Valentino pulang, sesampainya di rumah ia melihat Nani sedang berdiri di teras. Sepertinya ia sedang menunggu Asya.Kalau saja Valentino tidak mengetahui keburukan Nani, ia pasti sudah menganggap Nani sangat perhatian pada Asya.Begitu Asya datang dengan di dorong Valentino, Nani langsung menghampiri mereka berdua."Asya dari mana saja? Sus Nani sampai tidak dapat tidur karena khawatir terjadi sesuatu padamu," tanya Nani dengan menampilkan wajah khawatir."Asya habis dari ...," ucapan Asya di sela oleh Valentino."Asya habis nginap di rumah neneknya," sela Valentino. Ia menjawab pertanyaan Nani."Oh, begitu," ucap Nani terlihat canggung dan ia pun menggaruk tengkuknya.Valentino membawa Asya masuk ke dalam kamarnya. Setelah itu baru Valentino ke kamarnya sendiri untuk bersiap ke kantor.Pada siang harinya, Valentino pulang lebih cepat. Sebelum pulang ia mampir ke sebuah toko yang menjual perlengkapan CCTV. Valentino membeli sebuah CCTV berukuran kecil tapi, memiliki kelebihan yang cuku
"APA?!" ucap Valentino."Tuan, Nona Belinda mengalami kecelakaan. Dan sekarang dia ada di Rumah Sakit," jelas orang yang menghubunginya."Kenapa menghubungiku? Aku dan dia sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Kami sudah lama bercerai!" Sentak Valentino dengan nada kesal."Tapi Tuan, tetap saja dia pernah menjadi bagian dalam hidup anda bukan?" desak orang itu."Aku tak peduli!" Sentak Valentino semakin kesal karena orang itu terus mendesaknya."Tuan, tolong kalau pun anda sudah tidak punya perasaan lagi terhadapnya setidaknya ini demi kemanusiaan. Tolong buka hati nurani anda, Tuan." Desak orang itu lagi."Sekali lagi aku tegaskan padamu. AKU TIDAK PEDULI!" Bentak Valentino sangat marah.Lalu, ia pun langsung memutuskan panggilan itu. Wajahnya yang tadi sudah merah kini semakin merah padam.Valentino memasukan kembali gawainya ke saku jasnya, lalu ia memandang Nani sengit.Nani yang di pandang seperti itu oleh Valentino hatinya jadi menciut, lehernya seketika menyusut ketakutan.Vale
Valentino langsung membawa Asya ke dokter spesialis neurologi.Ia memeriksakan Asya ke sana, setelah di periksa secara menyeluruh ternyata sistem syaraf Asya tidak ada gangguan. Dan ada pun masalah Nani menyuntikan sesuatu ke Asya itu dapat di selidiki lagi dengan memberi laporan pada polisi untuk memangkap Nani karena telah mencelakai Asya.Valentino dan Mira kembali ke rumah setelah mereka melakukan serangkaian pemeriksaan.Asya hanya perlu melatih otot kakinya saja agar kuat dan mampu berdiri dan berjalan."Ayah, apa aku akan bisa berjalan seperti anak-anak yang lainnya?" tanya Asya pada Valentino."Tentu sayang. Kamu pasti bisa berjalan bahkan berlari. Ayah akan melakukan apapun untukmu," ucap Valentino."Benarkah, Ayah? Apapun?" tanya Asya."Iya. Apapun, kenapa? Apa ada yang Asya inginkan?" tanya Valentino.Asya mengangguk, "aku ingin Bunda Mira menjadi ibuku, apa itu boleh?" Valentino tidak langsung menjawab, ia melihat ke arah Mira yang sedang duduk di sampingnya."Kalau hal it
Mira mengantar Asya pergi terapi, semakin lama mereka semakin dekat. Mira juga perlahan sudah mulai membuka hatinya untuk Valentino."Bunda aku kangen sama oma, kita main ke sana yuk," ajak Asya pada Mira."Boleh. Sepulang terapi kita mampir ya. Nanti Bunda masakin makanan buat oma," ucap Mira menyetujui usulan Asya."Horee, Bunda masak. Masakan Bunda enak banget," puji Asya.Mira tersenyum sambil mengucek rambut Asya.Setelah selesai terapi Mira dan Asya pergi ke rumah Carolina. Tapi, sebelumnya Mira mampir dulu ke sebuah department store untuk beli bahan makanan untuk ia masak."Asya, Bunda beli bahan-bahannya dulu ya," pamit Mira setelah mobilnya terparkir."Asya mau ikut apa tunggu di mobil?" tanya Mira."Asya tunggu di sini saja sama Pak Kinan. Bunda belanjanya tidak lama 'kan?" jawab Asya yang diakhiri dengan sebuah pertanyaan."Tidak. Hanya beli bahan buat masak aja kok. Ya sudah Asya tunggu di mobil aja ya, jangan keluar," ucap Mira."pak nitip Asya ya," lanjut Mira minta tolo
Melihat Mira pergi dengan berlari berusaha meninggalkan mereka, Valentino pun pergi mengejarnya.Melihat Valentino mengejar Mira, Belinda merasa kesal karena dirinya telah diabaikan.Valentino mengetuk kaca jendela pintu mobil Mira "Mir, buka! Ayo lah, Mir," pinta Valentino memohon.Mira bergeming, ia tak menghiraukan ketukan di kaca jendela mobilnya dan juga tak menghiraukan teriakan Valrntino."Mir ... Mira! Buka," ulang Valentino meminta Mira untuk membukakan pintu mobil untuknya.Mira menengadahkan wajahnya menatap Valentino, ia pun membuka kaca jendela mobil."Mir, jangan marah. Aku tidak mungkin kembali padanya. Dia hanya lah masa laluku," jelas Valentino setelah Mira membuka sedikit kaca jendelanya."Ayo buka Mir, kita hadapi hama itu bersama-sama. Hatiku hanya untukmu, begitu pun dengan Asya," lanjut Valentino menjelaskan perasaannya pada Mira.Mendengar kata Asya Mira menjadi luluh. Ia pun keluar dari dalam mobil.Begitu Mira keluar, Valentino langsung menarik Mira masuk ked
"Bi, bantu Asya berkemas," perintah Valentino pada pembantunya."Kita mau kemana, Ayah?" tanya Asya."Kita mau nginap di rumah Oma. Kamu mau 'kan?" ucap Valentino."Mau, mau banget. Aku sudah kangen sama Oma," ujar Asya gembira."Kamu juga siapkan apa saja yang akan di bawa?" ucap Valentino."Baik, Ayah," jawab Asya."Ayah keluar dulu ya," pamit Valentino sambil mengucek pucuk kepala Asya.Asya cemberut, dulu kalau Ayahnya melakukan hal itu ia tak keberatan. Tapi, semenjak Mira sering mengikat rambutnya, Asya sudah tak suka lagi diperlakukan demikian karena membuat rambutnya acak-acakan."Ayah, jangan lakukan lagi hal itu ya. Asya tak suka, rambut Asya jadi berantakan," protes Asya pada Valentino."Oh, Ayah pikir Asya tak keberatan akan hal itu. Kalau begitu Ayah tak akan melakukannya lagi," ujar Valentino berjanji pada Asya.Lalu, valentino pun keluar dari kamar Asya. Ia pergi menuju ruang kerjanya."Tolong tawarkan rumah saya," ucap Valentino kepada seseorang yang sedang ia hubungi.
Miya bersiap akan pergi untuk mencari Roy. Ia sudah muak karena terus diperas olehnya. Sementara saat dirinya minta untuk bertemu dengan anaknya lewat video call saja tidak pernah diizinkan oleh Roy.Miya keluar tanpa berpamitan pada Alan, ia pergi dengan diam-diam.Miya melajukan mobilnya menembus jalanan kota yang berdebu dan berasap akibat polusi udara.Miya mengikuti alamat yang telah Fred berikan padanya.Mata Miya menyipit, 'benarkah ini alamatnya?' gumam Miya.'Inikan kompleks perumahan. Ya, meski bukan perumahan elite tapi, setidaknya harga rumah ini cukup mahal juga 'kan?' gumamnya lirih.Miya kembali melajukan mobilnya, ia terus mencari rumah yang sudah ia kantongi.Mobil Miya berhenti tak jauh dari rumah yang bercat hijau lumut dengan pagar besi.Miya lama mengamati rumah itu tanpa beranjak dari mobilnya.Ia melihat seorang wanita muda cantik yang keluar dari rumah itu dan pergi dengan mengendarai motor.Miya turun dan mencoba mencari tahu pada tetangga di sebelah kanannya.
Alan berjalan mengitari tempat tidur untuk menuju ke balkon kamarnya.Ia memandang lurus ke arah rimbunnya pepohonan yang ada di halaman rumahnya.Daunnya bergerak tertiup angin bergoyang-goyag ke sana ke mari seolah sedang menari meliuk-liukan batangnya.Alan menghela nafas lalu menghembuskannya.'Apa aku telah salah mengenali orang?' sesal Alan.Ia teringat kembali akan Mira mantan istrinya itu.'Mira,' gumamnya lirih.Alan memasukan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Tatapannya kosong ke depan.Lama ia berdiri di sana, sampai Miya datang mengejutkannya karena tiba-tiba memeluknya dari belakang."Kamu sudah pulang, sayang?" ucap Miya menyapa Alan manja.Dulu Alan akan sangat senang sekali di perlakukan seperti itu. Tapi, kini rasanya ia merasa jijik.Alan tetap bergeming di tempatnya tanpa bergerak dan bersuara.Miya merebahkan kepalanya di punggung lebar Alan manja."Sayang, kamu kenapa? Apa ada masalah?" tanya Miya masih dalam posisi memeluk Alan."Berceritalah padaku. Aku a
Alan terus mundar mandir di depan rumah Mira, hingga sebuah mobil berhenti tepat di depan pintu gerbang tinggi menjulang itu.Alan menghampiri mobil itu dan mengetuk kaca jendelanya.Tok Tok Tok"Alan?" ucap Mira yang ada di dalam mobil bersama Valentino.Sepertinya mereka habis bepergian."Mau apa dia kemari? Bagaimana bisa dia tahu alamat rumah ini?" tanya Mira pada Valentino yang ada di sisinya.Dor ... Dor ... DorKetukan berubah menjadi gedoran.Meski ia menggendor tetap saja tidak dibuka oleh Valentino dan Mira."Jangan dibuka!" perintah Valentino. "Kita tidak tahu niat jahat apa yang hendak ia lakukan pada kita, terutama kamu!" ucap Valentino memperingati Mira dengan tegas.Mira tak menjawab dengan ucapan melainkan dengan anggukan.Mata Alan nyalang, ia memutari mobil. Tak berhasil di sisi sebelah kanan ia berpindah ke sebelah kiri.Mata Mira tak sengaja bertemu pandang dengan mata Alan secara tak sengaja. Namun tetap saja hal itu membuat Mira terkejut, sampai ia merapatkan pun
Alan terpaku menatap jasad di hadapannya. Ia tak terlihat seperti orang linglung. Baru saja kemarin ia menemuinya, kini dia sudah ada di hadapannya sudah menjadi jasad."Miya," ucap Alan lirih.Salah satu petugas ambulance menoel Alan."Pak, maaf tolong tandatangani dokumen ini," ucap salah satu petugas pengantar jenazah itu pada Alan.Alan menoleh, ia melihat petugas itu kaku bagaikan tak bernyawa.Alan mengambil dokumen itu tanpa mengatakan sepatah kata pun. Ia langsung menandatanganinya dan menyerahkannya kembali pada petugas itu.Setelah petugas menerima kembali dokunen itu, ia pun bertanya pada Alan, "Maaf Pak, jenazahnya mau di letakkan di mana? Sekalian mau kami turunkan." Mata Alan masih terfokus pada jasad Miya yang terbaring di atas brangkar."Benarkah itu kamu Miya?" tanya Alan masih tak percaya.Ada rasa penyesalan yang begitu dalam di hati Alan."Andai aku tak menjatuhkan talak padamu, apakah kamu masih tetap hidup sampai saat ini, Miya?" tanya Alan.Tentu saja Miya tak
Mira kembali lagi ketika tahu rumah Alan kosong tak berpenghuni.Mira mencari tahu kemana Alan membawa ibunya dengan bertanya pada orang yang memposting berita duka itu.Ternyata Alan telah pindah rumah, Mira baru tahu kalau rumah mewah yang pernah ia tempati ternyata telah dijual oleh Alan."Ternyata rumah itu telah dijual, Bu," ucap Mira pada Carolina."Oh, iya? Aku tidak tahu kabar itu," balas Carolina."Mungkin Alan membawa Prapty ke kampungnya," ucap Mira."Iya sepertinya begitu," balas Carolina.Mira akhirnya tidak pergi melayat, justru malah main di rumah Carolina.Sementara itu Alan membawa jasad Prapty ke rumahnya yang ada di perkampungan warga. Alan telah membeli sebuah rumah yang kecil di pinggiran kota.Mobil ambulance itu masuk ke sebuah pekarangan yang bercat merah muda. Cat itu sudah memudar.Alan membuka kunci pintu rumah itu, dan meminta pada Susi untuk membersihkan rumah itu dengan menyapunya.Susi menyapu ruang tengah dan juga ruang tamu."Pak, ada karpet atau perm
Alan meremas jari jemarinya, ia terlihat begitu gugup. Ada rasa tak rela dalam sudut matanya."Silahkan Pak tanda tangan di sini," ucap orang yang ada di hadapannya Alan.Alan meraih ballpoint yang ada di atas kertas itu. Ia tak segera menandatangani dokumen itu. Alan merasa ragu, hingga ia meletakan kembali ballpoint itu di tempat semula."Ada apa, Pak?" tanya orang itu pada Alan."Bolehkah saya menghela nafas sejenak," ucap Alan.Alan merasa berat hati melepas rumah yang selama ini menjadi impiannya bersama Mira. Tapi, Alan justru malah menghianati Mira begitu saja.Alan kembali meraih ballpoint itu, ia memejamkan matanya sejenak. Lalu, dengan berat hati Alan mulai membubuhkan tandatangannya di dokumen jual beli itu.Setelah selesai, Alan menyodorkan dokumen itu pada orang yang ada di hadapannya."Pak, uangnya sudah saya transfer ya. Silahkan anda cek terlebih dahulu!" ucap orang yang ada di sampingnya Alan."Baik, Pak." Alan mengambil gawainya, ia melihat ada sebuah notifikasi dar
Kepala Sekolah itu terperangah. Wajahnya menunjukan keterkujatannya. Wanita pongah itu pun melakukan hal yang sama."Pak Valentino?" sapa Kepala Sekolah. Ia langsung berdiri saat melihat yang datang itu adalah Valentino."Pak?" sapa wanita itu sambil menganggukan sedikit kepalanya ke arah Valentino.Asya yang melihat Valentino datang langsung memanggilnya."Ayaaahh!" panggil Asya sambil berjalan menghampiri Valentino."Sayang, apa yang terjadi?" tanya Valentino sambil merengkuh kedua bahu Asya dan menatapnya penuh tanya dengan tubuh yang berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Asya.Mata Kepala Sekolah langsung melotot saat mendengar Valentino memanggil Asya dengan sebutan sayang.Kepala Sekolah itu pun bertanya-tanya dalam hatinya, 'ada hubungan apa antara anak itu dengan Pak Valentino?'Begitu pun dengan wanita yang arogan itu. Matanya sampai berkedip berkali-kali seperti orang yang kelilipan."Aku baik-baik saja Ayah. Tapi, Bunda tidak," ucap Asya."Kenapa dengan Bunda?" tan
Mira melajukan mobilnya ke sekolahnya Asya setelah mengantar Carolina.Sepanjang jalan ia terus berpikir, ternyata hidupnya jauh lebih beruntung daripada Miya.Miya merebut Alan darinya, ketika Mira ikhlas melepaskan miliknya untuk orang lain Tuhan memberi pengganti yang jauh lebih baik dari sebelumnya.Tuhan tak pernah tidur, Ia Maha Melihat. Dan kini Miya maupun Alan telah menerima karmanya.Berbuat baik maka akan menghasilkan kebaikan untuk diri kita sendiri. Begitu pun sebaliknya.Mira memarkirkan mobilnya di pinggir jalan depan sekolahnya Asya.Bel pulang berdering. Anak-anak berhamburan keluar dari gedung sekolah menghampiri para orang tuanya yang sedang menunggu kepulangan mereka di depan gerbang. Mira melihat Asya yang sedang berjalan menggunakan tongkatnya.Mira melambaikan tangannya sambil berteriak memanggil namanya Asya."Asyaaaa!" teriak Mira memanggil Asya.Asya pun melambaikan tangannya ke arah Mira sambil menghentikan langkahnya."Bundaa!" teriak Asya.Mira melihat ke
Mira terkejut ketika Belinda tiba-tiba pingsan. Rupanya ia begitu shock ketika menerima kenyataan bahwa Valentino lebih memilih Mira daripada dirinya."Tolong bawa dia ke Rumah Sakit segera," pinta Mira pada suster yang di bawa oleh Belinda."Baik, Bu," jawab suster itu patuh.Mira tidak ingin mengambil resiko dengan memasukan Belinda ke dalam rumahnya.Entah Belinda dapatkan dari mana alamat rumahnya Mira. Padahal Valentino sudah pindah dari rumahnya yang dulu.Mira kembali ke dalam rumah setelah Belinda dan susternya pergi.Di dalam mobilnya Belinda."Sial! Percuma sqja aku harus akting menjadi orang yang penyakitan!" ucap Belinda marah.Belinda menghapus riasannya, ia merias ulang wajahnya sehingga terlihat cantik dan fresh.Belinda juga melempar selimut yang menutupi kakinya ke sembarang arah."Huh! Sialan! Benar-benar sialan! Kenapa sih harus hadir wanita sialan itu!" maki Belinda sambil meninju jok mobil di sampingnya berulang kali.Ia marah karena Valentino mengabaikannya. Saat
Mira pergi bulan madu bersama Valentino. Mereka sungguh menikmati waktu kebersamaannya.Mira tak pernah merasa sebahagia ini setelah lepas dari Alan.Mira benar-benar di manjakan oleh Valentino."Aku ke kamar mandi dulu," pamit Mira pada Valentino."Jangan lama-lama," jawab Valentino."Hmm," jawab Mira singkat.Valentino menunggu Mira kembali dari kamar mandi sambil memainkan gawainya.Ia berselancar ke dunia maya, ia melihat aplikasi biru. Betapa terkejutnya ia saat melihat sebuah berita."Bukankah ini Alan?" gumam Valentino."Tapi, sedang apa dia? Tunggu, istrinya Alan menjadi seorang pembunuh?" gumam Vqlentino lagi kali ini dengan alis yang saling bertaut.Mira yang sudah kembali dati kamar mandi melihat Alan sedang melihat ke arah gawainya. Tapi, wajahnya seperti orang yang terkejut.Valentino dulu sering mengikuti berita perceraian Mira dengan Alan. Jadi, ia mengenal Alan.Mira menghampiri Valentino, ia merebahkan tubuhnya di sisi Valentino."Sedang melihat apa?" tanya Mira."Oh,
Beberapa hari berlalu tanpa harapan. Mata Miya kian sayu dan cekung.Ia sudah tak bersemangat lagi untuk hidup, ruang dingin dan lembab kini menjadi temannya dalam diam.Tak ada satu orang pun yang berniat untuk mendekat atau pun sekedar bertanya padanya.Semua orang menghindarinya, Miya selalu duduk di pojokan dengan memeluk lutut dan wajah yang terbenam.Mata semua orang memandangnya sinis, tak ada belas kasih. Seorang yang berstatus pembunuh selalu di anggap penjahat paling keji.Miya tak peduli dengan tatapan mereka, ia kini tak peduli dengan dunia. Harapan satu-satunya kini sudah tiada.Miya berjalan gontai saat namanya di panggil karena ada yang menjenguknya.Miya duduk di depan orang yang menjenguknya. Rini menatapnya iba tak ada jejak kebencian dalam sorot matanya."Mbah, maaf aku baru bisa berkunjung," sapa Rini. Tak ada riak kesedihan dalam raut wajahnya.Miya tak menjawab, ia diam."Aku akan menjual rumah itu dan pergi dari sini," lanjut Rini.Miya tetap bungkam, ia menatap