"Lalu, kamu sendiri apa jawabannya?" Merry menoleh menatap Susan, kemudian menjawab, "Saya? Oh, saya masih harus tetap menjawab?" "Tentu saja!" Merry berpura-pura seperti sedang berpikir keras, "Hmm ..., gimana ya, Bu ... kalau aku menolak, kok kesannya aku munafik banget. Tapi kalau aku bilang langsung sikat aja ... kok, kesannya aku kayak murahan banget. Jawaban yang manapun, sepertinya akan terasa salah," jawab Merry bersedekap sambil menganggukkan kepalanya sok bijak. Susan tertawa mendengar jawaban Merry, "Harus pilih salah satu! Nggak boleh nggak jawab!" "Aku nggak bisa jawab, Bu!" elak Merry memilih mengambil jalan paling aman. Susan mendengkus kecewa, "Ah, kamu nggak asyik. Ini kan, untuk seru-seruan aja. Padahal kebanyakan cewek-cewek yang saya ajak ngobrol masalah ini, mereka akan jawab sikat aja. Kecuali yang udah menikah, ya pasti jawab menolak. Oh, kecuali Anjani. Anak itu masih polos, dia pasti jawab, 'Ng, tapi kita dihalalin dulu gitu sama Pak Liam-nya?' Hadeeeeh,
Setiap dalam perjalanan, Merry selalu manfaatkan waktu untuk tidur. Namun perjalanan kali ini, sepertinya tidak bisa sama sekali. "Pak Liam, ada yang bisa saya bantu lagi?" ucap Merry setelah dia melaporkan semua persiapan perjalanan bisnis ini. Liam yang sudah duduk santai di kursinya langsung menoleh memandang Merry, "Sepertinya sudah cukup. Kamu bisa bersantai sampai kita mendarat nanti. Tenang saja nggak usah tegang begitu. Saya nggak rewel minta macam-macam, kok! Penerbangan ini juga tidak lama." "Ng, baik kalau begitu, Pak." "Oh, kalau hanya kita berdua, saya nggak masalah kalau kamu hanya memanggil saya Liam." "Ng, baik, Pak ... eh, Liam. Kalau begitu, saya izin memejamkan mata saya." "Silakan." Merry tersenyum tipis. Maka, untuk sisa perjalanan ini, Merry mencoba untuk memejamkan matanya. Tentu saja dia tetap terbangun pada saat pramugari membagikan makanan untuk seluruh penumpang pesawat. Namun selain itu, perjalanan ini berjalan dengan lancar sampai pesawat mendarat
"Singapura memang tidak besar, namun ada banyak tempat menarik yang bisa kita singgahi hanya dengan berjalan kaki dari sini. Apa kamu kuat?" usul Liam.Merry terdiam mendengar ucapan itu, dia sedang mencerna maksud dari kalimat yang disampaikan oleh Liam. "Maksud bapak, kita akan berjalan kaki keliling kota ini?" tanya Merry untuk memastikan pemahamannya.Liam mengangguk, "Apa kamu pernah ke sini sebelumnya?"Merry mengangguk, "Iya, bersama Dawn dan Cathy. Dawn terkadang berbelanja tas incarannya di sini, dan harganya lebih murah daripada beli di Jakarta.""Sebelumnya kalau ke sini, kalian ke mana saja?""Hmm, biasa aja sih, keliling ke Kampong Glam, Sentosa, Little India, Bugis Street, Orchard Road, Raffles.""Semua spot turis, ya!""Iya, mau ngapain lagi kalau ke sini, kan?" "Saya sudah puluhan kali ke sini, namun belum pernah benar-benar berkeliling Singapura. Apa kamu punya tempat yang mau kamu rekomendasikan?"Merry menatap Liam tak percaya. "Kamu nanya saya?"Liam mengangguk. Me
Sudah satu jam Merry dan Liam berada di Universal Studios. Sejauh ini, mereka hanya menghabiskan dengan berkeliling taman bermain, sambil menikmati pertunjukkan gratis. “Kamu nggak mau naik wahana?” tanya Liam.” Saat mereka mulai memasuki taman bertema Far-Far Away“Mau!” sahut Merry dengan tatapan berbinar-binar. Ah, tentu saja selama satu jam ini dia menunggu-nunggu pertanyaan itu terucap dari mulut Liam. Tidak mungkin kalau dia yang langsung meminta, kan?Liam mengangguk gemas melihat reaksi Merry yang terlihat agak kekanak-kanakan. Sangat berbeda sekali dengan yang biasa dilihatnya saat di kantor. “Let’s go!” Secara spontan Liam menggamit tangan Merry dan menariknya menuju salah satu wahana, Puss in Boots Giant Journey.Merry terkejut saat Liam melakukan hal itu padanya. Dia bermaksud melepaskan pegangan tangan Liam, namun pria itu menggenggamnya dengan cukup kencang. “Ng, Liam, kayaknya tanganku-“ namun sebelum Merry menyelesaikan ucapannya, Liam sudah melepaskan pegangan tanga
Seminggu sudah berlalu sejak perjalanan mereka bersama. Hari-hari Merry berlangsung seperti biasanya, sibuk dengan pekerjaan. Yang membedakan hanyalah hubungannya dengan Liam yang sudah lebih santai dan tidak ada ketegangan seksual lagi. Liam sering mengajak Merry makan malam selepas kerja, bahkan mengantarnya sampai ke rumah. Namun tentu saja, hubungan mereka masih dirahasiakan dari orang-orang kantor. “Kalian hanya bersantai di cafe setelah selesai pertemuan dengan Bu Dira?” Begitu pertanyaan yang diajukan oleh Susan esok harinya.Merry mengangguk, “Ya, Ibu tahu kan, bagaimana Pak Liam? Sangat serius.”“Dan kalian tidak sempat mampir ke Mustafa sama sekali untuk membeli oleh-oleh?”Merry cengengesan, “Karena tegang, aku sampai lupa tentang oleh-oleh, Bu.”“Makanya kalian membelinya di duty free di bandara? Ya ampun, Merry, darimana kamu tahu kalau ini parfum favoritku? Makasih, ya!” Tanpa diduga, Susan memeluk Merry kegirangan. “Eh iya, Bu, sama-sama. Penciumanku cukup sensitif s
“Setelah bertemu hewan kedua, apa yang terjadi?”“Kamu melanjutkan perjalanan lagi. Kali ini, kamu memutuskan untuk beristirahat. Kebetulan di hutan itu kamu melihat sebuah gubuk. Kamu memutuskan untuk beristirahat di sana. Dalam bayanganmu, kamu akan beristirahat di teras gubuk itu, atau masuk ke dalamnya?”“Gubuk di tengah hutan? Apakah ini kisah horor?”“Liam!” “Hahaha, oke, aku akan menjawab. Karena untuk beristirahat, aku memutuskan untuk masuk ke dalam gubuk itu. Aku perlu merebahkan tubuh, tidak mungkin tiduran di atas lantai kan? Di dalam gubuk pasti ada dipan.”“Oke, jadi kamu akan masuk ke dalam. Setelah cukup beristirahat, kamu bermaksud melanjutkan perjalanan.”“Hanya itu? Nggak ada penunggu lain?”“Ah, ya, kamu benar. Sebelum kamu memutuskan melanjutkan perjalanan, tiba-tiba ada seseorang yang datang dan mengatakan kalau gubuk itu miliknya. Jadi, dia mengusirmu. Apa yang kamu lakukan? Apakah kamu akan mempertahankan gubuk itu, atau membiarkannya dan pergi begitu saja?”“
Setelah selesai makan malam, Liam mengantarkan Merry kembali pulang ke rumahnya. Selama dalam perjalanan tidak banyak obrolan yang terjadi. Merry lebih banyak diam karena sudah merasa sangat lelah. “Sorry if you’re feeling uncomfortable because of my mom,” ucap Liam.Merry menggeleng pelan, “Nggak apa-apa, kok! Cepat atau lambat aku pasti akan bertemu dengan orang tuamu. Kecuali kalau kita putus dalam waktu dekat ini. Jadi kupikir, daripada khawatir kelamaan memikirkan apa yang akan terjadi saat aku bertemu ibumu, kejadian tadi membuatku sedikit lega. Ibumu sudah mengenalku. Masalah dia menyukaiku atau nggak, masalah nanti. Setidaknya satu tahap sudah aku lewati.”Liam tiba-tiba tertawa pelan. Merry menoleh merasa heran, “Kenapa tertawa?”“Nothing … it just … feels weird. Kita baru saling membuka perasaan selama seminggu ini, tapi kenapa perbincangan kita seperti sudah hendak merencanakan pernikahan? Kamu merasa seperti itu bukan?”“Apakah kamu merasa keberatan?” tanya Merry.“Kebera
Hari berganti hari, sebulan pun berlalu. Masa-masa awal hubungan yang Merry jalani berjalan dengan lancar dan sangat menyenangkan. Cathy dan Benny mendapatkan hadiah yang dijanjikan oleh Liam, uang tunai masing-masing sebesar seratus juta rupiah. Jumlah yang tentu saja membuat mereka berdua merasa seperti sedang kejatuhan durian matang. Apalagi Benny yang baru mau masuk kuliah. Dengan dana itu, dia tidak perlu mengkhawatirkan biaya masuk kuliahnya. Namun, seperti halnya roda yang berputar, masa-masa indah itu tidak berlangsung selamanya. Masa-masa yang penuh dengan canda dan tawa perlahan mulai digantikan dengan kekhawatiran dan pikiran yang terus berputar memikirkan satu nyawa yang bernaung di dalam rahimnya. “Merry, kamu lagi senang, ya?” tanya Susan suatu hari.“Ng, senang atau sedih tergantung apa yang terjadi sih, Bu. Kenapa?” balas Merry.“Entah perasaanku atau bukan, tapi sepertinya kamu gemukan,” ucap Susan lugas.Merry tertawa dipaksakan, “Ah, Ibu bisa aja. Tapi emang sih,
Seringkali apa yang kita rencanakan tidak berjalan seperti seharusnya. Seringkali kita kecewa dengan hasil yang kita dapatkan. Padahal mungkin, Tuhan bukannya tidak mengabulkan harapan kita. Melainkan Tuhan tahu apa yang kita butuhkan. Seumur hidupnya, Merry tidak pernah menginginkan hal yang terlalu muluk. Dia tidak menginginkan pacaran dengan anak orang kaya, kemudian mereka menikah dan tinggal di sebuah rumah yang mirip dengan istana. Hidup nyaman dengan bergelimang harta memang sangat menggiurkan, namun bukan hal yang mutlak untuk dimiliki. Melihat pernikahan kedua orang tuanya, Merry selalu berharap kalau dia akan bertemu dengan seorang pria yang baik, bertanggung jawab dan menghargai semua pendapatnya. Namun yang paling penting, pria itu akan terus bersamanya sampai dengan masa tua mereka. Sehingga dia tidak akan merasa kesepian seperti ibunya. Almarhum ayahnya merupakan pria yang baik, malah teramat baik. Namun sepertinya memang benar pepatah yang mengatakan orang baik umurny
Para orang tua selalu mengatakan, perjalanan menjadi dewasa melalui sebuah rangkaian proses yang panjang. Manusia melakukan kesalahan, tapi kemudian mereka akan memperbaikinya. Itulah yang membuat seseorang berkembang dan menjadi lebih dewasa dan bijaksana. Terdengar mudah, namun pada saat menjalaninya, Merry tidak tahu kalau kesalahan yang akan dilakukannya akan begitu menguras seluruh emosi dan fisiknya. Kalau saja mesin waktu ada, Merry akan memilih untuk kembali di saat dia kehilangan peran utama pertama kali yang berhasil didapatnya. Dia akan mengatakan pada versi dirinya yang lebih muda agar menerima keputusan saat peran tersebut dicabut darinya. Bukan berarti dia akan membiarkan versi dirinya yang lebih muda menjadi kurang ambisius, dia hanya akan melarang dirinya yang dulu agar tidak memasuki pintu ruangan tersebut. "Mer, kita sudah boleh pulang," tegur Cathy saat dia melihat Merry yang hanya duduk terdiam di atas ranjang IGD. “Benny,” begitu tersadar Merry lekas meraih ta
Acara pensi berlangsung dengan sukses. Acara sekolah mereka diliput oleh salah satu kanal televisi nasional. Merry, Cathy dan Dawn berjoget bersama di depan panggung untuk merayakan keberhasilan acara, sementara band tamu sedang tampil di atas panggung. Beberapa panitia yang lain pun ikut terjun merayakan. “Acara kita berhasil, Mer!” pekik Cathy memeluk Merry dengan erat. Tentu saja dia satu tim dengan Merry dan mereka berhasil mendapatkan banyak sponsor. “Dawn, bilang makasih sama bokap lo ya, karena udah mau jadi sponsor utama!” ucap Merry setengah berteriak dan merangkul bahu Dawn. Akhirnya mereka bertiga saling berangkulan sambil berjoget.“No problem! Win win, kok! Kata bokap, bagus juga buat promosi produk perusahaan!” balas Dawn.“Gue seneng banget! I love you, guys! Mulai saat ini, kita sahabatan sampai maut memisahkan, ya!” teriak Cathy.Cathy dan Dawn memang sudah sahabatan sejak SMP, namun Merry baru empat bulan ini bergabung bersama mereka. “Okay!” balas Merry dan Dawn
Sebelum menggeluti dunia akting, Merry terjun ke dunia modeling terlebih dahulu. Dia keluar sebagai juara satu pemilihan model di sebuah majalah remaja saat masih SMP. Setelah itu, dia mendapatkan banyak tawaran sebagai bintang iklan. Merry tidak mengambil pekerjaan selain modeling untuk membagi waktunya dengan jadwal sekolah. Karena iklan yang menggunakan wajahnya cukup banyak, Merry pun mendapatkan popularitas di kalangan remaja. Saat dia masuk SMA, Merry mulai mendapatkan tawaran sebagai pemeran pendukung di sebuah film. Hanya peran kecil, namun dari sana bakat akting Merry mulai dikenal. "Itu Sifabella Hadiprana yang jadi Dona, kan? Aktingnya keren banget pas adegan berantem. Badannya bagus sih, tinggi atletis." Begitu obrolan para siswa yang melihat dirinya di sekolah. Merry memang memakai nama belakang dan nama almarhum ayahnya untuk karir keartisan. "Wah, dia masuk ke sekolah kita? Berarti dia pintar juga anaknya, ya?" "Atau mungkin dia masuk dari jalur prestasi." "Prestasi
Wajah Merry masih terasa panas saat akhirnya dia sudah tiba di IGD rumah sakit terdekat. Kompleks apartemennya memang cukup dekat dengan rumah sakit, hanya perlu menyebrang, dan dia sudah sampai di halaman rumah sakit. Dan sepanjang jalan itu, sang Budi terus membopongnya. Benar-benar otot pria itu bukan kaleng-kaleng. "Apa yang sakit, mbak?" tanya perawat yang bertugas memeriksanya. "Ka-kaki saya, sus," jawab Merry. Sesekali matanya melirik ke tubuh sang Budi yang sedang berbicara dengan petugas administrasi di ruangan sebelah. Kebetulan lokasi tempat tidurnya bisa melihat ke ruangan itu. "Yang ini?" perawat itu memencet pergelengan kaki kanan Merry. "AAW!" Merry berteriak kaget karena dia sedang fokus mengintip. "Pelan-pelan, sus," ucap Merry meringis kesakitan. "Maaf, Mbak, lalu mana lagi yang sakit?" Mau tidak mau, Merry terpaksa berhenti mengintip dan fokus memberitahu perawat mana saja dirasa sakit olehnya. "Ada apa lagi lo ke sini, Bud?" Tiba-tiba Merry mendengar suara
Mereka bertiga berjalan bersama ke mall setelah mandi dan berganti pakaian. Mereka memutuskan untuk makan di foodcourt sehingga mereka bergantian membeli makanan. Saat Merry sedang berkeliling membeli makanan, Cathy dan Dawn duduk berdua saja sambil sesekali sibuk memeriksa ponsel mereka.Cathy tertawa membaca pesan dari Jason, cowok yang baru dikenalnya beberapa saat yang lalu. Tentu saja Jason mengajaknya untuk jalan hanya berdua di lain waktu, dan Cathy membalasnya dengan senang hati. Lumayan buat mengisi rasa bosan.Namun kemudian dia menyadari kalau Dawn diam saja sejak mereka berada di kolam renang. Padahal Dawn biasanya tidak berbeda jauh darinya kalau sedang berkenalan dengan cowok, agak centil dan banyak melempar candaan. "Oke, ada apa, Dawn?" tanya Cathy meletakkan ponsel di atas meja.Dawn terkejut karena Cathy tiba-tiba bertanya padanya, padahal perempuan itu sedetik sebelumnya terlihat asyik menatap layar ponselnya."Hah, oh ... gue ... nggak apa-apa, kok!" jawab Dawn se
Sesuai dengan janji pada Nyonya Sophie, hari ini Ashton akan memberikan Brittany kesempatan untuk memperbaiki hubungan mereka. Minggu ini mereka janjian untuk makan siang bersama di sebuah restoran.Ashton masih mengendarai mobilnya saat dia mendapatkan telepon dari Liam.“Yes, Bro?” jawab Ashton.“Lo di rumah?”“Nope, gue udah di jalan. Hari ini Brittany ngajak gue ketemuan.”“Oh, jadi sudah dimulai?”“Yep! Nyonya Sophie memang tidak pernah menunda waktu.”“Nyonya Sophie bukan nyokap lo, tapi lo nurut?”Ashton tertawa mendengar ucapan Liam yang penuh dengan nada sindiran.“Njirr, Nyonya Sophie juga bos gue keleus. Gue kerja di perusahaannya.”“Nyonya Sophie bukan satu-satunya pemilik. Masih ada gue dan bokap.”Ashton mendesah, memang sangat menyebalkan kalau dia harus selalu diingatkan masalah pada siapa dia sedang bekerja saat ini. Sebenarnya setelah menikahi Brittany, hal pertama yang akan dia lakukan adalah membuka perusahaan sendiri. Tentu saja dengan meminjam uang mertua. Tapi ka
"Ah, maafkan saya tidak sengaja menyenggol piring dan mengganggu perbincangan kalian," ucap Liam dingin walau masih terdengar sopan. Nyonya Sophie tersenyum, "Tidak masalah, Nak. Parmi, tolong bereskan piring yang pecah dan ganti yang baru," perintah beliau. Tanpa perlu diperintah dua kali, seorang pelayan sudah sigap membersihkan pecahan piring itu. Kemudian satu orang pelayan lainnya sudah membawakan piring yang baru di hadapan Liam. "Terima kasih karena sudah memakluminya, Nyonya Sophie," ucap Liam dengan sengaja mengubah panggilan ke ibunya dengan menggunakan nama. Nyonya Sophie menyadari perubahan intonasi suara dan panggilan yang diberikan Liam padanya. Beliau tidak terlalu terkejut, Liam pasti akan merasa keberatan, namun Nyonya Sophie sudah mempersiapkan rencananya dengan matang. "Tidak masalah, Liam. Piring yang pecah masih bisa digantikan. Namun, hati seorang ibu yang pecah dan terluka akan sulit untuk diobati. Bukan begitu?" balas Nyonya Sophie dengan nada bercanda na
Merry duduk dengan gelisah di kursi sambil sarapan. Berkali-kali matanya menatap ke arah jam dinding yang baru menunjukkan pukul sebelas siang. Benny tidak pulang dari malam, anak lelaki itu bahkan tidak menjawab pesan dan telepon darinya.“Berani-beraninya dia tidak acuh saat aku telepon,” Merry menggeram kesal. Namun, kekesalannya cepat berubah menjadi rasa khawatir. Merry tentu saja khawatir di mana adiknya tidur tadi malam, dan makan apa dia pagi ini. Merry meraih ponsel dan mengusap layar untuk membuka kunci. Ada banyak telepon tidak terjawab dan pesan yang belum dibacanya, salah satunya dari kekasihnya, Liam. Dia sedang tidak bersemangat mengecek pesan dari siapa pun. Namun, untuk mengalihkan pikirannya, dia mulai membuka semua pesan-pesan yang masuk. [Merry, kenapa kamu belum membaca pesan dariku? Kamu nggak apa-apa?] Begitu isi pesan dari Liam. Merry terus menelusuri pesan yang masuk dari Liam. Dan akhirnya dia sampai pada bagian saat Liam membicarakan Benny. [Benny tidur d