Dengan cepat aku langsung mendelik dan menoleh ke arah pintu kamar. Sama halnya dengan Brian yang kerah bajunya tengah kuremas keras.
“Kamu mau apakan anak saya? HAH?” sergah wanita paruh baya dengan satu jari yang mengutuk ke mukaku.
Aku tidak bergeming.
Dalam keterkejutan itu, mataku malah menghajar balik tatapannya yang masih terus menyala di ujung sana.
“Kamu dengar tidak? Mau kamu apakan anak saya?” ucapnya sambil melangkah penuh amarah. Dan saat tubuh sintalnya sudah berada di tepi ranjang, kedua tangannya bertolak pinggang dengan lebih berani. Kedua manik hitamnya juga masih membelalak tajam ke mukaku.
“LEPAS! Lepas atau saya teriak panggil satpam!”
Baru kali ini aku merasa begitu waswas. Kegelisahanku benar-benar teraduk-aduk. Entah mengapa, secara khusus aku sendiri pun tidak tahu.Namun di saat keresahan itu hadir, tahu-tahu terbesit euforia pencurian di tempo itu. Dia tetiba muncul seraya menjadi jawaban akan kerisauanku. Dan aku yakin, sepertinya memang benar kalau ini karena kejadian itu.Tapi kenapa?Padahal pencurian itu sudah tertinggal jauh di dua hari yang lalu.Memang sih, setelah aku berhasil kabur dan melepas pegal di kamar Brian, berita kejadiannya langsung muncul di pagi hari dan menghebohkan layar televisi.Bagaimana tidak?Sebuah cafe yang belum ada sebulan berdiri sudah berhasil dibobol maling. Dan tak hany
Aku berteriak memanggilnya dengan lantang.“RADIT! DIT! WOY!”Pemuda itu pun menghentikan langkahnya lalu menengok ke arahku. Dari kejauhan, keningnya terlihat mengernyit risi seraya tidak mau menerima kehadiranku, padahal aku sudah berusaha dengan terpaksa mengumbar senyuman kaku ke tempatnya.“Mau kemana?” tanyaku sambil berlari menghampirinya, namun dia malah berbalik ke arah perjalanannya dan kembali meninggalkanku“Hei! Diem aja lu,” kataku sambil mencoba merangkul bahunya, namun dengan cepat dia mengelak dan menepis salam itu.“Apaan sih!” ketus pemuda itu.Radit pun berjalan acuh lagi.
Dalam langkah-langkah yang terasa kalut itu, aku segera meraih dan mengeluarkan gawai.“Halo. Eh Njing, dimana lu?”“Lagi nganter nyokap ke salon. Kenapa?”“Lu tau apa yang barusan gua dapet dari si banci?”“Banci?”“Radit. Pelayan cafe yang waktu itu.”Suaranya menghilang sesaat, namun kemudian hadir lagi.“Ooo… yang main mata sama elu itu kan? Iya, iya, gua inget. Kenapa?”“Dia barusan bilang, kalo kunci lu beneran jatuh di cafe. Dan barusan, dia cerita kalo kunci itu udah dia kasih ke polisi.”
PLAAK!“Aduh!” ucapku sambil mengelus-elus pipi yang tetiba terasa nyeri.“Ini, pakai! Jangan bengong saja!”Biji mataku langsung berlari-lari panik mencari kesadarannya.“HEI!, Buruan pakai!”“I--Iya, Bu.”Aku langsung meraih obat cair itu dan segera membuka tutupnya lalu meneteskannya sendiri.“Dari tadi dipanggil-panggil, malah bengong. Kamu mikirin apa, Man? Mikirin pacar kamu?” tanya Bu Sandra sambil membelakangiku. Begitu dia berhasil menyerahkan obatnya, dia langsung menyibukkan dirinya lagi dengan isi kotak berpalang merah itu.
PRAAANG!“AAAUWW!”Tiba-tiba punggungku menabrak sesuatu yang membuat seorang siswi teriak histeris di belakang.Aku langsung berbalik dan mendapatkan satu gadis berambut lurus yang terperangah dengan isi bakinya yang tumpah ke lantai, serta seragamnya yang kotor menjijikkan.“Kalo bangun mata dong!” kesalnya.“Elu yang pake mata, Nyet!”Maniknya seketika mendelik.“Kurang ajar lo! Ngatain gue monyet. Elo tuh yang monyet! Dasar cowok nggak tau sopan santun,” umpatnya dengan telunjuk yang berkali-kali mendorong dadaku.“Berisik lu perek!
"Maaf, Pak. Saudara Lukman belum ditetapkan sebagai tersangka, baru kami mintakan keterangan. Saudara Lukman, mari ikut kami."Aku segera bangkit.Sebentar kutatap Brian yang memandang balik dengan sedikit peduli."Puas lu, Yan," sergah batinku."Maaf. Bagaimana Bapak, maksud saya polisi bisa menyimpulkan kalau Lukman salah satu orang yang perlu dimintai keterangan? Maksud saya, apa ada bukti-bukti yang mengarah ke dia pak? Atau--""Ini. Ini salah satu barang bukti yang kami temukan di lokasi kejadian,” kata Polisi itu ke Bapak Kepala Sekolah.Jonathan langsung terperangah. Begitu halnya dengan Denise yang juga sangat mengenali barang kecil yang ada di dalam kantong plastik
“Jika bukan Om Marcel, lalu siapa?” tanya hatiku yang bergeming.Tanpa menunggu apapun lagi, segera kututup panggilan itu bersama dahi yang masih mengerut penasaran.Entah, apakah benar ucapan Brian barusan. Tapi menurutku, Om Marcel pasti telah melakukan hal yang lain untukku, atau setidaknya, untuk anaknya sendiri.Aku langsung teringat sesuatu yang terus kupikirkan selama meringkuk di dalam sel. Sesuatu yang membuat kedengkianku bergolak-golak hingga mendidihkan darah merahku ini.Radit.Banci itu harus membayar semua perbuatannya. Dia layak mempertanggungjawabkan ucapan lidahnya yang tak bertulang namun berhasil menusuk-nusuk hingga ke ulu hati.“Bangsa
Aku tersenyum puas menikmati sosok yang megap-megap kesulitan bernapas dengan biji matanya yang membelalak, juga menggeliat-liat mencari kebebasannya.Berulang kali tubuh pria gemulai itu meriak-riak namun cengkeramanku selalu berhasil menahannya agar tidak bergeser kemana pun.“Mampus lu!” geramku lagi.Manik hitamku kemudian ikut membesar dan menghantarkan emosi kesesatannya ke wajah Radit yang kian memucat.“Lepasssh… Le...pas...sinh… gu...ah.”“Rasain perbuatan lu sendiri. Cih!”Dengan acak tangannya bergerak kemana-mana. Mencakar-cakar, meremas dan memelintir, termasuk mendorong wajah dan dadaku. Kedua kakinya juga berusaha me