Valentino melihat wajah Mira yang semakin bersemu merah, melihat hal itu Valentino semakin menggoda Mira. Ia semakin mendekat hingga keduanya hampir tidak ada jarak."A-apa yang akan kamu lakukan?" tanya Mira tergagap."Kenapa kamu gugup?" Valentino bukannya menjawab malah justru balik bertanya."A-aku tidak apa-apa. Cepat menjauh dariku!" usir Mira sambil mendorong Valentino.Valentino bergeming, ia tidak bergesersatu inci pun. Justru tangan Mira yang kena cekal oleh Valentino."Kamu penasarankan sama siapa aku tadi bertelepon?" tanya Valentino sambil menatap wajah Mira."Aku tak peduli! Karena itu bukan urusanku, cepat lepaskan!" sentak Mira sambil berusaha meronta minta dilepaskan cengkeraman tangannya."Tenanglah. Aku tidak akan menyakitimu, aku hanya ingin minta tolong padamu," ucap Valentino."Minta tolong apa? Cepat lepaskan dulu cengkeraman tanganmu, sakit tahu!" sentak Mira.Valentino melepaskan cengkeraman tangannya."Sekarang mundur!" pinta Mira sambil mendorong dada Valenti
Mira berada di rumah Valentino sampai malam, ia melupakan janjinya dengan karyawan cafe miliknya.Asya langsung lengket dengannya, ia tak mau jauh-jauh dari Mira.Valentino merasa bersalah, ia menghampiri mereka setelah ia menyelesaikan pekerjaan kantoryang di bawanya pulang."Asya, hari sudah malam Bunda harus pulang," ucap Valentino."Tidak! Bunda tidak boleh pulang! Bunda harus tetap di sini menemani Asya," tolak Asya."Tapi, sayang ...," ucapan Valentino terpotong oleh Asya yang tiba-tiba menangis dan sekaligus menjerit histeris."TIDAK! BUNDA TIDAK BOLEH PULANG," Teriak Asya. Air matanya meleleh membanjiri wajah cantiknya.Mira merasa iba melihat Asya yang menangis hingga histeris seperti itu."Mas, sudah. Aku akan tinggal sebentar lagi," bisik Mira di sebelah telinganya yang memang kebetulan Valentino duduk di sisinya."Terima kasih, Mir," lirih Valentino tak berdaya.Mira mengangguk, "tak apa," ucapnya.Mira mendekati Asya dan menenangkannya, "cup ... cup! Anak cantik jangan men
Mira merenung, dalam hatinya ia mengutuk tindakan istrinya Valentino. Hanya demi ambisinya ia rela meninggalkan buah hati dan keluarganya. Padahal masih banyak di luar sana para ibu yang menantikan kehadiran buah hati tapi, masih harus bersabar. Sama halnya dengan dirinya yang merindukan buah hati tapi, suami laknatnya justru tanpa sepengetahuannya telah melakukan KB sendiri.Mira kembali mengajukan pertanyaan pada Valentino, "apa mamanya Asya tahu kondisi putrinya saat ini?" Valentino menggelengkan kepalanya berulang kali, ia berjalan ke meja kerjanya, lalu ia pun duduk di kursi di sana."Semenjak melahirkan hingga saat ini dia tidak pernah sekali pun melihat putrinya. Bahkan menanyakan kabarnya saja tidak," jawab Valentino."Lalu ke mana dia?" Mira kembali bertanya."Aku juga tidak tahu dan aku tidak pernah mencari tahu akan keberadaannya, terlalu menyakitkan bagiku meski hanya untuk sekedar mengenangnya," ujar Valentino dengan sorot mata penuh kebencian.Mira berpikir sejenak sebel
Valentino tidak bisa tidur, ia terus memikirkan apa yang Mira katakan padanya.Valentino berjanji pada dirinya sendiri akan menemui Mira besok.Keesokan harinya, Valentino sebelum berangkat ke kantor menemui Asya, ia masuk ke dalam kamarnya. Valentino menemui Asya yang sedang di kepang rambutnya oleh Nani."Sayang, kamu sudah mandi?" tanya Valentino."Ayah, Bunda mana?" tanya Asya. Ia tidak menjawab pertanyaan Valentino malah balik bertanya.Nani yang sedang mengepang rambut Asya kesal, ia pun menarik sedikit rambutnya Asya. Asya ingin menjerit tapi, rambutnya kembali di tarik oleh Nani. "Asya, sudah selesai. Sarapan yuk!" ajak Nani pada Asya."Nani, hari ini Asya jadwalnya terapi 'kan?" tanya Valentino."Iya, Pak." Jawabnya."Jam berapa jadwalnya?" tanya Valentino lagi."Sekitar jam sepuluhan, Pak," jawab Nani."Hm, baiklah," ucap Valentino."Nanti Asya berangkatnya sama Ayah saja ya," lanjut Valentino.Mata Asya langsung berbinar bahagia, sementara wajah Nani seketika terlihat puca
"Sudah jangan nangis lagi, berisik!" sentak Nani pada Asya sambil melotot.Spontan Asya pun menghentikan tangisannya. Ia tak berani lagi bersuara karena takut pada Nani sang pengasuhnya.Nani keluar dari kamar Asya, tak lama ia kembali lagi dengan menenteng tas sling kecil miliknya.Nani membuka ponselnya, ia berselancar di dunia sosial media.Saat tengah asyik berselancar ponsel Asya berdering, Nani pun menghentikan kegiatannya sejenak. Ia meraih ponsel itu yang tergeletak di meja belajar Asya.Valentino sengaja memberi Asya telepon gemggam agar memudahkannya berhubungan dengan putri semata wayangnya.Nani membuka layar ponsel itu dan ia melihat yang menelepon Asya adalah Valentino."Angkat!" Perintah Nani.Asya pun dengan patuh meraih ponsel itu dan menempelkannya di telinganya."Halo, Ayah," sapa Asya."Sayang, maafkan Ayah yang tidak bisa mengantar kamu ke rumah sakit untuk terapi. Tapi, Ayah janji lain kali Ayah akan menepatinya," ucap Valentino memberitahu Asya kalau dirinya tida
Wanita itu pergi meninggalkan Valentino begitu saja saat tahu kalau ternyata anaknya cacat.Asya masuk ke kamarnya, ia menangis sampai sesenggukan.Nani yang sedang tidur merasa terganggu, ia pun membentak Asya, "berisik!" sentaknya.Asya langsung terdiam, bayangan Asya ibunya sehangat Mira dan sebaik Mira. Tapi, kenyataannya sangat jauh dari harapan.Asya menghapus sisa air matanya yang menggantung di kelopak matanya menggunakan punggung tangan mungilnya.Nani bangun, lalu ia pun mendekati Asya yang sedang menangis."Sudah aku katakan berulang kali kalau ibumu itu tidak sayang sama kamu. Masih saja mengharapkannya," ucap Nani. Ia sudah bisa menebak kalau Asya menangis pasti karena sedang kangen ibunya.Hal apa lagi yang bisa membuatnya menangis seperti itu kalau bukan karena ingat akan ibunya yang telah meninggalkannya sejak bayi mula."Sudah cukup! Sekeras apa pun kamu menangis tidak akan membuat ibumu kembali padamu. Dia itu orang jahat!" ucap Nani sambil menoyor kepalanya Asya hing
Mira tidak lagi memaksa, ia membiarkan Asya melepas bajunya sendiri di kamar mandi.Mira hanya membantunya duduk di kursi yang telah Mira siapkan untuk Asya."Mau Bunda temani atau tidak?" tanya Mira.Asya menggeleng, "tidak Bunda. Aku bisa sendiri."Hati Mira kembali sakit, sungguh sangat miris sekali apa yang Asya alami.Apa yang telah Nani lakukan padanya? Mira tidak benar-benar pergi, ia berdiam diri di balik pintu menunggui Asya. Biar bagaimanapun Asya hanya lah anak kecil.Mira mendengar suara gemericik air berhenti, sengaja Mira menjeda waktu untuk masuk ke kamar mandi.Mira masuk kembali ke kamar mandi setelah Asya mengenakan handuk kimono milik Mira yang sangat kebesaran saat dipakai di tubuh mungilnya."Sudah, sayang?" tanya Mira."Sudah Bunda," jawab Asya.Ember dan gayung yang tadi Asya gunakan Mira biarkan di sana. Tadi Mira menyiapkan air untuk Asya mandi di ember. 'Untungnya aku memiliki ember dan gayung kecil,' gumam Mira dalam hati.Mira membopong Asya ke kamarnya, la
Valentino pulang, sesampainya di rumah ia melihat Nani sedang berdiri di teras. Sepertinya ia sedang menunggu Asya.Kalau saja Valentino tidak mengetahui keburukan Nani, ia pasti sudah menganggap Nani sangat perhatian pada Asya.Begitu Asya datang dengan di dorong Valentino, Nani langsung menghampiri mereka berdua."Asya dari mana saja? Sus Nani sampai tidak dapat tidur karena khawatir terjadi sesuatu padamu," tanya Nani dengan menampilkan wajah khawatir."Asya habis dari ...," ucapan Asya di sela oleh Valentino."Asya habis nginap di rumah neneknya," sela Valentino. Ia menjawab pertanyaan Nani."Oh, begitu," ucap Nani terlihat canggung dan ia pun menggaruk tengkuknya.Valentino membawa Asya masuk ke dalam kamarnya. Setelah itu baru Valentino ke kamarnya sendiri untuk bersiap ke kantor.Pada siang harinya, Valentino pulang lebih cepat. Sebelum pulang ia mampir ke sebuah toko yang menjual perlengkapan CCTV. Valentino membeli sebuah CCTV berukuran kecil tapi, memiliki kelebihan yang cuku
Alan terus mundar mandir di depan rumah Mira, hingga sebuah mobil berhenti tepat di depan pintu gerbang tinggi menjulang itu.Alan menghampiri mobil itu dan mengetuk kaca jendelanya.Tok Tok Tok"Alan?" ucap Mira yang ada di dalam mobil bersama Valentino.Sepertinya mereka habis bepergian."Mau apa dia kemari? Bagaimana bisa dia tahu alamat rumah ini?" tanya Mira pada Valentino yang ada di sisinya.Dor ... Dor ... DorKetukan berubah menjadi gedoran.Meski ia menggendor tetap saja tidak dibuka oleh Valentino dan Mira."Jangan dibuka!" perintah Valentino. "Kita tidak tahu niat jahat apa yang hendak ia lakukan pada kita, terutama kamu!" ucap Valentino memperingati Mira dengan tegas.Mira tak menjawab dengan ucapan melainkan dengan anggukan.Mata Alan nyalang, ia memutari mobil. Tak berhasil di sisi sebelah kanan ia berpindah ke sebelah kiri.Mata Mira tak sengaja bertemu pandang dengan mata Alan secara tak sengaja. Namun tetap saja hal itu membuat Mira terkejut, sampai ia merapatkan pun
Alan terpaku menatap jasad di hadapannya. Ia tak terlihat seperti orang linglung. Baru saja kemarin ia menemuinya, kini dia sudah ada di hadapannya sudah menjadi jasad."Miya," ucap Alan lirih.Salah satu petugas ambulance menoel Alan."Pak, maaf tolong tandatangani dokumen ini," ucap salah satu petugas pengantar jenazah itu pada Alan.Alan menoleh, ia melihat petugas itu kaku bagaikan tak bernyawa.Alan mengambil dokumen itu tanpa mengatakan sepatah kata pun. Ia langsung menandatanganinya dan menyerahkannya kembali pada petugas itu.Setelah petugas menerima kembali dokunen itu, ia pun bertanya pada Alan, "Maaf Pak, jenazahnya mau di letakkan di mana? Sekalian mau kami turunkan." Mata Alan masih terfokus pada jasad Miya yang terbaring di atas brangkar."Benarkah itu kamu Miya?" tanya Alan masih tak percaya.Ada rasa penyesalan yang begitu dalam di hati Alan."Andai aku tak menjatuhkan talak padamu, apakah kamu masih tetap hidup sampai saat ini, Miya?" tanya Alan.Tentu saja Miya tak
Mira kembali lagi ketika tahu rumah Alan kosong tak berpenghuni.Mira mencari tahu kemana Alan membawa ibunya dengan bertanya pada orang yang memposting berita duka itu.Ternyata Alan telah pindah rumah, Mira baru tahu kalau rumah mewah yang pernah ia tempati ternyata telah dijual oleh Alan."Ternyata rumah itu telah dijual, Bu," ucap Mira pada Carolina."Oh, iya? Aku tidak tahu kabar itu," balas Carolina."Mungkin Alan membawa Prapty ke kampungnya," ucap Mira."Iya sepertinya begitu," balas Carolina.Mira akhirnya tidak pergi melayat, justru malah main di rumah Carolina.Sementara itu Alan membawa jasad Prapty ke rumahnya yang ada di perkampungan warga. Alan telah membeli sebuah rumah yang kecil di pinggiran kota.Mobil ambulance itu masuk ke sebuah pekarangan yang bercat merah muda. Cat itu sudah memudar.Alan membuka kunci pintu rumah itu, dan meminta pada Susi untuk membersihkan rumah itu dengan menyapunya.Susi menyapu ruang tengah dan juga ruang tamu."Pak, ada karpet atau perm
Alan meremas jari jemarinya, ia terlihat begitu gugup. Ada rasa tak rela dalam sudut matanya."Silahkan Pak tanda tangan di sini," ucap orang yang ada di hadapannya Alan.Alan meraih ballpoint yang ada di atas kertas itu. Ia tak segera menandatangani dokumen itu. Alan merasa ragu, hingga ia meletakan kembali ballpoint itu di tempat semula."Ada apa, Pak?" tanya orang itu pada Alan."Bolehkah saya menghela nafas sejenak," ucap Alan.Alan merasa berat hati melepas rumah yang selama ini menjadi impiannya bersama Mira. Tapi, Alan justru malah menghianati Mira begitu saja.Alan kembali meraih ballpoint itu, ia memejamkan matanya sejenak. Lalu, dengan berat hati Alan mulai membubuhkan tandatangannya di dokumen jual beli itu.Setelah selesai, Alan menyodorkan dokumen itu pada orang yang ada di hadapannya."Pak, uangnya sudah saya transfer ya. Silahkan anda cek terlebih dahulu!" ucap orang yang ada di sampingnya Alan."Baik, Pak." Alan mengambil gawainya, ia melihat ada sebuah notifikasi dar
Kepala Sekolah itu terperangah. Wajahnya menunjukan keterkujatannya. Wanita pongah itu pun melakukan hal yang sama."Pak Valentino?" sapa Kepala Sekolah. Ia langsung berdiri saat melihat yang datang itu adalah Valentino."Pak?" sapa wanita itu sambil menganggukan sedikit kepalanya ke arah Valentino.Asya yang melihat Valentino datang langsung memanggilnya."Ayaaahh!" panggil Asya sambil berjalan menghampiri Valentino."Sayang, apa yang terjadi?" tanya Valentino sambil merengkuh kedua bahu Asya dan menatapnya penuh tanya dengan tubuh yang berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Asya.Mata Kepala Sekolah langsung melotot saat mendengar Valentino memanggil Asya dengan sebutan sayang.Kepala Sekolah itu pun bertanya-tanya dalam hatinya, 'ada hubungan apa antara anak itu dengan Pak Valentino?'Begitu pun dengan wanita yang arogan itu. Matanya sampai berkedip berkali-kali seperti orang yang kelilipan."Aku baik-baik saja Ayah. Tapi, Bunda tidak," ucap Asya."Kenapa dengan Bunda?" tan
Mira melajukan mobilnya ke sekolahnya Asya setelah mengantar Carolina.Sepanjang jalan ia terus berpikir, ternyata hidupnya jauh lebih beruntung daripada Miya.Miya merebut Alan darinya, ketika Mira ikhlas melepaskan miliknya untuk orang lain Tuhan memberi pengganti yang jauh lebih baik dari sebelumnya.Tuhan tak pernah tidur, Ia Maha Melihat. Dan kini Miya maupun Alan telah menerima karmanya.Berbuat baik maka akan menghasilkan kebaikan untuk diri kita sendiri. Begitu pun sebaliknya.Mira memarkirkan mobilnya di pinggir jalan depan sekolahnya Asya.Bel pulang berdering. Anak-anak berhamburan keluar dari gedung sekolah menghampiri para orang tuanya yang sedang menunggu kepulangan mereka di depan gerbang. Mira melihat Asya yang sedang berjalan menggunakan tongkatnya.Mira melambaikan tangannya sambil berteriak memanggil namanya Asya."Asyaaaa!" teriak Mira memanggil Asya.Asya pun melambaikan tangannya ke arah Mira sambil menghentikan langkahnya."Bundaa!" teriak Asya.Mira melihat ke
Mira terkejut ketika Belinda tiba-tiba pingsan. Rupanya ia begitu shock ketika menerima kenyataan bahwa Valentino lebih memilih Mira daripada dirinya."Tolong bawa dia ke Rumah Sakit segera," pinta Mira pada suster yang di bawa oleh Belinda."Baik, Bu," jawab suster itu patuh.Mira tidak ingin mengambil resiko dengan memasukan Belinda ke dalam rumahnya.Entah Belinda dapatkan dari mana alamat rumahnya Mira. Padahal Valentino sudah pindah dari rumahnya yang dulu.Mira kembali ke dalam rumah setelah Belinda dan susternya pergi.Di dalam mobilnya Belinda."Sial! Percuma sqja aku harus akting menjadi orang yang penyakitan!" ucap Belinda marah.Belinda menghapus riasannya, ia merias ulang wajahnya sehingga terlihat cantik dan fresh.Belinda juga melempar selimut yang menutupi kakinya ke sembarang arah."Huh! Sialan! Benar-benar sialan! Kenapa sih harus hadir wanita sialan itu!" maki Belinda sambil meninju jok mobil di sampingnya berulang kali.Ia marah karena Valentino mengabaikannya. Saat
Mira pergi bulan madu bersama Valentino. Mereka sungguh menikmati waktu kebersamaannya.Mira tak pernah merasa sebahagia ini setelah lepas dari Alan.Mira benar-benar di manjakan oleh Valentino."Aku ke kamar mandi dulu," pamit Mira pada Valentino."Jangan lama-lama," jawab Valentino."Hmm," jawab Mira singkat.Valentino menunggu Mira kembali dari kamar mandi sambil memainkan gawainya.Ia berselancar ke dunia maya, ia melihat aplikasi biru. Betapa terkejutnya ia saat melihat sebuah berita."Bukankah ini Alan?" gumam Valentino."Tapi, sedang apa dia? Tunggu, istrinya Alan menjadi seorang pembunuh?" gumam Vqlentino lagi kali ini dengan alis yang saling bertaut.Mira yang sudah kembali dati kamar mandi melihat Alan sedang melihat ke arah gawainya. Tapi, wajahnya seperti orang yang terkejut.Valentino dulu sering mengikuti berita perceraian Mira dengan Alan. Jadi, ia mengenal Alan.Mira menghampiri Valentino, ia merebahkan tubuhnya di sisi Valentino."Sedang melihat apa?" tanya Mira."Oh,
Beberapa hari berlalu tanpa harapan. Mata Miya kian sayu dan cekung.Ia sudah tak bersemangat lagi untuk hidup, ruang dingin dan lembab kini menjadi temannya dalam diam.Tak ada satu orang pun yang berniat untuk mendekat atau pun sekedar bertanya padanya.Semua orang menghindarinya, Miya selalu duduk di pojokan dengan memeluk lutut dan wajah yang terbenam.Mata semua orang memandangnya sinis, tak ada belas kasih. Seorang yang berstatus pembunuh selalu di anggap penjahat paling keji.Miya tak peduli dengan tatapan mereka, ia kini tak peduli dengan dunia. Harapan satu-satunya kini sudah tiada.Miya berjalan gontai saat namanya di panggil karena ada yang menjenguknya.Miya duduk di depan orang yang menjenguknya. Rini menatapnya iba tak ada jejak kebencian dalam sorot matanya."Mbah, maaf aku baru bisa berkunjung," sapa Rini. Tak ada riak kesedihan dalam raut wajahnya.Miya tak menjawab, ia diam."Aku akan menjual rumah itu dan pergi dari sini," lanjut Rini.Miya tetap bungkam, ia menatap