainya?!"Hening panjang menyusul teriakannya. Aku berbalik menatap Mark, yang masih menatap Bella.Tiba-tiba, dia melepaskan genggamannya dariku. Seolah-olah ada sesuatu dalam dirinya yang terprovokasi oleh pertanyaan Bella."Apa? Omong kosong apa ini?" Kini dia terlihat benar-benar terjaga saat mundur beberapa langkah dengan goyah. "Bagaimana bisa kamu mengatakan itu?" Dia mencibir, "Cinta? Hah! Stop omong kosong." Lalu dia menambahkan dengan nada merendahkan, "Bagaimana mungkin aku mencintainya?""Kalau begitu kenapa kamu tidak menceraikannya?!" Mata Bella masih penuh air mata dan suaranya masih bergetar dengan nada tuduhan."Itu seharusnya bukan urusanmu, Bel. Itu bukan urusanmu."Dia menarik napas tajam, "Bukan urusanku?" bisiknya, menunjuk ke dadanya."Ya, bukan," jawabnya acuh tak
Aku menyeringai saat meletakkan sentuhan terakhir pada gelang itu. Aku menghela napas sambil meregangkan tangan dan menguap.Kulihat jam. Sudah lewat jam kerja. Tapi aku merasa puas karena banyak yang sudah kucapai hari ini.Aku menatap kalung dan gelang yang telah selesai. Mereka tampak luar biasa. Bahkan, kata "luar biasa" tidak cukup untuk menggambarkannya. Mereka tampak seperti berasal dari dunia lain. Itulah mengapa Atelier Studios telah menjadi nama yang dikenal. Aku selalu berusaha memberikan yang terbaik di setiap perhiasan, bahkan jika pesanan datang dari orang yang menjengkelkan. Prinsip ini juga kutanamkan pada karyawan kami di departemen produksi.Hari ini aku tiba di tempat kerja lebih awal. Setelah drama semalam, aku justru mendapat tidur yang nyenyak. Aku merasa sangat bersemangat pagi ini. Mungkin karena tekadku untuk keluar dari pernikahan ini semakin kuat.Aku memasukkan gelang dan kalung itu ke dalam kotaknya masing-masing lalu memanggil asistenku.Seperti biasa
Ketukan di pintu kembali kudengar dan itu membuatku tersadar dari lamunan sesaatku."Masuk," kataku tenang, sengaja mengambil waktu sebelum menjawab.Dia masuk dengan tergesa-gesa, meski kali ini pintuku tidak menghantam dinding. "Kenapa kamu memecat setengah dari timku?!" tuntutnya dengan nada arogan.Aku menatapnya tak percaya. Dalam tiga tahun ini, Richie yang kurus sudah hilang; sekarang tubuhnya berotot dan terlihat tegap. Wajahnya menunjukkan perawatan yang baik, dan pakaian mahalnya seolah menceritakan gaya hidup mewah yang mungkin kini ia jalani.Aku menggeleng. Aku bisa melihat dari mana kesombongan dan rasa percaya diri ini muncul."Pertama-tama, Richie, kamu tahu betul bahwa aku adalah CEO perusahaan ini," aku mulai, memastikan suaraku terdengar tegas dan dingin; cukup untuk menempatkannya di tempatnya. "Aku punya hak sepenuhnya untuk membuat keputusan apa pun. Dan kamu?" Aku menunjuknya, mengangkat alis, "Kamu hanya kepala departemen," aku menekankan pada kata 'hanya'.
Sudut pandang Anastasia:Aku duduk di samping ranjang rumah sakit Amie, mengamati saat pensilnya bergerak lincah di atas buku sketsa. Alisnya berkerut penuh konsentrasi dan matanya bersinar-sinar penuh kreativitas."Mama tebak, itu kita ya?" tanyaku sambil menunjuk gambar dua karikatur yang mirip denganku dan Amie, minus kaki yang semuanya mengarah ke satu sisi."Iya, Mama. Itu kita yang lagi bikin kue enak di dapur. Aku sebentar lagi mau gambar Tante Clara soalnya dia suka kue buatan Mama juga," jawabnya tanpa mengalihkan perhatian dari sketsanya."Terus Dennis?" tanyaku lagi.Dia berhenti sejenak, pensilnya berhenti di atas buku sketsa sebelum akhirnya dia mengangkat bahu dan kembali menggambar. "Aku tambahin dia juga. Setelah Tante Clara. Mama, aku pengen cepat pulang. Di sini sepi dan bau obat banget."Rasanya sedikit sedih karena aku tahu sebentar lagi aku harus meninggalkannya. Aku belum pernah berpisah dengannya selama satu hari penuh. Sekarang aku akan berpisah dengannya selama
Aku mulai terbuka padanya. "Hanya saja ... teman-temanku belakangan ini sangat membantu, terutama Clara. Tapi, sekarang dia sedang di luar negeri dan aku tahu Dennis juga sudah banyak membantu, tapi aku nggak mau terus-terusan merepotkannya.""Rasanya seperti aku selalu berutang budi pada orang lain. Jadi ... rasanya sulit mengatur semuanya sekarang. Setiap hari aku selalu berusaha menyeimbangkan antara pekerjaan dan kebutuhan Amie."Remi mengangguk, suaranya penuh dengan empati. Dia meraih tanganku dengan penuh pengertian."Aku paham kalau keluarga adalah alasan yang sah untuk nggak ikut dan aku nggak akan memaksamu."Dia sedikit condong ke depan dan menatapku lekat-lekat. "Tapi, aku mau jujur. Aku secara pribadi merekomendasikan namamu untuk masuk daftar peserta. Sekarang aku tahu sepertinya kamu memang nggak bisa ikut.""Aku nggak nyangka," ucapku pelan di balik rasa terkejut karena perhatian yang dia tunjukkan, mataku membelalak. "Terima kasih, Remi. Itu berarti banyak bagiku. Aku
Sudut pandang Anastasia:Aku memindai memo di layar komputerku, kata-kata "Retret Perusahaan" dan "Pembangunan Tim" langsung mencuri perhatian. Suasana kantor dipenuhi kegembiraan, rekan-rekanku mengobrol dengan antusias tentang acara liburan yang akan datang."Kamu percaya nggak sih? Seminggu penuh di Hawhi!" seru seorang wanita berambut pirang, berdiri di dekatku."Iya, 'kan? Aku bahkan sudah mulai membayangkan semua pakaian liburan yang bakal kuperlukan," sahut seorang pria dari seberang ruangan.Kegembiraan mereka yang begitu mencolok tidak berhasil menembus suasana hatiku yang suram. Hawhi? Aku memaksakan senyuman, berusaha menyembunyikan kekecewaanku. Aku tahu aku tidak akan bisa ikut karena kondisi kesehatan Amie.Ini bukan masalah yang bisa diperdebatkan, apalagi kalau menyangkut nyawa putriku. Aku akan selalu mengutamakan kepentingannya.Jari-jariku menari di atas papan ketik, mengetik pesan untuk menolak tawaran retret itu.[ Maaf, aku tidak bisa menghadiri retret perusahaan
Selama waktu itu juga, aku memutuskan untuk kembali ke kota. Sharon sempat memprotes, bahkan memohon agar aku tetap tinggal karena dia tidak bisa meninggalkan bisnis. Namun, aku tidak bisa. Aku butuh ruang dan waktu untuk benar-benar berpikir.Namun, sebanyak apa pun waktu yang kuhabiskan untuk mempersiapkan diri atau keputusan apa pun yang kuambil, pernikahan itu tetap harus dilangsungkan. Karena sifat pernikahan yang sudah diatur ini dan dokumen yang kutandatangani dengan sadar, pernikahan itu tidak bisa dihindari.Dulu kupikir semua itu baik-baik saja. Namun, saat aku bertemu Anastasia lagi, pikiranku semakin kacau. Saat itulah aku sadar bahwa aku tidak akan pernah siap untuk pernikahan ini, apalagi untuk kembali ke hubungan yang sedang kubangun dengan Sharon.Jadi, aku melakukan satu-satunya hal yang bisa kulakukan, yaitu menghindari Sharon dan pernikahan yang semakin dekat ini dengan segala cara yang kubisa.Sekarang, Sharon yang duduk di seberang meja, menatapku tajam dari balik
Sudut pandang Aiden:Ibuku, entah tidak menyadari senyumanku yang membeku atau memang tidak peduli, melangkah ke samping, memberi ruang bagi Sharon untuk menerima pelukan yang seharusnya untuknya.Dengan senyum lebar, Sharon melingkarkan lengannya di tubuhku. "Astaga! Aku sangat merindukanmu," ucapnya sambil menyandarkan wajahnya ke dadaku."Hmm," gumamku saat dia melepaskan pelukannya, lalu menaruh tangannya di dadaku sebelum berjinjit untuk mengecup pipiku.Entah kenapa, aku ingin menghapus bekas kecupannya dari pipiku dengan jaketku. Namun, aku menahan diri dan memberikan kecupan singkat di pipinya. Sejujurnya, aku bahkan ragu apakah bibirku benar-benar menyentuh kulitnya.Aku tetap berdiri di tempat sementara Sharon duduk dan ibuku mengambil tempat di sampingnya.Alih-alih ikut duduk, aku hanya berdiri dan memasukkan tangan ke saku. "Bu, gimana kabarmu?" tanyaku.Setidaknya, dia akan menjawab ini, mengingat dia baru saja memberikan pelukannya ke orang lain."Aku baik-baik saja, Say
Sudut pandang Clara:Aku berjalan tanpa tujuan di dalam toko. Aku datang untuk membeli beberapa baju buat Amie dan juga untuk diriku sendiri. Aku sudah selesai memilih baju Amie sekitar satu jam yang lalu.Oke, mungkin belum sampai satu jam, tetapi rasanya sudah cukup lama. Semua gaun dewasa di sini sama sekali tidak sesuai dengan seleraku.Pandangan mataku tertuju pada nama toko yang berkilauan di dinding, tepat di dekat pintu masuk. Entah kenapa aku melihatnya berulang kali sambil bertanya-tanya, apakah aku masuk ke toko yang salah?Ini adalah toko favoritku, tempat aku selalu memperbarui isi lemari pakaianku. Biasanya, aku selalu yakin bisa menemukan beberapa baju yang menarik dan sesuai dengan seleraku. Namun sejauh ini, semua gaun di sini lebih mirip baju nenek-nenek."Apa-apaan sih restock nggak jelas seperti ini?" gumamku sambil memainkan ujung atasan wrap warna hijau pucat.Aku menghela napas, lalu mendongak sambil mengerang pelan. "Argh! Mungkin aku harus nyerah saja."Aku ter
Sudut pandang Aiden:Aku menunduk, melihat sosok kecil yang menatapku dengan mata besar penuh kepolosan, sebuah buku cerita anak penuh warna terbuka lebar di lantai di antara kami."Maaf!" katanya sambil melambaikan tangan kecilnya dengan senyuman minta maaf, tangannya melayang ringan di udara seperti kupu-kupu.Aku tak bisa menahan senyum. Senyumannya benar-benar menular, seolah-olah bisa menerangi seluruh lorong."Nggak apa-apa," jawabku sambil membungkuk untuk mengambil buku yang tergeletak di kaki kami, halaman-halamannya yang mengilap sedikit kusut karena terjatuh."Wow." Kudengar dia terkesiap. Aku mendongak, bingung dengan nada antusiasnya yang tiba-tiba."Aku mau pulpen seperti itu," katanya dengan mata memelas, lengkap dengan cemberut kecil yang menggemaskan, cukup untuk meluluhkan hati yang paling dingin sekalipun."Pulpen seperti apa?" tanyaku sambil mengernyitkan dahi, berdiri tegak, dan membalik-balik buku di tanganku, mencoba mencari tahu di mana dia melihat pulpen."Yang
"Acara amal ini akan jadi salah satu yang paling berkesan," ujarnya sambil tersenyum lebar. "Beberapa mitra kami dari luar negeri akan datang untuk menghadirinya."Suara-suara pelan mulai terdengar saat para perwakilan dari berbagai organisasi amal mengangguk, sama-sama terkesan dan puas dengan rencana yang telah mereka susun."Acara amal mendatang ini akan memberikan dampak signifikan bagi masyarakat." Pandangannya menyapu ruangan. Aku yakin matanya berkilat, menahan air mata. "Sungguh menginspirasi melihat semua orang berkumpul di sini hari ini, bersatu dalam dedikasi untuk tujuan mulia ini."Suasana dipenuhi antisipasi akan perubahan positif yang akan dibawa oleh kolaborasi ini bagi mereka yang membutuhkan."Itulah yang memberi kami kebahagiaan," timpal salah satu perwakilan. "Beberapa dari kami memang hidup untuk ini, kalian tahu? Melihat senyuman di wajah anak-anak yang nggak berdaya, melihat kelegaan di raut orang tua atau wali mereka. Itu terasa seperti terapi."Ruangan pun dipe
Sudut pandang Aiden:Dengan sedikit rasa senang dan juga kehilangan, aku memperhatikan Ana berlari keluar begitu pintu lift terbuka. Dia melesat melewati para pria yang tampak bingung dan naik tangga, suara langkah kakinya bergema di lorong tangga. Kami semua menatap sampai dia menghilang dari pandangan.Seandainya aku tahu dia akan kabur seperti itu, aku pasti sudah menghentikannya. Namun, aku tidak menyangka dia akan melakukannya. Saat aku mencoba menggenggam tangannya, dia sudah terlepas dari jangkauanku.Tanganku tetap mengepal, berusaha keras mempertahankan sensasi sentuhan terakhirnya. Hangatnya kulitnya, lembutnya tangannya.Semua itu sekarang terasa seperti mimpi singkat. Bahkan, kalau saja para pria ini tidak ada di sini, menatapku seperti melihat rusa yang tersorot lampu mobil, aku mungkin sudah menutup mata dan menghirup aromanya, mencoba mengingat setiap detail pertemuan singkat kami.Aku melangkah keluar dari lift dan berhenti di depan para pria itu, pikiranku masih terpus