Matahari kian merangkak ke sisi barat, langit mulai menunjukkan semburat sinar jingganya. Sudah berpuluh-puluh kilometer Aaraf mengendarai mobil, tetapi ia belum kunjung menemukan keberadaan sang istri.Frustasi.Takut.Khawatir.Semua rasa menjadi satu seakan terus mengoyak dadanya sedari tadi. Ia bahkan melupakan makan siang, perutnya seolah tidak selera menampung makanan selama belum menemukan keberadaan Kayshilla."Ke mana kamu, Kay?" gumamnya dengan bola mata yang masih menatap luruh ke depan.Adzan Maghrib berkumandang, Aaraf membelokkan mobilnya ke masjid. Ia keluar dari mobil dan langsung melangkahkan kaki memasuki bangunan tempat beribadah Umat Muslim tersebut.'Tolong lindungi istri dan anakku, Ya Allah. Aku tidak sanggup kalau harus menjalani hidup tanpa mereka,' batin Aaraf memanjatkan doa.Setelahnya ia kembali meneruskan pencarian, meskipun ia juga tidak tahu harus mencari ke mana. Hingga jam menunjukkan pukul sembilan malam, Aaraf menghentikan mobilnya di tepi jalan. T
Menyusuri jalanan raya, hingga tanpa terasa suara adzan subuh menandakan Aaraf dan Danang sudah mengitari kota ini selama hampir tujuh jam lamanya. Sama sekali tidak ditemui jejak Kayshilla, yang mana hal itu tak ayal semakin membuat Aaraf semakin terpuruk."Mampir ke masjid saja, Gus. Kita salat dulu, nanti setelah salat kita teruskan lagi pencariannya," ucap Danang.Aaraf mengangguk singkat, ia mencari masjid terdekat dan langsung membelokkan mobilnya ke sana. "Mau cari sarapan dulu, Gus?" tanya Danang setelah mereka baru saja keluar dari masjid. "Tadi sepertinya di depan sana ada warung yang sudah buka. Kita bisa beli roti dulu untuk mengisi tenaga, nanti kalau ada yang jual nasi kita beli lagi," ucapnya lagi.Namun, Aaraf kembali menggeleng. "Aku tidak lapar, Nang. Kamu saja beli untuk dirimu sendiri, ayo aku antar.""Tidak usah kalau begitu, Gus. Nanti saja kita makan sama-sama.""Ya sudah kalau begitu, ayo kita lanjutkan lagi pencariannya.""Iya, Gus," sahut Danang.Keduanya ke
Aaraf sampai dan menghentikan mobilnya di halaman rumah Danang, beberapa saat lalu pria itu menelepon dan menyuruh Aaraf untuk ke rumah saja karena kantor sudah tutup.Aaraf langsung membuka pintu mobil dan melangkah cepat memasuki rumah sederhana dua lantai tersebut. Danang sudah menunggu di ruang tamu, pria itu langsung mempersilakan Aaraf duduk di sofa."Ada apa, Nang?""Coba lihat poin ini, Gus." Danang menunjuk pada berkas kontrak kerjasama di atas meja. "Pasalnya menyebutkan perusahaan kita dan Adiyaksa Company akan menjalin kerjasama, tidak ada yang aneh di sini. Namun, pada pembagian keuntungan ditulis 80 banding 20. 80 untuk Adiyaksa, dan 20 untuk perusahaan kita, Gus. Apa ini tidak merugikan?" jelas Danang.Aaraf mengerutkan kening ketika melihatnya. Pasal itu ditulis di bagian lembar paling belakang, sehingga saat pengecekan kemarin Aaraf tidak sempat melihatnya karena terlalu percaya kepada Adiyaksa Company."Pasal berikutnya, kalau kita membatalkan kerja sama sebelum satu
Pagi-pagi sekali Aaraf sudah memarkirkan mobilnya di depan gedung pencakar langit bertuliskan Adiyaksa Company. Setelah semalaman begadang memikirkan hal ini, akhirnya pria itu nekat datang sendirian. Aaraf sudah siap dengan semua resikonya, ia tidak akan mengorbankan Danang karena sahabatnya itu sudah terlalu baik mau membantunya selama ini."Bismillah," gumamnya seraya membuka pintu dan langsung keluar dari mobil.Aaraf membawa langkah menuju resepsionis, ia mengatakan hendak menemui pimpinan utama dan salah satu staff mengantarkannya ke lantai paling atas.Pria itu diantarkan sampai ke depan pintu. Setelah staff tersebut pergi, Aaraf menemui sekretaris untuk melaporkan kedatangannya. Baru kemudian ia diantar masuk ke dalam ruangan pimpinan utama.Seorang pria mengenakan setelan formal tengah duduk di kursi kebesaran dengan posisi membelakangi Aaraf. Sejenak kemudian Aaraf mengerutkan kening, bukankah Pak Adiyaksa sudah beruban? Kenapa ini masih terlihat muda? Pikirnya."Selamat pagi
Beberapa saat lalu...Pagi ini Danang merasa tidak tenang, ia khawatir dan pikirannya penuh dengan Aaraf. Beberapa kali pria itu mondar-mandir di dalam ruangannya. "Nomornya masih tidak aktif," gumamnya saat entah yang ke berapa kalinya ia menghubungi ponsel Aaraf, tetapi hanya jawaban dari operator yang terdengar.Kedua tangannya menjambak rambut dengan frustasi, ia tidak akan bisa tenang kalau belum melihat Aaraf. Apalagi saat teringat kemarin ia sempat menyalahkan sahabatnya itu."Tolong lacak keberadaan mobil ini, aku akan kirimkan plat nomornya," ucap Danang pada seseorang di seberang telepon.Hacker terkenal yang juga bekerja freelance di perusahaan ini sebagai pimpinan IT. Menit berlalu...Sebuah deringan telepon menandakan panggilkan masuk, Danang langsung meraih benda pipih yang tergeletak di meja kerjanya dan lantas menekan ikon hijau."Halo. Bagiamana? Kau sudah menemukan titik lokasinya?" tanya Danang, langsung."Sudah, mobilnya berada di gedung Adiyaksa Company."Deg! D
Umik Salma mendudukkan dirinya di samping Danang, ia menatap lembut ke arah pria yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri itu."Tolong katakan, Nak. Kami merasa gagal sebagai orang tua karena tidak tahu-menahu tentang apa yang terjadi dengan anak kami. Tolong jangan buat kami semakin merasa bersalah, tolong ceritakan kronologi kejadiannya, Nak," ucap Umik dengan suara lirih.Danang tidak kuasa menolak kalau Umik sudah meminta, apalagi sampai memohon seperti ini. Pria itu menarik napas dalam, mengisi rongga dadanya yang mulai sesak dengan udara.Ia mulai menceritakan awal permasalahan, juga tentang perdebatan Aaraf dan Kayshilla di ruang kerja, sampai pada insiden hari ini yang membuat Umik hampir pingsan."Kenapa tidak bilang kepada kami? Aaraf bilang kalau dia dan Kayshilla liburan?! Tapi apa ini?!" tanya Abah dengan suara tertahan."Abah, sudah. Nanti kesehatan Abah menurun. Sudah, tenang," ujar Umik dengan suara lembutnya."Aaraf sudah menyembunyikan masalah besar ini, Mik. Baga
Devano dan Rayhan pulang dengan membawa rasa kecewa, raut wajah dua pria itu tertekuk karena tidak berhasil mendapatkan Kayshilla."Sekarang bagaimana?""Ya, pergi! Mau bagaimana lagi, Ray?""Jadi kau tidak mau mencari Kayshilla, Dev?! Mumpung suaminya sedang tidak berdaya sekarang, tidak akan ada yang bisa menyelamatkan Kayshilla saat ini. Kau tidak mau mencoba lagi?" tanya Rayhan."Lalu kita akan mencari ke mana? Dia saja tidak meninggalkan jejak di rumah itu. Lagi pula baju-bajunya juga masih di sana, kalaupun Kayshilla benar-benar pergi pasti lemarinya kosong."Rayhan mengerutkan keningnya, bingung. "Maksudmu?" tanyanya."Siapa tahu Kayshilla hanya pergi sebentar, dia akan kembali ke sini lagi untuk mengambil barang-barangnya," sahut Devano."Lalu?" tanya Rayhan yang membuat Devano sontak mendengus, ia kesal dengan rekannya yang tidak kunjung paham."Kita akan mengawasi rumah ini dulu sementara waktu. Nanti kalau memang Kayshilla tidak kembali, baru kita mencarinya. Entah kenapa a
Dua jam lebih Rafael mengendarai mobil, akhirnya ia sudah membelokkan mobilnya memasuki gerbang rumah sakit. Mereka semua turun dan lantas masuk menuju meja resepsionis, menanyakan ruangan Aaraf dan lantas menuju lift dengan seorang perawat yang mengantarkan.Sepanjang langkahnya Kayshilla terus merasakan jantungnya berdebar kencang, membayangkan apakah suaminya nanti akan marah karena kemarin dirinya sempat kabur."Kamu baik-baik saja, Kay?" tanya Adele yang melihat tubuh sahabatnya menggigil."A-Aku grogi, Del. Nanti Mas Aaraf marah nggak, ya? Aku kemarin 'kan sempat kabur dan pasti bikin semua orang panik," sahut Kayshilla.Adele tidak langsung menyahut, ia menarik pandangannya ke sembarang arah dengan helaan napas yang terdengar lirih.'Maaf, Kay. Aku nggak berani bilang kalau Kak Aaraf koma, takutnya kamu semakin khawatir,' batin Adele.Sementara Kayshilla semakin menunduk saat melihat respon Adele, ia mengira Adele juga berpikiran sama sepertinya. Namun, apapun yang terjadi pada