"Aduh, aku gugup nih, Mas!" ujarku pada Mas Ruslan seraya mengenakan helm. Sore ini kami hendak kembali ke rumah orang tua Mas Ruslan.
Aku tidak bisa membayangkan dan tidak mau membayangkan kemarahan seperti apa yang sedang menunggu kami di sana. Tidak hanya tidak menuruti keinginan ibu mertua untuk langsung pulang beberapa waktu lalu, kami bahkan masih mematikan telepon hingga detik ini."Santai saja. Kalau ditanya, kita tinggal jawab!" pungkas Mas Ruslan dengan acuh tak acuh.Aku spontan melemparkan tatapan mendelik pada Mas Ruslan. Keperibadiannya yang tenang telah benar-benar membuatku iri."Jangan melamun sambil berkendara. Fokus!" tegur Mas Ruslan sebelum kami membawa motor masing-masing keluar dari rumah orang tuaku."Iya!" jawabku menimpali.Kami kemudian berkendara menuju rumah orang tua Mas Ruslan dengan kecepatan sedang. Di tengah jalan, kami menyempatkan diri untuk berhenti membeli makan malam. Hal ini kami lakuTiana POV, "Ibu kalau kekurangan uang jajan kenapa nggak sekalian minta jatah sama Dimas. Dia lebih kaya dari Mas Ruslan. Ada juga pemasukan stabil tiap bulan. Sementara Mas Ruslan 'kan cuma kerja serabutan,"Kalimat panjang yang dilontarkan oleh Astri itu membuatku harus menahan geram di dalam hati. Berani-beraninya dia menyeret penghasilan suamiku yang tidak seberapa ke dalam masalah ini. "Diam kamu!" sentak ibu mertua dengan keras. "Ini semua gara-gara kamu. Ruslan berubah menjadi tidak patuh gara-gara kamu!" hardik ibu mertua. Amarah wanita paruh baya ini tampak belum menunjukkan tanda-tanda akan segera mereda. "Jangan nyalahin orang sembarangan gitu dong, Bu. Coba berkaca dulu sama sikap ibu sendiri terhadap Mas Ruslan selama ini. Kira-kira, sudah pantas belum ibu mendapat baktinya Mas Ruslan," balas Astri dengan nada mencibir yang terdengar jelas.Kalimat terakhir yang dilontarkan itu membuatku cukup merasa takjub. Aku tidak tahu
Keesokan harinya, Kami masih menjalani hari seperti biasa. Di pagi hari, aku masih menjalankan rutinitasku untuk melepas Mas Ruslan yang hendak berangkat bekerja. "Apa rencana kamu hari ini?" tanya Mas Ruslan seraya mengenakan helmnya. "Mau membersihkan toko. Dan kalau masih ada waktu, aku juga mau membeli perabotan untuk di mengisi lantai dua," jawabku dalam bisikan pelan agar tidak ada yang bisa mendengar. "Kamu bisa melakukannya sendiri?" tanya Mas Ruslan. "Atau kamu bayar orang aja buat bantuin, biar kamu nggak terlalu capek," saran Mas Ruslan. Namun, aku menggelengkan kepala pelan. "Aku bisa sendiri kok, Mas!" ujarku menolak. "Nggak terlalu luas ini. Tinggal disapu sama dipel doang," jawabku. " ... "Mas Ruslan terdiam tanpa kata. Dia tidak terlihat lega mendengar ucapanku ini. "Jangan khawatir, Mas. Aku nggak akan memaksakan diri kok. Kalau aku capek, aku bisa lanjutin besok," ujarku menenangkan sua
Tiana POV, "Aku tidak percaya kalau uangmu sudah habis, Mas. Jika kamu tidak ketahuan berlibur ke Bali, kamu mungkin tidak akan pernah memberitahu orang lain soal kamu yang mendapat komisi karena telah membantu orang menjual tanahnya. Dan ini mungkin bukan satu-satunya tanah orang yang sudah berhasil kamu jual. Di masa lalu juga pasti ada!" Aku berbicara pada diri sendiri sambil memacu mobilku mengikuti Mas Ruslan yang sedang menuju ke peternakan. Laju kendaraan sengaja aku buat lambat untuk menjaga jarak dari Mas Ruslan agar tidak ketahuan. Begitu Mas Ruslan mulai berbelok di persimpangan jalan menuju peternakan, aku memutuskan untuk memarkirkan mobilku di pinggir jalan. Ini adalah jalan satu-satunya yang mengarah ke peternakan. Jadi bahkan jika aku memarkir mobil di sini, aku tetap akan bisa melihat Mas Ruslan saat dia meninggalkan peternakan nanti. "Mari kita lihat apa saja yang kamu sembunyikan dari keluarga kamu, Mas!" gumamku.
"Akhirnya beres juga!" Aku berseru sambil menepuk kedua tangan untuk mengikis debu yang melekat. Setelah dari pagi bekerja keras untuk mengatur lantai dua toko ini, akhirnya semuanya telah tampak layak huni. Di dalam kamar, sudah ada ranjang besar yang bisa menampung kami bertiga. Lalu di sudut ruangan ada lemari dan meja rias yang masih kosong. Kemudian menilik ke arah kamar mandi yang ada di kamar, aku pun menyunggingkan senyum bahagia. Beberapa peralatan mandi juga sudah lengkap berada di tempatnya. Keluar dari kamar, aku melangkah pelan menuju sebuah ruangan yang aku jadikan sebagai dapur kecil. Tempat itu juga sudah dipenuhi dengan berbagai macam perabotan memasak dan meja makan. Sementara itu, di ruang sebelah yang aku jadikan sebagai ruang cuci, sudah ada mesin cuci beserta gantungan bajunya. "Ini baru bisa disebut rumah!" gumamku pada diri sendiri seraya mengedarkan mata menatap semua hal yang telah tersusun rapi di tempat yang seharusnya.
Tiana POV, "Pffttt,"Suara tawa tertahan dari Mas Ruslan membuat wajahku terasa panas. Ini benar-benar memalukan! "Kamu nggak lupa kalau kamu adalah wanita bersuami 'kan, Ti? Tolong jangan merendahkan diri kamu sendiri dong. Milikilah rasa malu!" tukas Astri di depan wajahku. " ... "Aku yang tidak bisa berkata-kata menggertakkan gigi dengan geram. Tangan yang tergantung di kedua sisi tubuhku juga mengepal dengan kuat. Saat ini aku sedang berusaha untuk meredam kemarahan sekaligus rasa malu karena serangan kata frontal Astri barusan. "Atau kalau kamu masih mau menjadi wanita murahan, lihat-lihat juga dong lelaki yang mau kamu goda. Jangan kakak ipar kamu yang sudah punya anak dan istri juga kali!" seru Astri di depan wajahku. Kata-katanya semakin membuat nafasku tercekat. Belum lagi ditambah dengan wajah mereka yang menunjukkan cibiran padaku. "Aku nggak tahu apakah di kampung-kampung gini ada tempat mangk
Dimas POV, 'Aku langsung saja ya. Tolong kamu jaga istri kamu ini baik-baik. Jangan menggoda suami orang. Macam wanita kurang belaian aja!'Dari sejak semalam, kata-kata Mbak Astri itu terus berputar tidak mau pergi dari benakku. Karena aku mengenal Mbak Astri sebagai sosok yang tidak pernah mencari perkara duluan, sudah sewajarnya kata-katanya itu membuat hatiku risau. Apalagi belakangan ini hubunganku dengan Tiana tidak semesra saat kami berpacaran dulu. "Wanita memang susah sekali untuk dipuaskan. Mereka ingin diperlakukan layaknya ratu, tapi lupa kalau suaminya bukan raja,"Suara celetukan salah seorang teman sejawat yang bernama Anton mengembalikan kesadaranku pada kenyataan. Saat ini aku sedang menikmati makan siang di warung makan yang tak jauh dari kantor tempatku bekerja bersama 3 orang teman lainnya. "Bener banget. Hari ini istriku ngamuk-ngamuk lagi perkara tempat tinggal. Katanya dia mau tinggal terpisah dari rumah mertua b
Tidak banyak hal yang bisa membuatku antusias dalam hidup ini. Dan sebagian kecil dari hal-hal itu adalah mengurus toko yang sebentar lagi akan resmi dibuka. Hal lainnya adalah mengurus putraku sendiri yang hari ini sudah mulai masuk Taman Kanak-kanak. "Gimana? Danis senang nggak hari ini sudah mulai masuk sekolah?" tanyaku pada Danis yang sedang menatap cermin, tampak kagum pada dirinya sendiri."Senang sekali," jawab Danis sambil berkacak pinggang melihat penampilannya dalam balutan seragam sekolah. "Nanti di sekolah Danis jangan nakal ya. Jangan berantem sama teman-teman. Harus dengar apa kata Ibu Guru juga," ujarku mewanti-wanit. Danis menganggukkan kepalanya dengan tidak serius. "Danis nanti punya banyak teman 'kan, Bu?" tanya putra kecilku itu. Aku lantas menganggukkan kepala. "Kalau Danis jadi anak baik-baik, pasti anak-anak lain akan suka bermain dengan Danis," ujarku. "Beneran, Bu?" tanya Danis dengan wajah penuh a
Hari demi hari berlalu. Dan benar saja, mertuaku sama sekali tidak tertarik pada Danis yang sudah memulai sekolahnya. Jika kami berpapasan dengan ibu mertua di pagi hari sebelum berangkat, wanita paruh baya itu hanya akan melirik sekilas, lalu melengos pergi. Perlakuan ibu mertua yang seperti ini sudah tidak aneh lagi bagiku. Bahkan Danis pun tampak tidak terpengaruh. Sikap cueknya benar-benar menurun sempurna dari Mas Ruslan. Tetapi baguslah jika ibu mertua tidak tahu bahwa aku menyekolahkan Danis di TK IT Az-Zahra. Dengan uang SPP yang cukup mahal setiap bulannya, bisa-bisa ibu mertuaku itu meradang. Paling buruk, beliau akan mulai mengoceh memberiku ceramah. "Hari ini Ibu nggak bisa lagi nunggu Danis di sekolah. Ibu harus kerja!" ujarku pada Danis tatkala kami sudah tiba di sekolahnya. diyakinkan"Danis nggak apa-apa 'kan? Danis bisa sendiri 'kan?" tanyaku memastikan. "Iya!" jawab Danis sembari mengangguk dengan mantap. M
Untuk yang kedua kali, aku dan keluarga mengunjungi Bali. Kali ini aku berhasil membujuk ayah dan ibu untuk ikut turut serta. Alasannya adalah biar ada yang menemani ibu mertuaku untuk hanya sekedar mengobrol dengan orang seusianya."Kamu yakin semuanya akan baik-baik saja?" tanya ibu ketika kami baru saja tiba di Bali."Kenapa harus nggak baik-baik aja?" tanyaku dengan santai."Ibu mertua kamu benar-benar setuju nggak kalau kami ikut?" tanya ibu masih tidak yakin."Setuju kok. Ibu tenang aja. Ibu mertuaku sekarang baik. Kalau ibu nggak percaya, nanti kita buktikan!" ujarku dengan percaya diri."Kamu yakin?" tanya ibu lagi."Halah ibu ini, kenapa malah jadi kamu yang paranoid?" sambar bapak.Beliau sepertinya risih dengan pertanyaan yang sudah berulang kali diajukan oleh ibu sejak kemarin."Ih, bapak. Ibu kan cuma nanya," protes ibu atas reaksi bapak."Ya habis ibu nanya itu terus. Telinga bapak panas d
Dina POV,Berbulan-bulan berlalu, wacanaku untuk menculik Aldi dari ayah kandungnya sendiri selama ini hanya berakhir sebagai wacana. Aku tidak bisa membawa Aldi pergi menjauh dari ayah kandungnya tanpa persetujuan dari anak itu sendiri. Walaupun menyakitkan, aku tetap berusaha untuk menghargai keinginan Aldi."Aku tidak mengharapkan Aldi akan diabaikan oleh ayahnya sih. Tapi aku pikir begitu anaknya si Astuti lahir, fokus si Arifin pasti akan lebih dominan pada istri dan anak barunya," tukas Sadewa yang masih setia tinggal di desa ini untuk menemaniku."So?""Mungkin saat itu kamu bisa kembali merayu Aldi untuk tinggal bersamamu," ujar Sadewa."Hm," gumamku sembari menganggukkan kepala pelan tanpa menoleh ke arah Sadewa yang sedang duduk di balik kemudi.Saat ini, aku dan dia sedang menunggu di depan sekolahnya Aldi. Aku sangat merindukan anak yang beberapa waktu ini menolak untuk menemuiku. Semua ini lantaran dia marah padaku k
Aku memasak makan siang di bawah pengawasan ibu mertua. Awalnya terasa tidak nyaman, tetapi seiring dengan berjalannya waktu, aku mulai melupakan keberadaan beliau dan sepenuhnya fokus pada pekerjaan yang ada di tangan.Setelah sibuk berkutat di depan panci dan wajan, akhirnya masakan yang aku buat matang. Dengan telaten aku mulai menyendok nasi beserta lauk pauknya ke atas piring, lalu menyajikannya di depan ibu mertua."Coba aja kamu melakukan hal seperti ini dari dulu," celetuk ibu mertua.Aku spontan memutar mata. "Ini semua gara-gara ibu sih. Coba kalau ibu nggak keseringan sensi dan marah-marah," timpalku dengan santai."Cih," balas ibu mertua."Ayo makan siang. Setelah ini aku harus kembali kerja," ujarku seraya mengambil tempat duduk di kursi yang berada tepat di hadapan ibu mertua."Hubunganmu dengan Ruslan gimana?" tanya ibu mertua sembari mulai menyendok makanan ke dalam mulutnya."Sangat baik!" jawabku dengan
Hari demi hari masih berlalu dengan monoton seperti biasanya. Kata-kata bapak masih menghantuiku hingga saat ini, tetapi aku belum memiliki keberanian untuk pergi ke rumah ibu mertua untuk merayunya atau apalah itu.Selentingan kabar mereka diam-diam aku cari tahu melalui akun sosial media yang ada. Dan dari sana aku mengetahui bahwa Arumi dan ibu Sarinah telah kembali ke ibu kota. Ada juga kabar perceraian Dimas dan Tiana, serata kabar perceraian Mbak Dina dan suaminya.Rentetan kabar buruk yang datang satu demi satu menyambangi keluarga Hadinata membuat grup whats*app kompleks diibaratkan layaknya air yang dituangkan ke dalam minyak panas. [Keluarga Hadinata lagi dikasih banyak banget cobaan belakangan ini,][Ho-oh. Aku tidak menyangka umur pernikahan si Dimas bakal singkat banget. Padahal dia kelihatan cinta banget sama istrinya,][Isi dapur orang nggak ada yang tahu,][Memang sih,][Belum lagi si Dina juga bercerai.
Dina POV,"Din, hubungan kamu dengan Arifin bagaimana sih sebenarnya?" tanya bapak ketika kami sedang menyantap makan malam." ... "Karena makanan yang masih ada di dalam mulutku, aku tidak langsung memberi jawaban."Kamu juga, Dim. Tiana kemana? Kok dia nggak pulang-pulang?" tukas bapak pada Dimas yang duduk di sampingku."Aku dan Tiana berencana untuk bercerai," jawab Dimas dengan santai."Bercerai? Kenapa?" tanya ibu terdengar cukup terkejut.Dimas mengangkat bahunya pelan seraya berkata. "Sudah tidak ada kecocokan. Kalian masih ingat mengenai dia yang meminjam uang 100 juta untuk menutupi hutang keluarganya?" "Iya, terus kenapa?" tanya ibu dengan sedikit nada mendesak dalam suaranya."Aku tidak bisa membantunya untuk mencari jalan keluar terkait hutang itu. Alhasil dia mendekati banyak pria yang bersedia memberikannya uang secara cuma-cuma," jawab Dimas dengan enteng."What?!" seruku tida
"Kakek!""Nenek!"Danis berteriak dengan antusias tepat ketika kami baru tiba di rumah orang tuaku. Kebetulan saat ini kami bertemu dengan bapak dan ibu yang baru saja pulang dari sawah tepat di depan pintu gerbang rumah. "Danis, apa kabar? Nenek sama kakek udah lama nggak ketemu Danis," sambut ibuku dengan nada yang dibuat sedih ketika melihat cucunya.Memang beberapa minggu belakangan ini, kami terlalu sibuk mengurus toko yang baru dibuka, sehingga kami tidak bisa datang berkunjung ke rumah orang tuaku ini seperti biasanya."Iya nih. Bapak sama ibu sibuk-sibuk terus!" timpal Danis turut merajuk sambil bibirnya dimajukan beberapa sentimeter."Ayo, ngobrolnya di dalam aja," tukas bapak sembari membuka pintu gerbang untuk kami."Rumah kok sepi, Pak? Wisnu mana?" tanyaku."Di kosnya. Kamu lupa kalau adik kamu itu sudah masuk kuliah?" tukas bapak."Oh, aku lupa," timpalku seraya menepuk kepalaku pelan.
Dina POV,"Bu, apa rencana ibu selanjutnya?" tanyaku pada ibu setelah kami kembali ke rumah. Saat ini hanya ada aku, dan ibu saja yang ada di rumah. Bapak memilih untuk pergi ke peternakan dan menghabiskan waktu di sana. Sementara itu, Dimas sudah berangkat ke kantor."Entahlah. Ibu juga tidak tahu," jawab ibu dengan nada gamang. Aku pun menghela nafas lelah."Ibu tidak mau bercerai saja dengan bapak. Lalu memulai kehidupan baru?" tanyaku dengan hati-hati. Aku takut membuat ibu terlalu emosional." ... "Hening,Ibu tidak langsung menimpali ucapanku. Mata beliau terlihat menerawang jauh. Dan aku pun tidak mendesak ibu untuk segera menjawab. Hal-hal terkait hati memang tidak bisa diputuskan dengan mudah."Baik bibi Sarinah dan juga Ruslan telah memutuskan jalan hidup mereka sendiri. Dan tampaknya mereka juga bahagia-bahagia saja dengan pilihan hidup mereka saat ini. Hanya tinggal ibu saja yang masih terjerat dal
Dimas POV,Jarum jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi ketika semua drama mengenai orang tua kandung itu selesai. Setidaknya itu yang mereka katakan. Sementara menurutku, penyelesaian seperti ini agak terdengar tidak benar. Akan tetapi, jika ditanya hasil seperti apa yang aku inginkan atas masalah ini, tentu saja aku tidak bisa menjawabnya dengan pasti. Karena orang-orang yang terlibat dalam masalah ini telah memutuskan untuk terus melangkah. Hanya ibu yang tampaknya masih terus terjerat dalam masa lalu. Namun, bahkan jika aku mengatakan apapun hingga berbusa, kalau ibu telah membuat keputusan keras kepala sendiri, lantas apa yang bisa aku lakukan?Rambutku yang sudah disisir dengan rapi, aku acak hingga berantakan. Masalah keluarga ini sungguh tidak ada habisnya!"Tau ah. Terserah mereka!" dumelku seraya mulai menyibukkan diri dengan pekerjaan yang ada di hadapanku kini.Dikarenakan masalah keluarga tadi, aku sampai harus minta i
"Jadi, masalah ini sudah selesai sampai di sini 'kan?" tanya Mas Ruslan dengan intonasi datarnya yang seperti biasa."Iya!" timpal ibu Sarinah."Kalau begitu, kami bisa pulang duluan 'kan? Aku masih punya banyak pekerjaan," tukas Mas Ruslan."Baiklah, ayo bubar!" pungkas Mbak Dina mengikuti.Karena posisi berdiri kami yang sudah ada di ambang pintu rumah kontrakan ini, Mas Ruslan dapat langsung membuka pintu, dan mengambil langkah keluar."Kamu pamit. Assalamualaikum, semuanya!" ujar Mas Ruslan yang segera aku ikuti dari belakang."Waalaikumsalam!" jawab Mbak Dina seorang.Tanpa menoleh ke arah belakang. Kami terus berjalan menuju sepeda motor yang diparkir Mas Ruslan tidak jauh."Ruslan, ada apa? Kok keluarga kamu rame-rame berkumpul di kontrakan Arumi?""Iya nih, Lan. Tadi kita semua lihat ibu kamu menjambak ibunya si Arumi itu. Mereka ada masalah apa sih sebenarnya?"Warga kampung yang meman