"Aku menuruti perintah agar jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, aku bisa menyalahkan si pemberi perintah." - Neng Rere
***Hari ini rumah ibu mertuaku kedatangan tamu jauh. Bukan tamu, lebih tepatnya keluarga. Sepasang suami istri dengan bayi mereka yang berumur 3 bulan mengetuk pintu rumah tepat setelah subuh. Sang suami adalah sepupu mas Yandri. Mereka datang dalam rangka ikhtiar berobat di rumah sakit terbesar dikota ini karena perlengkapan pemeriksaan di kota mereka tidak lengkap."Budhe, maaf lho ya merepotkan. Kami berniat menitipkan Dinda disini. Karena mungkin pemeriksaan di rumah sakit bisa sampai sore." Sepupu mas Yandri berucap.Sepupu suamiku itu ingin memeriksakan benjolan yang tiba-tiba muncul di perutnya. Istrinya seorang wanita yang ramah dan murah senyum. Hariku membaik saat melihat senyumannya. Bagaimana tidak, biasanya orang-orang dirumah ini hampir setiap hari berwajah murung.Jam 8 kurang Mas Yandri berangkat ke kantor, tidak lama kemudian pasangan suami istri sepupunya pun ikut pergi. Aku sudah bersiap untuk berbelanja saat ibu memanggilku."Rere sini!"Saat aku tiba dihadapannya, ia terlihat kerepotan memangku Dinda yang baru saja bangun. "Mau coba gendong ngga?" tawar ibu mertua paduka ratu padaku.Aku menggelengkan kepala, "Neng mau ke warung bu, belanja terus masak.""Udahlah ngga usah masak, beli aja masakan mateng di warteg depan. Nih kamu nyobain gendong Dinda nih."Aku tersenyum mengerti kemana arah tujuan ibu mertua. "Ibu cape ya? Bilang dong bu, to the point gitu biar neng ngerti. Ibu nawarin neng gendong Dinda, padahal sebenernya nyuruh kan?"Ibu mertua memasang wajah juteknya, "Kalo ngerti cepet nih ambil bayinya! Tangan ibu pegel tau!"Saat aku berbalik menuju dapur, seketika beliau teriak. "Rere! Mau kemana?! Mantu nyebelin kamu! Apa susahnya sih gantian gendong Dinda?! Susah banget dimintain tolong!"Teriakan ibu mertua membuat Dinda yang rewel karena baru bangun menjadi kaget dan menangis keras."Shhhhh, ibu berisik banget. Tuh bayinya nangiis." Aku muncul kembali di hadapan ibu."Kamu sih! Disuruh gantian gendong malah pergi!" Beliau bersungut dengan ketus."Ya neng mau cuci tangan dulu ibu sayaang. Mau pegang bayi masa kotor. Ibu aja yang ngga sabaran.""Kamu ini ya! Ngelawan terus! Ngebantah terus! Bla bla bla! Bla bla bla!""Yaudah mau jadi gantian gendong ngga? Kalau ibu marah-marah terus neng males ah, mending ke belakang aja beresin dapur." Aku berkata di sela omelan ibu mertua yang tidak terputus.Ajaib, perkataanku menghentikan omelannya. Dengan segera ia mengangsurkan Dinda padaku. Butuh tujuh kali putar ke kanan dan tiga kali ke kiri sampai akhirnya bayi itu tenang. Ibu mertua yang masih duduk disofa menatapku dan membuka suara,"Kamu itu Re, bayi kok diajak puter-puter. Nanti pusing dia.""Pelan ini bu, neng muternya. Nih, udah mau tidur lagi nih kayanya. Tapi tangan neng pegel, bu." Bayi itu lumayan berat jika sudah agak lama digendong."Nanti kalo tidur taruh aja Re. Biar kamu juga bisa beres-beres rumah. Masih berantakan nih! Kamu sih, ngga gesit! Banyak leletnya!"Aku memilih tidak menjawab perkataan ibu mertua. Jika menjawab, bisa dipastikan akan terjadi adu suara pada saat ini. Salah-salah, Dinda bisa bangun lagi dan pastinya, aku juga yang nanti akan menggendongnya.***Jam 4 Mas Yandri pulang bersama dengan Ana. Keduanya berganti baju dan kemudian makan. Sedangkan Dinda, sedang bermain bersama ibu di kasur bulu depan televisi."Neng udah makan?" tanya Mas Yandri."Ya udahlah mas, neng kalo laper makan sendiri kok. Ga usah nunggu disuruh." Kami berdua lalu mengobrolkan hal-hal yang ringan."Teh ambilin itu minum!" Ana dengan ketus menyela obrolan kami. Anak ini rupanya sudah lupa shock therapy yang kuberikan padanya."Mas ambilin neng minum!" aku berkata ketus kepada mas Yandri. Mas Yandri mengerutkan keningnya dan menatapku. Tidak lama, Ana juga melakukan hal yang sama. Yeah, it's show time!"Kamu kok ngomong kasar kaya gitu ke mas sih neng?! Pake nyuruh lagi! Kamu kan liat mas baru beres makan! Lagian teko air juga masih di meja ini. Tinggal bangun bentar bisa kan?! Ga diajarin ya sama orang tua neng?! Ngga sopan tau neng! Mas ngga suka!""Tau tuh mas! Bisa-bisanya nyuruh mas! Ngga diajarin adab sama orang tuanya kali mas! Timbang ambil minum aja nyuruh! Judes pula!" Ana menimpali perkataan mas Yandri.Aku menyenderkan punggung dikursi dan melipat tangan."Udah selesai ngomongnya? Kalau masih mau diterusin, sok neng tungguin. Terusin aja dulu sampe puas."Wajah Mas Yandri sudah merah, tanda emosinya sedang naik. Untung makanan dalam piringnya sudah habis. Setidaknya dia dalam keadaan kenyang. Karena sesungguhnya untuk marah-marah diperlukan energi yang besar."Kalo udah, gantian neng ngomong. Mas tadi denger Ana nyuruh neng ambil minum kan?" Tanyaku.Mas Yandri mengangguk."Mas denger dia nyuruh neng yang dirumah ini berstatus sebagai istri kakaknya, kakak iparnya, orang yang lebih tua darinya dengan bahasa dan nada memerintah, yakan?"Mas Yandri kembali mengangguk."Kenapa Ana ngga ditegur sedangkan Neng ditegur?!" Aku menggebrak meja."Padahal apa yang neng lakuin itu karena mencontoh Ana! Mungkin dirumah ini udah biasa memerintah ke orang yang lebih tua dengan bahasa ketus! Giliran neng ikutin, kenapa neng yang kena marah?!Inget mas, kelakuan Ana juga akan berimbas pada mas! Tau 'kan kalau lelaki akan bertanggung jawab atas ibunya, istrinya, anak dan saudara perempuannya?! Kalau kelakuan Ana yang kaya gitu mas biarkan, sampai mana mas akan kuat memikul tanggung jawab di akhirat kelak?!Garis bawahi ya mas, Neng cuma mencontoh kelakuan Ana! Mas ngga tegur dia, ya berarti sudah tradisi disini kan ngomong ke yang lebih tua kaya gitu! Salah kalo neng ikutin?!Dan ini ngga ada hubungannya sama sekali dengan orang tua neng! Karena apa?! Karena neng sudah dalam tanggung jawab mas! Jadi, jika ada perbuatan salah yang neng lakukan, itu bukan karena orang tua neng, tapi karena mas yang ngga bisa mendidik neng!Kalau mau diperlakukan menyenangkan, maka berikan juga perlakuan yang menyenangkan! Paham sampai sini?! Kakak adik pinter keblinger! Pada kuliah tapi ngga ngerti adab!" Aku berdiri dengan menyentakkan kursi dan berlalu ke kamar diiringi tatapan kaget suami dan adik iparku.***Kami sekeluarga berkumpul mengerubungi Dinda. Sudah hampir setengah jam bayi itu rewel. Susu formula yang dibawa ibunya pun sudah habis."Kayanya masih lapar ya neng?" Mas Yandri bertanya padaku."Kayanya iya sih mas, beliin susunya atuh ke alfa. Barangkali orang tuanya masih lama pulang," jawabku. Seperti itulah aku, setelah emosi tersalurkan, moodku bisa dengan sangat cepat membaik. Itu kenapa aku kembali bersikap biasa kepada mas Yandri dan Ana."Udah ngga usah, pake susu juga ngga akan kenyang. Harus dikasi makan ini. Coba ambil pisang Re," ibu mertua memerintahkan aku.Aku tidak beranjak. Walaupun belum mempunyai anak, aku tau jika waktu yang tepat untuk memberikan makan pada bayi adalah jika umurnya sudah 6 bulan. Itu juga bubur dengan tekstur encer dan bertahap."Cepet ambil! Lelet sih kamu! Susah banget kalau disuruh!"Aku menjelaskan pada ibu jika bayi yang sudah bisa diberi makan harus berumur sekurang-kurangnya 6 bulan."Alah, aturan mana itu! Anak-anak ibu semua dikasih makan sebelum 6 bulan kok! Sok tau kamu! Punya anak aja belum! Cepet bangun! Ambilin pisang terus suapin nih! Cepet bangun, nurut sama ibu!" sentakan ibu mertua semakin membuat Dinda gelisah."Neng, denger kata ibu kan? Sana ambil, suapin Dinda." Mas Yandri pun memerintahkan aku.Aku tidak bisa tinggal diam. Aku harus berpikir cepat untuk menghindarkan Dinda dari bahaya. Mas Yandri dan ibu semakin gencar menyuruhku. Sampai akhirnya aku berdiri."Yaudah neng nurut. Sama neng disuapin juga. Tapi, kalau nanti Dinda kenapa-kenapa, ibu sama mas Yandri yang tanggung jawab. Ana, Lita! Kalian jadi saksi ya, ibu sama mas Yandri yang nyuruh teteh ngasi pisang ke Dinda."Wajah-wajah dihadapanku melongo. Aku tidak peduli, rasa-rasanya tidak tepat jika aku diam saja padahal aku tau resiko pemberian makan dini pada bayi. Saat aku baru membalikkan badan, pintu depan diketuk.Tok tok tok!Ternyata sepupu mas Yandri sudah kembali. Keduanya meminta maaf karena telah merepotkan dengan terlalu lama meninggalkan Dinda."Tadi Dinda nangis terus, lapar kayanya. Mau budhe kasih pisang tapi ngga boleh sama Rere."Wajah orang tua Dinda kaget. Dengan pelan, sepupu mas Yandri bertanya,"Udah dikasih pisang?""Belum, tadi nyuruh Rere tapi dia ngga mau," ibu mertua mendelik sinis padaku.Diluar dugaan, kedua orang tua Dinda mengucapkan Hamdalah. Hal ini membuat ibu mertua melongo untuk kedua kalinya."Alhamdulillah. Sebaiknya memang jangan dulu budhe, belum cukup umur. Banyak resiko pemberian makan diusia yang belum tepat. Salah satunya kematian. Kan ngga lucu, kami kesini niat mau berobat papanya Dinda malah jadinya Dinda juga ikut masuk rumah sakit." Ibu Dinda berkata dengan lembut.Dengan kedua mataku, aku melihat ibu mertua menunduk malu.Mas Yandri pulang dengan wajah yang kusut. Aku menyuruhnya membersihkan diri, makan dan kemudian beristirahat. Sejujurnya, aku ingin menanyakan apa yang terjadi ketika tiba-tiba teringat pesan mama saat terakhir kali meneleponku. "Kalau suami pulang kerja sebisa mungkin jangan banyak ditanya dulu. Bawain minum, sediakan makan, perhatikan kebutuhannya. Jika semua sudah teteh lakukan, lihat moodnya. Jika terlihat masih lelah, urungkan bertanya. Terkadang, bertanya di saat yang tidak tepat bisa memicu pertengkaran. Ini hal yang sepele, tapi berarti. Mama harap teteh bisa belajar untuk peka dan sadar situasi." Saat ini kami hanya berdua dirumah. Mertua dan kedua iparku sedang pergi mengunjungi tante mas Yandri yang sedang sakit. "Mas mau ngopi ngga?" Aku bertanya pada mas Yandri yang sedang menonton televisi. Saat sedang mencuci piring bekas makan kami, aku mendengar gelak tawanya. Raut wajahnya pun tidak sekusut saat ia pulang kerja. "Boleh deh neng, jangan kopi item tapi ya. Cappuc
"Seperti yang sudah kubilang. Pernikahan adalah proses pembelajaran seumur hidup. Akan selalu ada hal baru yang dipelajari setiap harinya." - Neng Rere***Aku melemparkan pandang ke sudut ruangan dimana terdapat koper dan dus-dus bertumpuk. Isinya sebagian besar adalah pakaianku dan Mas Yandri. Sebagian kecil lagi berupa alat-alat dapur yang merupakan kado pernikahanku dulu dan sama sekali belum pernah kugunakan. Kakiku menjejak bumi Lancang Kuning sesaat setelah lewat waktu Maghrib hari kemarin. Mas Yandri dan aku dijemput oleh seseorang yang memperkenalkan diri sebagai anak buah mas Yandri dikantor. Di kota ini kami diberikan fasilitas rumah dinas dan juga kendaraan. Setelah makan malam dan berkeliling melihat megahnya kota ini, kami diantar menuju rumah dinas. Rumah dinas ini disewakan full furnish yang artinya, sudah beserta barang-barangnya. Yes! Aku tidak perlu dipusingkan dengan sofa serta kawan-kawannya. Terletak di sebuah cluster yang aku pikir bergengsi membuatku jatuh c
Aku membersihkan taman sesaat setelah mas Yandri berangkat kerja. Mataku tidak sengaja melihat ke arah rumah depan. Beberapa ibu-ibu sudah duduk didepan pagar tepat disisi jalan dengan menggunakan bangku panjang yang entah mereka bawa dari mana. Tidak lama terdengar suara tukang sayur. Rupanya ibu-ibu tersebut sedang menunggu datangnya tukang sayur. Karena penasaran, aku keluar pagar menghampiri gerombolan ibu-ibu yang sudah mengelilingi dagangan tukang sayur. Teringat beberapa bumbu dapur yang tidak ada, aku berusaha mencari dan mengambil apa yang kubutuhkan. "Pak, bumbu dapurnya boleh beli sedikit-sedikit?" tanyaku. Bapak penjual mengiyakan peetanyaanku dengan ramah. Beliau membantuku mengambilkan apa yang kubutuhkan."Rere masak apa hari ini?" Seorang ibu dengan dandanan yang wow bertanya padaku. Aku ingat, ibu ini yang berbicara sinis padaku saat pertama kali memperkenalkan diri kemarin."Masih belum tau bu, kayanya bikin ayam goreng aja deh yang gampang." Aku menjawab dengan
Setelah seminggu tinggal di sini aku tau jika rumah bu Jejen hanya berselisih 3 rumah dari rumahku. Sedangkan rumah anggota gengnya yang lain, tepat berada di depan rumah beliau. Aku tipe orang yang jarang keluar rumah kecuali untuk hal yang penting seperti pergi menengok jika ada tetangga atau orang yang kukenal sakit, pergi ke warung, dan pada saat ada undangan untuk menghadiri suatu acara. Urusan sosialisasiku dengan tetangga sekitar juga seperlunya saja. Sesekali aku ikut duduk di warung setelah berbelanja untuk mengobrolkan hal-hal yang ringan.Sejak kejadian pengajian di rumahku, bu Jejen tidak pernah lagi menegurku walaupun kami bertemu di jalan. Aku tidak peduli, aku tetap menyapanya walaupun berkali-kali beliau mendiamkan aku. Aku mengerti, mungkin dia marah karena aku membalas ucapannya waktu itu. ***Pintu rumahku diketuk saat aku sedang fokus menonton. Ketukan pintu yang berulang-ulang tanpa jeda membuatku sedikit senewen."Bentar!" Aku terkejut melihat seraut wajah mil
Setelah makan malam, aku dan mas Yandri menghabiskan waktu berdua di depan televisi dengan gelas kopi ditangan masing-masing. Mas Yandri memberitahuku jika weekend minggu depan akan ada acara serah terima jabatan dari kepala cabang yang lama. Aku diminta hadir untuk menemaninya dalam acara tersebut.Selama beberapa saat, kami membahas hal yang random. Sampai akhirnya, aku menceritakan tentang kunjungan bu Jejen. "Mas percaya kok, Neng bisa dengan gampang menghadapi Bu Jejen," Mas Yandri tertawa saat aku selesai bercerita. "Neng jaga diri aja selama di rumah. Walaupun konon katanya tetangga adalah keluarga terdekat, tapi tetap hati-hati juga ya." Aku mengangguk mengiyakan. ***Ibu-ibu di tukang sayur menatap kedatanganku. Ada yang berbeda dari pandangan mereka. Beberapa yang berdiri agak jauh, melihatku seraya berbisik-bisik. Aku langsung tau, ini pasti ada hubungannya dengan kedatangan bu Jejen kemarin. Tanpa mempedulikan itu semua, aku tetap bersikap ramah pada mereka. Setelah
[Saya, Jejen Marisa meminta maaf atas kebohongan yang sudah saya ceritakan kemarin di grup ini. Kejadian sebenarnya bukan seperti apa yang saya ceritakan. Saya melebih-lebihkan cerita karena emosi kepada Ibu Rere. Untuk Ibu Rere, saya minta maaf sebesar-besarnya atas perbuatan saya.]Ponselku berkali-kali berdenting tanda banyak notifikasi yang masuk. Rupanya berasal dari WA Grup warga. Setelah diam beberapa saat, aku mengetik kalimat balasan. [Saya, Rere Demian memberikan maaf setulus hati sesuci kalbu kepada Bu Jejen. Saya pribadi juga minta maaf untuk kata yang tidak berkenan. Semoga ini bisa menjadi pelajaran untuk kita semua kedepannya.]WA grup warga kembali ramai. Beberapa dari mereka menanyakan kronologi yang sebenarnya padaku. Namun, karena sudah saling bermaaf-maafan, aku tidak menggubris pertanyaan mereka. ***Aku sedang memulas bibir dengan sentuhan akhir dari merk liptint favoritku saat mas Yandri masuk ke kamar. "Ayo Neng, siap?" Setelah beberapa saat, aku berdiri da
Pukul 10 lebih saat suara mobil mas Yandri terdengar. Aku segera membuka pintu dan melihatnya sedang membuka pagar."Neng kenapa belum tidur?" Mas Yandri menyapaku. "Gimana neng bisa tidur atuh mas, kalau mas baru pulang jam segini. Pulang malem ngga ngasi kabar." Aku berucap seraya tersenyum.Dari tadi aku mati-matian menahan emosi dan ingin segera mendapatkan penjelasan. Namun, suamiku itu baru pulang kerja. Jika aku nekat bertanya, yang ada kami akan bertengkar dan tujuanku untuk mengetahui hal yang sebenarnya bisa gagal. "Mas mandi dulu sana, Neng angetin makannya." Mas Yandri mengangguk dan berjalan menuju kamar kami. ***"Neng ngga enak badan? Kok kaya yang lesu?" Tanya mas Yandri kepadaku saat ia telah selesai makan. Aku hanya tersenyum dan menawarinya kopi seperti biasa. Memang, sudah terlalu malam untuk menikmati secangkir kopi, tapi karena besok mas Yandri libur, ia pun tidak menolak. "Mas, lihat ini," aku membuka suara saat kami sudah sama-sama menghabiskan setengah g
Ketenangan yang diberikan bu Jejen dan kawan-kawannya rupanya hanya sebentar saja. Dia kembali lagi menyindirku. Entah secara terang-terangan atau secara tersirat di WA grup. Aku yang sering membaca sindirannya tidak mau ambil pusing dan menghabiskan energiku untuk meladeni omongannya yang tidak berdasar. Peristiwa dimana ia melihat Mas Yandri dengan wanita lain digunakannya sebagai kartu untuk menyindirku. Berkali-kali ia membahas pentingnya seorang istri menjaga penampilan agar suami betah dirumah. ***"Walaupun saya di rumah aja, saya tetep gaya. Biar mata suami adem gitu kalo ngeliat saya." Bu jejen berkata keras dan melirikku yang sedang berjalan menghampiri tukang sayur. Kedua temannya yang juga melihatku menjawab perkataan Bu Jejen dengan suara yang tidak kalah kencang. "Harus itu Bu Jejen. Kalau dirumah cuma pakai kaos dan celana pendek aja, gimana suami mau betah. Di kantor tuh kan banyak perempuan-perempuan yang modis, yang bikin adem mata. Giliran pulang ke rumah bawa
"Kalau menurut Neng mah ya biarin aja dia nikah. Dengan satu catatan, kuliahnya tahun depan harus beres. Eh Mas, ngomong-ngomong calonnya si Ana ini anak mana? Kuliah atau kerja?"Keingintahuanku berlipat ganda karena hal ini baru kali ini kusaksikan sendiri. Ana memang tipe anak yang suka membantah, tapi ia tetap patuh pada perkataan ibu. Jika sekarang Ana sudah tidak mendengarkan ibu, entah situasi apa yang sebenarnya terjadi disana. "Kata Ibu sih udah kerja, cuma ya itu, Ibu berat aja kalau sampai kuliah Ana ngga beres." Aku terdiam dan kemudian berkata,"Ya udah kalau kaya gitu nikahin aja. Tapi seperti kata Neng tadi. Kuliah harus beres. Entah nikahnya ditunda sampai Ana lulus. Atau nikah sekarang tapi ya tetap kuliah. Tapi Mas, maap nih ya Neng nanya. Tapi Ana ngga gimana-gimana 'kan? Maksudnya gimana ya, kan kalo nikah ngedadak itu orang mikirnya karena udah terjadi sesuatu gitu, Mas." Mas Yandri menghela nafas."Mas juga nanya itu tadi ke Ibu. Kata Ibu sih, Ana bilang ga k
"Neng, liat nih, mantan Mas ngirim pertemanan di sosmed." Aku yang sedang duduk di sebelah Mas Yandri dan menonton drama favoritku pun mengangkat wajah. "Mantan yang mana Mas? Mantan Mas 'kan banyak, Neng ga hapal satu-satu."Mas Yandri menyodorkan ponselnya padaku. "Ini si Mega," ucapnya Aku melihat foto sosok seorang wanita dengan latar belakang pemandangan alam di profilnya. "Oh itu," ucapku pendek. "Diterima atau ngga usah ya, Neng?" Aku menoleh menatap Mas Yandri. "Mas, kira-kira dong kalo nanya!" Aku menghembuskan nafas dan meliriknya tajam."Kalau Mas berniat mancing reaksi Neng dengan bertanya seperti itu, Sorry to Say ya mas, neng biasa aja. Mas pikir Neng akan terharu? Wah, aku terharu karena suamiku terbuka banget, sampe mantannya ngirim pertemanan juga aku dikasih tau. Gitu kan?"Mas Yandri nyengir. "Lain lagi kalau niat Mas ngasi tau ke Neng biar Neng sekedar tau dan ga mikir macem-macem. Kalau gitu ya Neng balikin ke Mas. Terserah Mas aja. Mau diterima boleh, ng
Semakin membesar kandunganku semakin berkurang juga penyiksaan mual muntah yang aku alami. Sekarang aku bisa makan apapun tanpa harus khawatir akan keluar lagi. Rumah baru kami sudah dalam proses akhir finishing. Sebenarnya sudah bisa ditempati jika kami mau. Namun, Mas Yandri menunda karena ia ingin semuanya sudah benar-benar siap saat kami pindah nanti. Hari ini Mas Yandri libur, dan kami sedang merencanakan di mana aku akan melahirkan. "Neng, mau pulang ke Mama atau ke Ibu? Biar pas nanti udah lahiran, ada yang bantu-bantu kamu." Aku terdiam sejenak dan meminum susu sampai habis. "Nggalah Mas, Neng disini aja sama Mas. Kalau masalah bantu-bantu setelah melahirkan, kan nanti biasanya dari rumah bersalin suka ada yang dateng ke rumah untuk ngasi tau cara ngerawat bayi baru lahir. Untuk kerjaan rumah juga bisa nyari orang buat bantuin Neng. Yang dateng pagi pulang sore gitu Mas." Mas Yandri terlihat keberatan dengan keinginanku. "Mas, Neng itu seorang istri. Ga ada dalam kamus
Aku sedang duduk dan memakan gorengan di warung Bu Indah saat Bu Jejen dan gengnya mendekat. Begitu melihatku, mereka bertiga sempat menghentikan langkah. Aku pikir mereka akan membalikkan badan, nyatanya mereka tetap mendekat. Ada sesuatu yang harus kuperiksa, dan aku bertekad untuk mendapatkan jawabannya hari ini juga. "Eh ada Bu Jejen, Bu Mumun dan Bu Romlah. Tumben baru keliatan nih." Aku tersenyum ke arah mereka.Bu Jejen mendelik dan mencebikkan bibirnya. "Halah, kamu itu yang jarang keluar rumah! Jelas aja baru ngeliat kita-kita!" "Eh Bu Jejen, mau tau ngga?" ucapku dengan nada yang membuat penasaran."Apaan?! Kamu mah senengnya main tebak-tebakan mulu! Tinggal cerita aja apa susahnya sih?!" "Saya dapet kiriman paket dari mama saya loh. Isinya makanan, banyak banget."Selama berbicara, aku mengamati tingkah Bu Mumun dan Bu Romlah. Mereka berdua hanya diam menyimak sembari memakan gorengan. "Makanan apaan? Kamu tuh kalo cerita-cerita tentang makanan, mending bawain sekalia
Aku hanya diam disepanjang jalan Mas Yandri membawaku entah kemana. Panasnya cuaca di kota ini semakin membuat emosiku naik. Saking emosinya, aku sudah merangkai kata-kata untuk memaki Mas Yandri dan juga perempuan bernama Diana itu.Mobil berbelok memasuki perumahan yang sama sekali asing untukku. Mataku disambut dengan jejeran rumah indah berkonsep minimalis. Tepat lima menit kemudian, kami berhenti di sebuah rumah yang pintu depannya terbuka. Seorang wanita keluar menyambut Mas Yandri dengan senyum sumringah. Aku menahan diri untuk tidak menjambak dan menonjoknya. "Selamat siang Pak Yandri. Mohon maaf saya tadi tidak ditempat, tapi semua berkas dan pembayaran administrasi dari bapak sudah saya terima." 'Apa ini? Berkas apa? Administrasi?' aku bertanya dalam hati. Suara Mas Yandri yang memanggil untuk mendekat membuyarkan aku yang sedang berpikir. "Ini Rere istri saya, Bu Diana." Mas Yandri memperkenalkan aku. Wanita di hadapanku mengulurkan tangan dan memperkenalkan dirinya d
"Neng, gajian bulan ini, jatah kamu dikurangi ya? Jadi satu juta aja, nanti kalau Mas ada rejeki lebih, Mas tambahin lagi." Mas Yandri berucap seraya memberikan slip gaji padaku. "Kenapa Mas, ada masalah?" "Ngga, cuma Mas mau ngasi agak banyak buat Ibu. Buat sekolah Ana sama Lita," jawab Mas Yandri.Aku mulai merasakan perasaan was-was. Mungkin jika saja beberapa hari yang lalu aku tidak mendengar Mas Yandri menelpon seseorang secara bisik-bisik di teras, perasaanku tidak akan seperti ini. Selain itu juga, aku baru menyadari jika ATM pemberian Mas Yandri tidak ada lagi di dompetku.Untuk ke warung atau ke tukang sayur, aku menggunakan dompet kecil. Uangnya aku ambil tiap hari dari dompet besar yang selalu tersimpan rapi di tasku. Kemarin pagi, saat aku bermaksud mengambil uang untk belanja, aku tidak menemukan tanda-tanda keberadaan ATM tersebut. Aku bermaksud untuk bertanya langsung, tapi melihat gelagat yang aneh dari Mas Yandri membuatku mengurungkan niat. Seperti biasa, aku ak
Tanpa terasa kandunganku sudah memasuki usia 4 bulan. Aku dan Mas Yandri berencana untuk mengadakan syukuran pengajian. Rencananya pula, ibu mertuaku akan datang mengunjungi kami. Mas Yandri sebenarnya juga mengundang mamaku, tapi karena kesibukan yang tidak bisa ditinggalkan, mama tidak bisa hadir. Postur tubuhku yang kecil membuat kehamilanku di usia 4 bulan ini tidak terlalu kentara. Selain itu, kebiasaanku yang sering memakai kaos over size membuatnya semakin tidak terlihat. Itulah kenapa, Bu Jejen dan gengnya masih sering suka meledekku. "Syukuran mulu nih ceritanya, tapi ngga hamil-hamil," ucap Bu Jejen pedas saat aku memberitahukan undangan pengajian pada ibu-ibu komplek yang sedang berkumpul. "Aduh Bu Jejen berisik banget sih, kalo ngga mau dateng juga ga apa-apa. Saya ngga maksa," balasku tak kalah pedas. Beberapa ibu-ibu melongo dan sebagian lagi tersenyum melihat kami perang kata. Entahlah, sejak hamil, jiwa barbarku semakin tak terbendung. Aku bisa tiba-tiba emosi dan
Aku mengalami kondisi mual dan muntah parah. Entah kenapa, indera penciumanku menjadi sangat tajam dan indera pengecapku menjadi sangat peka. Aku tidak bisa makan semau-mauku. Jika kulanggar maka efeknya tidak main-main. Mas Yandri selalu mempersiapkan segala kebutuhanku sebelum berangkat kerja karena hampir sepanjang hari aku hanya bisa berbaring. Kondisi ini memang tidak setiap hari. Ada kalanya disaat bangun pagi, aku merasa segar. Jika sudah begitu, aku bisa dengan rajinnya membereskan semua pekerjaan rumah yang terbengkalai. Tapi ya itu, kondisi tersebut tidak setiap hari. Seperti pagi ini, aku bangun dengan tubuh yang segar. Setelah membereskan rumah, aku keluar untuk menghirup udara segar dan menunggu tukang sayur. Para ibu yang biasa duduk di seberang rumahku pun sudah berkumpul. "Sayur...." Setelah sosok tukang sayur yang kutunggu terlihat, aku membuka pagar dan keluar. Belum juga sampai di tempat tukang sayur mangkal, suara Bu Jejen sudah terdengar memenuhi gendang tel
Sepulang dari dokter, aku dan Mas Yandri duduk berdua dan mulai mencari di mesin pencarian internet beberapa kemungkinan penyebab sakit yang kuderita. Penyakit autoimun yang tadi dijelaskan dokter pun bisa kutemukan penjelasannya. Namun menurut penelitian, kasus tersebut jarang sekali terjadi. Beberapa ciri yang ku rasakan merujuk pada kondisi syaraf terjepit. Aku bahkan menemukan juga iklan pengobatan alternatif. "Mas, ini ada pengobatan alternatif pijat refleksi buat syaraf terjepit." Aku memberitahu Mas Yandri. "Emang kamu mau nyoba kesana Neng? "Ya nyoba aja kan, siapa tau emang syaraf kejepit. Kalau ke spesialis syaraf terus ternyata disuruh MRI gimana? Biaya MRI mahal banget loh mas. "Mas Yandri menatapku, "Ya ngga masalah mahal juga, berapapun akan Mas usahakan asal kamu sehat lagi.""Iya tau, tapi Neng takut. Nyobain ke alternatif dulu ya Mas," bujukku. "Nyobain aja, kali memang syaraf kejepit. Soalnya, Neng sebelum sakit emang angkat-angkat barang terus nyapu-nyapu, ngep