Kalian tahu hal pertama apa yang aku jumpai saat diri ini menapakkan kaki di Kantor? Ada beberapa karyawati yang menghampiri, bertanya mengenai berakhirnya hubunganku dengan Rhino. Mereka ada yang percaya dan tidak. Bagi mereka yang tidak percaya karena bagaimana mungkin suatu hubungan selesai secepat itu, dan untuk yang percaya mereka berpikir bahwa aku hanya dijadikan pelampiasan. Bahwa sesungguhnya Rhino masih menyimpan rasa pada Luna.Percaya atau tidak, intinya mereka tetap menganggap Rhino red flag. Tidak langsung ke meja kerja, aku mampir ke Toilet yang ada di Lobi. Baru masuk ke dalam salah satu bilik, dapat aku dengar ada langkah kaki."Kasihan ya Bu Elea jadi korban pelampiasan. Kalau terjebak sama masa lalu lebih baik menata hati dulu, baru mencari orang baru. Ini mah hati masih berantakan sudah cari yang baru. Alhasil malah nyakitin," kata seorang perempuan yang tidak aku tahu siapa."Pantas saja mereka gak terlihat bucin. Ya, cuma sesekali Pak Rhino terlihat peduli. Pedul
Sadar-sadar aku sudah berada di sebuah bangunan kosong yang minim cahaya dengan terduduk di kursi, kedua tangan yang diikat ke belakang kursi serta kaki yang diikat juga. Kulihat 5 orang pria berbadan kekar dengan pakaian serba hitam yang berada di sekitarku.Kepalaku pusing. Ini pasti efek obat bius. Sial, bisa-bisanya aku diculik. Bukankah sudah jelas dalang di balik penculikan ini?! Siapa lagi kalau bukan Fahri. Tuh orang tidak ada takut-takutnya. Mengabaikan peringatan yang sudah aku berikan."Yak! Lepasin!" Orang-orang itu hanya menatapku tanpa berniat melepaskan.Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak bisa membiarkan masalah ini sampai kepada Rhino. Rhino bisa dalam bahaya."Asal kalian tahu ya, gak ada gunanya menculik saya! Uang tebusan? Gak akan ada yang memberikan. Nyawa saya? Sekali pun kalian mengambilnya gak akan ada yang merasa kehilangan!"Orang-orang itu masih mengabaikanku. Jika seperti ini bagaimana cara aku kabur? Mulai frustasi. Biasanya lihat di film-film soal penc
Suara tembakan itu menggema, begitu keras dan cepat, membuat semua orang terdiam seketika. Mataku langsung tertuju pada Rhino, yang jatuh ke lantai dengan darah mengalir dari bahunya."Pak Rhino!" Segera aku berjongkok, jantungku berdegup sangat cepat. Rasanya tubuhku terhenti, seolah dunia berhenti berputar sejenak. Ada begitu banyak darah. Tidak. Rhino harus baik-baik saja!Beberapa orang yang ada di ruangan itu langsung bergerak cepat. Faris, kepala keamanan, yang sebelumnya sudah berada di dekat pintu, berlari ke arah Rhino dan segera memberi instruksi. Beberapa tim medis yang bersiaga di luar, berjalan masuk. Langsung melakukan pertolongan pertama. Mencoba mengeluarkan peluru yang berhasil masuk ke dalam punggung belakang Rhino.Ditengah ketegangan yang ada, ada hal yang menenangkanku yaitu tatapan Rhino yang meskipun tampak lemah, masih memberikan senyuman tipis. "Jangan khawatir," bisiknya pelan, meski jelas ada kelelahan di wajahnya. "Saya baik-baik saja."Aku hanya bisa menat
Kedatangan kami di rumah sakit disambut dengan hiruk-pikuk suasana Ruang Gawat Darurat. Perawat dan Dokter terlihat sibuk berlarian, sementara aku mengikuti langkah cepat Rhino yang tampak lebih gugup dari biasanya."Kamar 302," ujar seorang perawat yang baru saja keluar dari ruang IGD. Rhino tanpa berkata sepatah pun langsung melangkah menuju lift. Aku mengekor di belakang, mencoba meredam rasa cemas yang terus merayap di dada.Begitu kami tiba di lantai 3, pintu kamar itu sudah setengah terbuka. Aku bisa melihat sosok Kakek Hilman terbaring di ranjang Rumah Sakit, dengan selang oksigen terpasang di hidungnya. Wajahnya terlihat lebih pucat dari biasanya, namun masih ada senyum tipis di bibirnya saat melihat kami masuk."Kakek," panggil Rhino pelan, suaranya sedikit bergetar.Kakek Hilman mengangkat tangan dengan lemah, mengisyaratkan agar kami mendekat. Aku duduk di sisi ranjang, sementara Rhino mengambil kursi di sebelahku. "Kalian berdua datang cepat," ujar Kakek, suaranya pelan na
Di kamar Kakek Hilman, hanya ada aku dan Rhino yang duduk di samping ranjangnya. Kami baru saja mendengar kabar dari Dokter tentang kondisi Kakek, dan kata-kata itu masih terngiang jelas di kepalaku."Usia Pak Hilman ... mungkin tinggal dua bulan lagi, jika tidak ada tindakan lebih lanjut. Penyakit degeneratif pada jantungnya sudah terlalu parah"Aku menatap wajah Rhino yang tampak beku sejak Dokter meninggalkan ruangan. Biasanya, Rhino adalah orang yang kuat, yang selalu bisa mengendalikan emosinya. Tapi kali ini, aku bisa melihat sisi lemahnya. Rahangnya mengeras, matanya menatap lurus ke depan, dan tangannya menggenggam kuat ujung brankar."Kakek, kenapa gak bilang kalau sudah separah ini?" suara Rhino terdengar parau, hampir seperti bisikan.Kakek Hilman, meskipun tubuhnya terlihat lemah, tetap tersenyum kecil. "Apa gunanya mengkhawatirkan sesuatu yang gak bisa diubah, Rhino?""Itu bukan alasan!" Rhino bangkit dari kursinya, suaranya sedikit meninggi. "Kakek bisa memberitahu saya
Ruangan terasa begitu sunyi setelah Kakek Hilman mengucapkan permintaannya. Aku bahkan bisa mendengar suara detak jantungku sendiri, yang rasanya berdetak lebih cepat dari biasanya. Rhino menatapku dengan pandangan kosong, seolah masih mencoba mencerna kata-kata Kakek barusan."Kakek serius?" tanya Rhino yang sempat diam beberapa saat, suaranya terdengar pelan namun penuh ketegasan.Kakek Hilman mengangguk pelan, meskipun tubuhnya tampak semakin lemah. "Kakek gak pernah sebercanda itu, Nak.""Tapi, Kek, ini terlalu mendadak," aku mencoba berkata meskipun suaraku bergetar. "Kami ... kami bahkan gak punya hub—""Kalian peduli satu sama lain, bukan?" potong Kakek lembut. "Rhino, Elea, Kakek gak meminta kalian menikah karena paksaan. Kakek meminta ini karena Kakek percaya kalian bisa saling melengkapi."Aku menunduk, tidak tahu harus berkata apa. Sementara Rhino hanya diam, kedua tangannya mengepal di atas lututnya. Tatapannya tidak lagi diarahkan pada Kakek, melainkan pada lantai di depa
Pagi itu, aku tiba di rumah sakit lebih awal dari biasanya. Entah kenapa, ada firasat aneh yang membuatku merasa harus segera berada di dekat Kakek. Mungkin karena aku terlalu memikirkan kondisi Kakek.Namun, langkahku terhenti di depan pintu Kamar Kakek yang berhasil aku buka sedikit. Saat mendengar suara Rhino dari dalam, Aku tahu seharusnya aku tetap masuk, tetapi sesuatu dalam nada bicaranya membuatku memutuskan untuk diam di tempat."Kek, saya sudah memikirkannya," suara Rhino terdengar tenang, namun tegas.Aku menelan ludah, mencoba memahami apa yang sedang dibicarakan."Kakek tahu ini bukan hal kecil, Rhino," balas Kakek, suaranya terdengar lebih lemah dari biasanya. "Tapi Kakek gak mau memaksakan. Kakek hanya ingin kamu bahagia.""Saya tahu, Kek. Dan saya sadar, mungkin selama ini saya terlalu keras kepala. Tapi setelah berpikir panjang ... saya siap."Hatiku mencelos. Aku memegang gagang pintu erat-erat, mencoba memastikan apakah aku tidak salah dengar."Saya siap menikah den
Pagi ini terasa aneh. Aku berangkat ke Kantor seperti biasa, tapi tujuanku bukan menyelesaikan laporan atau menghadiri rapat kerja. Hari ini, aku harus duduk bersama tim yang Rhino bentuk untuk membahas pernikahan kami.Rasanya bahkan sampai sekarang, aku masih tidak percaya hal ini benar-benar terjadi."Bu Eleanor, semuanya sudah kami atur," kata Bu Mira, Manajer acara yang bertanggung jawab atas persiapan pernikahan kami. Senyumnya ramah, tapi entah kenapa aku merasa seperti orang luar di ruangan ini.Aku hanya mengangguk pelan. Di sebelahku, Rhino duduk dengan sikap tenang seperti biasa, seolah semua ini adalah hal wajar yang tidak perlu diributkan."Venue sudah dipilih," lanjut Bu Mira sambil membolak-balik beberapa dokumen. "Kita akan menggunakan Ballroom Hotel tempat Pak Hilman biasa mengadakan acara besar."Aku mengangkat kepala sedikit. "Bagaimana dengan dekorasinya?" tanyaku, mencoba menunjukkan bahwa aku juga peduli."Saya ingin sesuatu yang sederhana tapi tetap elegan, gak
Destinasi pertama kami adalah Coex Aquarium. Aku terpesona melihat berbagai jenis ikan berenang di antara terumbu buatan yang memukau. Tapi momen paling mengesankan adalah ketika kami memasuki terowongan kaca di mana ikan-ikan besar berenang di atas kepala kami."Kamu suka?" tanya Rhino, matanya tertuju ke arahku yang menatap kagum ke atas."Suka banget! Ini seperti dunia lain."Dia mengangguk. "Bagus. Aku ingin kamu punya kenangan indah di sini."Setelah puas menikmati keindahan bawah laut, kami menuju ke destinasi berikutnya, yaitu Lotte World Tower. Dari atas sana, kami bisa melihat pemandangan Seoul yang begitu luas.Rhino tiba-tiba berkata, "Elea, lihat ke sana. Kamu lihat gedung-gedung kecil itu?"Aku mengikuti arah pandangannya. "Iya, kenapa?""Dulu saya pernah berpikir, sebesar apa pun pencapaian saya, saya tetap akan terlihat kecil dari sudut pandang yang lebih tinggi.”Aku menatapnya, tak menyangka dia bisa berkata seperti itu. "Dan sekarang?"Dia menoleh padaku, tersenyum t
Pagi di Seoul terasa berbeda. Udara dingin yang menusuk kulit rasanya beda dengan saat musim hujan di Jakarta. Dari jendela Hotel, aku bisa melihat deretan bangunan tinggi dengan atap yang tertutup salju tipis. Suasana ini sangat asing bagiku, tapi juga memberikan perasaan yang hangat.Aku berdiri di dekat jendela sambil menikmati secangkir teh hangat, membiarkan pandanganku melayang ke hiruk-pikuk kota. Tiba-tiba, suara Rhino memecah keheningan."Sudah siap?" tanyanya sambil berjalan keluar dari Kamar Mandi dengan rambut basah.Aku menoleh dan mengangguk. "Iya. Kita mau ke mana dulu?"Dia mengambil pengering rambut. "Ada beberapa tempat yang sudah saya siapkan. Tapi karena ini liburan, kita santai aja, oke?"Aku tersenyum kecil. Gaya santainya selalu membuatku merasa nyaman....Destinasi pertama kami adalah Bukchon Hanok Village. Tempat itu dipenuhi Rumah-Rumah tradisional Korea yang terlihat sangat cantik dengan salju yang menutupi atapnya. Kami menyusuri jalanan sempit yang diap
"Pak Rhino?" aku memanggil, hampir tak percaya dengan apa yang kulihat.Dia menoleh, menatapku sambil tersenyum canggung. "Pagi. Saya mencoba bikin sandwich untuk kita sarapan."Aku memandangi meja Dapur yang penuh bahan-bahan berserakan. Telur orak-arik, selada, tomat, dan keju tergeletak dengan tidak beraturan. Sandwich yang dia buat terlihat... unik, dengan isi yang hampir berhamburan keluar."Bapak belajar masak?" tanyaku, mencoba menahan tawa.Dia menggaruk tengkuknya dengan ekspresi malu. "Enggak juga, sih. Saya cuma pengin coba. Tadi sempat lihat tutorial, tapi ya, beginilah hasilnya."Aku mengambil salah satu sandwich yang sudah dia susun. "Saya coba ya?"Rhino langsung menatapku penuh cemas. Bagaimana jika sandwich pertama yang dia buat tidak enak?"Silakan. Tapi, kalau gak enak maaf yaa."Aku menggigit sandwich itu perlahan. Rasanya... tidak buruk. Penyajiannya memang berantakan, tapi rasanya cukup lumayan untuk pemula. "Lumayan kok. Tapi mungkin lain kali seladanya jangan t
Setelah pesta resepsi selesai dan para tamu mulai pulang, aku mengikuti Rhino ke Kamar yang telah disiapkan untuk kami. Kamar itu luas dan elegan, dengan dekorasi bernuansa putih dan emas yang menciptakan suasana romantis. Aku merasa gugup, lebih dari yang pernah kurasakan sebelumnya. Ini adalah malam pertama kami sebagai pasangan suami istri, meskipun aku tahu pernikahan ini bukan seperti pernikahan pada umumnya."Kamu bisa mandi duluan kalau mau," katanya sambil menatapku dengan ekspresi tenang.Aku hanya mengangguk dan segera masuk ke Kamar Mandi, mencoba menenangkan diri. Di dalam, aku menatap bayanganku di cermin. "Kamu bisa melewati ini, Elea," bisikku pada diriku sendiri. Setelah mandi dan berganti pakaian, aku keluar dengan mengenakan piyama satin sederhana. Rhino sudah duduk di tepi ranjang, mengenakan kemeja putih yang lengan bajunya digulung. Dia tampak begitu santai, sementara aku merasa canggung."Sudah selesai?" tanyanya, lalu berdiri untuk mengambil giliran mandi. Aku m
Hari pernikahan itu tiba dengan cepat, dan aku merasa seperti terjebak dalam kebingunganku sendiri. Setiap langkah yang kutempuh terasa berat, seolah seluruh dunia sedang menatap dan menunggu keputusanku. Tidak hanya aku, tetapi juga Rhino, yang tampak sangat tenang dan siap, meskipun aku tahu dia pasti merasakan kegelisahan yang sama-meskipun tidak dia tunjukkan.Pagi itu, aku sudah berada di Ruang Ganti, mengenakan gaun pengantin yang begitu mewah dan indah. Aku tidak tahu harus merasa bahagia atau cemas. Ini bukan pernikahan yang aku bayangkan, tetapi lebih sebagai sebuah kewajiban. Meskipun begitu, di dalam hatiku, ada satu pertanyaan besar: apakah ini adalah keputusan yang benar? Apakah aku sudah siap untuk menjalani hidup ini bersama Rhino? Masih saja keraguan itu menghantui diri ini.Aku merasakan ketegangan di setiap inci tubuhku, dan saat aku menatap cermin, aku melihat diriku yang tampaknya bukan diriku sendiri. Wajahku terlihat pucat, dan mataku masih menyimpan keraguan yan
Setelah Rhino pergi untuk menemui Bara, aku memutuskan untuk merapikan tempat tidur. Meski masih pagi, aku merasa tidak bisa kembali tidur. Pikiran-pikiran tentang ancaman yang baru saja terjadi masih memenuhi kepalaku. Tapi entah kenapa, keberadaan Rhino membuatku merasa lebih tenang.Aku membuka pintu menuju Balkon untuk membiarkan udara segar masuk. Cahaya matahari mulai menyusup masuk ke ruangan, memberikan suasana hangat yang sedikit mengusir rasa cemas. Dalam diam, aku memikirkan semua yang telah Rhino lakukan untukku.Beberapa menit kemudian, Rhino kembali ke Kamar. Ekspresinya serius seperti biasanya, tapi ada kelembutan di matanya saat menatapku."Kamu sudah sarapan?" tanyanya.Aku menggeleng pelan. "Belum. Saya gak begitu lapar."Dia mendekat, mengangkat sebelah alis. "Kamu harus makan. Kita nggak tahu apa yang akan terjadi hari ini. Jangan sampai kamu lemas."Rhino benar. Tapi tetap saja, sulit bagiku untuk memikirkan makanan saat kepalaku dipenuhi begitu banyak hal."Baikl
Ketika mobil sudah berada di tempat tujuan, setelah mematikan, aku langsung keluar Mobil. Tanpa rasa takut, melangkah masuk ke dalam Gedung yang gelap. Menggunakan senter handphone untuk menerangi jalan. Dengan pengawal yang datang bersamaku, terus mengikutiku. Saat masih berjalan menaiki tangga, langkahku terhenti melihat beberapa orang yang turun dari lantai atas. Manik mata ini pun terpaku pada salah satu di antara mereka. Rhino!Tanpa bisa kubendung air mata ini, lolos begitu saja. Tidak peduli tatapan orang lain, aku hampiri Rhino dengan langsung memeluknya. Akhirnya aku bisa bernafas lega untuk sekarang. Tidak ada luka serius yang terlihat. Dapat aku rasakan Rhino mengelus lembut belakang kepalaku. Seperti dia mencoba membuatku lebih tenang....Aku masih berada di samping Rhino saat kami akhirnya kembali ke mobil. Meski aku lega dia tidak terluka parah, ada perasaan tidak tenang yang terus menghantui pikiranku. Namun, Rhino tetap tenang sepanjang perjalanan pulang, meskipun a
Sungguh tidak disangka bahwa seorang Rhino menemui Inna hanya untuk bertanya soal apa yang aku suka, seperti jenis bunga, model gaun dan pesta pernikahan dengan tema seperti apa yang aku inginkan. Inna sendiri tidak menyangka bahwa Rhino terlihat bersungguh-sungguh dengan pernikahan itu. Mengingat apa yang pernah aku katakan pada Inna jika pernikahan kami karena Kakek....Malam itu, setelah kepergian Inna, suasana di Rumah terasa lebih sepi dari biasanya. Aku berbaring di ranjang, menatap langit-langit Kamar sambil memikirkan semua yang terjadi belakangan ini. Ancaman, pengawalan ketat, dan sikap Rhino yang semakin melibatkan dirinya dalam hidupku. Rasanya seperti ada benang yang perlahan-lahan mengikatku lebih erat dengan pria itu.Tiba-tiba, ponselku berbunyi. Aku segera meraihnya, berharap itu bukan ancaman lagi. Tapi ternyata pesan dari Rhino.Rhino: "sudah tidur?"Aku mengerutkan kening, lalu mengetik balasan.Aku: "Belum. Ada apa, Pak?"Tidak butuh waktu lama untuk mendapatka
Di tengah malam, aku terbangun karena mendengar suara ketukan pada kaca yang tidak santai. Hatiku langsung berdegup kencang. Sontak aku menoleh ke arah jendela yang sudah tertutup gorden sepenuhnya. Apa di luar sana ada seseorang? Haruskah aku memeriksanya? Tapi, jika terjadi sesuatu padaku itu hanya akan menambah kekhawatiran Rhino. Aku mengambil handphone yang berada di atas nakas."Pak Rhino," bisikku begitu dia mengangkat telepon. "Ada suara aneh di luar Kamar saya!""Jangan keluar, saya akan ke sana," jawabnya tegas.Tidak butuh waktu lama sebelum Rhino muncul di depan pintu Kamar-ku, diikuti oleh dua pengawal. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya, matanya menyapu seluruh ruangan.Aku mengangguk, meski rasa takut masih menguasai diriku. "Tapi saya dengar suara seperti seseorang mengetuk jendela."Rhino berjalan ke arah Balkon dan memeriksa. Dia membuka pintu kaca dan melangkah keluar, sementara aku menunggu dengan cemas.Setelah beberapa saat, dia kembali masuk. "Gak ada apa-apa. Mung