Ketika Luna menghilang bersama Rhino, aku hanya berdiri terpaku di dekat meja makan. Ada sesuatu tentang Luna yang membuat dadaku terasa sesak—entah karena caranya melangkah masuk begitu percaya diri, atau mungkin karena tatapan matanya yang tajam seperti ingin menyampaikan sesuatu padaku.Aku mencoba melanjutkan sarapan, tapi setiap gigitan terasa hambar. Tatapan mataku terus mengarah ke arah pintu tempat mereka menghilang. Penasaran mulai menguasai pikiranku apa yang akan mereka lakukan selepas fakta bahwa kepergian Rhino karena Keponakan Luna yang begitu dekat dengan Rhino. Keponakan Luna yang saat itu di bawa ke Bioskop.Apakah Luna adalah seseorang yang penting bagi Rhino? Dan... kenapa kedatangannya membuatku merasa seolah aku tidak benar-benar memiliki tempat di sini?Belum apa-apa, Luna datang dengan alasan Keponakannya yang sedang sakit ingin sekali bertemu Rhino, rasanya hati sudah sesakit itu. Tidak bisa tenang. Bagaimana jika Luna bisa kembali ke posisinya, El? Akan sehanc
Jaehan melepaskan pelukanku dan tersenyum lembut. "Aku harus pergi sekarang, ada rapat yang gak bisa ditunda. Tapi nanti kita harus bicara lebih banyak, Elea."Aku mengangguk, masih diliputi rasa haru karena melihat kakakku setelah sekian lama. "Tentu, Kak. Hubungi aku nanti, ya?"Jaehan mengusap kepalaku sekali lagi sebelum melangkah pergi. Aku menatapnya hingga menghilang di pintu Restoran. Saat berbalik, aku mendapati Rhino berdiri dengan tatapan tajam, rahangnya terlihat mengeras."Siapa dia?" tanya Rhino lagi setelah sebelumnya sempat aku abaikan, dengan suara rendah, namun terdengar jelas nada tidak sukanya.Aku terdiam sejenak, tidak tahu harus menjawab apa. "Hanya seorang kenalan," jawabku akhirnya, mencoba terdengar santai.Rhino mengangkat alis, matanya menyempit. "Hanya seorang kenalan? Sepertinya kalian cukup dekat untuk hanya 'kenal.'"Aku menunduk, tidak berani menatapnya langsung. Tatapan mata itu begitu tajam dan dingin."Nanti saya ceritakan."Rhino menatapku beberapa
Aku mengangguk pelan. "Ini bagus."Rhino tersenyum tipis, lalu meminta pegawai Toko untuk mengambil ukuran kami. Aku merasa aneh saat dia mengambil tanganku untuk mencoba cincin itu. Sentuhannya lembut, tapi tidak ada kehangatan di sana. Ketika cincin itu melingkar sempurna di jariku, aku merasa seperti sedang mencoba sesuatu yang bukan milikku."Cocok sekali," komentar pegawai toko. "Pasangan yang sangat serasi."Aku hanya tersenyum kecil, sementara Rhino mengangguk tanpa berkata apa-apa. Setelah beberapa saat, kami akhirnya sepakat dengan cincin itu dan menyelesaikan proses pembeliannya.Ketika kami keluar dari toko, Rhino berjalan di sampingku tanpa berkata apa-apa. Aku menggigit bibir, mencoba mencari kata-kata untuk memecah keheningan."Terima kasih, Pak," ujarku akhirnya.Rhino melirikku. "Untuk apa?""Untuk cincinnya."Dia hanya mengangguk, lalu menatap ke depan lagi. "Ini hanya formalitas, Elea. Jangan terlalu dipikirkan."Kata-katanya membuat dadaku terasa sesak, meskipun aku
Aku mengikuti langkah Rhino memasuki Ballroom Hotel tempat kami akan melangsungkan pernikahan. Dekorasi sudah hampir selesai. Lampu gantung kristal besar menggantung megah di tengah langit-langit, memantulkan cahaya ke seluruh ruangan. Meja-meja bundar dengan kain putih dan emas tertata rapi, lengkap dengan bunga-bunga mawar putih dan baby’s breath yang tersemat di tengahnya. Pelaminan di bagian depan tampak elegan dengan latar berwarna krem dan aksen emas, dikelilingi oleh karangan bunga yang hampir menyerupai taman kecil."Bagaimana menurutmu?" tanya Rhino, memecah keheningan.Aku memandang sekeliling ruangan yang tampak seperti diambil langsung dari sebuah cerita dongeng. "Sangat indah."Dia mengangguk pelan, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. "Saya akan pastikan semuanya sempurna pada hari itu."Aku ingin bertanya, untuk siapa dia ingin segalanya sempurna? Untuk keluarganya? Untuk perusahaannya? Atau... untukku? Tapi aku menahan diri."Apakah ada sesuatu yang perlu diperba
Aku menatap Rhino yang masih mondar-mandir. Raut wajahnya penuh ketegangan, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda-seperti rasa takut yang berusaha dia sembunyikan di balik sikap tegasnya."Pak Rhino," panggilku pelan.Dia berhenti melangkah, menatapku dengan mata yang sulit dibaca."Saya nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi saya nggak bisa hidup seperti ini terus-menerus merasa diawasi atau dikejar," lanjutku, berusaha membuat suaraku tetap tenang."Ini bukan soal pilihan, Elea. Ini soal keselamatan kamu," jawabnya tanpa ragu."Tapi saya bukan tahanan, Pak," balasku sedikit lebih keras dari yang aku maksudkan. "Saya nggak mau hidup di bawah pengawasan sepanjang waktu."Rhino mendekat, duduk di kursi di samping tempat tidurku. Dia menghela napas berat sebelum berkata, "Ini bukan hanya tentang kamu. Kalau sesuatu terjadi padamu, semuanya akan berantakan. Pernikahan ini, perusahaan, bahkan Kakek. Kamu nggak mengerti betapa pentingnya peranmu dalam semua ini."Kalimat itu membua
Di tengah malam, aku terbangun karena mendengar suara ketukan pada kaca yang tidak santai. Hatiku langsung berdegup kencang. Sontak aku menoleh ke arah jendela yang sudah tertutup gorden sepenuhnya. Apa di luar sana ada seseorang? Haruskah aku memeriksanya? Tapi, jika terjadi sesuatu padaku itu hanya akan menambah kekhawatiran Rhino. Aku mengambil handphone yang berada di atas nakas."Pak Rhino," bisikku begitu dia mengangkat telepon. "Ada suara aneh di luar Kamar saya!""Jangan keluar, saya akan ke sana," jawabnya tegas.Tidak butuh waktu lama sebelum Rhino muncul di depan pintu Kamar-ku, diikuti oleh dua pengawal. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya, matanya menyapu seluruh ruangan.Aku mengangguk, meski rasa takut masih menguasai diriku. "Tapi saya dengar suara seperti seseorang mengetuk jendela."Rhino berjalan ke arah Balkon dan memeriksa. Dia membuka pintu kaca dan melangkah keluar, sementara aku menunggu dengan cemas.Setelah beberapa saat, dia kembali masuk. "Gak ada apa-apa. Mung
Sungguh tidak disangka bahwa seorang Rhino menemui Inna hanya untuk bertanya soal apa yang aku suka, seperti jenis bunga, model gaun dan pesta pernikahan dengan tema seperti apa yang aku inginkan. Inna sendiri tidak menyangka bahwa Rhino terlihat bersungguh-sungguh dengan pernikahan itu. Mengingat apa yang pernah aku katakan pada Inna jika pernikahan kami karena Kakek....Malam itu, setelah kepergian Inna, suasana di Rumah terasa lebih sepi dari biasanya. Aku berbaring di ranjang, menatap langit-langit Kamar sambil memikirkan semua yang terjadi belakangan ini. Ancaman, pengawalan ketat, dan sikap Rhino yang semakin melibatkan dirinya dalam hidupku. Rasanya seperti ada benang yang perlahan-lahan mengikatku lebih erat dengan pria itu.Tiba-tiba, ponselku berbunyi. Aku segera meraihnya, berharap itu bukan ancaman lagi. Tapi ternyata pesan dari Rhino.Rhino: "sudah tidur?"Aku mengerutkan kening, lalu mengetik balasan.Aku: "Belum. Ada apa, Pak?"Tidak butuh waktu lama untuk mendapatka
Ketika mobil sudah berada di tempat tujuan, setelah mematikan, aku langsung keluar Mobil. Tanpa rasa takut, melangkah masuk ke dalam Gedung yang gelap. Menggunakan senter handphone untuk menerangi jalan. Dengan pengawal yang datang bersamaku, terus mengikutiku. Saat masih berjalan menaiki tangga, langkahku terhenti melihat beberapa orang yang turun dari lantai atas. Manik mata ini pun terpaku pada salah satu di antara mereka. Rhino!Tanpa bisa kubendung air mata ini, lolos begitu saja. Tidak peduli tatapan orang lain, aku hampiri Rhino dengan langsung memeluknya. Akhirnya aku bisa bernafas lega untuk sekarang. Tidak ada luka serius yang terlihat. Dapat aku rasakan Rhino mengelus lembut belakang kepalaku. Seperti dia mencoba membuatku lebih tenang....Aku masih berada di samping Rhino saat kami akhirnya kembali ke mobil. Meski aku lega dia tidak terluka parah, ada perasaan tidak tenang yang terus menghantui pikiranku. Namun, Rhino tetap tenang sepanjang perjalanan pulang, meskipun a
Destinasi pertama kami adalah Coex Aquarium. Aku terpesona melihat berbagai jenis ikan berenang di antara terumbu buatan yang memukau. Tapi momen paling mengesankan adalah ketika kami memasuki terowongan kaca di mana ikan-ikan besar berenang di atas kepala kami."Kamu suka?" tanya Rhino, matanya tertuju ke arahku yang menatap kagum ke atas."Suka banget! Ini seperti dunia lain."Dia mengangguk. "Bagus. Aku ingin kamu punya kenangan indah di sini."Setelah puas menikmati keindahan bawah laut, kami menuju ke destinasi berikutnya, yaitu Lotte World Tower. Dari atas sana, kami bisa melihat pemandangan Seoul yang begitu luas.Rhino tiba-tiba berkata, "Elea, lihat ke sana. Kamu lihat gedung-gedung kecil itu?"Aku mengikuti arah pandangannya. "Iya, kenapa?""Dulu saya pernah berpikir, sebesar apa pun pencapaian saya, saya tetap akan terlihat kecil dari sudut pandang yang lebih tinggi.”Aku menatapnya, tak menyangka dia bisa berkata seperti itu. "Dan sekarang?"Dia menoleh padaku, tersenyum t
Pagi di Seoul terasa berbeda. Udara dingin yang menusuk kulit rasanya beda dengan saat musim hujan di Jakarta. Dari jendela Hotel, aku bisa melihat deretan bangunan tinggi dengan atap yang tertutup salju tipis. Suasana ini sangat asing bagiku, tapi juga memberikan perasaan yang hangat.Aku berdiri di dekat jendela sambil menikmati secangkir teh hangat, membiarkan pandanganku melayang ke hiruk-pikuk kota. Tiba-tiba, suara Rhino memecah keheningan."Sudah siap?" tanyanya sambil berjalan keluar dari Kamar Mandi dengan rambut basah.Aku menoleh dan mengangguk. "Iya. Kita mau ke mana dulu?"Dia mengambil pengering rambut. "Ada beberapa tempat yang sudah saya siapkan. Tapi karena ini liburan, kita santai aja, oke?"Aku tersenyum kecil. Gaya santainya selalu membuatku merasa nyaman....Destinasi pertama kami adalah Bukchon Hanok Village. Tempat itu dipenuhi Rumah-Rumah tradisional Korea yang terlihat sangat cantik dengan salju yang menutupi atapnya. Kami menyusuri jalanan sempit yang diap
"Pak Rhino?" aku memanggil, hampir tak percaya dengan apa yang kulihat.Dia menoleh, menatapku sambil tersenyum canggung. "Pagi. Saya mencoba bikin sandwich untuk kita sarapan."Aku memandangi meja Dapur yang penuh bahan-bahan berserakan. Telur orak-arik, selada, tomat, dan keju tergeletak dengan tidak beraturan. Sandwich yang dia buat terlihat... unik, dengan isi yang hampir berhamburan keluar."Bapak belajar masak?" tanyaku, mencoba menahan tawa.Dia menggaruk tengkuknya dengan ekspresi malu. "Enggak juga, sih. Saya cuma pengin coba. Tadi sempat lihat tutorial, tapi ya, beginilah hasilnya."Aku mengambil salah satu sandwich yang sudah dia susun. "Saya coba ya?"Rhino langsung menatapku penuh cemas. Bagaimana jika sandwich pertama yang dia buat tidak enak?"Silakan. Tapi, kalau gak enak maaf yaa."Aku menggigit sandwich itu perlahan. Rasanya... tidak buruk. Penyajiannya memang berantakan, tapi rasanya cukup lumayan untuk pemula. "Lumayan kok. Tapi mungkin lain kali seladanya jangan t
Setelah pesta resepsi selesai dan para tamu mulai pulang, aku mengikuti Rhino ke Kamar yang telah disiapkan untuk kami. Kamar itu luas dan elegan, dengan dekorasi bernuansa putih dan emas yang menciptakan suasana romantis. Aku merasa gugup, lebih dari yang pernah kurasakan sebelumnya. Ini adalah malam pertama kami sebagai pasangan suami istri, meskipun aku tahu pernikahan ini bukan seperti pernikahan pada umumnya."Kamu bisa mandi duluan kalau mau," katanya sambil menatapku dengan ekspresi tenang.Aku hanya mengangguk dan segera masuk ke Kamar Mandi, mencoba menenangkan diri. Di dalam, aku menatap bayanganku di cermin. "Kamu bisa melewati ini, Elea," bisikku pada diriku sendiri. Setelah mandi dan berganti pakaian, aku keluar dengan mengenakan piyama satin sederhana. Rhino sudah duduk di tepi ranjang, mengenakan kemeja putih yang lengan bajunya digulung. Dia tampak begitu santai, sementara aku merasa canggung."Sudah selesai?" tanyanya, lalu berdiri untuk mengambil giliran mandi. Aku m
Hari pernikahan itu tiba dengan cepat, dan aku merasa seperti terjebak dalam kebingunganku sendiri. Setiap langkah yang kutempuh terasa berat, seolah seluruh dunia sedang menatap dan menunggu keputusanku. Tidak hanya aku, tetapi juga Rhino, yang tampak sangat tenang dan siap, meskipun aku tahu dia pasti merasakan kegelisahan yang sama-meskipun tidak dia tunjukkan.Pagi itu, aku sudah berada di Ruang Ganti, mengenakan gaun pengantin yang begitu mewah dan indah. Aku tidak tahu harus merasa bahagia atau cemas. Ini bukan pernikahan yang aku bayangkan, tetapi lebih sebagai sebuah kewajiban. Meskipun begitu, di dalam hatiku, ada satu pertanyaan besar: apakah ini adalah keputusan yang benar? Apakah aku sudah siap untuk menjalani hidup ini bersama Rhino? Masih saja keraguan itu menghantui diri ini.Aku merasakan ketegangan di setiap inci tubuhku, dan saat aku menatap cermin, aku melihat diriku yang tampaknya bukan diriku sendiri. Wajahku terlihat pucat, dan mataku masih menyimpan keraguan yan
Setelah Rhino pergi untuk menemui Bara, aku memutuskan untuk merapikan tempat tidur. Meski masih pagi, aku merasa tidak bisa kembali tidur. Pikiran-pikiran tentang ancaman yang baru saja terjadi masih memenuhi kepalaku. Tapi entah kenapa, keberadaan Rhino membuatku merasa lebih tenang.Aku membuka pintu menuju Balkon untuk membiarkan udara segar masuk. Cahaya matahari mulai menyusup masuk ke ruangan, memberikan suasana hangat yang sedikit mengusir rasa cemas. Dalam diam, aku memikirkan semua yang telah Rhino lakukan untukku.Beberapa menit kemudian, Rhino kembali ke Kamar. Ekspresinya serius seperti biasanya, tapi ada kelembutan di matanya saat menatapku."Kamu sudah sarapan?" tanyanya.Aku menggeleng pelan. "Belum. Saya gak begitu lapar."Dia mendekat, mengangkat sebelah alis. "Kamu harus makan. Kita nggak tahu apa yang akan terjadi hari ini. Jangan sampai kamu lemas."Rhino benar. Tapi tetap saja, sulit bagiku untuk memikirkan makanan saat kepalaku dipenuhi begitu banyak hal."Baikl
Ketika mobil sudah berada di tempat tujuan, setelah mematikan, aku langsung keluar Mobil. Tanpa rasa takut, melangkah masuk ke dalam Gedung yang gelap. Menggunakan senter handphone untuk menerangi jalan. Dengan pengawal yang datang bersamaku, terus mengikutiku. Saat masih berjalan menaiki tangga, langkahku terhenti melihat beberapa orang yang turun dari lantai atas. Manik mata ini pun terpaku pada salah satu di antara mereka. Rhino!Tanpa bisa kubendung air mata ini, lolos begitu saja. Tidak peduli tatapan orang lain, aku hampiri Rhino dengan langsung memeluknya. Akhirnya aku bisa bernafas lega untuk sekarang. Tidak ada luka serius yang terlihat. Dapat aku rasakan Rhino mengelus lembut belakang kepalaku. Seperti dia mencoba membuatku lebih tenang....Aku masih berada di samping Rhino saat kami akhirnya kembali ke mobil. Meski aku lega dia tidak terluka parah, ada perasaan tidak tenang yang terus menghantui pikiranku. Namun, Rhino tetap tenang sepanjang perjalanan pulang, meskipun a
Sungguh tidak disangka bahwa seorang Rhino menemui Inna hanya untuk bertanya soal apa yang aku suka, seperti jenis bunga, model gaun dan pesta pernikahan dengan tema seperti apa yang aku inginkan. Inna sendiri tidak menyangka bahwa Rhino terlihat bersungguh-sungguh dengan pernikahan itu. Mengingat apa yang pernah aku katakan pada Inna jika pernikahan kami karena Kakek....Malam itu, setelah kepergian Inna, suasana di Rumah terasa lebih sepi dari biasanya. Aku berbaring di ranjang, menatap langit-langit Kamar sambil memikirkan semua yang terjadi belakangan ini. Ancaman, pengawalan ketat, dan sikap Rhino yang semakin melibatkan dirinya dalam hidupku. Rasanya seperti ada benang yang perlahan-lahan mengikatku lebih erat dengan pria itu.Tiba-tiba, ponselku berbunyi. Aku segera meraihnya, berharap itu bukan ancaman lagi. Tapi ternyata pesan dari Rhino.Rhino: "sudah tidur?"Aku mengerutkan kening, lalu mengetik balasan.Aku: "Belum. Ada apa, Pak?"Tidak butuh waktu lama untuk mendapatka
Di tengah malam, aku terbangun karena mendengar suara ketukan pada kaca yang tidak santai. Hatiku langsung berdegup kencang. Sontak aku menoleh ke arah jendela yang sudah tertutup gorden sepenuhnya. Apa di luar sana ada seseorang? Haruskah aku memeriksanya? Tapi, jika terjadi sesuatu padaku itu hanya akan menambah kekhawatiran Rhino. Aku mengambil handphone yang berada di atas nakas."Pak Rhino," bisikku begitu dia mengangkat telepon. "Ada suara aneh di luar Kamar saya!""Jangan keluar, saya akan ke sana," jawabnya tegas.Tidak butuh waktu lama sebelum Rhino muncul di depan pintu Kamar-ku, diikuti oleh dua pengawal. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya, matanya menyapu seluruh ruangan.Aku mengangguk, meski rasa takut masih menguasai diriku. "Tapi saya dengar suara seperti seseorang mengetuk jendela."Rhino berjalan ke arah Balkon dan memeriksa. Dia membuka pintu kaca dan melangkah keluar, sementara aku menunggu dengan cemas.Setelah beberapa saat, dia kembali masuk. "Gak ada apa-apa. Mung