“Istirahatlah. Aku akan menjagamu malam ini dan nggak akan membiarkan kamu melakukan hal konyol lagi,” titah Roy pada Miranda.“Aku mau makan sate madura, Roy,” rengek Miranda pada Roy.“Udah jam tiga pagi. Mana mungkin masih ada orang yang jualan sate madura,” sahut Roy yang sebenarnya sudah merasa sangat lelah saat ini.“Masih ada kalau kamu mau keliling nyarinya, Roy!”“Tapi, aku capek, Mir! Besok aja, ya.”“Aku mau sekarang, masa besok sih?” rengek Miranda lagi dan membuat Roy semakin kesal.Roy memang tidak tahu gejala kehamilan yang seperti sedang dialami oleh Miranda saat ini. Apalagi masa-masa mengidam yang tak tentu waktu dan apa yang diinginkan oleh ibu mengandung. Roy memang tidak punya pengalaman apapun dalam hal ini. Jadi, ia bersikap seperti itu karena menganggap permintaan Miranda konyol.Miranda sudah bersiap dengan pakaian dinginnya. Sepertinya ia ingin pergi entah ke mana. Roy memperhatikan semua yang dilakukan Miranda, sampai ia mengambil kunci sepeda motornya yang
Mereka akhirnya melakukan perjalanan kembali ke rumah kontrakan Miranda. Selama perjalanan itu Roy dan Miranda hanya saling berpacu diam dalam keheningan subuh. Tidak ada yang mengeluarkan sepatah katapun dalam perjalanan pulang itu.Roy sudah sangat lelah dan mengantuk saat ini, dan itu sebabnya ia hanya diam. Belum lagi kekesalannya pada sikap Miranda yang berubah ubah seenaknya saja. Roy masih belum terbiasa dengan sikap ibu hamil yang ditunjukkan Miranda padanya.Ketika mereka sampai di rumah, ternyata Miranda sudah dalam keadaan tertidur di kursinya. Roy memang terus fokus menyetir tanpa ada sesekali menoleh ke samping memperhatikan Miranda. Merasa tidak tega membangungkan Miranda, akhirnya Roy membopong tubuh seberat lima puluh enam kilo itu dengan kedua tangannya.Ia mengambil kunci dari dalam tas Miranda sebelum mengangkat Miranda dan membuka pintu, kemudian membaringkan tubuh Miranda di atas kasur beralaskan seprai berwarna ungu.Roy merasa sangat lelah dan mengantuk, akan te
Meski merasa tidak tega pada Lisa, sepertinya dokter Lukman memang tidak punya pilihan lain lagi saat ini. Sumpahnya sebagai seorang dokter harus tetap ia jalani dengan profesional. Ia harus menyampingkan dulu perasaan pribadinya saat ini."Sebenarnya memang ada hal lain yang harus aku sampaikan padamu. Tapi aku nggak mau bikin kamu semakin sedih dan terpuruk karena kabar ini," tingkat dokter Lukman padalisan dengan nada sendu dan pilu."Bilang aja semuanya. Aku nggak papa kok. Aku ini wanita kuat, kamu tahu itu kan?" tanya bisa mencoba meyakinkan dokter Lukman agar bisa mengatakan semuanya dengan jujur padanya."Oke. Semoga kamu kuat untuk menerima kenyataan ini, meski ini terdengar sangat menyakitkan. Tapi ini adalah jalan terbaik untuk hidupmu saat ini, Sa." Dokter Lukman berkata dengan pasrah."Aku yakin aku bisa menerima apapun itu, Luke." "Iya. Aku tahu kamu wanita yang kuat.""Jadi apa berita lainnya yang masih belum kamu sampaikan ke aku?" desak Lisa pada dokter Lukman akhirn
Singkat cerita, pada akhirnya Roy pun tinggal di rumah Miranda untuk sementara waktu. Miranda sangat manja dalam masa kehamilannya. Sudah dua bulan sejak kejadian saat itu dan ia tidak pernah bertemu dengan Lisa lagi. Sesekali Roy akan pulang ke rumah tempat ia dan tinggal bersama Lisa selama ini.Namun, hanya puing-puing kenangan yang ia dapati di dalamnya. Tidak ada lagi cinta dan moment romantic yang selalu tercipta antara dirinya dan Lisa. Tidak ada lagi sikap manja Lisa yang mampu membangkitkan hasratnya.Roy merindukan semua tentang Lisa. Entah itu sengaja atau tidak, ia sendiri tidak mengerti mengapa sekarang ia begitu merindukan wanita itu.“Kamu mau ke mana, Roy?” tanya Miranda sore itu ketika ia ingin pergi ke rumah lamanya.“Aku ada urusan. Kamu tunggu lah di sini dan jangan banyak bergerak. Jika butuh atau ingin sesuatu, pesan saja melalui online,” jawab Roy dan memasang jasnya.“Kamu kan baru pulang kerja, Roy! Masa sih ada urusan lagi? Emang urusan apa sore-sore gini? Ng
Roy tidak menyangka bahwa Lisa akan mengatakan hal yang tidak pernah IA bayangkan sebelumnya. selama ini Roy mengira bahwa Lisa tidak akan pernah bisa hidup tanpa dirinya dan cintanya. namun sekarang jelas-jelas Lisa mengatakan bahwa ia telah mengirimkan surat perceraian dari pengadilan agama.dengan setengah tak percaya Roy berdecak keras."Jangan bercanda sama aku! Kamu pikir aku percaya?" tanya Roy pada Lisa dengan arogan."Itu sih terserah kamu aja, Roy. Kamu mau percaya atau enggak itu bukan urusan aku. Yang jelas aku udah tanda tangan surat perceraian itu dan kamu sebaiknya enggak mempersulit perceraian kita ini!" Lisa berkata seolah sudah tidak ada cinta lagi di hatinya untuk Roy."Aku nggak akan pernah menandatangani apapun! Kamu dengarkan? Nggak akan pernah!" jawab Roy dengan penuh penekanan di kata tidak akan pernah."Semua terserah kamu. Kamu setuju atau enggak, perceraian ini akan tetap terjadi, Roy!""Kamu nggak akan pernah mendapatkan surat cerai dari aku. Aku belum menj
“Udah berapa lama kamu bersembunyi, Sa. Apa kamu nggak mau menjalani kehidupan yang normal seperti biasanya? Untuk apa kamu bersembunyi dari orang seperti Roy?” tanya dokter Lukman pada Lisa ketika ia mengunjungi Lisa di sebuah rumah yang terbilang sederhana.“Aku udah siap untuk muncul lagi sekarang, Luke! Aku akan membalaskan dendam atas pengkhianatan Roy dan Miranda!” ucap Lisa penuh dengan tekad.“Kamu merasa puas dan bahagia setelah membalaskan dendam?” tanya dokter Lukman mencoba mempertanyakan keseriusan Lisa dalam hal itu.“Aku hanya ingin mereka dapat balasan atas apa yang udah mereka lakukan padaku, Luke!”“Kalau memang seperti itu, aku nggak akan mencegahmu. Lakukan semua yang kamu anggap baik dan bisa membuatmu bahagia.”“Makasih, Roy. Kamu udah selalu mendukung dan menemaniku selama ini.”“Bukan masalah besar, Sa,” balas dokter Lukman dengan anggukan pelan.Lisa sudah tiga bulan tinggal di sebuah rumah sederhana yang memang terbilang jauh dari keramaian. Itu semua karena
Lisa sudah dalam perjalanan menuju sebuah restoran untuk membuat janji temu dengan kuasa hukumnya. Hal itu ia lakukan agar masalah perceraiannya dengan Roy bisa segera selesai dan ia bisa hidup dengan tenang tanpa bayang-bayang Roy dan Miranda lagi. Namun, selama perjalanannya tadi Lisa masih terus terpikirkan tentang orang yang mengetuk pintu dan memanggil namanya dengan sangat jelas itu. Yang ketika ia liat ke luar rumah, tidak ada siapapun di sana. Merasa tidak tenang bepergian menggunakan jasa driver online, Lisa akhirnya memutuskan untuk memakai sedan jadul yang ia beli ketika memutuskan untuk pindah ke perkampungan itu. Tidak etis rasanya jika Lisa masih menggunakan mobil mewahnya. Lisa sudah berada di perkotaan, di jalanan yang biasa ia lewati dulunya. Namun sudah sangat lama rasanya jalanan ini tidak ia tempuh sehingga banyak pula yang tampak sudah berubah di sana. “Halo, Jon. Temui aku di Resto Restu sekitar sepuluh menit lagi. Aku udah dalam perjalanan ke sana,” titah Li
“Sayang … untuk apa lagi kamu masih mencari dan memikirkan Lisa?” tanya Miranda pada Roy ketika ia sudah sampai di rumah dengan membawa perut buncitnya itu. “Itu bukan urusanmu! Yang penting aku sudah melakukan apa yang kau mau! Aku sudah menikahimu!” sahut Roy tak peduli dengan ocehan Miranda padanya itu. “Jangan bodoh, Roy! Saat kamu seperti orang gila memikirkan dia di mana dan bagaimana kabarnya, dia malah sudah move on dari kamu dan bahkan sudah mendapatkan pria muda yang lebih tampan dan pastinya lebih kaya,” ungkap Miranda lagi sengaja memanas-manasi Roy yang tengah mengetik sesuatu di keyboar laptopnya. “Apa yang sedang coba kamu katakan? Nggak usah bertele-tele, Mir!” bentak Roy pada Miranda yanag merasa kesal karena waktu bekerjanya juga terganggu dan kosentrasinya menjadi ambyar. Mira mengeluarkan ponselnya dari dalam tas dan seperti sedang mencari sesuatu di dalam ponselnya. Tidak lama kemudian, ia mengarahkan ponsel itu ke hadapan Roy dengan senyum mengambang dan berk
“Mami ….”Suara igauan dari Ane menyadarakan Lukman pada khayalannya tentang Lisa. Ia tidak tahu apakah Lita marah dan tersinggung pada ucapannya tadi atau tidak.“Maaf. Aku … aku tiba-tiba teringat istriku,” ucap Lukman penuh nada sesal.“I-iya. Nggak apa-apa. Makasih udah anterin aku sampai depan hotel. Kalau gitu aku permisi.” Lita menjawab dengan sedikit gugup juga.“Sama-sama. Btw, apa kamu jadi test DNA besok?” tanya Lukman sebelum Lita benar-benar turun dari dalam mobilnya.“Jadi. Aku juga penasaran dengan kebenarang itu. Setidaknya, dengan hasil test DNA itu nanti semuanya akan sangat jelas. Iya atau tidaknya informasi yang aku kantongi saat ini.”“Kamu benar. Yang penting semuanya diperiksa dulu, kan?”“Iya. Tapi ….”“Tapi apa?”“Aku kan baru di kota ini. Jadi … aku nggak tau ke mana harus pergi untuk melakukan test itu nanti. Eh, bukannya kamu dokter? Tadi, anak kembarmu itu bilang gitu. Gimana kalau di rumah sakit tempat kamu kerja aja?” tanya Lita kemudian dengan suara yan
Lita masih tertegun tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari mulut anak seusia Ane. Anak itu terdengar sangat dewasa dan pembawannya juga tenang ketika mengatakan semua itu. Bahkan, Lita menjadi ragu bahwa ia adalah anak yang baru berusia sekita enam atau tujuh tahunan.“Maafkan anakku, Nona. Dia masih anak-anak dan nggak ngerti dengan apa yang baru aja dia katakan,” ucap Lukman segera ketika melihat perubahan pada raut wajah Lita.Ia mengira mungkin saja Lita tersinggung dengan ucapan bocah itu. Karena tentu saja, itu adalah hal yang seharusnya diucapkan oleh orang dewasa dan makna dari kalimat itu tentu sangat besar. Tidak main-main tentunya.“Nggak masalah. Aku nggak apa-apa dengan hal itu. Tapi … apa yang membuat Lisa bisa meninggal secepat ini? Aku nggak memiliki Riwayat penyakit dalam yang parah, seharusnya Lisa juga gitu. Karena dia adalah kembaranku. Setidaknya, itu yang aku dengar dan ketahui tentang hubungan kami yang bahkan belum pernah bertemu satu sama yang
Lukman tidak dapat mempercayai penglihatannya saat ini. Di depannya jelas ada wanita yang tampak sangat mirip dengan Lisa – istri tercinta yang sudah tiada dan bahkan sekarang ia dan ketiga anaknya sedang berada di makam Lisa.“Papi … itu bukannya Mami?” tanya Ane dengan suara nyaring pada Lukman dan tak lupa telunjuknya menunjuk kepada wanita itu.“Sayang … jangan asal bicara. Nanti tantenya tersinggung,” gumam Lukman dengan suara yang sedikit ia keraskan agar Ane bisa mendengarnya dengan jelas.“Iya. Meski pun memang mirip, aku rasa dia bukan Mami. Mami jelas udah ada di syurga saat ini,” sela Andi pula dengan pemikirannya yang bak orang dewasa.“Aku setuju dengan Andi. Mereka hanya mirip dan memang di dunia ada tujuh orang yang saling mirip satu sama yang lainnya bukan?” Ana pun ikut menimpali percakapan itu.Sementara, wanita yang sedang mereka bicarakan sudah berada di depan makam Lisa dan menatap ketiga anak Lukman itu dengan senyum yang mengambang. Ia tampak menyukai anak-anak
Lukman membawa ketiga bayi besarnya itu menuju ke sebuah pemakaman elite yang terlihat sangat indah dan rapi tentunya. Di sana adalah makam Lisa yang sudah meninggalkan dirinya lima tahun yang lalu. Lukman tidak pernah merasa kesepian karena Lisa sudah meninggalkan ketiga anak bayi besar itu untuk ia rawat, jaga, dan sayangi sepanjang hidupnya.Ana, Ane, dan Andi tampak sibuk dengan dunia mereka masing-masing. Andi duduk di kursi penumpang di sebelah kemudi Lukman. Sementara Ana dan Ane duduk di kursi belakang yang sedang asik dengan tablet mereka masing-masing.“Apa yang sedang kalian lakukan? Main game?” tanya Lukman dan melirik kedua gadisnya itu melalui kaca tengah.“Bukan, Pi. Aku sedang melihat style penyanyi luar negeri ini, yang terbaru. Aku mau melukisnya nanti." Ana menyahut dan menampilkan layar tabletnya ke arah Lukman dan tentu saja tidak dapat diliat dengan jelas oleh lelaki itu.“Bagus banget, Sayang. Kamu mau jadi desaigner, ya?” tanya Lukman lagi kepada Ana dengan nad
Lima tahun setelah kepergian Lisa ….“Papi … Ane mana?” Sebuah suara bocah terdengar memanggil ke arah Lukman.“Papi nggak tau, Sayang. Tadi ada di sini. Kenapa?” sahut Lukman pada gadis kecil berusia enam tahun itu.“Dia pinjam buku cerita aku, tapi robek. Liat nih!” jawab gadis bernama Ana itu dengan menunjukkan sebuah buku dongeng yang sampulnya sudah robek setengah kepada Lukman.Lukman menghela napasnya dengan berat. Ia tahu bahwa Ane tidak akan pernah bisa menjaga barangnya dengan baik. Berbeda memang dengan Ana yang selalu perfect dalam segala hal. Meski pun mereka masih terbilang sangat kecil, Ana sudah memperlihatkan sisi kedewasaannya pada saudaranya yang lain.Ia selalu menjadi yang paling unggul di antara kedua saudara kembarnya yang lain. Ana selalu sempurna dalam segala hal dan tidak suka ada kesalahan atau kekurangan sedikit pun pada benda-benda yang dimilikinya. Namun, Ane yang selalu menjadi biang rusuh akan selalu merusak segalanya dan membuat Ana marah.“Nanti Papi
Dua tahun sudah berlalu sejak pernikahan Lisa dan Lukman. Kini mereka sudah tinggal di sebuah rumah yang sederhana tetapi punya lahan yang cukup luas. Ketika membuka jendela kamar, maka hamparan laut biru membentang di pelupuk mata. Lisa selalu suka memandang ke luar jendelanya baik di pagi hari, siang, sore, apalagi malam hari. Sementara Lukman membuka sebuah klinik Kesehatan yang selalu ramai dikunjungi pasien. Meski pun ia tidak pernah menetapkan harga untuk biaya pengobatannya, Lukman sudah cukup merasa bahagia dengan kehidupannya sekarang. Baginya, asalkan Lisa bisa bahagia maka dia juga akan merasa bahagia untuk hal itu. Siang ini, tumben sekali tidak ada pasien yang datang berkunjung ke kliniknya itu. Jadi, Lukman memutuskan untuk segera pulang dan makan masakan istri tercinta. Sudah lama sejak mereka makan siang bersama di rumah bersama tiga orang anak yang berusia sama. Mereka seperti kembar tiga yang selalu ada di mana pun Lisa berada. “Sayang … di mana Ane, Ana, dan Andi?
“Aku tau kalau kamu terlalu banyak pikiran akhir-akhir ini, sampai kamu lupa kalau hari ini ulang tahunmu. Iya kan?” tanya Lukman dengan serius.“Hmm … sepertinya gitu. Aku benar-benar lupa kalau hari ini ulang tahunku. Kamu malah ingat dan kasih aku kejutan seperti ini. Makasih banyak, Sayang. Aku percaya kamu selalu memberikan aku kebahagiaan tak terbatas,” jawab Lisa dengan mata berkaca-kaca dan memandang lekat pada bola mata Lukman.“Aku nggak bisa menjanjikan apa pun untuk kamu. Tapi … aku bisa pastikan selama aku bisa maka aku akan memberikan segala yang terbaik untuk kamu dan kebahagiaan kamu,” ungkap Lukman sekali lagi dan membuat hati Lisa merasa tenang.“Makasih, Sayang. Akhirnya aku benar-benar bisa hidup dengan bahagia.”“Memangnya, siapa yang bilang kalau kamu nggak bisa hidup bahagia?”“Nggak ada. Itu cuma ketakutan yang sempat mengisi hati dan pikiranku dulu,” jawab Lisa dan tersenyum tipis.“Sekarang, nggak ada lagi yang harus kamu takutkan. Selama ada aku, semuanya ak
“Siapa yang datang jam segini?” tanya Lukman dan merasa heran.“Mana aku tau, Sayang. Kamu yang buka atau aku?” Lisa menaikkan bahunya lalu bertanya juga pada Lukman.“Aku aja. Kamu di sini aja, ya. Siapa tau itu mantan mertua kamu yang dalam incaran polisi,” jawab Lukman dan mulai waspada.“Apa aku telpon 116 aja sekarang?”“Jangan dulu. Kita nggak tau siapa yang berdiri di depan pintu saat ini. Jangan gegabah, Sayang.”Lukman berkata kepada Lisa karena sebenarnya sejak tadi dia juga merasa tidak nyaman dan seperti ada hal besar yang akan terjadi. Namun, karena tidak ingin membuat Lisa merasa khawatir, tentu saja Lukman tidak menyampaikan hal itu kepada sang istrinya. Apalagi Lisa sedang dalam masa pemulihannya. Hal-hal tidak penting seperti itu hanya akan memperburuk kesehatannya lagi.Lisa memperhatikan Lukman yang berjalah keluar dari kamar dan berharap semoga yang datang bukan lah orang jahat. Ia mengikuti perintah Lukman dan tetap berdiri di dalam kamar mereka dengan menahan ras
Tiga hari lamanya Lisa dirawat secara insentif di rumah sakit hingga akhirnya diperbolehkan untuk pulang dan bisa melakukan pengobatan dengan rawat jalan saja. Hal itu dikarenakan kondisi Lisa yang memang benar-benar sudah memungkinkan dan mengalami kemajuan yang sangat pesat pasca perawatan di rumah sakit besar itu.Lukman membawa Lisa pulang ke apartemennya dan mereka merasa sangat lega karena akhirnya bisa kembali pulang. Hal itu juga membuat keluarga Lukman yang sudah pulang ke negaranya menjadi sangat senang. Mereka mengatakan sangat menyesal tidak bisa menemani Lisa sampai Lisa diperbolehkan untuk pulang.“Sayang … makasih kamu udah rawat aku selama aku sakit,” ucap Lisa sungguh-sungguh dengan menggenggam tangan Lukman dengan erat.“Jangan bilang makasih, dong Sayang. Itu memang udah jadi tanggung jawab aku sebagai suami kamu,” balas Lukman dengan tatapan mesra dan juga melempar senyum pada Lisa.“Kamu adalah pria terhebat dan juga suami terbaik di dunia,” ungkap Lisa dan langsu