"Aku tahu kamu bisa mencari mereka," desaknya. "Tapi, jangan ragu untuk mencariku kalau kamu butuh bantuan ...." Ada jeda singkat sebelum dia menambahkan, "Atau mau aku membantumu."Entah kenapa, aku merasa terdorong untuk menoleh padanya, dan aku melakukannya. Jantungku langsung serasa tersangkut di tenggorokan. Meski cahaya remang-remang, kelembutan di matanya terlihat begitu jelas, intens.Apa maksudnya "mencariku?" pikirku sambil cepat-cepat mengalihkan pandangan. Apa ada makna tersembunyi di balik kata-katanya?Aku menelan ludah saat pikiran lain muncul di kepalaku. Ya, ini pasti karena situasi kami sekarang. Kalau tidak, aku tidak akan berpikir kalau "mencariku" bisa berarti dia minta aku kembali padanya.Aku menggeleng pelan, menutup mata untuk mengusir semua pikiran konyol yang bermunculan. Dia cuma bersikap baik sebagai atasan. Mungkin dia masih merasa bersalah soal caranya mengambil alih perusahaan dulu.Saat aku masih memikirkannya dan kata-katanya mulai masuk akal, tiba-tib
Sudut pandang Aiden:Dengan sedikit rasa senang dan juga kehilangan, aku memperhatikan Ana berlari keluar begitu pintu lift terbuka. Dia melesat melewati para pria yang tampak bingung dan naik tangga, suara langkah kakinya bergema di lorong tangga. Kami semua menatap sampai dia menghilang dari pandangan.Seandainya aku tahu dia akan kabur seperti itu, aku pasti sudah menghentikannya. Namun, aku tidak menyangka dia akan melakukannya. Saat aku mencoba menggenggam tangannya, dia sudah terlepas dari jangkauanku.Tanganku tetap mengepal, berusaha keras mempertahankan sensasi sentuhan terakhirnya. Hangatnya kulitnya, lembutnya tangannya.Semua itu sekarang terasa seperti mimpi singkat. Bahkan, kalau saja para pria ini tidak ada di sini, menatapku seperti melihat rusa yang tersorot lampu mobil, aku mungkin sudah menutup mata dan menghirup aromanya, mencoba mengingat setiap detail pertemuan singkat kami.Aku melangkah keluar dari lift dan berhenti di depan para pria itu, pikiranku masih terpus
Aku menerima kiriman video porno.“Kamu suka ini?”Laki-laki dalam video itu adalah suamiku, Mark, kami sudah cukup lama tak bertemu. Dia telanjang, terlihat baju dan celananya berserakan di lantai, sedang menghentakkan tubuhnya dengan kuat pada seorang wanita yang wajahnya tidak bisa kulihat, dengan payudara besar bulat yang bergoyang-goyang. Aku bisa mendengar dengan jelas suara hentakan di video, bercampur dengan desahan dan erangan penuh nafsu.“Ya, ya, lebih keras, sayang,” wanita itu berteriak dengan penuh gairah.“Kamu nakal!” Mark berdiri dan membalik tubuhnya, menampar pantatnya sambil berkata, “Ayo angkat pantatmu!”Wanita itu tertawa lirih, berbalik, menggerakkan pantatnya, sambil berlutut di tempat tidur. Rasanya seperti ada yang menuangkan seember air es ke kepalaku. Suamiku selingkuh, tapi yang lebih parah selingkuhannya adalah adikku sendiri, Bella.Aku lanjutkan video itu, menyaksikan dan mendengarkan mereka bercinta, rasa jijikku terus muncul berkali-kali. Setiap aku m
Angin malam yang lembut menerpa rambutku saat aku berdiri di luar dengan koper di sampingku. Aku akhirnya keluar dari rumah itu. Tidak jauh di depan, aku melihat sorotan lampu mobil mengarah padaku. Senyum samar terukir di bibirku karena aku langsung mengenali siapa itu.Mobil sport merah mencolok berhenti tepat di depanku, dan seorang wanita yang tak kalah mencolok duduk di kursi pengemudi, melambai sambil menurunkan jendela. Itu Grace.Grace bukan hanya sahabatku, tapi juga rekan bisnisku. Kami sudah tak terpisahkan sejak kuliah. Karena kami sama-sama punya ketertarikan di dunia fashion, kami memutuskan untuk mewujudkan mimpi kami dengan mendirikan Luxe Vogue, sebuah situs belanja online yang secara cepat digemari anak-anak muda. Grace memiliki mata tajam dalam desain, jadi dia bertanggung jawab atas koleksi busana, sementara aku berfokus pada perhiasan di studio kami, Atelier, yang melayani klien elit. Keahlian bisnis dan visi kreatif kami membawa kami ke jajaran para miliarder.Ket
SUDUT PANDANG MARK Aku masuk ke area parkir, kelelahan. Satu hari yang panjang antara pekerjaan dan sedikit kenikmatan membuatku capek sekali, dan yang kuinginkan hanyalah bersantai dan beristirahat. Aku keluar dari mobil dan melonggarkan dasiku, ingin segera masuk ke dalam dan akhirnya bisa bersantai. Saat aku masuk ke dalam rumah, aku melihat Sydney duduk di sana, menatapku dengan tatapan kosongnya. Aku nyaris tak memandangnya, langsung menuju ruang kerja.“Aku mau cerai,” kata Sydney sebelum aku sampai ke ruanganku.Cerai? Konyol adalah kata pertama yang muncul di benakku, dan konyol memang. Bisnis keluarga orangtua Sydney telah diserahkan ke GT Group, yang kumiliki. Ini adalah kontrak yang menguntungkan kedua belah pihak dalam segala hal. Sydney hanyalah seorang wanita yang kunikahi, yang bergantung pada orang tuanya dan padaku untuk bertahan hidup.Cerai, ya? Ini jelas cara baru untuk menarik perhatian, seperti yang sering ia lakukan. Dulu ia akan menunjukkan sikap menyedihkan ya
SUDUT PANDANG SYDNEYBegitu aku kembali ke bandara, aku sudah bisa melihat Grace melambaikan tangan dengan semangat dari kejauhan. Senyum lebar mengembang di bibirku seiring aku semakin dekat padanya. Tiga bulan ini benar-benar menjadi momen paling bahagia dalam hidupku setelah sekian lama terbelenggu.Aku mempercepat langkahku, menarik koper di belakangku, dan balas melambaikan tangan ke arah Grace. Tapi, di tengah-tengah itu, seseorang yang familiar berjalan cepat hampir menabrakku. Aku refleks berhenti dan menoleh; aku yakin mengenali punggung. Pasti itu Mark. Aku tak mungkin salah.Aku benar. Aku memastikan dengan menoleh lagi; memang itu Mark, dengan langkah cepatnya yang sudah kukenal. Mungkin dia tidak melihatku? Atau… mungkin dia tak mengenaliku lagi? Tiga bulan cukup bagiku untuk menghapus sosok “Nyonya Torres” yang dia kenal dulu. Aku sudah jauh berbeda sekarang, dengan gaya berpakaian dan rambut yang berbeda. Rambutku kini terurai bergelombang indah, wajahku bersinar cerah b
“Aku membuang surat perjanjian sialan itu ke mesin penghancur,” dia mendesis. “Aku sudah membatalkan rapat penting untukmu, aku tak bisa buang-buang waktu lagi.”Dia tidak berubah sedikit pun, masih pria pemarah dan tidak sabaran yang kutinggalkan dulu, pria yang berpikir bahwa dunia berputar di sekitarnya. Kalau dia tidak ingin waktunya terbuang, kenapa dia harus mengikutiku sampai ke sini?Terserah dia mau menghancurkan dokumen itu, membakarnya menjadi abu, atau menyimpannya di suatu tempat, itu bukan urusanku.Aku mundur dari pintu dan menatap wajahnya dengan marah.“Keinginanku untuk menceraikanmu serius dan sungguh-sungguh. Kalau kamu tidak mau cerai secara damai, maka aku akan mengajukan gugatan cerai. Itu hanya akan membuang lebih banyak waktu berhargamu!” Aku menegaskan lagi dengan jelas.Sesaat, pikiranku melayang pada pria yang mungkin masih bersembunyi di suatu tempat di vilaku. Aku juga berdiri di depan pintu dan memastikan agar Mark tidak melihat sesuatu yang seharusn
SUDUT PANDANG MARKAku mengerang saat berbalik di tempat tidur. Kepala terasa berdenyut pelan, dan dengan susah payah aku bangkit. Mataku menyapu sekeliling kamar, bertanya-tanya kenapa aku bisa di rumah. Harusnya aku berada di kantor.Aku meletakkan kepalaku di tangan, mencoba mengingat. Dan seketika, ingatan itu menghantamku.Asistenku berhasil menemukan keberadaan Sydney, dan aku langsung meninggalkan semua pekerjaan untuk menyadari bahwa usahanya mencari perhatian tidak berhasil. Aku ingat, aku berhasil memaksanya ikut denganku, lalu… segalanya menjadi hitam.“Si nenek sihir itu! Berani-beraninya dia memukulku?” geramku, bangkit dari tempat tidur dan menatap obat-obatan yang ada di atas laci.Apa yang sebenarnya terjadi dengannya? Apa tujuannya dengan semua ini? Aku membuka setiap pintu kamar dengan kasar, suara pintu yang membentur tembok memenuhi rumah. “Di mana dia?!” bentakku.Para pegawai di rumah hanya terdiam, beberapa dari mereka kaget tiap kali pintu kubanting. Suda
Sudut pandang Aiden:Dengan sedikit rasa senang dan juga kehilangan, aku memperhatikan Ana berlari keluar begitu pintu lift terbuka. Dia melesat melewati para pria yang tampak bingung dan naik tangga, suara langkah kakinya bergema di lorong tangga. Kami semua menatap sampai dia menghilang dari pandangan.Seandainya aku tahu dia akan kabur seperti itu, aku pasti sudah menghentikannya. Namun, aku tidak menyangka dia akan melakukannya. Saat aku mencoba menggenggam tangannya, dia sudah terlepas dari jangkauanku.Tanganku tetap mengepal, berusaha keras mempertahankan sensasi sentuhan terakhirnya. Hangatnya kulitnya, lembutnya tangannya.Semua itu sekarang terasa seperti mimpi singkat. Bahkan, kalau saja para pria ini tidak ada di sini, menatapku seperti melihat rusa yang tersorot lampu mobil, aku mungkin sudah menutup mata dan menghirup aromanya, mencoba mengingat setiap detail pertemuan singkat kami.Aku melangkah keluar dari lift dan berhenti di depan para pria itu, pikiranku masih terpus
"Aku tahu kamu bisa mencari mereka," desaknya. "Tapi, jangan ragu untuk mencariku kalau kamu butuh bantuan ...." Ada jeda singkat sebelum dia menambahkan, "Atau mau aku membantumu."Entah kenapa, aku merasa terdorong untuk menoleh padanya, dan aku melakukannya. Jantungku langsung serasa tersangkut di tenggorokan. Meski cahaya remang-remang, kelembutan di matanya terlihat begitu jelas, intens.Apa maksudnya "mencariku?" pikirku sambil cepat-cepat mengalihkan pandangan. Apa ada makna tersembunyi di balik kata-katanya?Aku menelan ludah saat pikiran lain muncul di kepalaku. Ya, ini pasti karena situasi kami sekarang. Kalau tidak, aku tidak akan berpikir kalau "mencariku" bisa berarti dia minta aku kembali padanya.Aku menggeleng pelan, menutup mata untuk mengusir semua pikiran konyol yang bermunculan. Dia cuma bersikap baik sebagai atasan. Mungkin dia masih merasa bersalah soal caranya mengambil alih perusahaan dulu.Saat aku masih memikirkannya dan kata-katanya mulai masuk akal, tiba-tib
Sudut pandang Anastasia:Tidak.Bibirku bergetar saat aku melangkah mundur dengan pelan dan gemetar sampai punggungku menyentuh dinding lift. Dingin logam di punggungku membuat tubuhku merinding, memperkuat rasa gelisah yang semakin tumbuh.Beberapa saat aku hanya menatap kosong ke depan, menatap ke depan tanpa benar-benar melihat apa pun. Kegelapan seolah menekan dari segala arah, mengancam untuk mencekikku. Dadaku mulai sesak, tetapi aku ingat pelatihan tentang cara menghadapi serangan panik dan klaustrofobia. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.Pertama, nyalakan cahaya.Aku buru-buru merogoh tas untuk mengambil ponsel, jariku meraba-raba dalam kegelapan. Butuh waktu lama dengan pencarian panik sebelum akhirnya kutemukan benda sialan itu. Saat kutemukan, aku hampir menangis karena ponselnya tidak mau menyala. Jantungku berdetak kencang saat aku menekan tombol power berulang kali, berdoa dalam hati agar bisa berfungsi.Aiden memukul pintu lift, suara tiba-tiba itu
"Maaf, aku nggak mengerti maksudmu," koreksiku cepat dengan senyuman kaku lagi."Jumat malam kemarin." Alisnya terangkat. "Keadaan darurat saat kamu di rumah sakit. Gadis kecil itu ... dia kelihatan nggak sehat. Sekarang gimana keadaannya?""Oh," gumamku, agak terkejut. Aku mengalihkan pandangan dari wajahnya. "Umm, ya." Aku berdeham pelan. "Dia, umm, ya ...." Aku menatapnya sambil mengangkat alis, "Anaknya Clara, 'kan? Dia baik-baik saja. Anaknya sudah sehat. Terima kasih."Aku menyelesaikan ocehanku lalu buru-buru menutup mulut. Seandainya saja lift ini bisa langsung mengusirku keluar. Aku bisa merasakan dia masih punya banyak pertanyaan, tetapi caraku mengakhiri percakapan dengan tegas dan menatap lurus ke depan sepertinya cukup efektif untuk menghentikannya.Aku lega karena taktikku berhasil. Hal terakhir yang aku inginkan adalah tahu apa yang ada di pikirannya dan malah jadi cemas tanpa alasan. Aku sudah punya cukup banyak hal untuk dikhawatirkan.Selama aku membuatnya yakin kalau
Sudut pandang Anastasia:Setelah beberapa menit sibuk merapikan barang-barangku di dalam tas, aku menutup mata dan menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri."Nggak apa-apa, dia akan baik-baik saja," gumamku pelan sambil memaksakan senyum."Kamu hanya perlu pergi kerja, bertahan beberapa jam, selesaikan pekerjaan, lalu pulang lagi."Bibirku tertarik ke bawah saat aku memikirkan berapa lama aku harus jauh darinya. Ya Tuhan, aku akan jauh darinya selama berjam-jam! Pikiran itu membuat tanganku sedikit gemetar saat aku menggenggam tali tasku.Bagaimana kalau dia butuh sesuatu dan tidak ada orang di sekitarnya?"Tenang, Ana," kataku cepat-cepat pada diri sendiri. "Perawat ada di sini. Dokter sudah memastikan kalau dia akan dirawat dengan baik. Lagi pula, Clara bilang dia akan mampir. Jadi, dia akan baik-baik saja. Dia punya semua bantuan yang dia butuhkan." Aku mengulang-ulang fakta itu, mencoba melawan rasa cemas yang nyaris membuatku kewalahan.Dengan senyum lebar, aku berbalik me
"Aku nggak bisa bilang, tolong lepaskan aku. Aku nggak akan kembali lagi.""Akan kubayar dua kali lipat dari yang kamu terima."Matanya melebar, mungkin dia sedang menghitung dalam pikirannya. "Dua kali lipat?""Tiga kali lipat." Aku tidak akan terkejut jika bola matanya benar-benar keluar pada saat itu.Kemudian, dia tiba-tiba terlihat seperti akan menangis. "Aku sangat ingin memberitahumu, tapi aku nggak tahu."Aku mengernyit. "Bagaimana kamu dibayar?""Aku dibayar secara langsung, tapi aku nggak tahu siapa orangnya dan …."Aku menggelengkan kepala, membersihkan kebingungan yang disebabkannya. "Tunggu, di mana kamu ketemu orang ini?"Dia ragu sejenak dan berani melirikku. "Apa kamu tetap akan membayarku?""Kalau nggak?""Kalau begitu, aku nggak akan bilang," rengeknya. "Lalu, aku akan menelepon polisi setelah kamu melepaskanku."Andai aku tidak baru saja kehilangan cinta seumur hidupku, aku mungkin sudah menghabiskan beberapa menit untuk mentertawakan kelakuan kekanak-kanakan anak it
Sudut pandang Aiden:Itu sangat jelas, tidak bisa disangkal, bahwa adegan itu sengaja diatur.Aku memeriksa dengan lebih teliti dan melihat hasil pekerjaan amatir yang buruk. Perhatian terhadap detailnya bisa dibilang konyol, bahkan sangat memalukan.Hingga hari ini, aku masih ingat bagaimana lipatan gaun dan pakaian dalam yang tampaknya terlempar asal-asalan itu terlihat sangat disengaja pada pandangan lebih dekat, seolah-olah diatur oleh seseorang yang tidak memiliki konsep tentang kekacauan alami.Sepatu yang tergeletak sembarangan itu bahkan memiliki ukuran yang berbeda dan warna yang mirip, sebuah kesalahan pemula dalam mengatur adegan perselingkuhan.Kemeja-kemeja pria itu bukan milikku, juga bukan ukuran atau gayaku. Kemeja-kemeja itu tergantung lemas, seperti properti dalam sebuah drama yang buruk.Bau menyengat yang sepertinya dimaksudkan sebagai parfum pria itu memenuhi ruangan, menyerang indra penciuman dan baunya sama sekali tidak seperti milikku. Jika parfum itu dimaksudka
"Kita juga boleh memasak sendiri. Hari ini, anggap saja aku kokinya. Kamu pelanggan. Jadi, silakan pilih bahan-bahannya, Nona."Aku tidak bisa menahan tawa yang muncul dari tenggorokanku. "Kamu gila." Namun, aku tetap memilih bahan-bahannya."Daging …," gumamku sambil memilih bahan-bahan. "Banyak-banyak. Sayuran, secukupnya ....""Siap, Nona."Aku tersenyum sambil terus memilih bahan pilihanku. "Sausnya .…" Aku menjelaskan seperti apa saus yang aku inginkan. "Dan bumbu!" seruku sambil memilih bumbu dari pilihan yang tersaji dengan gaya prasmanan."Makanan Anda akan siap dalam sepuluh detik!" kata Dennis sambil memindahkan bahan-bahan ke area memasak di mana dia akan memasaknya di atas pemanggang datar besar. Dia mulai bekerja dan membuat pertunjukan dengan melebih-lebihkan setiap gerakannya untuk membuatku terkesan dan tertawa.Aku terkesiap, mataku terbelalak. "Kupikir masakannya akan siap seketika."Dia tertawa. "Kalau aku bisa mewujudkannya hanya untukmu, aku pasti akan melakukannya
Sudut pandang Anastasia:Kami berdua menoleh dan melihat Amie berdiri di pintu di belakang kami. Tangannya memegang pintu yang sedikit terbuka sementara matanya yang penasaran menatapku, lebar dan penuh tanya.Dennis segera melepaskanku dan fokus kepada Amie. Gerakannya lembut dan alami saat dia mengangkat dan menggendong Amie di pelukannya.Aku memperhatikan Dennis yang berpindah dari menenangkanku menjadi mengalihkan perhatian Amie dalam hitungan detik."Nggak kok," katanya sambil sedikit menggelitik Amie.Tawa kecil keluar dari Amie saat dia menggeliat dalam pelukan Dennis."Hentikan, Om Dennis," kata Amie setengah hati, kata-katanya tercampur dengan tawa lebih lanjut."Nggak, aku nggak mau," jawab Dennis dengan geraman dibuat-buat yang hanya membuat Amie tertawa lebih keras.Setelah beberapa saat, Dennis berhenti dan menunggu tawa Amie mereda perlahan. Koridor rumah sakit seolah menghilang, meninggalkan kami bertiga dalam sebuah gelembung normalitas sementara."Amie?" Suara Dennis