"Karena pada hakikatnya, pernikahan adalah ibadah terpanjang dan proses pembelajaran seumur hidup. Aku tidak akan mudah menyerah. Aku akan merubah diri dan berusaha membawa orang-orang disekitarku berubah menuju jalan yang baik. Jika tidak berhasil, barulah aku akan mundur tanpa perlu menoleh lagi dan tanpa rasa menyesal karena aku sudah melakukan yang terbaik yang aku bisa." - Neng Rere
***"Neng, nih mas udah gajian. Ayok! Mau jalan kemana kita?" Sepulang kerja mas Yandri langsung menuju kamar menemuiku yang sedang memasukkan baju ke dalam lemari."Mau belanja bulanan mas, banyak yang udah abis. Ke supermarket yuk?" aku menyambut ajakan mas Yandri dengan gembira.Keseharianku yang hanya dirumah dengan segala pekerjaannya membuat kegiatan rutin belanja bulanan sebagai cara untuk merefresing pikiran. Tidak perlu belanja berlebih, cukup melihat lampu dan jalanan saja aku sudah senang."Iya hayu, kamu siap-siap sana. Mas mau ke ibu dulu ngasi jatah bulanan." Mas Yandri keluar kamar mencari ibunya.***Aku tidak tau berapa pastinya gaji Mas Yandri. Selama ini ia selalu memberi jatah untuk belanja bulanan stok kebutuhan rumah setiap gajian. Setelahnya, setiap minggu aku diberikan uang sebesar 500 ribu untuk makan kami semua. Untuk kebutuhan listrik, galon, air, dll ia sendiri yang mengurus.Pernah aku bertanya karena penasaran. Selain itu aku ingin ia terbuka padaku tentang penghasilannya. Namun jawaban yang waktu itu kuterima malah membuatku emosi."Kamu ngga ada hak buat tau gaji mas berapa neng. Yang penting cukup untuk sampai ke gajian lagi. Mas ga akan kasih kamu semua gaji mas karena mas punya kewajiban untuk membiayai ibu serta menyekolahkan Ana dan Lita."Saat itu aku langsung berpikir cepat. Aku tidak mau dijatah seadanya dan harus pusing jika ternyata kurang. Jika dari awal dia sudah memulai aturan seperti itu, maka akupun memiliki aturanku sendiri."Oke mas kalo gitu. Neng tidak masalah. Tapi jangan lupa ya, uang untuk kebutuhan makan neng yang urus karena neng yang masak. Untuk stok bahan rumah tangga juga harus dibeli setiap bulan sekali. Untuk belanja makan silakan kalau mau dijatah tiap minggu atau tiap hari asalkan sesuai dengan daftar harga yang neng kasih. Jangan kaya di sinetron, ngasi 20 ribu minta makan daging. Kalo sampai kaya gitu, neng kasi daging tikus sekalian. Tuh di got banyak." Aku menjelaskan panjang lebar.Untuk mencegah penolakan mas Yandri, aku sudah mempersiapkan daftar harga serta beberapa screenshot berita tentang harga bahan pokok yang semakin naik harganya. Benar perkiraanku, awalnya mas Yandri menolak dengan beralasan daftar harga yang kubuat terlalu besar. Aku kembali memaparkan satu persatu seolah sedang presentasi.Dan setelah perdebatan kecil yang alot, kami menemui kata sepakat."Oh iya jangan lupa nafkah neng tiap bulan. Nafkah neng tidak termasuk uang makan ya mas. Karena mas kan tau kalau makan itu kewajiban mas. Neng minta satu juta untuk nafkah neng pribadi. Peruntukannya terserah neng mau digunakan untuk apa."Mata mas Yandri mendelik tidak percaya."Satu juta neng? Banyak banget! Emang kamu mau beli apa tiap bulan dengan uang nafkah segitu? Mas harus ngasi juga ke ibu loh. Mas berkewajiban karena surga mas ada pada ibu." Nada suara mas Yandri mulai meninggi.Aku menghembuskan nafas dan memasang wajah tanpa emosi. Astagfirullah! Rupanya sangat sulit untuk menahan emosi. Jika mengikuti adatku, mungkin sudah kutonjok mukanya."Mas, neng tiap bulan itu butuh beli barang-barang pribadi. Pembalut, makeup, skincare, dll. Mas gimana sih,? Ngajak nikah tapi kok ngga ngerti masalah nafkah!Neng tau surga mas ada sama ibu, itu makanya mas harus berbakti, iya 'kan?" TanyakuSuamiku itu mengangguk pelan."Nah, kalau mas mementingkan untuk menggapai surga dengan memenuhi kewajiban pada ibu, jangan lupa, mas juga bisa masuk neraka jika mengabaikan kewajiban mas pada neng. Hidup itu menuntut keseimbangan yang wajar mas. Kalau surga mas ada pada ibu, maka neraka mas ada pada neng! Gitu kata pak ustad," ucapku tegas.Karena ucapanku tersebut, kami kembali mencapai kata sepakat. Yihaaa! Inilah tujuanku. Intinya, dia bebas mempergunakan uang gajinya selama tidak menyalahi aturan agama dan juga kebutuhanku terpenuhi.***Kami bersiap dan keluar kamar saat ibu mertua menegur, "Mau kemana kalian?"Mas Yandri menjelaskan jika kami akan belanja stok bulanan ke supermarket besar."Ga usah jauh-jauh, ke alfamart aja. Ntar si Rere banyak jajan," ucap ibu mertuaku.Aku emosi mendengar perkataan ibu. Sampai tempat belanja saja dipersoalkan. Namun, jika aku membantah, yang ada aku akan kena semprot darinya dan mas Yandri tentu saja."Iyalah ga apa-apa ke alfamart aja mas. Disana juga neng bisa jajan banyak," sahutku sambil menepuk-nepuk tas slempangku.Ibu mertua hanya menggelengkan kepalanya. Skak!***Sebenarnya ibu ratu mertuaku tidak sekejam mertua yang kutemui dalam sinetron. Cuma ya namanya manusia, terkadang suka nyinyir dan mencari-cari kesalahan. Ditambah lagi, mungkin dia takut kehilangan sosok anak laki-laki penopang hidupnya.Kedua iparku pun sama, mereka terbiasa tidak mengerjakan pekerjaan rumah apapun dan mengikuti sikap ibu yang jutek. Dulu sebelum mas Yandri menikahiku, ibu yang mengerjakan semuanya. Alasannya karena kedua anak gadisnya itu cukup sibuk dengan studi mereka masing-masing."Besok teteh mau ngerendem baju setelah subuh. Kalau mau nitip, keluarin cepet. Kalo telat ga akan teteh cuciin." Aku bersuara pada kedua adik iparku saat kami sedang berkumpul di depan televisi."Apa sih neng, kamu kok ribut banget." Mas Yandri menegurku."Apa sih mas? Orang neng lagi ngasi tau Ana sama Lita. Kan neng yang bertanggung jawab nyuci disini. Ya ikut aturan neng dong. Kalo ngga mah ya nyuci sendiri aja." Aku menjawab santai.Ibu mertua menoleh dengan muka jutek ke arahku."Kan emang kewajiban kamu nyuci baju, kamu kan menantu ya kamu dong masuk ke kamar mereka ngambil baju kotor!"Aku menarik nafas 3 kali untuk meredam emosi yang semakin lama semakin sulit kukendalikan. Dengan nada yang kuusahakan datar, aku menjawab ibu mertua."Ibu paduka ratu yang ku sayang. Neng mana tau yang mana baju kotor mereka, kan neng bukan asisten pribadi mereka. Neng nyuci tiap pagi, tapi biasanya di jam 8 baju kotor tambahan itu baru pada keluar dari kamar Ana dan Lita. Ibu tau efeknya seperti apa?"Ibu mertua menggeleng. Wajahnya masih saja jutek."Nih ya bu, kalau baju kotor mereka telat neng rendem, yang ada neng harus rendem ulang. Kasih air lagi, sabun lagi, pewangi lagi, ibu bisa memperkirakan bukan, berapa banyak air dan sabun serta pewangi tambahan yang neng pake. Makin banyak bu. Ibu aja sering nyuruh neng nyuci tanpa mesin cuci biar hemat listrik. Kalau gitu caranya mana bisa hemat air, sabun dan lain-lain?"Sumpah demi Tuhan, aku berusaha keras berbicara dengan tenang dan seolah bercanda. Jika aku berbicara dengan nada keras mungkin yang ada kami akan bertengkar. Aku belajar untuk menyampaikan unek-unekku dengan tutur bicara yang halus. Ternyata sulit sekali pemirsa!Ibu kembali menolehkan kepala ke televisi setelah sebelumnya berucap,"Ana, Lita, denger 'kan kata teteh?" Perkataannya disambut anggukan kedua iparku."Mereka adalah orang yang terus-menerus berinfak di jalan Allah, baik di waktu lapang, mempunyai kelebihan harta setelah kebutuhannya terpenuhi, maupun sempit, yaitu tidak memiliki kelebihan, dan orang-orang yang menahan amarahnya akibat faktor apa pun yang memancing kemarahan dan memaafkan kesalahan orang lain" ( Ali Imran : 134 )***Setiap hari aku belajar. Belajar bagaimana cara memperbaiki diri, terutamanya belajar bagaimana menahan emosi. Tidak mudah memang, tapi bukan berarti tidak bisa dilakukan. ***"Teteh! Teteeeh!" Suara Ana memanggilku keras dari dalam kamarnya selepas aku sholat shubuh. "Naon?" ucapku menghampiri. Didepan gadis itu sudah ada setumpukan baju kotor beserta dalamannya. "Nih, cucian kotor aku," dia berkata sambil menyentuh baju kotor dilantai dengan menggunakan kaki. Aku menatap tajam tepat dikedua matanya dan masih diam. Nyatanya perbuatanku membuat gadis itu salah tingkah. "Apa liat-liat? Cepet tuh cuciin!" Dia membalikkan badannya bersiap untuk pergi.
"Aku menuruti perintah agar jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, aku bisa menyalahkan si pemberi perintah." - Neng Rere***Hari ini rumah ibu mertuaku kedatangan tamu jauh. Bukan tamu, lebih tepatnya keluarga. Sepasang suami istri dengan bayi mereka yang berumur 3 bulan mengetuk pintu rumah tepat setelah subuh. Sang suami adalah sepupu mas Yandri. Mereka datang dalam rangka ikhtiar berobat di rumah sakit terbesar dikota ini karena perlengkapan pemeriksaan di kota mereka tidak lengkap. "Budhe, maaf lho ya merepotkan. Kami berniat menitipkan Dinda disini. Karena mungkin pemeriksaan di rumah sakit bisa sampai sore." Sepupu mas Yandri berucap. Sepupu suamiku itu ingin memeriksakan benjolan yang tiba-tiba muncul di perutnya. Istrinya seorang wanita yang ramah dan murah senyum. Hariku membaik saat melihat senyumannya. Bagaimana tidak, biasanya orang-orang dirumah ini hampir setiap hari berwajah murung. Jam 8 kurang Mas Yandri berangkat ke kantor, tidak lama kemudian pasangan suam
Mas Yandri pulang dengan wajah yang kusut. Aku menyuruhnya membersihkan diri, makan dan kemudian beristirahat. Sejujurnya, aku ingin menanyakan apa yang terjadi ketika tiba-tiba teringat pesan mama saat terakhir kali meneleponku. "Kalau suami pulang kerja sebisa mungkin jangan banyak ditanya dulu. Bawain minum, sediakan makan, perhatikan kebutuhannya. Jika semua sudah teteh lakukan, lihat moodnya. Jika terlihat masih lelah, urungkan bertanya. Terkadang, bertanya di saat yang tidak tepat bisa memicu pertengkaran. Ini hal yang sepele, tapi berarti. Mama harap teteh bisa belajar untuk peka dan sadar situasi." Saat ini kami hanya berdua dirumah. Mertua dan kedua iparku sedang pergi mengunjungi tante mas Yandri yang sedang sakit. "Mas mau ngopi ngga?" Aku bertanya pada mas Yandri yang sedang menonton televisi. Saat sedang mencuci piring bekas makan kami, aku mendengar gelak tawanya. Raut wajahnya pun tidak sekusut saat ia pulang kerja. "Boleh deh neng, jangan kopi item tapi ya. Cappuc
"Seperti yang sudah kubilang. Pernikahan adalah proses pembelajaran seumur hidup. Akan selalu ada hal baru yang dipelajari setiap harinya." - Neng Rere***Aku melemparkan pandang ke sudut ruangan dimana terdapat koper dan dus-dus bertumpuk. Isinya sebagian besar adalah pakaianku dan Mas Yandri. Sebagian kecil lagi berupa alat-alat dapur yang merupakan kado pernikahanku dulu dan sama sekali belum pernah kugunakan. Kakiku menjejak bumi Lancang Kuning sesaat setelah lewat waktu Maghrib hari kemarin. Mas Yandri dan aku dijemput oleh seseorang yang memperkenalkan diri sebagai anak buah mas Yandri dikantor. Di kota ini kami diberikan fasilitas rumah dinas dan juga kendaraan. Setelah makan malam dan berkeliling melihat megahnya kota ini, kami diantar menuju rumah dinas. Rumah dinas ini disewakan full furnish yang artinya, sudah beserta barang-barangnya. Yes! Aku tidak perlu dipusingkan dengan sofa serta kawan-kawannya. Terletak di sebuah cluster yang aku pikir bergengsi membuatku jatuh c
Aku membersihkan taman sesaat setelah mas Yandri berangkat kerja. Mataku tidak sengaja melihat ke arah rumah depan. Beberapa ibu-ibu sudah duduk didepan pagar tepat disisi jalan dengan menggunakan bangku panjang yang entah mereka bawa dari mana. Tidak lama terdengar suara tukang sayur. Rupanya ibu-ibu tersebut sedang menunggu datangnya tukang sayur. Karena penasaran, aku keluar pagar menghampiri gerombolan ibu-ibu yang sudah mengelilingi dagangan tukang sayur. Teringat beberapa bumbu dapur yang tidak ada, aku berusaha mencari dan mengambil apa yang kubutuhkan. "Pak, bumbu dapurnya boleh beli sedikit-sedikit?" tanyaku. Bapak penjual mengiyakan peetanyaanku dengan ramah. Beliau membantuku mengambilkan apa yang kubutuhkan."Rere masak apa hari ini?" Seorang ibu dengan dandanan yang wow bertanya padaku. Aku ingat, ibu ini yang berbicara sinis padaku saat pertama kali memperkenalkan diri kemarin."Masih belum tau bu, kayanya bikin ayam goreng aja deh yang gampang." Aku menjawab dengan
Setelah seminggu tinggal di sini aku tau jika rumah bu Jejen hanya berselisih 3 rumah dari rumahku. Sedangkan rumah anggota gengnya yang lain, tepat berada di depan rumah beliau. Aku tipe orang yang jarang keluar rumah kecuali untuk hal yang penting seperti pergi menengok jika ada tetangga atau orang yang kukenal sakit, pergi ke warung, dan pada saat ada undangan untuk menghadiri suatu acara. Urusan sosialisasiku dengan tetangga sekitar juga seperlunya saja. Sesekali aku ikut duduk di warung setelah berbelanja untuk mengobrolkan hal-hal yang ringan.Sejak kejadian pengajian di rumahku, bu Jejen tidak pernah lagi menegurku walaupun kami bertemu di jalan. Aku tidak peduli, aku tetap menyapanya walaupun berkali-kali beliau mendiamkan aku. Aku mengerti, mungkin dia marah karena aku membalas ucapannya waktu itu. ***Pintu rumahku diketuk saat aku sedang fokus menonton. Ketukan pintu yang berulang-ulang tanpa jeda membuatku sedikit senewen."Bentar!" Aku terkejut melihat seraut wajah mil
Setelah makan malam, aku dan mas Yandri menghabiskan waktu berdua di depan televisi dengan gelas kopi ditangan masing-masing. Mas Yandri memberitahuku jika weekend minggu depan akan ada acara serah terima jabatan dari kepala cabang yang lama. Aku diminta hadir untuk menemaninya dalam acara tersebut.Selama beberapa saat, kami membahas hal yang random. Sampai akhirnya, aku menceritakan tentang kunjungan bu Jejen. "Mas percaya kok, Neng bisa dengan gampang menghadapi Bu Jejen," Mas Yandri tertawa saat aku selesai bercerita. "Neng jaga diri aja selama di rumah. Walaupun konon katanya tetangga adalah keluarga terdekat, tapi tetap hati-hati juga ya." Aku mengangguk mengiyakan. ***Ibu-ibu di tukang sayur menatap kedatanganku. Ada yang berbeda dari pandangan mereka. Beberapa yang berdiri agak jauh, melihatku seraya berbisik-bisik. Aku langsung tau, ini pasti ada hubungannya dengan kedatangan bu Jejen kemarin. Tanpa mempedulikan itu semua, aku tetap bersikap ramah pada mereka. Setelah
[Saya, Jejen Marisa meminta maaf atas kebohongan yang sudah saya ceritakan kemarin di grup ini. Kejadian sebenarnya bukan seperti apa yang saya ceritakan. Saya melebih-lebihkan cerita karena emosi kepada Ibu Rere. Untuk Ibu Rere, saya minta maaf sebesar-besarnya atas perbuatan saya.]Ponselku berkali-kali berdenting tanda banyak notifikasi yang masuk. Rupanya berasal dari WA Grup warga. Setelah diam beberapa saat, aku mengetik kalimat balasan. [Saya, Rere Demian memberikan maaf setulus hati sesuci kalbu kepada Bu Jejen. Saya pribadi juga minta maaf untuk kata yang tidak berkenan. Semoga ini bisa menjadi pelajaran untuk kita semua kedepannya.]WA grup warga kembali ramai. Beberapa dari mereka menanyakan kronologi yang sebenarnya padaku. Namun, karena sudah saling bermaaf-maafan, aku tidak menggubris pertanyaan mereka. ***Aku sedang memulas bibir dengan sentuhan akhir dari merk liptint favoritku saat mas Yandri masuk ke kamar. "Ayo Neng, siap?" Setelah beberapa saat, aku berdiri da
"Kalau menurut Neng mah ya biarin aja dia nikah. Dengan satu catatan, kuliahnya tahun depan harus beres. Eh Mas, ngomong-ngomong calonnya si Ana ini anak mana? Kuliah atau kerja?"Keingintahuanku berlipat ganda karena hal ini baru kali ini kusaksikan sendiri. Ana memang tipe anak yang suka membantah, tapi ia tetap patuh pada perkataan ibu. Jika sekarang Ana sudah tidak mendengarkan ibu, entah situasi apa yang sebenarnya terjadi disana. "Kata Ibu sih udah kerja, cuma ya itu, Ibu berat aja kalau sampai kuliah Ana ngga beres." Aku terdiam dan kemudian berkata,"Ya udah kalau kaya gitu nikahin aja. Tapi seperti kata Neng tadi. Kuliah harus beres. Entah nikahnya ditunda sampai Ana lulus. Atau nikah sekarang tapi ya tetap kuliah. Tapi Mas, maap nih ya Neng nanya. Tapi Ana ngga gimana-gimana 'kan? Maksudnya gimana ya, kan kalo nikah ngedadak itu orang mikirnya karena udah terjadi sesuatu gitu, Mas." Mas Yandri menghela nafas."Mas juga nanya itu tadi ke Ibu. Kata Ibu sih, Ana bilang ga k
"Neng, liat nih, mantan Mas ngirim pertemanan di sosmed." Aku yang sedang duduk di sebelah Mas Yandri dan menonton drama favoritku pun mengangkat wajah. "Mantan yang mana Mas? Mantan Mas 'kan banyak, Neng ga hapal satu-satu."Mas Yandri menyodorkan ponselnya padaku. "Ini si Mega," ucapnya Aku melihat foto sosok seorang wanita dengan latar belakang pemandangan alam di profilnya. "Oh itu," ucapku pendek. "Diterima atau ngga usah ya, Neng?" Aku menoleh menatap Mas Yandri. "Mas, kira-kira dong kalo nanya!" Aku menghembuskan nafas dan meliriknya tajam."Kalau Mas berniat mancing reaksi Neng dengan bertanya seperti itu, Sorry to Say ya mas, neng biasa aja. Mas pikir Neng akan terharu? Wah, aku terharu karena suamiku terbuka banget, sampe mantannya ngirim pertemanan juga aku dikasih tau. Gitu kan?"Mas Yandri nyengir. "Lain lagi kalau niat Mas ngasi tau ke Neng biar Neng sekedar tau dan ga mikir macem-macem. Kalau gitu ya Neng balikin ke Mas. Terserah Mas aja. Mau diterima boleh, ng
Semakin membesar kandunganku semakin berkurang juga penyiksaan mual muntah yang aku alami. Sekarang aku bisa makan apapun tanpa harus khawatir akan keluar lagi. Rumah baru kami sudah dalam proses akhir finishing. Sebenarnya sudah bisa ditempati jika kami mau. Namun, Mas Yandri menunda karena ia ingin semuanya sudah benar-benar siap saat kami pindah nanti. Hari ini Mas Yandri libur, dan kami sedang merencanakan di mana aku akan melahirkan. "Neng, mau pulang ke Mama atau ke Ibu? Biar pas nanti udah lahiran, ada yang bantu-bantu kamu." Aku terdiam sejenak dan meminum susu sampai habis. "Nggalah Mas, Neng disini aja sama Mas. Kalau masalah bantu-bantu setelah melahirkan, kan nanti biasanya dari rumah bersalin suka ada yang dateng ke rumah untuk ngasi tau cara ngerawat bayi baru lahir. Untuk kerjaan rumah juga bisa nyari orang buat bantuin Neng. Yang dateng pagi pulang sore gitu Mas." Mas Yandri terlihat keberatan dengan keinginanku. "Mas, Neng itu seorang istri. Ga ada dalam kamus
Aku sedang duduk dan memakan gorengan di warung Bu Indah saat Bu Jejen dan gengnya mendekat. Begitu melihatku, mereka bertiga sempat menghentikan langkah. Aku pikir mereka akan membalikkan badan, nyatanya mereka tetap mendekat. Ada sesuatu yang harus kuperiksa, dan aku bertekad untuk mendapatkan jawabannya hari ini juga. "Eh ada Bu Jejen, Bu Mumun dan Bu Romlah. Tumben baru keliatan nih." Aku tersenyum ke arah mereka.Bu Jejen mendelik dan mencebikkan bibirnya. "Halah, kamu itu yang jarang keluar rumah! Jelas aja baru ngeliat kita-kita!" "Eh Bu Jejen, mau tau ngga?" ucapku dengan nada yang membuat penasaran."Apaan?! Kamu mah senengnya main tebak-tebakan mulu! Tinggal cerita aja apa susahnya sih?!" "Saya dapet kiriman paket dari mama saya loh. Isinya makanan, banyak banget."Selama berbicara, aku mengamati tingkah Bu Mumun dan Bu Romlah. Mereka berdua hanya diam menyimak sembari memakan gorengan. "Makanan apaan? Kamu tuh kalo cerita-cerita tentang makanan, mending bawain sekalia
Aku hanya diam disepanjang jalan Mas Yandri membawaku entah kemana. Panasnya cuaca di kota ini semakin membuat emosiku naik. Saking emosinya, aku sudah merangkai kata-kata untuk memaki Mas Yandri dan juga perempuan bernama Diana itu.Mobil berbelok memasuki perumahan yang sama sekali asing untukku. Mataku disambut dengan jejeran rumah indah berkonsep minimalis. Tepat lima menit kemudian, kami berhenti di sebuah rumah yang pintu depannya terbuka. Seorang wanita keluar menyambut Mas Yandri dengan senyum sumringah. Aku menahan diri untuk tidak menjambak dan menonjoknya. "Selamat siang Pak Yandri. Mohon maaf saya tadi tidak ditempat, tapi semua berkas dan pembayaran administrasi dari bapak sudah saya terima." 'Apa ini? Berkas apa? Administrasi?' aku bertanya dalam hati. Suara Mas Yandri yang memanggil untuk mendekat membuyarkan aku yang sedang berpikir. "Ini Rere istri saya, Bu Diana." Mas Yandri memperkenalkan aku. Wanita di hadapanku mengulurkan tangan dan memperkenalkan dirinya d
"Neng, gajian bulan ini, jatah kamu dikurangi ya? Jadi satu juta aja, nanti kalau Mas ada rejeki lebih, Mas tambahin lagi." Mas Yandri berucap seraya memberikan slip gaji padaku. "Kenapa Mas, ada masalah?" "Ngga, cuma Mas mau ngasi agak banyak buat Ibu. Buat sekolah Ana sama Lita," jawab Mas Yandri.Aku mulai merasakan perasaan was-was. Mungkin jika saja beberapa hari yang lalu aku tidak mendengar Mas Yandri menelpon seseorang secara bisik-bisik di teras, perasaanku tidak akan seperti ini. Selain itu juga, aku baru menyadari jika ATM pemberian Mas Yandri tidak ada lagi di dompetku.Untuk ke warung atau ke tukang sayur, aku menggunakan dompet kecil. Uangnya aku ambil tiap hari dari dompet besar yang selalu tersimpan rapi di tasku. Kemarin pagi, saat aku bermaksud mengambil uang untk belanja, aku tidak menemukan tanda-tanda keberadaan ATM tersebut. Aku bermaksud untuk bertanya langsung, tapi melihat gelagat yang aneh dari Mas Yandri membuatku mengurungkan niat. Seperti biasa, aku ak
Tanpa terasa kandunganku sudah memasuki usia 4 bulan. Aku dan Mas Yandri berencana untuk mengadakan syukuran pengajian. Rencananya pula, ibu mertuaku akan datang mengunjungi kami. Mas Yandri sebenarnya juga mengundang mamaku, tapi karena kesibukan yang tidak bisa ditinggalkan, mama tidak bisa hadir. Postur tubuhku yang kecil membuat kehamilanku di usia 4 bulan ini tidak terlalu kentara. Selain itu, kebiasaanku yang sering memakai kaos over size membuatnya semakin tidak terlihat. Itulah kenapa, Bu Jejen dan gengnya masih sering suka meledekku. "Syukuran mulu nih ceritanya, tapi ngga hamil-hamil," ucap Bu Jejen pedas saat aku memberitahukan undangan pengajian pada ibu-ibu komplek yang sedang berkumpul. "Aduh Bu Jejen berisik banget sih, kalo ngga mau dateng juga ga apa-apa. Saya ngga maksa," balasku tak kalah pedas. Beberapa ibu-ibu melongo dan sebagian lagi tersenyum melihat kami perang kata. Entahlah, sejak hamil, jiwa barbarku semakin tak terbendung. Aku bisa tiba-tiba emosi dan
Aku mengalami kondisi mual dan muntah parah. Entah kenapa, indera penciumanku menjadi sangat tajam dan indera pengecapku menjadi sangat peka. Aku tidak bisa makan semau-mauku. Jika kulanggar maka efeknya tidak main-main. Mas Yandri selalu mempersiapkan segala kebutuhanku sebelum berangkat kerja karena hampir sepanjang hari aku hanya bisa berbaring. Kondisi ini memang tidak setiap hari. Ada kalanya disaat bangun pagi, aku merasa segar. Jika sudah begitu, aku bisa dengan rajinnya membereskan semua pekerjaan rumah yang terbengkalai. Tapi ya itu, kondisi tersebut tidak setiap hari. Seperti pagi ini, aku bangun dengan tubuh yang segar. Setelah membereskan rumah, aku keluar untuk menghirup udara segar dan menunggu tukang sayur. Para ibu yang biasa duduk di seberang rumahku pun sudah berkumpul. "Sayur...." Setelah sosok tukang sayur yang kutunggu terlihat, aku membuka pagar dan keluar. Belum juga sampai di tempat tukang sayur mangkal, suara Bu Jejen sudah terdengar memenuhi gendang tel
Sepulang dari dokter, aku dan Mas Yandri duduk berdua dan mulai mencari di mesin pencarian internet beberapa kemungkinan penyebab sakit yang kuderita. Penyakit autoimun yang tadi dijelaskan dokter pun bisa kutemukan penjelasannya. Namun menurut penelitian, kasus tersebut jarang sekali terjadi. Beberapa ciri yang ku rasakan merujuk pada kondisi syaraf terjepit. Aku bahkan menemukan juga iklan pengobatan alternatif. "Mas, ini ada pengobatan alternatif pijat refleksi buat syaraf terjepit." Aku memberitahu Mas Yandri. "Emang kamu mau nyoba kesana Neng? "Ya nyoba aja kan, siapa tau emang syaraf kejepit. Kalau ke spesialis syaraf terus ternyata disuruh MRI gimana? Biaya MRI mahal banget loh mas. "Mas Yandri menatapku, "Ya ngga masalah mahal juga, berapapun akan Mas usahakan asal kamu sehat lagi.""Iya tau, tapi Neng takut. Nyobain ke alternatif dulu ya Mas," bujukku. "Nyobain aja, kali memang syaraf kejepit. Soalnya, Neng sebelum sakit emang angkat-angkat barang terus nyapu-nyapu, ngep