Tiba-tiba dikatup oleh bibir ranumnya.
Dan tanpa kuduga-duga, satu tangannya tahu-tahu melesat turun lalu meremas sesuatu yang mengeras serta menegang di bawah sana.
Mataku sontak mendelik!
“Ahhh….” desahku menikmati.
Dalam kecupan yang masih menempel itu, Denise terperangah oleh sensasi yang dirasakannya barusan. Binar matanya seketika meluap bahagia. Lalu, sambil tertawa girang nan jinak, bibir seksinya segera melahap bibirku lagi dengan lebih bergelora.
“AAAAAhhhhh…. My babe, Please … Give it to me..”
“Nis!” Sergahku berusaha menolaknya, tapi gadis itu malah semakin meliuk liar dan kembali menarik tempurung kepalaku hingg
“Udah, Nyok!” Aku segera mengambil napas dan merangkul bahunya. Sambil berupaya menepis kekalutan tadi, kuajak segera sahabatku itu untuk pergi dari tempat tersebut. “Tunggu! Denise mana?” jejaknya berhenti sesaat. Lalu satu telapak tangannya menepis rangkulan tadi. Aku sampai ikutan terentak olehnya. “Udah pulang, lewat sana.” “Ta--” “Udah ayok! Dia naik taksi online,” kibul bibirku. Jonathan menerima penjelasan halu itu tanpa satu kecurigaan apapun. Bahkan, saat kami sudah berlalu di dalam kendaraan roda empatnya, dia sama sekali tidak membicarakan gadis sensual itu. “Hmmmm. Nis… Bibir lu… Anjirrr, setan juga itu cewek. Liat a
Keningku langsung mengerut-ngerut dibuatnya.“Apa urusannya Brian menanyakan umurnya kepadaku?” gumamku kemudian.“Berapa memangnya?”“Dua puluh dua! Gila kan? Masih muda banget. Masih legit!”“Masih rapet nggak?” potong Toha tiba-tiba. Aku tidak sadar kalau dia ternyata ikutan menyimak sedari tadi.“Otak lu ngeres!” seketika telapak tanganku menabok pipinya.“Yang itu gua nggak tau dah. Mungkin masih rapet.”Bibirku langsung terkekeh kecil. Lalu kuhisap lagi batang rokok yang sudah tinggal sepertiga.“Pastinya Ma
“HAH?”Kedua mataku langsung menjegil selebar-lebarnya. Tiba-tiba saja aku melihat ada sorotan lampu di jendela lantai duanya.Wajah ini pun sampai segera mendongak dan mendekat ke kilasan sorot lampu senter yang beberapa kali hadir di kekelaman jendela itu.“Ah, gila Brian. Ngapain dia pake ke situ? Bangke nih orang,” keluhku penuh was-was.Satu tangan yang tadinya sigap memegang setir mobil, dengan cepat berpindah ke kening lalu memijat-mijat keteganganku yang muncul di sana. Manik mataku pun segera kembali mengawasi jendela lantai dua itu yang lagi-lagi, memunculkan semburat cahayanya.Bersama kekhawatiran yang kian membludak, pandanganku kemudian melesat ke jalan dan lorong-lorong yang ada di sekel
Brian mematung di tempat duduknya. Bibirnya pun membuka dan bergerak terbata-bata. Lalu, mata nanarnya yang menatapku balik penuh dengan keseriusan, seraya menyampaikan kalau apa yang aku khawatirkan itu benar-benar terjadi.“Kayaknya…”“Jatuh di cafe?” Maksud lu begitu, kan?”“Mung--”NGIIIIIIK!Kakiku lekas-lekas menginjak tuas remnya hingga mobil yang melaju kencang itu berdecit nyaring untuk berhenti.“Lu cari sekarang! Pokoknya gua nggak mau tau! Itu kunci harus ketemu sekarang! Cari di semua sudut. Pastiin! Apa itu kunci nyelip di ujung kantong celana lu, apa ketinggalan di mobil, apa jangan-jangan, sebenarnya elu nggak
Dengan cepat aku langsung mendelik dan menoleh ke arah pintu kamar. Sama halnya dengan Brian yang kerah bajunya tengah kuremas keras.“Kamu mau apakan anak saya? HAH?” sergah wanita paruh baya dengan satu jari yang mengutuk ke mukaku.Aku tidak bergeming.Dalam keterkejutan itu, mataku malah menghajar balik tatapannya yang masih terus menyala di ujung sana.“Kamu dengar tidak? Mau kamu apakan anak saya?” ucapnya sambil melangkah penuh amarah. Dan saat tubuh sintalnya sudah berada di tepi ranjang, kedua tangannya bertolak pinggang dengan lebih berani. Kedua manik hitamnya juga masih membelalak tajam ke mukaku.“LEPAS! Lepas atau saya teriak panggil satpam!”
Baru kali ini aku merasa begitu waswas. Kegelisahanku benar-benar teraduk-aduk. Entah mengapa, secara khusus aku sendiri pun tidak tahu.Namun di saat keresahan itu hadir, tahu-tahu terbesit euforia pencurian di tempo itu. Dia tetiba muncul seraya menjadi jawaban akan kerisauanku. Dan aku yakin, sepertinya memang benar kalau ini karena kejadian itu.Tapi kenapa?Padahal pencurian itu sudah tertinggal jauh di dua hari yang lalu.Memang sih, setelah aku berhasil kabur dan melepas pegal di kamar Brian, berita kejadiannya langsung muncul di pagi hari dan menghebohkan layar televisi.Bagaimana tidak?Sebuah cafe yang belum ada sebulan berdiri sudah berhasil dibobol maling. Dan tak hany
Aku berteriak memanggilnya dengan lantang.“RADIT! DIT! WOY!”Pemuda itu pun menghentikan langkahnya lalu menengok ke arahku. Dari kejauhan, keningnya terlihat mengernyit risi seraya tidak mau menerima kehadiranku, padahal aku sudah berusaha dengan terpaksa mengumbar senyuman kaku ke tempatnya.“Mau kemana?” tanyaku sambil berlari menghampirinya, namun dia malah berbalik ke arah perjalanannya dan kembali meninggalkanku“Hei! Diem aja lu,” kataku sambil mencoba merangkul bahunya, namun dengan cepat dia mengelak dan menepis salam itu.“Apaan sih!” ketus pemuda itu.Radit pun berjalan acuh lagi.
Dalam langkah-langkah yang terasa kalut itu, aku segera meraih dan mengeluarkan gawai.“Halo. Eh Njing, dimana lu?”“Lagi nganter nyokap ke salon. Kenapa?”“Lu tau apa yang barusan gua dapet dari si banci?”“Banci?”“Radit. Pelayan cafe yang waktu itu.”Suaranya menghilang sesaat, namun kemudian hadir lagi.“Ooo… yang main mata sama elu itu kan? Iya, iya, gua inget. Kenapa?”“Dia barusan bilang, kalo kunci lu beneran jatuh di cafe. Dan barusan, dia cerita kalo kunci itu udah dia kasih ke polisi.”
“HAHAHAHAHA,” tawa Denise yang terbahak-bahak sempurna."NGGAK BECUS LO!" timpalku.Diana menunduk malu. Di kelamnya suasana kolong meja, aku tahu dia barusan melepas isaknya. Tapi kesedihan itu malah membuat rasa bahagiaku makin bergejolak.Di antara tawa-tawa kami, ia terus merapikan wadah-wadah kotor, juga membersihkan ceceran minuman dan remah-remah yang ditumpahkan Denise ke lantai.PRAANG!"Uppps! Sorry."Piring kue yang Denise pesan tetiba ikutan jatuh. Isinya tumpah ke punggung Diana dan mengotori pakaian putihnya.Aku tahu kalau barusan adalah ulahnya yang betul-betul disengaja, dan kegaduhan itu pun menambah bumbu keceriaan canda kami.Kami kian tertawa lepas.Beberapa orang pengunjung pun sampai memerhatikan ulah kami yang begitu seru. Tapi tak ada yang menghiraukannya.Gadis pelayan itu makin merunduk dalam kikuk. Lalu tanpa banyak bicara, semua kotoran yang bertambah banyak itu dia ambil satu-persatu dan diletakkan ke atas nampan.Saat Diana berjongkok untuk mengambil pec
Jo tertawa lepas di depanku. Begitu pula dengan Frans. Aku pun demikian.Entah seperti apa rasanya. Tonggak yang sedang tegang-tegangnya di grasah-grusuh tanpa arah. Rasanya pasti seperti ingin patah."Aduh, aduh.. udah, Sayang. Sakit!""Ngaku! Kamu sudah main sama Anisa kan?""NGGAAAK! Ya Tuhan.""Nggak usah bawa-bawa Tuhan!"Tetiba Brian memeluk Denise dengan erat. Lalu kepalanya dibenamkan ke dalam belahan dada Denise yang montok."AAAAUUW!" jerit Denise keras-keras. Sampai-sampai suaranya itu memanggil perhatian orang lain yang ada di cafe itu. Tapi mereka kemudian tidak menghiraukannya.Dengan sekuat tenaga Denise mendorong kepala Brian agar bisa menjauh darinya. Tapi usahanya itu hanya membuahkan hasil yang sia-sia.Semakin dia mendorongnya, Brian kian mendekap lebih erat."LEPASIN!.. .AUUWCH… LEPAS! BRIANH… BRIAAAN!!""Mmmm.. Akuh mau dekap kamu terus, Sayang.""LEPASSSH!" dorong gadis itu lebih kuat sampai akhirnya Brian pun menyerah."Mmmuu–""Jaga nih mulut! Nyosor mulu!" k
Makan malam di meja makan tetap hening seperti biasanya. Semua yang hadir pun sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.Ayah dengan lembaran korannya, yang sesekali diganggu oleh ibu dengan bujukan lauk juga gosip sepanjang hari ini. Sedang aku, sibuk mengurusi butiran nasi yang sepertinya tidak ada habis-habis."Tadi Ayah ke sekolah," ujar ayah memulai topik yang lain.Seketika perhatian Ibu berpindah. Ia pun kemudian memerhatikanku sesaat, terlebih-lebih Ayah."Kamu tahu, kenapa Ayah harus ke sekolahmu?""Apa apa lagi, Man? Apa ada, Yah?" bingung Ibu."Coba jelaskan!"Aku diam dalam kesantaian dan kesibukanku sendiri."Maan…"Perlahan telapak tangan ibu bergerak dan menyentuh punggung tangan kiriku. Aku terhenyak saat menikmati kehangatannya.Tapi kasih sayang itu segera aku tepis. Kutarik tanganku untuk menjauh darinya."Kamu punya urusan apa lagi? Kamu nggak kasihan sama Ayahmu? Sama Ibu?" ucap Ibu penuh iba.Tak lama Ayah menarik napasnya dalam-dalam. Lalu dia banting dengan begi
Pagi itu adalah hari keempat sejak kuberikan peringatan ke gadis Bazar Sosial. Gadis yang tanpa disangka-sangka bisa kubuat ingin menangis kencang di kantin namun tertahan oleh rasa malunya. Sejak hardikan itu, dia tidak berani muncul mencariku. Terlebih-lebih aku. Untuk apa mencarinya? Siapa yang peduli?Namun tanpa kuduga, panggilan dari Pak Kepala Sekolah terjadi lagi.Saat pelajaran Sejarah tengah berlangsung dalam keheningan, satu penjaga sekolah memanggil namaku dari sisi pintu kelas."Lukman! Cepat pergi! Jangan kamu buang-buang waktu pelajaran saya!" ketus ibu guru.Perlahan kubangkit dan berjalan santai ke depan kelas.Sang Guru Cantik itu menatap dengan penuh lekat. Aku pun sesekali menangkap sorotan matanya itu. Tapi aku biarkan saja. Sepertinya dia sudah tahu apa telah terjadi kemarin, dan mungkin, apa yang akan terjadi di ruang Kepala Sekolah nanti, juga yang nanti setelahnya.Apa karena dia memiliki jaringan di sekolah ini sehingga semua informasinya pasti dia ikuti? A
Carlitta tersenyum dengan bibir tipisnya yang begitu seksi.Aku sampai terhenyak ke dalam pesonanya itu. Bibir yang begitu mengkilap dengan warna merah muda yang membuat birahiku beriak-riak.Ditambah lagi liuk pinggulnya yang begitu elok membentuk."Alamak. Kenapa ini tante sekarang jadi enak dipandang ya?" decak batinku.“Tidak perlu,” jawabnya.“Jangan gitu. Gua harus bisa berterima kasih.”Wanita itu pun terkekeh kecil.“Jangan sok gaya. Mana ada sih cowok begundal yang benar-benar romantis dan tulus?”“Hahahahaha.”“Atau, karena kamu baru menang taruhan?” lanjutnya yang sedikit nakal. Satu kelopak matanya berkedip genit di hadapanku.“Mungkin. Gimana? Mau kan?"“Hmmm…” Carlitta berpikir sejenak seolah itu adalah pilihan yang amat sulit. Lalu bibirnya berucap kembali.“Ok. Rejeki tidak boleh ditolak. Pamali.”“Kamu mau apa?” tanyaku sambil meremas-remas jemarinya yang begitu halus.“Duitnya kan cuma sepuluh juta. Jangan sok kaya deh.”“Segitu juga duit. Kalo buat beli lontong–”“H
Segera kutarik resleting tas dan kutinggalkan buku tulis, buku paket Sosiologi dan pulpen di atas meja. Toh besok aku masih bertemu dengan mereka lagi, jadi untuk apa harus repot-repot dibawa pulang?“Mas, bukunya!”“Biarin, Pak!” jawabku sambil meninggalkannya sendirian di kelas.Sore itu aku ingin mampir ke basecamp, namun setelah mendapat kabar kalau dua dari tiga temanku sedang pergi keluar kota, terpaksa aku harus mencari agenda yang lain.Tiba-tiba sebuah ide terlintas di kepala. Mataku pun sampai berbinar-binar dibuatnya."Cafe!" Lirihku kemudian.Tanpa banyak pertimbangan, segera kumainkan tuas gas motor ke cafe tempat anak-anak biasa bermain biliar."Kopi satu, Mbak!" pintaku ke pelayannya, lalu aku berjalan menyusuri meja-meja biliar yang hening.Kulihat ada satu meja yang sedang seru dikerubungi pengunjung. Aku pun langsung ke sana."Ikutan main dong?" ucapku memotong permainan mereka. Kulihat semua wajah gembiranya berubah segan untuk menyambut. "Oke, Bro?" sambungku lagi
"Hai," ucap wanita itu dengan penutup senyuman ramah.Bulu matanya yang lentik seolah menghipnotisku. Dia begitu cantik untuk usianya yang sudah tidak muda lagi. Bahkan jika boleh dikata, mungkin usianya setara dengan usia ibu. Sepertinya begitu menurut penilaianku.Ia selanjutnya duduk di tepi ranjang, lalu Brian menjamunya bak tamu yang benar-benar istimewa.Setelah dua teguk minuman di gelasnya dihabiskan bersama senda gurau kami, Brian kemudian memangku dan mulai mencumbu lehernya, yang tak lama menjalar ke pangkal dadanya. Sungguh-sungguh pemandangan yang amat menggugah gairah.Jonathan pun meletakkan gelasnya yang masih berisi bir di seperempat bagiannya. Ia rupanya sudah tak tahan untuk ikut meramaikan suasana. Jika Brian menyerang dari sisi belakang Carlitta, maka Jo memainkan perannya dari bagian depan.Aku sampai terkekeh sejenak.“Buset, kita lagi nonton live,” seringaiku ke Frans yang tak bergeming.Tak lama, pertahanan Frans pun bobol. Ia segera menaruh gelasnya dengan se
[Nise, beneran lu ngirimin gue motor? Anjir. Gua harus bilang apa? Thanks ya.] Sejenak bibirku tersenyum sendirian di keremangan kamar ketika pesan itu berhasil terkirim. Kini aku memikirkan apa yang harus kukatakan besok ke teman-teman di sekolah. Pastinya, besok adalah babak baru buatku. *** Pagi itu aku berangkat ke sekolah dengan semangat yang berapi-api. Ibu pun menangkap alasan yang membuatku bereuforia seperti itu. Dengan wajah yang berseri, kubelah jalanan kecil yang membagi kompleks perumahan, dilanjut jalanan aspal yang ramai dan bising, hingga kemudian kuparkirkan motor baru itu di sudut parkiran sekolah. Denise. Dia pun melempar senyum hangat saat aku memasuki kelas dan duduk di kursi. Dalam senyum kecilku ini, dia menangkap apa maksudnya. Saat pulang sekolah, semua kawanku terheran dan terkaget dengan apa yang aku tumpangi. “Anjir, ada anak sultan. Banyak duit lu?” “Menang lotere apa dibeliin tante girang? Wkwkwkwkwkw,” sambung Frans. Aku diam sambil mengulum se
“Come on, Sayang,” bujuknya lagi. Bibirnya kemudian digigit-gigit manja bersama kedipan bulu matanya yang kian menggoda.“Nise…. Kit–”Tanpa kusangka, Denise langsung melumat bibirku lagi dengan gairahnya. Libidoku pun meledak dan memuncak, menjalar ke sekujur tubuh untuk membangkitkan gelora liar yang lain.“Ahh…. Shit! Denise…Shhh...” desahku sambil merengkuh tubuh montoknya.“Come on, Honey.”Tanganku langsung mengacak liar di seluruh liuk tubuhnya, hingga kemudian kedua tangan ini melepaskan semua pakaian kami.Entah berapa lama aku memainkan pemanasan itu. Mungkin kali ini lebih liar dari yang sebelumnya. Denise sepertinya amat menikmati semangat kejantananku. Lidahnya dengan lincah menjilat-jilat daun telingaku, lalu turun ke leher, dada, bulu-bulu halus di atas perutku, kemudian dengan penuh kegirangan menikmati bagian keras yang berdenyut dengan gagah.“Ahh…”Permainan panas itu pun kian berlanjut ke babak yang lebih memanas. Sungguh-sungguh permainan yang luar biasa.Tak ada