Susan sedang bingung, masalahnya dia memiliki janji untuk menjemput anaknya tapi malam nanti ada acara makan malam menemani Bosnya. Dia sedang berpikir keras harus memakai alasan apa agar anaknya tidak terlalu kecewa kalau dia membatalkan janji hari ini. Dilihatnya Merry baru keluar dari ruangan Direktur dengan kedua pipi berwarna merah. Merry terlihat tergesa-gesa kembali ke mejanya. Dia menarik napas dalam berkali-kali setelah duduk di kursinya.“Kamu kenapa?” tanya Susan terheran-heran.“Oh, eh … nggak kenapa-kenapa, kok, Bu!” Merry menjawab cepat. “Kamu demam? Muka kamu merah begitu?” tanya Susan kembali.Merry menggeleng cepat, “Aku nggak apa-apa, kok, Bu, mungkin agak ngantuk. Aku beli kopi dulu, ya, ke bawah.” Merry bangkit kembali dari kursinya dan beranjak menuju lift. Susan hanya memiringkan kepalanya, merasa bingung dengan sikap juniornya. Tapi tiba-tiba, firasat perempuan menghantam kesadarannya. Susan hanya menggelengkan kepalanya menyadari hal itu. Dan seketika ide ce
Suasana di dalam mobil terasa canggung. Liam duduk dalam diam sambil menatap tablet di tangannya. Sementara Merry duduk di sebelahnya tidak tahu harus mengatakan atau melakukan apa.Makan malam bisnis memang bukan pertama kalinya Merry ikuti, tapi biasanya dia hanya ikut sebagai asisten Susan. Merry hanya bertugas membawakan dokumen dan mencatat. Selebihnya Susan yang mengurus dan mengkoordinir. Biasanya pun Merry duduk di kursi depan di sebelah supir, dan Susan yang duduk di belakang bersama Liam. Duduk di sebelah bos ternyata bukan hal yang mudah, tekanannya begitu besar. Mungkin saat sudah terbiasa, tekanan itu akan semakin berkurang. Semoga saja. “Pak Liam, kita jalan terlalu cepat. Apakah kita akan menunggu langsung di lokasi?” tanya Merry memberanikan bertanya.“Acaranya dimajukan ke jam tujuh. Apa kamu belum memeriksa email kamu?” jawab Liam tanpa menoleh dari layar tablet.Merry terkejut mendengarnya. Dia pun langsung mengecek emailnya melalui ponsel. Ah, benar saja. Email pe
"Kamu kenapa?" Liam menegur Merry yang hanya berdiri mematung di depan pintu lobi. Merry terlihat terkejut, kemudian dia menolehkan kepalanya. "Oh, ng-nggak kenapa-kenapa kok, Pak, saya hanya tiba-tiba merasa gugup." "Gugup kenapa?" tanya Liam merasa sedikit terkejut karena dia mengira Merry masih merasa canggung dengan situasi di dalam mobil. Ternyata perempuan itu sudah melupakannya sama sekali. Entah kenapa dia merasa sedikit kesal karena Merry terlalu cepat teralihkan pikirannya. "Karena ini pertama kalinya saya mendampingi bapak makan malam bisnis seorang diri. Biasanya kan, saya hanya sebagai asisten Bu Susan." "You don't have to worry. I'm with you right now. Kamu hanya perlu mengikuti instruksi dariku. Okay?" Merry mengangguk menuruti. Setelah itu, dia mengekor di belakang Liam, siap dengan tablet di tangannya. Saat mereka baru melewati pintu lobi, Liam melirik dari sudut matanya keseluruhan penampilan Merry. "Seingat saya, kamu tidak memakai pakaian ini tadi siang," ucap
Liam sebenarnya tidak pernah berniat membongkar kalau dia tahu siapa Merry sejak awal. Dia bermaksud menyimpannya saja karena toh memang hanya cinta satu malam. Namun, sejak Ashton meminta Merry untuk menjadi sekretarisnya, Liam tidak bisa menahan dirinya lagi. "Kenapa diam saja? Lihat, kamu bahkan kehabisan kata-kata saat melihat saya 'kan?""Pak.""Liam.""Liam, sepertinya saat bayi, ibu atau bapakmu pernah menjatuhkanmu ya?""Apa hubungannya?"Merry menggelengkan kepalanya, "Bapak terlalu percaya diri.""Apakah percaya diri merupakan hal yang salah.""Nggak, sih, tapi ... apakah bapak selalu seperti itu di depan orang lain?""Liam.""Liam." Merry cepat mengoreksi saat Liam melirik dari sudut matanya."Apakah menurutmu aku tidak sesuai dengan apa yang aku ucapkan?" Merry menggelengkan kepalanya, "Masalahnya sih, memang sesuai," gumamnya.Mendengar jawaban Merry, senyum langsung merekah di wajah Liam. Melihat senyuman itu tentu saja membuat Merry menjadi terpana. Setelah hampir seb
Liam menghempaskan tubuhnya ke atas kasur begitu dia masuk ke dalam kamar. Saat ini dia merasa sangat gelisah. Darahnya bergejolak dan suhu tubuhnya meningkat. Oh ya Tuhan, dalam situasi begini kenapa hasratnya harus bergejolak? Setelah Merry keluar dari dalam mobilnya, Liam nyaris lepas kontrol dan menarik kembali perempuan itu ke dalam mobilnya. Kemudian dia akan mulai mencumbunya seperti malam itu. Untung saja Merry menutup pintu mobil di waktu yang tepat. Sebelumnya Liam merupakan tipe yang jarang melampiaskan hasratnya. Dia selalu menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan. Namun sejak malam itu, Merry berhasil menyulut sumbu yang selama ini terbengkalai. Dan sumbu tersebut sedang menyala, entah kapan akan meledakkan bom yang akan meruntuhkan dinding pertahanan diri pria itu. Liam memutuskan untuk mandi air dingin. Dia harus bisa menurunkan hasratnya. Cukup lama dia berada di bawah pancuran. Menarik napas dalam berkali-kali, berusaha menghilangkan bayangan wajah perempuan itu. Set
Merry keluar dari dalam kamar mandi setengah jam kemudian dengan rambut dan wajah yang basah. Handuk tersampir di lehernya, dia sudah berganti dengan pakaian tidurnya, kaos dan celana pendek. Saat melewati ruang TV, dilihatnya Benny sudah terlelap dengan televisi yang masih menyala. Merry berdecak, namun dia tidak marah ataupun kesal. Dia hanya maklum akan kelakuan adiknya. Merry merapikan selimut yang menutupi tubuh Benny. Kemudian dia mematikan televisi dan lampu ruangan, berganti dengan lampu kecil lima watt di meja nakas. Saat Merry melihat jam, waktu sudah menunjukkan pukul satu malam. Setelah memakai dengan asal krim malam, dia lekas naik ke atas kasur dan bersiap untuk tidur. Selama beberapa saat dia membolak-balikkan tubuhnya di atas kasur, sesekali menyentuh perutnya yang rata. Dia sudah tidak sabar untuk melakukan tes, tapi dia tahu kalau hasil tes akan menunjukkan negatif karena memang belum waktunya. Beberapa hari lagi. Dia harus menunggu beberapa hari lagi sampai bisa
Merry mengurung dirinya di dalam salah satu bilik kamar mandi. Dia ingin menangis dengan kencang, namun menyadari bisa saja ada orang lain yang masuk ke dalam kamar mandi, Merry berusaha menahan dirinya dan hanya menangis pelan. Sekitar lima belas menit kemudian, saat Merry merasa sudah lebih lega, dia keluar dari bilik. Dilihatnya matanya bengkak dan hidungnya merah. Dia tidak bisa keluar begitu saja. Orang-orang pasti bisa melihat kalau dia habis menangis. Merry mencuci wajahnya dan itu membuat riasannya luntur. Merry pun harus menata ulang riasannya. Dia juga menggerai saja rambutnya dari yang tadinya dikuncir kuda. Lebih bagus lagi kalau dia memakai kaca mata sehingga mata bengkaknya bisa lebih disembunyikan. Namun sayangnya dia tidak membawa kaca mata. Merry akhirnya keluar dari kamar mandi setelah merasa penampilannya sudah terlihat normal dan baik-baik saja. Begitu sampai di mejanya, dilihatnya Susan sudah tidak ada di mejanya. Sepertinya sedang di dalam ruangan Liam. Merry m
“Bi, gue pernah dengar Pak Landon punya skandal sama sekretarisnya. Gue baru nyambung, lo kan sekretarisnya. Cewek yang ada di gosip itu … lo, ya?” tanya Merry tanpa ragu-ragu.Bianca hanya tersenyum tipis mendengar pertanyaan Merry. Menyadari reaksi Bianca yang hanya tersenyum, Merry terkesiap. Lekas dia menutup mulutnya sendiri agar tidak terlalu heboh.“Lo yang membuat Pak Landon dan Ibu Sophie bercerai?” tanya Merry lagi penuh rasa ingin tahu.“Pernikahan mereka memang sudah di ujung tanduk. Mereka bahkan sudah pisah ranjang bertahun-tahun. Gue hanya menambahkan sedikit api agar mereka berani mengambil keputusan.” Bianca mengedikkan bahunya sama sekali tidak merasa bersalah atau sedih karena sudah dicap sebagai perusak rumah tangga orang lain.“Well, yah … apa lo nggak pernah mikir, jalan pikiran orang kaya biasanya beda sama jalan pikiran kita. Mungkin saja selama bertahun-tahun mereka nggak bercerai karena pertimbangan bisnis, yang melibatkan nasib ribuan pekerja,” ucap Merry.B
Seringkali apa yang kita rencanakan tidak berjalan seperti seharusnya. Seringkali kita kecewa dengan hasil yang kita dapatkan. Padahal mungkin, Tuhan bukannya tidak mengabulkan harapan kita. Melainkan Tuhan tahu apa yang kita butuhkan. Seumur hidupnya, Merry tidak pernah menginginkan hal yang terlalu muluk. Dia tidak menginginkan pacaran dengan anak orang kaya, kemudian mereka menikah dan tinggal di sebuah rumah yang mirip dengan istana. Hidup nyaman dengan bergelimang harta memang sangat menggiurkan, namun bukan hal yang mutlak untuk dimiliki. Melihat pernikahan kedua orang tuanya, Merry selalu berharap kalau dia akan bertemu dengan seorang pria yang baik, bertanggung jawab dan menghargai semua pendapatnya. Namun yang paling penting, pria itu akan terus bersamanya sampai dengan masa tua mereka. Sehingga dia tidak akan merasa kesepian seperti ibunya. Almarhum ayahnya merupakan pria yang baik, malah teramat baik. Namun sepertinya memang benar pepatah yang mengatakan orang baik umurny
Para orang tua selalu mengatakan, perjalanan menjadi dewasa melalui sebuah rangkaian proses yang panjang. Manusia melakukan kesalahan, tapi kemudian mereka akan memperbaikinya. Itulah yang membuat seseorang berkembang dan menjadi lebih dewasa dan bijaksana. Terdengar mudah, namun pada saat menjalaninya, Merry tidak tahu kalau kesalahan yang akan dilakukannya akan begitu menguras seluruh emosi dan fisiknya. Kalau saja mesin waktu ada, Merry akan memilih untuk kembali di saat dia kehilangan peran utama pertama kali yang berhasil didapatnya. Dia akan mengatakan pada versi dirinya yang lebih muda agar menerima keputusan saat peran tersebut dicabut darinya. Bukan berarti dia akan membiarkan versi dirinya yang lebih muda menjadi kurang ambisius, dia hanya akan melarang dirinya yang dulu agar tidak memasuki pintu ruangan tersebut. "Mer, kita sudah boleh pulang," tegur Cathy saat dia melihat Merry yang hanya duduk terdiam di atas ranjang IGD. “Benny,” begitu tersadar Merry lekas meraih ta
Acara pensi berlangsung dengan sukses. Acara sekolah mereka diliput oleh salah satu kanal televisi nasional. Merry, Cathy dan Dawn berjoget bersama di depan panggung untuk merayakan keberhasilan acara, sementara band tamu sedang tampil di atas panggung. Beberapa panitia yang lain pun ikut terjun merayakan. “Acara kita berhasil, Mer!” pekik Cathy memeluk Merry dengan erat. Tentu saja dia satu tim dengan Merry dan mereka berhasil mendapatkan banyak sponsor. “Dawn, bilang makasih sama bokap lo ya, karena udah mau jadi sponsor utama!” ucap Merry setengah berteriak dan merangkul bahu Dawn. Akhirnya mereka bertiga saling berangkulan sambil berjoget.“No problem! Win win, kok! Kata bokap, bagus juga buat promosi produk perusahaan!” balas Dawn.“Gue seneng banget! I love you, guys! Mulai saat ini, kita sahabatan sampai maut memisahkan, ya!” teriak Cathy.Cathy dan Dawn memang sudah sahabatan sejak SMP, namun Merry baru empat bulan ini bergabung bersama mereka. “Okay!” balas Merry dan Dawn
Sebelum menggeluti dunia akting, Merry terjun ke dunia modeling terlebih dahulu. Dia keluar sebagai juara satu pemilihan model di sebuah majalah remaja saat masih SMP. Setelah itu, dia mendapatkan banyak tawaran sebagai bintang iklan. Merry tidak mengambil pekerjaan selain modeling untuk membagi waktunya dengan jadwal sekolah. Karena iklan yang menggunakan wajahnya cukup banyak, Merry pun mendapatkan popularitas di kalangan remaja. Saat dia masuk SMA, Merry mulai mendapatkan tawaran sebagai pemeran pendukung di sebuah film. Hanya peran kecil, namun dari sana bakat akting Merry mulai dikenal. "Itu Sifabella Hadiprana yang jadi Dona, kan? Aktingnya keren banget pas adegan berantem. Badannya bagus sih, tinggi atletis." Begitu obrolan para siswa yang melihat dirinya di sekolah. Merry memang memakai nama belakang dan nama almarhum ayahnya untuk karir keartisan. "Wah, dia masuk ke sekolah kita? Berarti dia pintar juga anaknya, ya?" "Atau mungkin dia masuk dari jalur prestasi." "Prestasi
Wajah Merry masih terasa panas saat akhirnya dia sudah tiba di IGD rumah sakit terdekat. Kompleks apartemennya memang cukup dekat dengan rumah sakit, hanya perlu menyebrang, dan dia sudah sampai di halaman rumah sakit. Dan sepanjang jalan itu, sang Budi terus membopongnya. Benar-benar otot pria itu bukan kaleng-kaleng. "Apa yang sakit, mbak?" tanya perawat yang bertugas memeriksanya. "Ka-kaki saya, sus," jawab Merry. Sesekali matanya melirik ke tubuh sang Budi yang sedang berbicara dengan petugas administrasi di ruangan sebelah. Kebetulan lokasi tempat tidurnya bisa melihat ke ruangan itu. "Yang ini?" perawat itu memencet pergelengan kaki kanan Merry. "AAW!" Merry berteriak kaget karena dia sedang fokus mengintip. "Pelan-pelan, sus," ucap Merry meringis kesakitan. "Maaf, Mbak, lalu mana lagi yang sakit?" Mau tidak mau, Merry terpaksa berhenti mengintip dan fokus memberitahu perawat mana saja dirasa sakit olehnya. "Ada apa lagi lo ke sini, Bud?" Tiba-tiba Merry mendengar suara
Mereka bertiga berjalan bersama ke mall setelah mandi dan berganti pakaian. Mereka memutuskan untuk makan di foodcourt sehingga mereka bergantian membeli makanan. Saat Merry sedang berkeliling membeli makanan, Cathy dan Dawn duduk berdua saja sambil sesekali sibuk memeriksa ponsel mereka.Cathy tertawa membaca pesan dari Jason, cowok yang baru dikenalnya beberapa saat yang lalu. Tentu saja Jason mengajaknya untuk jalan hanya berdua di lain waktu, dan Cathy membalasnya dengan senang hati. Lumayan buat mengisi rasa bosan.Namun kemudian dia menyadari kalau Dawn diam saja sejak mereka berada di kolam renang. Padahal Dawn biasanya tidak berbeda jauh darinya kalau sedang berkenalan dengan cowok, agak centil dan banyak melempar candaan. "Oke, ada apa, Dawn?" tanya Cathy meletakkan ponsel di atas meja.Dawn terkejut karena Cathy tiba-tiba bertanya padanya, padahal perempuan itu sedetik sebelumnya terlihat asyik menatap layar ponselnya."Hah, oh ... gue ... nggak apa-apa, kok!" jawab Dawn se
Sesuai dengan janji pada Nyonya Sophie, hari ini Ashton akan memberikan Brittany kesempatan untuk memperbaiki hubungan mereka. Minggu ini mereka janjian untuk makan siang bersama di sebuah restoran.Ashton masih mengendarai mobilnya saat dia mendapatkan telepon dari Liam.“Yes, Bro?” jawab Ashton.“Lo di rumah?”“Nope, gue udah di jalan. Hari ini Brittany ngajak gue ketemuan.”“Oh, jadi sudah dimulai?”“Yep! Nyonya Sophie memang tidak pernah menunda waktu.”“Nyonya Sophie bukan nyokap lo, tapi lo nurut?”Ashton tertawa mendengar ucapan Liam yang penuh dengan nada sindiran.“Njirr, Nyonya Sophie juga bos gue keleus. Gue kerja di perusahaannya.”“Nyonya Sophie bukan satu-satunya pemilik. Masih ada gue dan bokap.”Ashton mendesah, memang sangat menyebalkan kalau dia harus selalu diingatkan masalah pada siapa dia sedang bekerja saat ini. Sebenarnya setelah menikahi Brittany, hal pertama yang akan dia lakukan adalah membuka perusahaan sendiri. Tentu saja dengan meminjam uang mertua. Tapi ka
"Ah, maafkan saya tidak sengaja menyenggol piring dan mengganggu perbincangan kalian," ucap Liam dingin walau masih terdengar sopan. Nyonya Sophie tersenyum, "Tidak masalah, Nak. Parmi, tolong bereskan piring yang pecah dan ganti yang baru," perintah beliau. Tanpa perlu diperintah dua kali, seorang pelayan sudah sigap membersihkan pecahan piring itu. Kemudian satu orang pelayan lainnya sudah membawakan piring yang baru di hadapan Liam. "Terima kasih karena sudah memakluminya, Nyonya Sophie," ucap Liam dengan sengaja mengubah panggilan ke ibunya dengan menggunakan nama. Nyonya Sophie menyadari perubahan intonasi suara dan panggilan yang diberikan Liam padanya. Beliau tidak terlalu terkejut, Liam pasti akan merasa keberatan, namun Nyonya Sophie sudah mempersiapkan rencananya dengan matang. "Tidak masalah, Liam. Piring yang pecah masih bisa digantikan. Namun, hati seorang ibu yang pecah dan terluka akan sulit untuk diobati. Bukan begitu?" balas Nyonya Sophie dengan nada bercanda na
Merry duduk dengan gelisah di kursi sambil sarapan. Berkali-kali matanya menatap ke arah jam dinding yang baru menunjukkan pukul sebelas siang. Benny tidak pulang dari malam, anak lelaki itu bahkan tidak menjawab pesan dan telepon darinya.“Berani-beraninya dia tidak acuh saat aku telepon,” Merry menggeram kesal. Namun, kekesalannya cepat berubah menjadi rasa khawatir. Merry tentu saja khawatir di mana adiknya tidur tadi malam, dan makan apa dia pagi ini. Merry meraih ponsel dan mengusap layar untuk membuka kunci. Ada banyak telepon tidak terjawab dan pesan yang belum dibacanya, salah satunya dari kekasihnya, Liam. Dia sedang tidak bersemangat mengecek pesan dari siapa pun. Namun, untuk mengalihkan pikirannya, dia mulai membuka semua pesan-pesan yang masuk. [Merry, kenapa kamu belum membaca pesan dariku? Kamu nggak apa-apa?] Begitu isi pesan dari Liam. Merry terus menelusuri pesan yang masuk dari Liam. Dan akhirnya dia sampai pada bagian saat Liam membicarakan Benny. [Benny tidur d