Sudut pandang Clara:Aku melemparkan senyuman pada nenek tua yang tersenyum padaku saat tatapan kami bertemu. Sambil berjalan keluar dari bandara, aku merogoh tas untuk mengambil ponselku yang berdering. Wajahku langsung cerah saat melihat nama peneleponnya."Halo, bestie," sapaku ceria sambil menempelkan ponsel ke telinga."Halo." Suara Ana terdengar di ujung sana. "Aku lihat pesanmu soal toko itu.""Oh, itu." Bibirku melengkung kesal. Rasa marah yang tadi sempat kutahan perlahan muncul lagi."Iya, aku nggak terlalu ngerti sih. Kayaknya kamu ngetiknya buru-buru deh, banyak salahnya.""Bukan ngetik buru-buru, aku ngetiknya sambil kebakar emosi," jawabku blak-blakan."Oh?""Aku harus meluapkannya biar nggak teriak di tengah jalan atau narik rambut cewek itu sambil kasih ceramah ke manajernya!"Ana terkekeh kecil. "Santai, dong. Aku masih belum ngerti ceritanya."Aku memindahkan ponsel dari telinga kanan ke kiri sambil menggeser tas ke bahu satunya."Jadi gini ceritanya. Aku ke toko lang
Aku tertawa mendengar suara tawa riang Anastasia lagi."Tanganku ada di sini, jadi aku nggak lupa membawanya," ucap Ana, masih dengan tawanya."Syukurlah.""Tapi sejujurnya, aku nggak bakal tahu kalau aku lupa sesuatu sampai aku buka koper.""Ya Tuhan." Aku mengusap dahiku. "Kuharap kamu nggak terdampar. Kalian sekarang di mana?"Ana mendengung sebentar. "Aku nggak tahu. Kami masih di bus.""Kuharap perjalananmu menyenangkan, Sayang.""Terima kasih.""Dan Amie, ya ampun! Aku kangen sekali. Bagaimana kabarnya? Bagaimana dia menghadapi kepergianmu?" tanyaku antusias."Dia baik-baik saja dan kurasa dia menerima kepergian ini dengan cukup baik. Kupikir akan ada lebih banyak drama, jadi aku sudah siap untuk meyakinkannya, tapi dia malah mengejutkanku. Tapi …." Suara Ana mulai meredup. "Amie benar-benar kesulitan dengan tinggal di rumah sakit. Dia terus bilang ingin pulang."Aku menghela napas. "Kasihan sekali. Aku paham. Rumah sakit nggak seperti taman atau toko es krim. Lama-lama di sana m
Sudut pandang Anastasia:Akhirnya, kami tiba di penginapan untuk perjalanan bisnis ini.Dengan tas di tangan masing-masing, semua orang ternganga kagum melihat bangunan di depan kami. Antisipasi yang tumbuh selama perjalanan tampak memuncak saat kami melihat pemandangan tersebut.Di atas sebuah papan kayu yang dipaku di bagian atas bangunan, terdapat tulisan "Resor Kayupinus" yang terbuat dari potongan kayu kecil dan dihiasi dengan lampu-lampu kecil yang menyala. Kerajinan tangan itu sangat mengesankan, memberikan suasana yang unik tetapi profesional pada tempat tersebut."Rasanya seperti baru saja menginjakkan kaki di negeri dongeng," bisik Rachel saat berhenti di sampingku. Dia tampak sangat kagum, matanya bersinar saat lampu-lampu memantul di sana.Meskipun ada lubang besar di hatiku yang hanya bisa diisi dengan memeluk Amie, aku juga sedikit terpesona.Gubuk-gubuk kecil yang terhubung itu dikelilingi, hampir tertelan, oleh pohon-pohon pinus yang tinggi dan pepohonan hijau yang rimb
Aku menerima kiriman video porno.“Kamu suka ini?”Laki-laki dalam video itu adalah suamiku, Mark, kami sudah cukup lama tak bertemu. Dia telanjang, terlihat baju dan celananya berserakan di lantai, sedang menghentakkan tubuhnya dengan kuat pada seorang wanita yang wajahnya tidak bisa kulihat, dengan payudara besar bulat yang bergoyang-goyang. Aku bisa mendengar dengan jelas suara hentakan di video, bercampur dengan desahan dan erangan penuh nafsu.“Ya, ya, lebih keras, sayang,” wanita itu berteriak dengan penuh gairah.“Kamu nakal!” Mark berdiri dan membalik tubuhnya, menampar pantatnya sambil berkata, “Ayo angkat pantatmu!”Wanita itu tertawa lirih, berbalik, menggerakkan pantatnya, sambil berlutut di tempat tidur. Rasanya seperti ada yang menuangkan seember air es ke kepalaku. Suamiku selingkuh, tapi yang lebih parah selingkuhannya adalah adikku sendiri, Bella.Aku lanjutkan video itu, menyaksikan dan mendengarkan mereka bercinta, rasa jijikku terus muncul berkali-kali. Setiap aku m
Angin malam yang lembut menerpa rambutku saat aku berdiri di luar dengan koper di sampingku. Aku akhirnya keluar dari rumah itu. Tidak jauh di depan, aku melihat sorotan lampu mobil mengarah padaku. Senyum samar terukir di bibirku karena aku langsung mengenali siapa itu.Mobil sport merah mencolok berhenti tepat di depanku, dan seorang wanita yang tak kalah mencolok duduk di kursi pengemudi, melambai sambil menurunkan jendela. Itu Grace.Grace bukan hanya sahabatku, tapi juga rekan bisnisku. Kami sudah tak terpisahkan sejak kuliah. Karena kami sama-sama punya ketertarikan di dunia fashion, kami memutuskan untuk mewujudkan mimpi kami dengan mendirikan Luxe Vogue, sebuah situs belanja online yang secara cepat digemari anak-anak muda. Grace memiliki mata tajam dalam desain, jadi dia bertanggung jawab atas koleksi busana, sementara aku berfokus pada perhiasan di studio kami, Atelier, yang melayani klien elit. Keahlian bisnis dan visi kreatif kami membawa kami ke jajaran para miliarder.Ket
SUDUT PANDANG MARK Aku masuk ke area parkir, kelelahan. Satu hari yang panjang antara pekerjaan dan sedikit kenikmatan membuatku capek sekali, dan yang kuinginkan hanyalah bersantai dan beristirahat. Aku keluar dari mobil dan melonggarkan dasiku, ingin segera masuk ke dalam dan akhirnya bisa bersantai. Saat aku masuk ke dalam rumah, aku melihat Sydney duduk di sana, menatapku dengan tatapan kosongnya. Aku nyaris tak memandangnya, langsung menuju ruang kerja.“Aku mau cerai,” kata Sydney sebelum aku sampai ke ruanganku.Cerai? Konyol adalah kata pertama yang muncul di benakku, dan konyol memang. Bisnis keluarga orangtua Sydney telah diserahkan ke GT Group, yang kumiliki. Ini adalah kontrak yang menguntungkan kedua belah pihak dalam segala hal. Sydney hanyalah seorang wanita yang kunikahi, yang bergantung pada orang tuanya dan padaku untuk bertahan hidup.Cerai, ya? Ini jelas cara baru untuk menarik perhatian, seperti yang sering ia lakukan. Dulu ia akan menunjukkan sikap menyedihkan ya
SUDUT PANDANG SYDNEYBegitu aku kembali ke bandara, aku sudah bisa melihat Grace melambaikan tangan dengan semangat dari kejauhan. Senyum lebar mengembang di bibirku seiring aku semakin dekat padanya. Tiga bulan ini benar-benar menjadi momen paling bahagia dalam hidupku setelah sekian lama terbelenggu.Aku mempercepat langkahku, menarik koper di belakangku, dan balas melambaikan tangan ke arah Grace. Tapi, di tengah-tengah itu, seseorang yang familiar berjalan cepat hampir menabrakku. Aku refleks berhenti dan menoleh; aku yakin mengenali punggung. Pasti itu Mark. Aku tak mungkin salah.Aku benar. Aku memastikan dengan menoleh lagi; memang itu Mark, dengan langkah cepatnya yang sudah kukenal. Mungkin dia tidak melihatku? Atau… mungkin dia tak mengenaliku lagi? Tiga bulan cukup bagiku untuk menghapus sosok “Nyonya Torres” yang dia kenal dulu. Aku sudah jauh berbeda sekarang, dengan gaya berpakaian dan rambut yang berbeda. Rambutku kini terurai bergelombang indah, wajahku bersinar cerah b
“Aku membuang surat perjanjian sialan itu ke mesin penghancur,” dia mendesis. “Aku sudah membatalkan rapat penting untukmu, aku tak bisa buang-buang waktu lagi.”Dia tidak berubah sedikit pun, masih pria pemarah dan tidak sabaran yang kutinggalkan dulu, pria yang berpikir bahwa dunia berputar di sekitarnya. Kalau dia tidak ingin waktunya terbuang, kenapa dia harus mengikutiku sampai ke sini?Terserah dia mau menghancurkan dokumen itu, membakarnya menjadi abu, atau menyimpannya di suatu tempat, itu bukan urusanku.Aku mundur dari pintu dan menatap wajahnya dengan marah.“Keinginanku untuk menceraikanmu serius dan sungguh-sungguh. Kalau kamu tidak mau cerai secara damai, maka aku akan mengajukan gugatan cerai. Itu hanya akan membuang lebih banyak waktu berhargamu!” Aku menegaskan lagi dengan jelas.Sesaat, pikiranku melayang pada pria yang mungkin masih bersembunyi di suatu tempat di vilaku. Aku juga berdiri di depan pintu dan memastikan agar Mark tidak melihat sesuatu yang seharusn
Sudut pandang Anastasia:Akhirnya, kami tiba di penginapan untuk perjalanan bisnis ini.Dengan tas di tangan masing-masing, semua orang ternganga kagum melihat bangunan di depan kami. Antisipasi yang tumbuh selama perjalanan tampak memuncak saat kami melihat pemandangan tersebut.Di atas sebuah papan kayu yang dipaku di bagian atas bangunan, terdapat tulisan "Resor Kayupinus" yang terbuat dari potongan kayu kecil dan dihiasi dengan lampu-lampu kecil yang menyala. Kerajinan tangan itu sangat mengesankan, memberikan suasana yang unik tetapi profesional pada tempat tersebut."Rasanya seperti baru saja menginjakkan kaki di negeri dongeng," bisik Rachel saat berhenti di sampingku. Dia tampak sangat kagum, matanya bersinar saat lampu-lampu memantul di sana.Meskipun ada lubang besar di hatiku yang hanya bisa diisi dengan memeluk Amie, aku juga sedikit terpesona.Gubuk-gubuk kecil yang terhubung itu dikelilingi, hampir tertelan, oleh pohon-pohon pinus yang tinggi dan pepohonan hijau yang rimb
Aku tertawa mendengar suara tawa riang Anastasia lagi."Tanganku ada di sini, jadi aku nggak lupa membawanya," ucap Ana, masih dengan tawanya."Syukurlah.""Tapi sejujurnya, aku nggak bakal tahu kalau aku lupa sesuatu sampai aku buka koper.""Ya Tuhan." Aku mengusap dahiku. "Kuharap kamu nggak terdampar. Kalian sekarang di mana?"Ana mendengung sebentar. "Aku nggak tahu. Kami masih di bus.""Kuharap perjalananmu menyenangkan, Sayang.""Terima kasih.""Dan Amie, ya ampun! Aku kangen sekali. Bagaimana kabarnya? Bagaimana dia menghadapi kepergianmu?" tanyaku antusias."Dia baik-baik saja dan kurasa dia menerima kepergian ini dengan cukup baik. Kupikir akan ada lebih banyak drama, jadi aku sudah siap untuk meyakinkannya, tapi dia malah mengejutkanku. Tapi …." Suara Ana mulai meredup. "Amie benar-benar kesulitan dengan tinggal di rumah sakit. Dia terus bilang ingin pulang."Aku menghela napas. "Kasihan sekali. Aku paham. Rumah sakit nggak seperti taman atau toko es krim. Lama-lama di sana m
Sudut pandang Clara:Aku melemparkan senyuman pada nenek tua yang tersenyum padaku saat tatapan kami bertemu. Sambil berjalan keluar dari bandara, aku merogoh tas untuk mengambil ponselku yang berdering. Wajahku langsung cerah saat melihat nama peneleponnya."Halo, bestie," sapaku ceria sambil menempelkan ponsel ke telinga."Halo." Suara Ana terdengar di ujung sana. "Aku lihat pesanmu soal toko itu.""Oh, itu." Bibirku melengkung kesal. Rasa marah yang tadi sempat kutahan perlahan muncul lagi."Iya, aku nggak terlalu ngerti sih. Kayaknya kamu ngetiknya buru-buru deh, banyak salahnya.""Bukan ngetik buru-buru, aku ngetiknya sambil kebakar emosi," jawabku blak-blakan."Oh?""Aku harus meluapkannya biar nggak teriak di tengah jalan atau narik rambut cewek itu sambil kasih ceramah ke manajernya!"Ana terkekeh kecil. "Santai, dong. Aku masih belum ngerti ceritanya."Aku memindahkan ponsel dari telinga kanan ke kiri sambil menggeser tas ke bahu satunya."Jadi gini ceritanya. Aku ke toko lang
Aku melingkarkan tanganku erat-erat di sekeliling tubuhnya, lalu berbisik penuh rahasia, "Iya, Mama janji. Para suster ini nggak tahu rencana rahasiaku buat bawa kamu kabur."Tawanya kembali memenuhi telingaku dan dia menarik diri sambil mengedipkan mata nakal. Aku mengecup keningnya sekali lagi, seolah-olah untuk menyegel janji kami. "Sekarang lanjut gambar kita yang banyak, ya."Dia mengangguk cepat, lalu mengambil kembali buku sketsanya dan melanjutkan gambarnya. Aku berdiri dan berjalan menghampiri para suster. "Tolong awasi Amie dengan baik. Aku nggak mau dia keluyuran atau terima barang dari orang asing, ya. Aku sudah cukup banyak pikiran dan nggak mau nambah beban lagi.""Kami benar-benar minta maaf soal itu, Bu. Amie anak yang penuh energi dan punya cara manisnya sendiri. Kami juga nggak tahu gimana dia bisa mengelabui suster, tapi kami akan perhatikan semua yang Ibu sampaikan. Dia akan aman di sini," jawab salah satu suster dengan tulus."Bagus, terima kasih." Pandanganku bera
Sudut pandang Anastasia:Aku duduk di samping ranjang rumah sakit Amie, mengamati saat pensilnya bergerak lincah di atas buku sketsa. Alisnya berkerut penuh konsentrasi dan matanya bersinar-sinar penuh kreativitas."Mama tebak, itu kita ya?" tanyaku sambil menunjuk gambar dua karikatur yang mirip denganku dan Amie, minus kaki yang semuanya mengarah ke satu sisi."Iya, Mama. Itu kita yang lagi bikin kue enak di dapur. Aku sebentar lagi mau gambar Tante Clara soalnya dia suka kue buatan Mama juga," jawabnya tanpa mengalihkan perhatian dari sketsanya."Terus Dennis?" tanyaku lagi.Dia berhenti sejenak, pensilnya berhenti di atas buku sketsa sebelum akhirnya dia mengangkat bahu dan kembali menggambar. "Aku tambahin dia juga. Setelah Tante Clara. Mama, aku pengen cepat pulang. Di sini sepi dan bau obat banget."Rasanya sedikit sedih karena aku tahu sebentar lagi aku harus meninggalkannya. Aku belum pernah berpisah dengannya selama satu hari penuh. Sekarang aku akan berpisah dengannya selama
Aku mulai terbuka padanya. "Hanya saja ... teman-temanku belakangan ini sangat membantu, terutama Clara. Tapi, sekarang dia sedang di luar negeri dan aku tahu Dennis juga sudah banyak membantu, tapi aku nggak mau terus-terusan merepotkannya.""Rasanya seperti aku selalu berutang budi pada orang lain. Jadi ... rasanya sulit mengatur semuanya sekarang. Setiap hari aku selalu berusaha menyeimbangkan antara pekerjaan dan kebutuhan Amie."Remi mengangguk, suaranya penuh dengan empati. Dia meraih tanganku dengan penuh pengertian."Aku paham kalau keluarga adalah alasan yang sah untuk nggak ikut dan aku nggak akan memaksamu."Dia sedikit condong ke depan dan menatapku lekat-lekat. "Tapi, aku mau jujur. Aku secara pribadi merekomendasikan namamu untuk masuk daftar peserta. Sekarang aku tahu sepertinya kamu memang nggak bisa ikut.""Aku nggak nyangka," ucapku pelan di balik rasa terkejut karena perhatian yang dia tunjukkan, mataku membelalak. "Terima kasih, Remi. Itu berarti banyak bagiku. Aku
Sudut pandang Anastasia:Aku memindai memo di layar komputerku, kata-kata "Retret Perusahaan" dan "Pembangunan Tim" langsung mencuri perhatian. Suasana kantor dipenuhi kegembiraan, rekan-rekanku mengobrol dengan antusias tentang acara liburan yang akan datang."Kamu percaya nggak sih? Seminggu penuh di Hawhi!" seru seorang wanita berambut pirang, berdiri di dekatku."Iya, 'kan? Aku bahkan sudah mulai membayangkan semua pakaian liburan yang bakal kuperlukan," sahut seorang pria dari seberang ruangan.Kegembiraan mereka yang begitu mencolok tidak berhasil menembus suasana hatiku yang suram. Hawhi? Aku memaksakan senyuman, berusaha menyembunyikan kekecewaanku. Aku tahu aku tidak akan bisa ikut karena kondisi kesehatan Amie.Ini bukan masalah yang bisa diperdebatkan, apalagi kalau menyangkut nyawa putriku. Aku akan selalu mengutamakan kepentingannya.Jari-jariku menari di atas papan ketik, mengetik pesan untuk menolak tawaran retret itu.[ Maaf, aku tidak bisa menghadiri retret perusahaan
Selama waktu itu juga, aku memutuskan untuk kembali ke kota. Sharon sempat memprotes, bahkan memohon agar aku tetap tinggal karena dia tidak bisa meninggalkan bisnis. Namun, aku tidak bisa. Aku butuh ruang dan waktu untuk benar-benar berpikir.Namun, sebanyak apa pun waktu yang kuhabiskan untuk mempersiapkan diri atau keputusan apa pun yang kuambil, pernikahan itu tetap harus dilangsungkan. Karena sifat pernikahan yang sudah diatur ini dan dokumen yang kutandatangani dengan sadar, pernikahan itu tidak bisa dihindari.Dulu kupikir semua itu baik-baik saja. Namun, saat aku bertemu Anastasia lagi, pikiranku semakin kacau. Saat itulah aku sadar bahwa aku tidak akan pernah siap untuk pernikahan ini, apalagi untuk kembali ke hubungan yang sedang kubangun dengan Sharon.Jadi, aku melakukan satu-satunya hal yang bisa kulakukan, yaitu menghindari Sharon dan pernikahan yang semakin dekat ini dengan segala cara yang kubisa.Sekarang, Sharon yang duduk di seberang meja, menatapku tajam dari balik
Sudut pandang Aiden:Ibuku, entah tidak menyadari senyumanku yang membeku atau memang tidak peduli, melangkah ke samping, memberi ruang bagi Sharon untuk menerima pelukan yang seharusnya untuknya.Dengan senyum lebar, Sharon melingkarkan lengannya di tubuhku. "Astaga! Aku sangat merindukanmu," ucapnya sambil menyandarkan wajahnya ke dadaku."Hmm," gumamku saat dia melepaskan pelukannya, lalu menaruh tangannya di dadaku sebelum berjinjit untuk mengecup pipiku.Entah kenapa, aku ingin menghapus bekas kecupannya dari pipiku dengan jaketku. Namun, aku menahan diri dan memberikan kecupan singkat di pipinya. Sejujurnya, aku bahkan ragu apakah bibirku benar-benar menyentuh kulitnya.Aku tetap berdiri di tempat sementara Sharon duduk dan ibuku mengambil tempat di sampingnya.Alih-alih ikut duduk, aku hanya berdiri dan memasukkan tangan ke saku. "Bu, gimana kabarmu?" tanyaku.Setidaknya, dia akan menjawab ini, mengingat dia baru saja memberikan pelukannya ke orang lain."Aku baik-baik saja, Say