Lena mengerjapkan mata, kepalanya terasa begitu berat. Dia mengamati dirinya sendiri, masih memakai pakaian dan hijab yang sama. Hanya dua yang berbeda, tubuhnya dilapisi selimut tebal sedada dan ada kain basah di keningnya.
Lena mengambil kain itu, rupanya seseorang sengaja menempelkannya agar suhu tubuhnya turun.
Pikiran Lena berkecamuk, begitu marahnya Khair sampai tidak mau menemaninya. Lena berusaha bangun, memaksakan tubuhnya untuk duduk.
Dia memandang sekeliling, mentari yang terlihat samar dari gorden jendela condong ke barat, itu artinya hari sudah sore.
Mungkin karena tubuhnya kurang sehat jadi lebih mudah tertidur, dan sepertinya Khair sengaja tidak membangunkannya.
Ruang kamar tampak senyap dan temaram dengan pintu kamar mandi sedikit terbuka.
Satu kaki Lena turun ke bawah, menyentuh lantai yang seketika terasa dingin. Tangannya meraih bungkusan berwarna biru putih di meja nakas.
Hatinya kembali disisipi perasaan cemas, bu
Dia segera menghampiri Lena untuk membawanya ke tempat tidur. Akan tetapi, matanya tertuju pada test pack di samping Lena. Dia meraih test pack yang juga basah tersebut. Melihat hasilnya, lelaki itu mengembuskan napas lega, lalu mengangkat tubuh Lena dan membiarkan benda itu tergeletak begitu saja.Tak lama kemudian, Khair membaringkan tubuh Lena yang sudah tidak berdaya di ranjang.Khair bergegas mengambil ponsel, dia mondar-mandir dengan satu tangan memegang ponsel sementara yang satunya berada di saku celana sembari menunggu telepon tersebut tersambung dengan nomor tujuan. "Halo, kamu bisa ke sini? Lena tak sadarkan diri," ucapnya pada seorang dokter yang telah lama menjadi sahabatnya.***"Loh, Mas Rehan ada di sini juga?" tanya Aida setelah melihat seseorang yang menjatuhkan benda-benda di sampingnya ternyata Rehan sahabat Khair.Lelaki itu memakai kemeja dan celana panjang serta jam tangan yang senada. Rambutnya di sisir rapi membuatnya terli
"Saya tak ubahnya sebongkah batu yang bersemayam dalam lumpur, tampak hina dan keberadaannya tak dipedulikan."~Lena Anastasya~"Dalam hidup kita tidak pernah benar-benar bisa memahami takdir. Saya ingin mengangkat batu itu lalu membersihkan dan menjadikan dia dihargai layaknya berlian."~Khairul Anam~***Lena membuka mata setelah beberapa saat tak sadarkan diri. Tubuhnya masih terasa lemah, dia menoleh dan memandang lelaki di sebelahnya.Khair duduk bersila di atas sajadah menghadap ke arah kiblat. Dia mengenakan baju koko dan sarung lengkap dengan peci berwarna hitam. Kepala lelaki itu sedikit menunduk dengan mata terpejam, jemarinya menguntai tasbih mutiara berwarna putih terlihat berkilau diterpa cahaya lampu yang menggantung di bawah langit-langit rumah. Bibirnya menggumamkan sesuatu begitu lirih dan khusyuk.Melihat semua itu bola mata Lena serasa panas dan berkaca-kaca. Dia tidak ingin menangis, sudah terlalu banyak air mata y
Setelah mengantar Aida ke rumahnya, Rehan menyusul Fatimah ke apotek. Beruntung taksi yang ditumpangi perempuan itu lewat jalan yang searah dengan rumah Aida. Jadi dia bisa lebih mudah mengikutinya.Apotek itu berada di antara toko besar. Tepat menghadap jalan raya, halamannya yang tidak terlalu luas masih tampak lengang.Matahari sudah tenggelam dengan tenang, digantikan binar cahaya lampu yang menggantung di atas tepi jalan raya. Desir-desir angin yang berembus sepoi-sepoi serasa meraba kulit, seolah membuka kembali rindu-rindu yang menumpuk.Di dadanya kesempatan kembali berdetak seperti ada napas baru untuk dia bisa memulai rasa yang pernah terbengkalai.Rehan duduk di bangku sopir dengan sebelah kaca jendela dia biarkan terbuka guna memantau seseorang yang masih berada di dalam apotek tersebut.Tak lama kemudian, perempuan tinggi semampai membuka pintu apotek yang terbuat dari kaca te
Ya wajar Lena marah karena Khair sempat menuduhnya hamil.""Apa? Hamil? Keterlaluan kamu Lena! Bilang anak siapa yang sekarang ada dalam kandunganmu itu!" Mama Reta menarik tubuh Lena dengan kasar hingga lutut perempuan itu membentur sisi meja rias."Dasar perempuan tak tahu diri! Jawab pertanyaan Mama!" Wajah Mama Reta yang putih berubah memerah. Setelah Lena turun dari tempat tidur, Mama Reta mendorongnya hingga perempuan itu jatuh tersungkur di lantai."Demi Allah, Ma. Saya tidak sedang hamil," jelas Lena yang sudah terisak."Kalau kamu nggak hamil, kenapa suamimu menuduhmu seperti itu?" tanya Mama Reta dengan tubuh sedikit membungkuk dan satu telunjuknya menuding ke arah Lena."Mas Khair hanya sedang salah paham sama saya, Ma.""Sudah, Ma, Lena benar. Kemarin saya hanya salah paham dan tadi Rehan juga sudah memeriksanya. Asam lambung Lena naik oleh sebab itu dia merasa mual." Khair menengahi keributan yang terjadi akibat asumsi dirinya y
Diam-diam Lena mengamati Khair dari ambang pintu kamar mereka. Pria itu berdiri di ruang tamu bersama adiknya. Pakaian gadis itu terlihat basah kuyup, mungkinkah di luar sedang hujan sedangkan tadi cuaca terang-terang saja."Dari mana kamu, Dek? Kenapa jam segini baru pulang? Apa apoteknya pindah tempat?" Khair memberondong adiknya dengan segenap pertanyaan. Meskipun dengan suara pelan, samar-samar Lena masih bisa mendengarnya."Emm ... anu, Mas, itu tadi hujan. Jadi harus berteduh dulu." Gadis itu tampak kebingungan, suaranya terdengar lirih dan gugup.Lena mengerutkan kening, sesama perempuan dia bisa melihat ada sesuatu yang disembunyikan oleh adik iparnya."Kalau kamu pulang saat hujan reda, lalu kenapa bajumu basah semua?" Khair menatap adiknya dengan rasa curiga.Fatimah gelagapan, wajahnya luar biasa pucat."Emmm, tadi-itu ....""Mas ...," paggil Lena dari atas. Dia sengaja memanggil suaminya agar perdebatan mereka berhen
"Inah, tumben rasa masakannya beda?" Mama Reta memasukkan sendok yang sudah terisi nasi dan ayam kecap ke dalam mulutnya.Seperti biasa setiap pagi mereka sarapan bersama. Lena sengaja bangun pagi dan membantu Bi Inah membuat makanan. Syukurlah, kalau keluarga Khair menyukai masakannya.Khair tidak banyak bicara dan menikmati sarapan dengan lahap. Sedangkan Fatimah hanya mengaduk-aduk makanan di piring menggunakan sendok dan garpu dengan wajah tak berselera."Non Lena yang masak, Nya," jawab Bi Inah seraya menuangkan air putih ke dalam gelas."Oh, pantas rasanya biasa aja! Kamu nggak naruh racun di makanan kita kan?" tanya Mama Reta dengan tatapan menyelidik ke arah Lena."Nggak kok, Ma! Aman." Lena mengangkat jari telunjuk dan jempol ke udara membentuk bulatan. Dia tak lagi se-sensitif dulu, mungkin karena sudah terbiasa.Mama Reta hanya melengos kesal menanggapi jawaban menantu yang tak diinginkannya itu."Kenapa nggak dimakan, Dek?
Cinta adalah rasa yang menggelora pada dinding hati, menempel bak pigura foto yang berbingkai rindu dan cemburu juga berhias rasa ragu.Begitulah orang-orang mengartikan rona merah muda pada hidup yang sedang berwarna.Nyatanya hal tersebut belum terjadi pada Melody, takdir sedang tidak berpihak padanya.Perempuan yang tengah duduk di depan meja rias itu masih menatap lamat-lamat dirinya sendiri. Sesekali dia menyusuri bayangan wajahnya di cermin menggunakan jemari."Tidak! Bagaimana jika suamimu dicintai perempuan lain?" gumamnya bermonolog.Patah hati sering membuat orang terkesan tidak waras. Betapa tidak? Mereka suka berbicara sendiri, sering mengejar sesuatu yang jelas sudah menjadi milik orang lain."Jika saat ini kamu masih memiliki rasa padanya Alangkah baiknya segera lepaskan sebelum semuanya terlanjur jauh." Begitulah penuturan bundanya, terdengar bijak sekali.Pertanyaannya, bagaimana cara melepaskan rasa yang masih mengika
"Mau belanja apa dulu, Mbak?" tanya Fatimah saat mereka berdua sampai di salah satu pusat perbelanjaan yang ada di kotanya."Banyak, sih, di rumah keperluan mandi sudah habis. Shampo, sabun sama sayuran juga sudah nggak ada di kulkas," jawab Lena."Mau belanja baju atau celana nggak, Mbak? Sepertinya ada diskon di sana," ujar Fatimah seraya menunjuk barisan pakaian yang sebagian digantung dan yang lainnya dalam keranjang dengan papan bertuliskan diskon 10%."Kamu aja yang belanja, ya. Mbak tunggu di sini." Lena menghempaskan diri di sofa yang berada tak jauh dari Fatimah belanja.Dia membiarkan adik iparnya mondar-mandir sendirian. Sebenarnya Lena juga tidak tega, tapi mau bagaimana lagi kakinya masih terasa lemas kalau berjalan jauh dan Khair malah membuat rencana tanpa sepengetahuannya.Tigapuluh menit kemudian, Fatimah menghampiri Lena dengan belanjaan dalam kantong plastik juga paperbag yang memenuhi kedua tangannya."Pesan minum y
Khair yang sedang berpelukan dengan istri pertamanya sontak segera melepaskan tautan mereka. Khair berjalan menghampiri Melody dan diikuti Lena di belakangnya."Mel, lain kali kalau kamu mau masuk ke kamarku bisa tolong mengetuk pintu lebih dulu?" tanya Khair dengan lembut meski dia merasa risih dengan kehadiran Melody disaat dirinya tengah bermesraan dengan Lena."Mas, aku juga istrimu. Apa aku salah memasuki kamar suamiku tanpa izin?" tanya Melody dengan tatapan nanar."Tidak salah kalau itu kamarku sendiri! Tapi ini adalah kamar Lena, yang harus dijaga privasinya. Seperti Lena tak memasuki kamarmu sembarangan, begitu pun kamu harus menjaga privasinya!""Baik, maaf kalau aku lancang!" Melody menekuk wajahnya dan menunduk sedih. Khair yang melihat itu merasa kasihan dan mengelus kepala Melody."Tak masalah, lain kali jangan seperti itu lagi, ya," ucap lelaki itu.
Wajah Khair yang semula berbinar langsung berubah masam. Dia sangat terkejut mengapa rekan kerjanya bisa bersama Lena seperti itu. Apa lelaki itu mencoba menusuknya dari belakang?"Bohong, Mas. Ini nggak seperti yang dia ucapkan. Aku sama sekali nggak pernah janjian apalagi barengan belanja sama Azam," papar Lena yang seketika merasa lemas."Kamu ini bicara apa, Lena? Bukankah semalam kita teleponan gara-gara kamu kesepian. Karena Khair melakukan malam pertama dengan istri keduanya." Azam menyunggingkan senyum bahagia saat dia sedang berdiri di belakang Lena dan melihat Khair mengepalkan tangan."Kamu jangan bicara sembarangan lagi! Mas, dengarkan aku jangan percaya sama ucapannya. Dia sengaja ingin merusak rumah tangga kita," sahut Lena dengan tampang memelas."Sayang, udahlah jujur aja!" Azam merangkul pundak Lena.Seketika emosi Khair langsung meledak. Dia menggebrak mej
Pagi itu setelah Khair dipuaskan Lena dia pergi ke kantor dengan wajah semringah. Sementara Melody sengaja mengambil cuti dan berharap bisa berduaan dengan Khair. Karena mereka adalah pengantin baru yang masih hangat-hangatnya."Mbak, di mana Mas Khair?" tanya Melody setelah menghampiri Lena yang baru saja akan keluar untuk belanja keperluannya dengan Khair yang kebetulan ada beberapa yang telah habis."Mas Khair berangkat ke kantor sejak tadi pagi!" jawab Lena dengan tangan masih sibuk memasukkan ponsel juga dompet ke dalam tas.Rencananya dia akan belanja diantar sopir. Karena Khair sedang sibuk. Sebenarnya Lena sudah bisa mengemudikan mobil, dia beberapa kali diajari Khair dan sudah lumayan mahir. Sayangnya, Lena masih kurang percaya diri."Kerja? Kenapa nggak Mbak Lena larang, sih? Aku sama dia kan pengantin baru," protes Melody ketus.Lena mengembuskan napas kasar mena
Khair mengacak rambutnya frustasi, semua yang dikatakan Melody benar adanya. Namun, dia tak mungkin tega mengatakan semua itu padanya. Karena akan terlalu menyakitkan, tetapi bagi Khair dia memang butuh waktu setidaknya untuk menyentuh Melody.Rasa cinta untuk seseorang bisa saja hadir sebab terbiasa. Namun, ada juga yang bersama sekian lama, tetapi tak punya perasaan apa-apa.Cinta lebih mudah hadir kala hati masih kosong tanpa penghuni dan lebih susah untuk menggantikan nama seseorang yang telah lama bertahta.Khair menoleh menatap Melody yang menyembunyikan seluruh tubuhnya di balik selimut tebal. Bahu perempuan itu terlihat berguncang, isaknya terdengar keras di telinga Khair.Dia merasa kasihan, tetapi tak bisa berbuat apa-apa. Jika bukan karena permintaan sang mama juga persetujuan dari Melody dan Lena tentu dirinya tak mungkin menikahi perempuan itu.Khair tak akan m
Lena menelan saliva saat mendengar perkataan Aida, tidak bisa dipungkiri kalau dirinya juga merasa takut akan hal itu."Aku permisi dulu, Ai. Mau ngobrol sama tamu-tamu di luar," pamit Lena akhirnya. Dia tak ingin larut dalam pembahasan yang membuat hatinya semakin was-was.Sementara Aida merasa lega melihat ekspresi Lena yang berubah seperti itu. Artinya perempuan itu pasti memikirkan kalimatnya barusan.***Lena keluar dari kamar untuk mengambil ponselnya yang tertinggal di ruang tamu. Hari telah berganti malam, dia tidak tahu saat ini Khair berada di mana. Padahal sebentar lagi azan maghrib akan segera berkumandang.Ceklek!Saat Lena membuka pintu dia berpapasan dengan Melody yang keluar dari kamar tamu. Perempuan itu tak sungkan mengenakan lingerie seksi di hadapannya."Mbak, gimana penampilanku cantik bukan?" tanya Melody yang sengaj
Hari berlalu begitu cepat, malam berganti dengan sangat singkat. Ujian sebenarnya telah di depan mata, Lena harus mulai melangkah menapaki pahitnya rumah tangga dengan hadirnya orang ketiga pun madu yang menemani kegiatannya."Saya terima nikah dan kawinnya Melody Fauziah binti Muhammad Mas'ud dengan mas kawin tersebut. Tunai.""Sah?" tanya penghulu kemudian."Saaah ...," jawab mereka serempak."Barakallahu laka wabaaraka alaika wajam'a bainakuma fii khair, aamiin yaa rabbal'alamin."Tes!Sebulir air mata meluncur cepat dari kelopak yang rasanya sedang tak mampu berkedip. Bibir yang mengatup rapat dengan serangkaian pandangan kosong, juga rintihan keras yang tak terdengar di dalam sana membingkai sebuah ijab qabul kecil yang hanya dihadiri saksi, tetangga dan keluarga.Sebuah ikatan yang seharusnya menjadikan dua insan bahagia, tetapi tid
"Kamu harus mengerti Mel, kalau nggak semua yang kamu inginkan bisa kamu dapatkan," tutur Bunda Soraya pada putrinya saat Khair dan keluarganya telah pulang."Kamu harus menghargai keputusan Abah juga belajar mengerti perasaan istri pertamanya. Bagaimana seandainya suami yang begitu kamu cintai dan mencintaimu akan menikah dengan orang lain?" tanya Bunda Soraya.Melody mengerungkan wajahnya. "Aku tidak peduli apa pun lagi, Bun. Kalau keputusan Abah sudah bulat, aku juga sama. Aku tak akan menikah dengan lelaki mana pun selain Mas Khair," jawab perempuan itu."Cinta itu bisa datang setelah ikatan kalian halal. Lihatlah Abah dan Bunda, kami dijodohkan tapi cinta itu bersemi justru setelah akad terlaksana," papar Bunda Soraya berharap putrinya mengerti akan keadaan."Mudah saja karena waktu itu Bunda tak mencintai siapa pun. Sementara aku sudah memiliki Mas Khair dalam hatiku," sahut Melody.&nbs
Pagi jatuh lagi di kota ini. Dengan angin bertiup semilir juga sinar mentari yang begitu cerah. Burung-burung berkicau riang, pepohonan melambai dengan santai menandakan begitu luasnya ciptaan Yang Mahakuasa di bumi pertiwi ini.Beberapa hadiah yang telah dibungkus cantik duduk rapi di atas meja. Hari ini akan menjadi awal kisah dan perjuangan Lena yang baru."Nak Lena, boleh Abah bertanya sesuatu?" Suara bariton milik Abah Mas'ud terdengar begitu menggelegar di telinga Lena.Tentu saja dia sudah tahu apa yang akan ditanyakan lelaki paruh baya yang dipenuhi wibawa itu."Silakan, Bah," jawab Lena seraya menunduk sopan.Berhari-hari dia telah menyiapkan diri untuk melakukan acara peminangan ini. Melewati ribuan detik melawan sepinya hati. Lena sangat terluka, tetapi tak akan membiarkan siapa pun melihat luka itu."Begini, terus terang
Katanya cinta bisa membuat yang sulit menjadi mudah. Lalu, mengapa kisah cinta Lena begitu menyesakkan?Rasa yang luluh lantak masih terus dia perjuangkan pada malam-malam senyap. Rindu-rindu yang sebentar lagi terbagi masih tetap dia semai.Mengalah bukanlah hal mudah saat dia baru saja mereda dari rasa dahaga bernama kasih sayang. Merelakan adalah hal yang menyakitkan, apalagi merelakan suami yang begitu mencintainya.Tak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu saat tubuhnya memerlukan selimut hangat, dan kini mertuanya justru membencinya.Bukankah ini terlalu pedih bagi perempuan yang ingin berubah menjadi lebih baik, perempuan yang pernah terjebak pada dosa kelam dari masa lalu yang hitam."Sepertinya wajah istrimu tak asing," ucap Azzam sambil melirik Lena yang sedari tadi tak berani menatapnya."Oh, ya? Mungkin karena aku sering mengajaknya keluar, Ba