Dina POV,
"Kok kamu nggak memperkenalkan aku sama mereka sih?" tanya Arumi merajuk di sampingku yang sedang sibuk mengemudi. Saat ini kami sedang berkendara hendak kembali ke villa yang telah kami sewa."Buat apa?" tanyaku dengan alis berkerut dalam. Tetapi mataku terus fokus pada jalanan yang ada di depan."Iihhh, kan aku udah bilang kalau pria itu adalah tipe cowok idamanku banget!" seru Arumi.Aku pun spontan mendecakkan lidah. "Cowok yang kamu maksud itu adalah Ruslan. Adik yang sering aku ceritakan sama kamu!" ujarku dengan nada sedikit kesal.Arumi seketika terkesiap. Dia menutup mulutnya karena kaget dan matanya juga membola dengan lebay. "Aku tidak berpikir sampai ke sana. Aku pikir hanya nama mereka yang sama!" ujar Arumi.Aku menggelengkan kepala tak habis pikir. Apa dia tidak mendengar obrolan seperti apa yang aku dan Ruslan lakukan tadi?"Tapi dia kayaknya nggak seperti yang sering kamu ceritain deh. Di"Mas, apa yang harus kita lakukan? Gimana kalau Mbak Dina benar-benar memberitahu ibu?" tanyaku mengutarakan kekhawatiran dengan jujur. Mas Ruslan mengangkat tangannya dan mengelus kepalaku tiga kali seraya berkata. "Jangan dipikirkan sekarang. Kita nikmati saja liburan ini. Jangan sampai uang yang sudah kita keluarkan untuk bisa liburan ke tempat ini menjadi sia-sia kalau kamu tidak menikmatinya," ucap Mas Ruslan. Aku mau tidak mau setuju. Terus memikirkan masalah ini pun memang hanya akan membuat kepala mumet. Meski tidak bisa ditepis sepenuhnya dari dalam otak, tapi setidaknya masih bisa dialihkan. "Lalu sekarang kita mau kemana?" tanyaku mencoba untuk mengembalikan antusiasme awal sebelum kami bertemu dengan Mbak Dina tadi. "Ini udah siang. Gimana kalau kita pergi cari makan siang?" tanya Mas Ruslan meminta pendapat.Aku dan Wisnu spontan mengangguk setuju. Tetapi Danis melakukan pemberontakan. Putraku itu menolak untuk pergi dari
"Ibu, ayo lihat sunset!" seru Danis begitu dia selesai mandi di sore hari. Aku menggelengkan kepala pelan melihat sorot mata Danis yang cemerlang penuh harap. Anakku ini memang tidak bisa diberi janji, karena dia akan terus menagihnya sampai dapat. Dan yah, memang seperti inilah menjadi orang tau. Harus bisa menakar kemampuannya sendiri. Jangan memberi janji pada anak-anak jika sekiranya dirasa tidak akan mampu untuk ditepati. Karena percayalah, anak akan selalu mengingat janji-janji orang tua yang tidak pernah ditepati bahkan hingga dewasa kelak. "Oke. Tunggu gantian ibu yang siap-siap dulu ya. Danis tunggu di luar sama bapak dan paman Wisnu," ujarku dengan lembut pada Danis. "Oke!" jawabnya dengan riang. Danis lalu berlari keluar kamar untuk menemui paman dan juga bapaknya. Aku yang memang tidak memiliki niat untuk ingkar janji pun segera berganti pakaian dan berdandan. Tepat setelah aku selesai bersiap, dering ponsel yang kuletakk
Matahari masih cukup cerah ketika kami keluar di sore hari. Karena kami berencana untuk makan malam di restauran yang ada di dekat pantai sembari menikmati matahari tenggelam, kami pun memutuskan untuk melakukan reservasi terlebih dulu. Untungnya ada Wisnu yang mengikuti kami liburan kali ini. Kalau tidak, aku tidak tahu bagaimana lelahnya mengawasi Danis yang sedang aktif-aktifnya itu berlarian ke sana ke mari. Pakaian anak itu bahkan sudah basah oleh air laut. Namun, suara cekikikan riangnya yang berasal dari pinggir pantai tidak juga surut. "Nggak salah kita liburan ke sini. Danis bahagia banget tuh!" ujar Mas Ruslan sambil matanya terus menatap ke arah Danis yang sedang main kejar-kejaran dengan ombak yang menepi. "Ho-oh," timpalku sambil menyandarkan kepala pada bahu Mas Ruslan. Mataku juga tidak luput dari pemandangan keceriaan Danis di depan. "Ayo kejar Danis!" seru Danis sambil berlari ke pinggir pantai. Namun, dia masih kalah cepat de
Tiana POV, "Dasar anak dan menantu kurang ajar. Berani-beraninya mereka menyembunyikan semua ini dari kita!" rutuk ibu mertua. "Memang katanya dia kerja di mana selain di peternakan?" tanya bapak mertua terdengar sabar menanggapi ibu mertua yang sedang meledak-ledak. "Tau tuh! Teleponnya di nonaktifkan!" seru ibu mertua ketus. Obrolan bapak dan ibu mertua memasuki gendang telingaku begitu aku kembali dari senam sore bersama ibu-ibu yang ada di kompleks perumahan ini. Makian demi makian yang terdengar tanpa henti yang entah ditujukan untuk siapa itu membuatku menghela nafas pelan. Aku lantas menarik kembali kaki yang baru setengah langkah memasuki rumah, dan menyeretnya kembali ke teras. Aku lalu menghempaskan tubuh pada kursi yang ada di sana. "Si Astri kemana deh. Membosankan ada di sini sendiri. Nggak ada hiburan yang menarik!" gumamku. Suara dumelan ibu mertua yang belum juga selesai kini berpadu dengan suara azan maghri
Hari ini matahari masih terbit dari ufuk timur. Tetapi terkhusus hari ini, aku merasakan pendarnya jauh lebih hangat dari hari-hari kebanyakan yang telah aku lalui. Mungkin juga akibat dari lelapnya tidurku semalam, sehingga aku bisa bangun pagi dalam kondisi yang terasa jauh lebih segar. Tadinya aku berpikir bahwa setelah pertemuan dengan Mbak Dina, aku tidak akan bisa tidur dengan nyeyak di malam hari. Tetapi syukurlah, pertemuan itu tidak mempengaruhi kualitas tidurku sama sekali. Mungkin memang benar, untuk bisa mendapatkan ketenangan batin, hal yang sebaiknya dilakukan adalah menjauh dari sumber penyakit hati itu sendiri. Sayang sekali, hal itu belum bisa aku lakukan sepenuhnya. Hanya momen liburan seperti ini yang bisa membuat syaraf-syaraf yang tegang menjadi sedikit lebih rileks. "Hari ini jadi ke Tanjung Benoa?" tanya Mas Ruslan ketika kami sedang menyantap sarapan pagi. "Jadi dong!" sahut Wisnu dengan semangat. Aku sendiri hanya meng
"Kemarin aku mencoba untuk menghubungi kamu, tapi kok nomor kamu nggak aktif sih, Lan?"Kalimat tanya yang terdengar sok akrab ini pertama kali memasuki indera pendengaranku ketika aku dan Wisnu sampai di sisi Mas Ruslan. "Untuk apa kamu menghubungiku?" tanya Mas Ruslan dengan nada datar. Namun, alisnya tampak berkerut dalam. "Dina sudah pulang tadi pagi. Awalnya aku mau mengajak kamu dan keluarga kamu untuk liburan bareng," ucap wanita teman Mbak Dina yang aku ingat namanya Arumi ini. "Tidak perlu!" jawab Mas Ruslan. "Ah? Kenapa?" tanya Arumi tampak tidak mengerti arti dari ucapan Mas Ruslan. "Aku dan keluargaku sedang liburan bersama. Kami tidak memerlukan orang lain untuk ikut bergabung," jawab Mas Ruslan dengan nada acuh tak acuh. Aku yang berdiri di samping memberikan dua jempol untuk Mas Ruslan atas kata-katanya. Aku pikir suamiku ini akan bertindak pasif jika didekati oleh wanita genit seperti Arumi ini. Tet
"Setelah istirahat siang, mau kemana nanti sore?" tanya Mas Ruslan sambil mengemudi mencari restauran bagi kami untuk makan siang. Masalah mengenai teman Mbak Dina yang bernama Arumi itu telah kami lempar jauh-jauh di belakang kepala. Perilaku orang lain yang berada di luar kendali diri hanya akan membuat pusing jika terlalu dipikirkan. "Kemarin kita udah lihat sunset di pantai, gimana kalau hari ini kita pergi nonton pertunjukan tari kecak di Pura Uluwatu. Mumpung ada di sini, tidak ada salahnya menikmati kearifan lokal," ujarku memberi saran. Sebisa mungkin, aku ingin mengunjungi berbagai macam tempat yang ada di Pulau Dewata ini. Menikmati setiap tempat yang berbeda dengan kampung tempat tinggal kami. "Tapi tempatnya jauh. Bisa kurang lebih satu jam di perjalanan buat ke sana dari sini," ujar Wisnu. "Ya nggak apa-apa. Mas kuat 'kan nyetir?" tanyaku pada Mas Ruslan sembari mengerjap-ngerjapkan mata dengan genit. "Nyetir d
Tiana POV, [Mas, jangan lupa hari ini langsung pulang!]Aku mengirim satu baris pesan itu kepada Mas Dimas ketika siang hari menjelang. Sementara aku sendiri tidak sabar menunggu datangnya waktu sore agar bisa keluar dari rumah ini. Gara-gara Ruslan dan Astri yang belum juga pulang dari Bali hingga siang ini, ibu mertua menjadi senewen. Apalagi setelah ibu mertua mencoba menghubungi anak dan menantunya itu, tapi ternyata nomor telepon mereka malah tidak aktif. "Anak dan menantu durhaka. Disuruh pulang malah mematikan telepon. Awas aja kalian kalau pulang nanti!"Sudah tidak terhitung berapa kali aku mendengar kalimat kutukan seperti ini meluncur dari mulut ibu mertua sejak pagi tadi. Aku sampai takut keluar kamar karena tidak mau ikut tersambar amarahnya. Sambil berbaring santai di atas ranjang yang empuk, aku mulai menghubungi sahabatku, Wanda. "Halo?" sapa Wanda dari seberang telepon. "Kamu lagi sibuk ng
Untuk yang kedua kali, aku dan keluarga mengunjungi Bali. Kali ini aku berhasil membujuk ayah dan ibu untuk ikut turut serta. Alasannya adalah biar ada yang menemani ibu mertuaku untuk hanya sekedar mengobrol dengan orang seusianya."Kamu yakin semuanya akan baik-baik saja?" tanya ibu ketika kami baru saja tiba di Bali."Kenapa harus nggak baik-baik aja?" tanyaku dengan santai."Ibu mertua kamu benar-benar setuju nggak kalau kami ikut?" tanya ibu masih tidak yakin."Setuju kok. Ibu tenang aja. Ibu mertuaku sekarang baik. Kalau ibu nggak percaya, nanti kita buktikan!" ujarku dengan percaya diri."Kamu yakin?" tanya ibu lagi."Halah ibu ini, kenapa malah jadi kamu yang paranoid?" sambar bapak.Beliau sepertinya risih dengan pertanyaan yang sudah berulang kali diajukan oleh ibu sejak kemarin."Ih, bapak. Ibu kan cuma nanya," protes ibu atas reaksi bapak."Ya habis ibu nanya itu terus. Telinga bapak panas d
Dina POV,Berbulan-bulan berlalu, wacanaku untuk menculik Aldi dari ayah kandungnya sendiri selama ini hanya berakhir sebagai wacana. Aku tidak bisa membawa Aldi pergi menjauh dari ayah kandungnya tanpa persetujuan dari anak itu sendiri. Walaupun menyakitkan, aku tetap berusaha untuk menghargai keinginan Aldi."Aku tidak mengharapkan Aldi akan diabaikan oleh ayahnya sih. Tapi aku pikir begitu anaknya si Astuti lahir, fokus si Arifin pasti akan lebih dominan pada istri dan anak barunya," tukas Sadewa yang masih setia tinggal di desa ini untuk menemaniku."So?""Mungkin saat itu kamu bisa kembali merayu Aldi untuk tinggal bersamamu," ujar Sadewa."Hm," gumamku sembari menganggukkan kepala pelan tanpa menoleh ke arah Sadewa yang sedang duduk di balik kemudi.Saat ini, aku dan dia sedang menunggu di depan sekolahnya Aldi. Aku sangat merindukan anak yang beberapa waktu ini menolak untuk menemuiku. Semua ini lantaran dia marah padaku k
Aku memasak makan siang di bawah pengawasan ibu mertua. Awalnya terasa tidak nyaman, tetapi seiring dengan berjalannya waktu, aku mulai melupakan keberadaan beliau dan sepenuhnya fokus pada pekerjaan yang ada di tangan.Setelah sibuk berkutat di depan panci dan wajan, akhirnya masakan yang aku buat matang. Dengan telaten aku mulai menyendok nasi beserta lauk pauknya ke atas piring, lalu menyajikannya di depan ibu mertua."Coba aja kamu melakukan hal seperti ini dari dulu," celetuk ibu mertua.Aku spontan memutar mata. "Ini semua gara-gara ibu sih. Coba kalau ibu nggak keseringan sensi dan marah-marah," timpalku dengan santai."Cih," balas ibu mertua."Ayo makan siang. Setelah ini aku harus kembali kerja," ujarku seraya mengambil tempat duduk di kursi yang berada tepat di hadapan ibu mertua."Hubunganmu dengan Ruslan gimana?" tanya ibu mertua sembari mulai menyendok makanan ke dalam mulutnya."Sangat baik!" jawabku dengan
Hari demi hari masih berlalu dengan monoton seperti biasanya. Kata-kata bapak masih menghantuiku hingga saat ini, tetapi aku belum memiliki keberanian untuk pergi ke rumah ibu mertua untuk merayunya atau apalah itu.Selentingan kabar mereka diam-diam aku cari tahu melalui akun sosial media yang ada. Dan dari sana aku mengetahui bahwa Arumi dan ibu Sarinah telah kembali ke ibu kota. Ada juga kabar perceraian Dimas dan Tiana, serata kabar perceraian Mbak Dina dan suaminya.Rentetan kabar buruk yang datang satu demi satu menyambangi keluarga Hadinata membuat grup whats*app kompleks diibaratkan layaknya air yang dituangkan ke dalam minyak panas. [Keluarga Hadinata lagi dikasih banyak banget cobaan belakangan ini,][Ho-oh. Aku tidak menyangka umur pernikahan si Dimas bakal singkat banget. Padahal dia kelihatan cinta banget sama istrinya,][Isi dapur orang nggak ada yang tahu,][Memang sih,][Belum lagi si Dina juga bercerai.
Dina POV,"Din, hubungan kamu dengan Arifin bagaimana sih sebenarnya?" tanya bapak ketika kami sedang menyantap makan malam." ... "Karena makanan yang masih ada di dalam mulutku, aku tidak langsung memberi jawaban."Kamu juga, Dim. Tiana kemana? Kok dia nggak pulang-pulang?" tukas bapak pada Dimas yang duduk di sampingku."Aku dan Tiana berencana untuk bercerai," jawab Dimas dengan santai."Bercerai? Kenapa?" tanya ibu terdengar cukup terkejut.Dimas mengangkat bahunya pelan seraya berkata. "Sudah tidak ada kecocokan. Kalian masih ingat mengenai dia yang meminjam uang 100 juta untuk menutupi hutang keluarganya?" "Iya, terus kenapa?" tanya ibu dengan sedikit nada mendesak dalam suaranya."Aku tidak bisa membantunya untuk mencari jalan keluar terkait hutang itu. Alhasil dia mendekati banyak pria yang bersedia memberikannya uang secara cuma-cuma," jawab Dimas dengan enteng."What?!" seruku tida
"Kakek!""Nenek!"Danis berteriak dengan antusias tepat ketika kami baru tiba di rumah orang tuaku. Kebetulan saat ini kami bertemu dengan bapak dan ibu yang baru saja pulang dari sawah tepat di depan pintu gerbang rumah. "Danis, apa kabar? Nenek sama kakek udah lama nggak ketemu Danis," sambut ibuku dengan nada yang dibuat sedih ketika melihat cucunya.Memang beberapa minggu belakangan ini, kami terlalu sibuk mengurus toko yang baru dibuka, sehingga kami tidak bisa datang berkunjung ke rumah orang tuaku ini seperti biasanya."Iya nih. Bapak sama ibu sibuk-sibuk terus!" timpal Danis turut merajuk sambil bibirnya dimajukan beberapa sentimeter."Ayo, ngobrolnya di dalam aja," tukas bapak sembari membuka pintu gerbang untuk kami."Rumah kok sepi, Pak? Wisnu mana?" tanyaku."Di kosnya. Kamu lupa kalau adik kamu itu sudah masuk kuliah?" tukas bapak."Oh, aku lupa," timpalku seraya menepuk kepalaku pelan.
Dina POV,"Bu, apa rencana ibu selanjutnya?" tanyaku pada ibu setelah kami kembali ke rumah. Saat ini hanya ada aku, dan ibu saja yang ada di rumah. Bapak memilih untuk pergi ke peternakan dan menghabiskan waktu di sana. Sementara itu, Dimas sudah berangkat ke kantor."Entahlah. Ibu juga tidak tahu," jawab ibu dengan nada gamang. Aku pun menghela nafas lelah."Ibu tidak mau bercerai saja dengan bapak. Lalu memulai kehidupan baru?" tanyaku dengan hati-hati. Aku takut membuat ibu terlalu emosional." ... "Hening,Ibu tidak langsung menimpali ucapanku. Mata beliau terlihat menerawang jauh. Dan aku pun tidak mendesak ibu untuk segera menjawab. Hal-hal terkait hati memang tidak bisa diputuskan dengan mudah."Baik bibi Sarinah dan juga Ruslan telah memutuskan jalan hidup mereka sendiri. Dan tampaknya mereka juga bahagia-bahagia saja dengan pilihan hidup mereka saat ini. Hanya tinggal ibu saja yang masih terjerat dal
Dimas POV,Jarum jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi ketika semua drama mengenai orang tua kandung itu selesai. Setidaknya itu yang mereka katakan. Sementara menurutku, penyelesaian seperti ini agak terdengar tidak benar. Akan tetapi, jika ditanya hasil seperti apa yang aku inginkan atas masalah ini, tentu saja aku tidak bisa menjawabnya dengan pasti. Karena orang-orang yang terlibat dalam masalah ini telah memutuskan untuk terus melangkah. Hanya ibu yang tampaknya masih terus terjerat dalam masa lalu. Namun, bahkan jika aku mengatakan apapun hingga berbusa, kalau ibu telah membuat keputusan keras kepala sendiri, lantas apa yang bisa aku lakukan?Rambutku yang sudah disisir dengan rapi, aku acak hingga berantakan. Masalah keluarga ini sungguh tidak ada habisnya!"Tau ah. Terserah mereka!" dumelku seraya mulai menyibukkan diri dengan pekerjaan yang ada di hadapanku kini.Dikarenakan masalah keluarga tadi, aku sampai harus minta i
"Jadi, masalah ini sudah selesai sampai di sini 'kan?" tanya Mas Ruslan dengan intonasi datarnya yang seperti biasa."Iya!" timpal ibu Sarinah."Kalau begitu, kami bisa pulang duluan 'kan? Aku masih punya banyak pekerjaan," tukas Mas Ruslan."Baiklah, ayo bubar!" pungkas Mbak Dina mengikuti.Karena posisi berdiri kami yang sudah ada di ambang pintu rumah kontrakan ini, Mas Ruslan dapat langsung membuka pintu, dan mengambil langkah keluar."Kamu pamit. Assalamualaikum, semuanya!" ujar Mas Ruslan yang segera aku ikuti dari belakang."Waalaikumsalam!" jawab Mbak Dina seorang.Tanpa menoleh ke arah belakang. Kami terus berjalan menuju sepeda motor yang diparkir Mas Ruslan tidak jauh."Ruslan, ada apa? Kok keluarga kamu rame-rame berkumpul di kontrakan Arumi?""Iya nih, Lan. Tadi kita semua lihat ibu kamu menjambak ibunya si Arumi itu. Mereka ada masalah apa sih sebenarnya?"Warga kampung yang meman