Sudut pandang Sydney:Setelah Bella ... maksudku, Jessica dan aku melakukan sesi kecil untuk merancang rencana balas dendam, setidaknya sesuatu untuk memulai dan melihat bagaimana semuanya akan berjalan, Jessica membawaku ke kamar tamu.Di sana, aku mendapati barang-barangku sudah dipindahkan ke kamar itu. Aku bertanya-tanya bagaimana dia tahu, padahal dia tidak ada di sini saat aku datang. Aku memutuskan untuk bertanya padanya."Saat aku mendengar Tavon bersama seorang wanita, aku langsung bergegas ke sini. Aku segera memerintahkan pengurus rumah untuk memberitahuku kamar mana yang kamu tempati, jadi dia menunjukkan kamar tempat barang-barangmu dipindahkan.""Ketika aku melihat barang-barang wanita dan nggak menemukanmu di sana, aku langsung tahu si Mesum itu pasti sudah membawamu ke kamar itu," katanya tanpa jeda.Aku mengangguk pelan. Itu masuk akal. Setelah Jessica pergi, aku pun mandi. Aku bisa merasakan sakit yang hebat karena memar-memarku ini. Aku bahkan tidak berani menggosokn
Aku mengangkat lenganku dan sedikit memutar punggungku untuk menunjukkan memar-memar yang mulai terasa panas ini, tetapi dia bahkan tidak melihat ke arahku. Matanya menatap kosong ke depan sambil menggertakkan gigi. Tangannya terkulai di sisi tubuhnya, lalu mengepal erat."Jessica lagi. Dia selalu merusak rencanaku!"Aku mengamati Dylan yang tampak kesal dengan Jessica karena selalu merusak rencana atau peluang besar yang mungkin dia miliki dengan Tavon.Dylan tidak terlihat sedang berpura-pura. Meski aku tahu bahwa saat Dylan masih berpura-pura menjadi Lucas dan kami berpacaran, dia belum pernah bertemu Bella. Namun, ada benih keraguan di hatiku, dan sebelum pagi ini, keraguan itu mulai tumbuh menjadi sesuatu yang besar.Aku menekan telapak tanganku ke dadaku dan sejenak menutup mata dengan lega. Syukurlah. Jika dia pernah bertemu Bella sebelumnya, maka kerja samaku dengan Bella akan menjadi bencana.Aku perlahan meletakkan tanganku di bahunya dan senang dia tidak menepisnya."Tapi ad
Sudut pandang Bella:Membunuh Isaac dan meninggalkan tempat di mana aku tumbuh besar, menjauh dari segalanya dan semua orang yang pernah kukenal, seharusnya mengubah hidupku.Kupikir itu akan mudah. Ya, sebenarnya aku tidak sepenuhnya mengira ini akan mudah, tetapi dengan uang dan mobil yang kudapat dari Sydney, aku pikir itu akan membuat segalanya lebih ringan.Saat itu, aku ingat menjadi yang paling bahagia setelah sekian lama. Di satu titik, aku berpikir, 'Mungkin membunuh memang membuat orang lebih bahagia.'Karena aku merasakan kedamaian dan kebahagiaan mutlak ketika melihat Isaac terjatuh di depan penjara hari itu. Aku sudah mempersiapkan diriku untuk membusuk di penjara demi memastikan Isaac tidak akan pernah bisa bernapas atau ada lagi. Kehadirannya adalah luka konstan bagiku.Isaac menghancurkan segalanya ... seluruh hidupku. Jika aku tidak jatuh cinta padanya, aku pasti sudah memiliki kehidupan yang luar biasa dengan Mark sebagai suamiku, atau mungkin dengan seseorang yang le
Sudut pandang Bella:Aku sama sekali tidak tahu bahwa aku sedang menjadi target hingga malam itu mereka menyerangku. Itu terjadi ketika aku sedang berjalan pulang dari toko kelontong kecil, membawa kantong-kantong belanja yang berat di kedua tanganku. Jalanan sepi dan remang-remang, aku merasa sendirian, hingga tiba-tiba mereka muncul, mengelilingiku. Sekelompok pria besar dan mengancam. Sebelum aku sempat berpikir untuk berteriak atau melarikan diri, mereka langsung menyerbuku.Awalnya, aku mengira itu hanya perampokan biasa, tetapi segalanya berubah ketika salah satu dari mereka memukulku hingga pingsan. Saat aku sadar, aku sudah berada di ruangan dingin dan lembap dengan satu bola lampu yang tergantung suram di langit-langit. Detak jantungku memekakkan telingaku saat aku mencoba memahami di mana aku berada.Pintu kayu di depanku berderit terbuka dan sosok besar dengan bayangan mengerikan melangkah masuk. "Akhirnya kamu bangun juga." Suara pria bergema di ruangan itu. "Selamat datan
Tavon memberiku segalanya yang aku inginkan. Yang perlu kulakukan hanyalah memintanya. Seiring waktu, gaya hidup mewah yang dia sediakan menjadi candu dan aku jatuh cinta padanya. Aku memiliki pengawal pribadi. Aku berbelanja dengan boros di butik-butik mewah menggunakan kartu hitam milik Tavon.Kecuali untuk gelar sebagai seorang istri dan cinta, aku sudah memiliki semua yang aku idamkan. Aku merasa sangat baik-baik saja dengan semua yang kumiliki maupun yang tidak kumiliki. Maksudku, aku bahkan tidak peduli dengan hal-hal itu. Aku bahkan tidak yakin aku bisa mencintai siapa pun lagi.Istri? Aku tidak keberatan, tetapi untuk sekarang, aku sangat bahagia. Pada dasarnya, aku sedang menjalani hidup impianku.Sungguh bodoh jika aku sampai memikirkan untuk selingkuh dan mengkhianati kepercayaannya. Tidak ada hal di dunia ini yang akan membuatku merusak kehidupan mewah yang akhirnya berhasil kucapai.Yang kutahu, aku hanya perlu memenuhi hasrat aneh Tavon dan membuatnya kecanduan padaku, sa
Sudut pandang Sydney:Hatiku mencelus melihat Bella menceritakan reaksi Tavon ketika Bella menyarankan agar Tavon melakukan tes DNA.Aku merosot di kursi rotan di teras taman. Teras taman adalah salah satu tempat favoritku di mansion ini. Selain karena letaknya yang terpencil dan sepi, sangat cocok untuk meditasi, tetapi sekarang ini juga menjadi lokasi yang ideal untuk mengadakan pertemuan tanpa takut ada yang menguping. Selain itu, tempat ini juga agak jauh dari mansion.Aku memejamkan mata, suara burung berkicau dan gemeresik dedaunan mengisi telingaku saat aku memikirkan langkah kami selanjutnya. Angin musim semi yang hangat membelai wajahku, tetapi aku tidak menemukan ketenangan di tengah suasana taman yang damai ini. Beban dari masalah kami terlalu berat untuk diabaikan.Tavon sama sekali tidak peduli apakah Dylan benar-benar keponakannya atau bukan. Bahkan, dia marah besar saat Bella mengusulkan tes DNA, hingga Bella mengerti kalau dia lebih baik tidak membicarakannya lagi.Itu
'Mungkin ...,' gumamku dalam hati, tiba-tiba merasa putus asa. Mungkin seharusnya aku pulang saja dan hidup dengan damai bersama keluargaku. Mungkin seharusnya aku melupakan dendam terhadap Dylan sebelum semua masalah ini membuatku terobsesi.Namun, aku sudah terlibat terlalu dalam di keluarga Esposito. Aku tidak akan bisa pergi begitu saja tanpa ketahuan. Dylan pada akhirnya akan sadar kalau aku menghilang dan dia pasti akan mencariku sampai ke ujung dunia.Aku tidak ingin Dylan mengetahui keberadaan Aiden. Aku menolak membiarkan putraku dalam bahaya karena orang gila itu. Tidak, aku sudah melangkah terlalu jauh untuk mundur sekarang. Meskipun godaan untuk kembali ke kehidupanku yang lama sangat berat untuk ditolak.Bahkan jika aku memutuskan untuk pulang dan Dylan mencariku, setidaknya aku yakin Mark tidak akan membiarkan dia atau anak buahnya mendekatiku dan anak-anakku. Mark pasti akan melakukan apa pun untuk melindungi kami ...."Jadi kalian mau nyerah?"Suara asing itu membuatku
Sudut pandang Sydney:Untuk sesaat, keheningan menyelimuti kami saat Bella dan aku mencerna jawaban Scarlet."Menyedihkan, ya ...," gumam Bella hampir serentak saat aku bertanya, "Jadi, menurutmu kita harus ngapain? Gimana kita bisa balas dendam pada Dylan atas semua yang dia lakukan pada kami dan juga kamu?""Yang pertama," ujar Scarlet seraya mendekat sambil mengisap rokok di tangannya. Dia memejamkan mata selama beberapa saat, lalu mengembuskan asap sambil tersenyum. Asapnya membuatku terbatuk sedikit, tetapi aku tidak mengutarakan keberatan.Jika Scarlet akan bergabung dengan kami dalam misi balas dendam ini, seperti halnya dengan Bella, mau tidak mau aku harus menerima segala keunikannya juga.Setelah puas mengembuskan asap rokoknya, Scarlet mengulangi, "Yang pertama, kalau kalian benar-benar mau balas dendam ... maksudku, kalau kalian ingin bertahan hidup supaya bisa balas dendam," ujarnya sambil menatap kami bergantian, lalu mencondongkan tubuh ke depan. Secara refleks, aku juga
Sudut pandang Anastasia:Akhirnya, kami tiba di penginapan untuk perjalanan bisnis ini.Dengan tas di tangan masing-masing, semua orang ternganga kagum melihat bangunan di depan kami. Antisipasi yang tumbuh selama perjalanan tampak memuncak saat kami melihat pemandangan tersebut.Di atas sebuah papan kayu yang dipaku di bagian atas bangunan, terdapat tulisan "Resor Kayupinus" yang terbuat dari potongan kayu kecil dan dihiasi dengan lampu-lampu kecil yang menyala. Kerajinan tangan itu sangat mengesankan, memberikan suasana yang unik tetapi profesional pada tempat tersebut."Rasanya seperti baru saja menginjakkan kaki di negeri dongeng," bisik Rachel saat berhenti di sampingku. Dia tampak sangat kagum, matanya bersinar saat lampu-lampu memantul di sana.Meskipun ada lubang besar di hatiku yang hanya bisa diisi dengan memeluk Amie, aku juga sedikit terpesona.Gubuk-gubuk kecil yang terhubung itu dikelilingi, hampir tertelan, oleh pohon-pohon pinus yang tinggi dan pepohonan hijau yang rimb
Aku tertawa mendengar suara tawa riang Anastasia lagi."Tanganku ada di sini, jadi aku nggak lupa membawanya," ucap Ana, masih dengan tawanya."Syukurlah.""Tapi sejujurnya, aku nggak bakal tahu kalau aku lupa sesuatu sampai aku buka koper.""Ya Tuhan." Aku mengusap dahiku. "Kuharap kamu nggak terdampar. Kalian sekarang di mana?"Ana mendengung sebentar. "Aku nggak tahu. Kami masih di bus.""Kuharap perjalananmu menyenangkan, Sayang.""Terima kasih.""Dan Amie, ya ampun! Aku kangen sekali. Bagaimana kabarnya? Bagaimana dia menghadapi kepergianmu?" tanyaku antusias."Dia baik-baik saja dan kurasa dia menerima kepergian ini dengan cukup baik. Kupikir akan ada lebih banyak drama, jadi aku sudah siap untuk meyakinkannya, tapi dia malah mengejutkanku. Tapi …." Suara Ana mulai meredup. "Amie benar-benar kesulitan dengan tinggal di rumah sakit. Dia terus bilang ingin pulang."Aku menghela napas. "Kasihan sekali. Aku paham. Rumah sakit nggak seperti taman atau toko es krim. Lama-lama di sana m
Sudut pandang Clara:Aku melemparkan senyuman pada nenek tua yang tersenyum padaku saat tatapan kami bertemu. Sambil berjalan keluar dari bandara, aku merogoh tas untuk mengambil ponselku yang berdering. Wajahku langsung cerah saat melihat nama peneleponnya."Halo, bestie," sapaku ceria sambil menempelkan ponsel ke telinga."Halo." Suara Ana terdengar di ujung sana. "Aku lihat pesanmu soal toko itu.""Oh, itu." Bibirku melengkung kesal. Rasa marah yang tadi sempat kutahan perlahan muncul lagi."Iya, aku nggak terlalu ngerti sih. Kayaknya kamu ngetiknya buru-buru deh, banyak salahnya.""Bukan ngetik buru-buru, aku ngetiknya sambil kebakar emosi," jawabku blak-blakan."Oh?""Aku harus meluapkannya biar nggak teriak di tengah jalan atau narik rambut cewek itu sambil kasih ceramah ke manajernya!"Ana terkekeh kecil. "Santai, dong. Aku masih belum ngerti ceritanya."Aku memindahkan ponsel dari telinga kanan ke kiri sambil menggeser tas ke bahu satunya."Jadi gini ceritanya. Aku ke toko lang
Aku melingkarkan tanganku erat-erat di sekeliling tubuhnya, lalu berbisik penuh rahasia, "Iya, Mama janji. Para suster ini nggak tahu rencana rahasiaku buat bawa kamu kabur."Tawanya kembali memenuhi telingaku dan dia menarik diri sambil mengedipkan mata nakal. Aku mengecup keningnya sekali lagi, seolah-olah untuk menyegel janji kami. "Sekarang lanjut gambar kita yang banyak, ya."Dia mengangguk cepat, lalu mengambil kembali buku sketsanya dan melanjutkan gambarnya. Aku berdiri dan berjalan menghampiri para suster. "Tolong awasi Amie dengan baik. Aku nggak mau dia keluyuran atau terima barang dari orang asing, ya. Aku sudah cukup banyak pikiran dan nggak mau nambah beban lagi.""Kami benar-benar minta maaf soal itu, Bu. Amie anak yang penuh energi dan punya cara manisnya sendiri. Kami juga nggak tahu gimana dia bisa mengelabui suster, tapi kami akan perhatikan semua yang Ibu sampaikan. Dia akan aman di sini," jawab salah satu suster dengan tulus."Bagus, terima kasih." Pandanganku bera
Sudut pandang Anastasia:Aku duduk di samping ranjang rumah sakit Amie, mengamati saat pensilnya bergerak lincah di atas buku sketsa. Alisnya berkerut penuh konsentrasi dan matanya bersinar-sinar penuh kreativitas."Mama tebak, itu kita ya?" tanyaku sambil menunjuk gambar dua karikatur yang mirip denganku dan Amie, minus kaki yang semuanya mengarah ke satu sisi."Iya, Mama. Itu kita yang lagi bikin kue enak di dapur. Aku sebentar lagi mau gambar Tante Clara soalnya dia suka kue buatan Mama juga," jawabnya tanpa mengalihkan perhatian dari sketsanya."Terus Dennis?" tanyaku lagi.Dia berhenti sejenak, pensilnya berhenti di atas buku sketsa sebelum akhirnya dia mengangkat bahu dan kembali menggambar. "Aku tambahin dia juga. Setelah Tante Clara. Mama, aku pengen cepat pulang. Di sini sepi dan bau obat banget."Rasanya sedikit sedih karena aku tahu sebentar lagi aku harus meninggalkannya. Aku belum pernah berpisah dengannya selama satu hari penuh. Sekarang aku akan berpisah dengannya selama
Aku mulai terbuka padanya. "Hanya saja ... teman-temanku belakangan ini sangat membantu, terutama Clara. Tapi, sekarang dia sedang di luar negeri dan aku tahu Dennis juga sudah banyak membantu, tapi aku nggak mau terus-terusan merepotkannya.""Rasanya seperti aku selalu berutang budi pada orang lain. Jadi ... rasanya sulit mengatur semuanya sekarang. Setiap hari aku selalu berusaha menyeimbangkan antara pekerjaan dan kebutuhan Amie."Remi mengangguk, suaranya penuh dengan empati. Dia meraih tanganku dengan penuh pengertian."Aku paham kalau keluarga adalah alasan yang sah untuk nggak ikut dan aku nggak akan memaksamu."Dia sedikit condong ke depan dan menatapku lekat-lekat. "Tapi, aku mau jujur. Aku secara pribadi merekomendasikan namamu untuk masuk daftar peserta. Sekarang aku tahu sepertinya kamu memang nggak bisa ikut.""Aku nggak nyangka," ucapku pelan di balik rasa terkejut karena perhatian yang dia tunjukkan, mataku membelalak. "Terima kasih, Remi. Itu berarti banyak bagiku. Aku
Sudut pandang Anastasia:Aku memindai memo di layar komputerku, kata-kata "Retret Perusahaan" dan "Pembangunan Tim" langsung mencuri perhatian. Suasana kantor dipenuhi kegembiraan, rekan-rekanku mengobrol dengan antusias tentang acara liburan yang akan datang."Kamu percaya nggak sih? Seminggu penuh di Hawhi!" seru seorang wanita berambut pirang, berdiri di dekatku."Iya, 'kan? Aku bahkan sudah mulai membayangkan semua pakaian liburan yang bakal kuperlukan," sahut seorang pria dari seberang ruangan.Kegembiraan mereka yang begitu mencolok tidak berhasil menembus suasana hatiku yang suram. Hawhi? Aku memaksakan senyuman, berusaha menyembunyikan kekecewaanku. Aku tahu aku tidak akan bisa ikut karena kondisi kesehatan Amie.Ini bukan masalah yang bisa diperdebatkan, apalagi kalau menyangkut nyawa putriku. Aku akan selalu mengutamakan kepentingannya.Jari-jariku menari di atas papan ketik, mengetik pesan untuk menolak tawaran retret itu.[ Maaf, aku tidak bisa menghadiri retret perusahaan
Selama waktu itu juga, aku memutuskan untuk kembali ke kota. Sharon sempat memprotes, bahkan memohon agar aku tetap tinggal karena dia tidak bisa meninggalkan bisnis. Namun, aku tidak bisa. Aku butuh ruang dan waktu untuk benar-benar berpikir.Namun, sebanyak apa pun waktu yang kuhabiskan untuk mempersiapkan diri atau keputusan apa pun yang kuambil, pernikahan itu tetap harus dilangsungkan. Karena sifat pernikahan yang sudah diatur ini dan dokumen yang kutandatangani dengan sadar, pernikahan itu tidak bisa dihindari.Dulu kupikir semua itu baik-baik saja. Namun, saat aku bertemu Anastasia lagi, pikiranku semakin kacau. Saat itulah aku sadar bahwa aku tidak akan pernah siap untuk pernikahan ini, apalagi untuk kembali ke hubungan yang sedang kubangun dengan Sharon.Jadi, aku melakukan satu-satunya hal yang bisa kulakukan, yaitu menghindari Sharon dan pernikahan yang semakin dekat ini dengan segala cara yang kubisa.Sekarang, Sharon yang duduk di seberang meja, menatapku tajam dari balik
Sudut pandang Aiden:Ibuku, entah tidak menyadari senyumanku yang membeku atau memang tidak peduli, melangkah ke samping, memberi ruang bagi Sharon untuk menerima pelukan yang seharusnya untuknya.Dengan senyum lebar, Sharon melingkarkan lengannya di tubuhku. "Astaga! Aku sangat merindukanmu," ucapnya sambil menyandarkan wajahnya ke dadaku."Hmm," gumamku saat dia melepaskan pelukannya, lalu menaruh tangannya di dadaku sebelum berjinjit untuk mengecup pipiku.Entah kenapa, aku ingin menghapus bekas kecupannya dari pipiku dengan jaketku. Namun, aku menahan diri dan memberikan kecupan singkat di pipinya. Sejujurnya, aku bahkan ragu apakah bibirku benar-benar menyentuh kulitnya.Aku tetap berdiri di tempat sementara Sharon duduk dan ibuku mengambil tempat di sampingnya.Alih-alih ikut duduk, aku hanya berdiri dan memasukkan tangan ke saku. "Bu, gimana kabarmu?" tanyaku.Setidaknya, dia akan menjawab ini, mengingat dia baru saja memberikan pelukannya ke orang lain."Aku baik-baik saja, Say