"Terima kasih karena telah membela saya Mas," Kanaya terharu. Ada dua hal yang sama sekali tidak ia duga-duga. Pertama, kehadiran Haikal di mall ini. Ke dua, kesediaan Haikal membelanya dari serangan Dina.
"Sudah menjadi tanggung jawab seorang suami untuk membela istrinya. Tidak ada hal yang perlu diterima kasihkan di sini," tukas Haikal dingin.
"Ya, apapun itu. Terima kasih, Mas. Mas sedang apa di sini?" Kanaya mencoba memulai percakapan basa basi. Tidak enak juga saling bersikap antipati di muka umum.
"Mau ke Starbuck*. Ada reuni kecil-kecilan dengan teman-teman SMA. Saya jalan dulu," tanpa menunggu jawabannya Haikal pun berlalu. Haikal bahkan tidak balas menanyakan apa keperluannya di mall ini.
Sudahlah, Nay. Jangan mulai protes. Toh kamu sudah tau apa konsekuensi pernikahan di atas kertas ini. Fokus saja dengan dirimu sendiri.
Langkah Kanaya kini mengarah ke
Hari berganti minggu dan minggu berganti bulan. Tidak terasa kandungan Kanaya telah memasuki bulan ke lima. Dulu, awal pertama sekali ia hamil, ia seperti tidak percaya kalau dirinya telah berbadan dua. Pernyataan dokter yang dulu menyatakan kalau ia mengalami gangguan ovulasi sehingga sulit untuk hamil, membuatnya selalu pesimis apabila mengalami keterlambatan menstruasi. Ia acap kali berpikir, paling keterlambatan ini hanyalah bagian dari gangguan ovulasi. Dan bukan karena ia hamil. Makanya pada saat dokter Rasyid menyatakan kalau ia benar-benar hamil, alam bawah sadarnya menolak percaya. Namun setelah kini kandungannya memasuki bulan ke lima atau trimester ke dua kehamilan, ia baru sungguh-sungguh percaya. Karena apa? Karena tubuhnya telah memperlihatkan ciri-ciri fisik yang khas. Perutnya kini mulai membulat dan pakaian-pakaian lamanya sudah banyak yang tidak muat lagi. Selain peruba
Kanaya panik. Ibu mertuanya baru saja menelepon dan mengabarkan akan tiba di rumahnya sekitar empat puluh lima menit lagi. Ibu mertuanya membawa Ika, salah seorang ART-nya untuk ditempatkan di rumahnya. Ibu mertuanya takut kalau ia kelelahan. Wajar saja, usia kandungannya kini sudah lumayan besar. Masuk akal kalau ibu mertuanya itu separuh memaksanya untuk menerima ART-nya. Selain itu ibu mertuanya juga meminta izin untuk menginap selama beberapa hari di rumah. Menurut ibu mertuanya, beliau ingin mengajari Ika bekerja sampai mahir dulu di sana, barulah ibu mertuanya itu kembali ke rumah. Selain itu ibu mertuanya mengatakan kalau ia kangen pada Haikal. Wajar saja, sebelum menikah Haikal memang tinggal serumah dengan kedua orang tuanya. Setelah menikah Haikal memilih untuk tinggal berdua dengannya di rumah ini. Wajar jika ibu mertuanya merindukan Haikal. Kanaya sama sekali tidak keberatan. Sejujurnya ia malah senang karena ada yang menemaninya di rumah.Yang
Sudah dua hari ini kehidupan Kanaya berubah. Jika diumpamakan dengan dongeng, ia berubah dari seorang Upik Abu menjadi seorang ratu. Bayangkan, sekarang ia tidak boleh lagi melakukan pekerjaan rumah tangga apapun. Karena semuanya telah didelegasikan ibu mertuanya pada Ika. Selain itu, ibu mertuanya juga menugaskan Pak Karto, supir keluarga, menjadi supir pribadinya untuk sementara. Ibu mertuanya tidak lagi mengizinkan dirinya menggunakan transportasi umum. Alasan ibu mertuanya tentu saja demi keselamatan si jabang bayi. Melihat begitu perhatiannya sang ibu mertua pada bayi dalam kandungannya, Kanaya sedih.Untuk pertama kalinya Kanaya menyesal telah menerima pernikahan pura-pura ini. Ia merasa sangat berdosa karena telah membohongi ibu mertuanya sampai sejauh ini. Ketakutan lain juga singgah di benaknya. Kanaya membayangkan, betapa marah dan kecewanya ibu mertuanya apabila beliau tau kalau bayinya ini bukanlah benih Haikal. Bukan cucu kandungnya. Apalagi d
Kanaya masih merasa linglung saat Pak Karto menjemputnya di hotel. Ia memang merubah rencana dan meminta Pak Karto menjemputnya di hotel saja alih-alih di studio. Untung Pak Karto langsung menghubunginya setelah mengantar Bu Habsah pulang. Jadi ia tidak perlu menunggu dua jam lagi baru dijemput. Kanaya masih shock. Kepada Rury Kanaya mengatakan kalau tiba-tiba saja ia merasa kurang enak badan, dan minta dijemput oleh supir. Sungguh, Kanaya tidak bisa menerima kenyataan kalau Haikal adalah seorang gay. Saat ini ia telah berada di dalam mobil dengan tujuan pulang ke rumah. Tetapi ingatan tentang keberadaan Haikal di hotel tadi, tidak bisa hilang dari benaknya. Penasaran, Kanaya merogoh ponsel dari dalam tas. Menimbang-nimang ponsel sejenak sebelum menekan kontak nama Haikal. Panggilannya baru dijawab pada nada-nada terakhir."Ya, Nay. Ada apa?""Mas sekarang lagi di mana?"Jeda sejenak. Haika
Kanaya merasa bibirnya terasa kebas saat Haikal melepaskan tautannya. Ia masih berdiri terpaku saat Haikal mengusap permukaan bibirnya yang lembab dengan ujung jempolnya."Saya kira ciuman panas ini, bisa menjawab pertanyaan kamu secara langsung. Saya tidak suka menjelaskan sesuatu hanya secara teori saja. Satu hal lagi. Jangan mencampuri urusan yang tidak ada hubungannya dengan kamu. Ingat, kita menikah demi keuntungan kita masing-masing. Jadi jangan mulai bertingkah seperti seorang istri yang nyinyir. Sekarang saya lapar. Segera siapkan makan malam."Dinginnya suara Haikal saat mengingatkan tujuan pernikahan mereka, menyadarkan Kanaya. Mereka berdua memang bukan siapa-siapa selain suami istri dalam selembar kertas. Jadi tidak seharusnya ia mencampuri urusan Haikal. Mau dia itu gay, straight atau biseksual sekalipun, itu bukan urusannya. Tanpa banyak bicara lagi Kanaya segera ke dapur. Dengan dibantu oleh Ika, ia m
Kilatan lampu blitz berkali-kali menyambar wajahnya dan Haikal, saat mereka melewati karpet merah di lobby hotel Mulia.Saat ini ia telah berada di hotel Mulia. Tempat diselenggarakannya acara tahunan Anugerah Wirausaha Indonesia. Meriahnya suasana dan tumpah ruahnya para pebisnis yang berlalu lalang di hotel, mendeskripsikan betapa prestisiusnya acara AMI award ini. Kanaya merasa dejavu. Dulu ia juga kerap menghadiri acara-acara seperti ini. Hanya saja pasangannya berbeda. Di masa lalu ia melewati karpet merah dengan menggandeng siku Ghifari. Dan kali ini ia melewatinya dengan saling berpegangan tangan dengan Haikal. Dua laki-laki dengan dua style berbeda. Ghifari sangat suka kalau ia menggamit lengannya kala menghadiri acara-acara formal. Sementara Haikal lebih memilih saling menjalin jari jemari satu sama lain seperti sekarang ini.Ketika mereka akan melewati para pewarta yang menunggu di sisi k
"Kanaya Prameswari Baihaqi," Kanaya buru-buru bangkit dari kursi tunggu saat mendengar namanya dipanggil. Saat ini ia tengah berada di salah satu Rumah Sakit Ibu dan Anak untuk memeriksa kandungannya. Setelah menikah dengan Haikal, ia memang mengganti dokter kandungannya. Jika dulu ia selalu berkonsultasi dengan dokter Rasyid Rasyidi, kini menggantinya dengan dokter Kirana. Bukan apa-apa, dokter Rasyid itu adalah dokter kandungan keluarga besar mantan suaminya. Tentu saja ada rasa tidak nyaman di hatinya, kalau sewaktu-waktu ia bertemu dengan keluarga Albani lainnya yang tengah mengandung. Selain itu, ia takut kalau keluarga Albani mengetahui soal ayah sebenarnya dari janin yang tengah ia kandung. Makanya Kanaya memilih untuk check up ke dokter lain. Menurut Kanaya dokter Kirana adalah pilihan yang tepat. Karena selain sebagai seorang dokter, dokter Kirana adalah kakak kelasnya saat masih sekolah dulu. Jadi ia merasa sangat nyaman untuk berkeluh kesah soal kehamil
Minggu pagi yang cerah. Kanaya membawa kanvas dan alat-alat lukis lainnya ke teras rumah. Ia ingin menikmati sinar matahari pagi sembari melukis. Akhir-akhir ini mood melukisnya sangat bagus. Ide-ide segar terus bermunculan di benaknya. Menunggu untuk direalisasikan dalam objek nyata sebuah lukisan. Mungkin semua ini dipengaruhi oleh makin membaiknya hubungannya dengan Haikal dari hari ke hari. Sehingga hormon dopaminnya keluar dengan sendirinya karena hatinya tengah berbahagia. Walau hubungannya dengan Haikal belum bisa dikategorikan dalam couple goals, tetapi setidaknya mereka berdua kini sudah lebih bisa berkompromi. Mereka berusaha saling menyamankan satu sama lain. Untuk saat ini, itu saja sudah cukup.Setelah memandangi kanvas kosong sekian menit, Kanaya mulai melukis. Ia bermaksud melukis pantai yang indah seperti pantai Kuta di Bali. Kanaya menarik garis lurus horizontal di tengah-tengah kertas. Garis ini ini ada
Tiga bulan kemudian. Kanaya bernapas sesuai dengan intruksi dokter Kirana. Perutnya mulas luar biasa. Bayi-bayi yang selama sembilan bulan lebih menghuni rahimnya ini, seperti tidak sabar berebutan ingin keluar. Kanaya sampai berkeringat dingin karenanya. Rasanya baru kemarin ia melahirkan Juang, dan kini ia harus kembali melahirkan lagi. Sebenarnya Haikal menginginkannya melahirkan dengan operasi caesar. Karena menurut Haikal dan kedua mertuanya, lebih aman mengingat ia harus melahirkan dua orang bayi. Dikhawatirkan ia kehabisan tenaga atau letak bayinya sungsang dan lain sebagainya. Tetapi Kanaya bersikeras ingin melahirkan secara normal. Karena Juang juga ia lahirkan secara normal. Untungnya keinginannya itu didukung oleh dokter Kirana. Menurut dokter Kirana bayi kembar bisa dilahirkan secara normal apabila keadaannya memungkinkan. Misalnya pada saat akan dilahirkan keadaan b
Lima bulan kemudian. Kanaya merapikan pakaian Juang yang tengah berada dalam gendongan Ika. Anak seusia Juang memang sedang aktif-aktifnya menarik-narik sesuatu. Alhasil baik pakaian Juang sendiri, atau pun pakaian orang yang menggendongnya, harus siap diacak-acak sewaktu-waktu. Pokoknya setiap ada bentuk dan warna yang mencolok, pasti akan menarik perhatian Juang. "Kalau kamu capek terus menggendong Juang, sini gantian, Ka. Kamu makan saja dulu. Tuh, makanannya enak-enak 'kan?" ujar Kanaya pada Ika. Ika kasihan melihat Ika yang ngos-ngosan karena terus menggendong Juang."Ah jangan dong, Bu. Perut Ibu sudah sebesar itu. Kasihan adek-adek bayinya kalau Ibu harus menggendong Juang. Belum lagi nanti saya diomelin Bapak." Ika nyengir. ARTnya ini sangat memahami sifat Haikal. Kandungannya kini telah memasuki bulan ke tujuh, dan ia meng
Kanaya beringsut dari kursi kafe sembari memindai jam di pergelangan tangannya. Waktu telah menunjukkan pukul 15.30 WIB. Berarti sekitar setengah jam lagi, Pak Yaman dan Bu Maryam, akan menemuinya di restaurant ini. Kemarin kedua mantan mertuanya itu meneleponnya. Bu Maryam berbicara dari hati ke hati dengannya hampir selama satu jam penuh. Bu Maryam mengatakan bahwa ia telah mengetahui jati diri Juang yang sebenarnya. Dan sebagai nenek dan kakek, mereka berdua memohon agar diperbolehkan untuk menjenguk Juang. Kedua mertuanya juga berjanji kalau mereka tidak akan berbuat macam-macam, seperti ingin merebut Juang darinya misalnya. Mereka berdua hanya ingin melihat rupa cucu kandung mereka, katanya. Dari cara berbicara Bu Maryam di telepon, Kanaya bisa menangkap satu hal. Bahwa kedua mantan mertuanya ini telah banyak berubah. Setelah tertangkapnya Ghifari dan beberapa perusahaannya dinyatakan pailit, sikap kedua mantan mertuanya ini pun ikut berubah."Apa
"Cukup, Nay. Aku sudah kenyang."Marsya menolak suapan bubur ayam dari Kanaya. Sungguh ia tidak berselera makan sama sekali. Bayangan ia akan benar-benar kehilangan hak asuh kedua anaknya, menggentarkannya. Marsya sadar, dirinya memang gagal menjadi orang baik. Tetapi sebagai seorang ibu, ia tidak gagal. Ia berusaha mendidik Attar dan Azizah dengan baik. Mengajari ilmu pengetahuan, hingga adab dan kesopanan. Sejahat-jahatnya dirinya, sebagai seorang ibu, tetap saja ia menginginkan yang terbaik bagi kedua anaknya. Makanya Marsya sangat depresi membayangkan kalau dirinya bukan saja kehilangan hak asuh, tetapi akan dijauhkan dari anak-anak kandungnya sendiri. Demi apapun, ia tidak sanggup!"Sedikit lagi ya, Mbak? Dari tadi pagi Mbak belum makan apa-apa lho. Mbak bisa sakit yang lain nanti," bujuk Kanaya.
Haikal berulang kali meremas jalinan tangannya di pangkuan. Saat ini ia tengah duduk gelisah di studio kecil ayah mertuanya. Ia bermaksud membawa Kanaya pulang ke rumah. Dan untuk itu tentu saja ia harus meminta izin pada ayah mertuanya. Haikal tau, tidak mudah mengajuk hati ayah mertuanya yang eksentrik ini. Bara Sudibyo, sang ayah mertua, sikapnya memang tidak bisa diprediksi. Buktinya sudah hampir satu jam ia duduk di studio ini, namun kehadirannya sama sekali tidak dianggap oleh ayah mertuanya.Sedari tadi, ayah mertuanya hanya sibuk melukis. Sesekali ayah mertuanya ini menelengkan kepala. Mengamati hasil lukisannya dari berbagai sisi. Di saat lain, ayah mertuanya akan menggerutu sendiri. Mungkin ayah mertuanya merasa hasil lukisannya kurang memuaskan hatinya. Kehadirannya sekian lama di sini hanya dianggap seperti kuas cat saja sepertinya."Mau ngapain kamu ke sini?" Bara melirik sekilas laki-laki muda di sampingnya. Selanjutnya ia ke
Dan di sinilah sekarang Kanaya berada. Di kamar mereka berdua, dengan Haikal yang terus saja berdiri di depan jendela. Sementara dirinya sendiri duduk di ujung ranjang. Sedari dirinya tiba beberapa menit lalu, Haikal terus memandang keluar jendela. Seolah jendela-jendela di kompleks perumahan ini, lebih menarik untuk ditatap daripada wajah istrinya sendiri.Dalam keadaan masih duduk, Kanaya menatap Haikal lurus-lurus. Hampir sebulan tidak bertemu, perubahan-perubahan di diri Haikal sangat signifikan. Kepalanya sudah tampak normal. Perban yang biasa menutupi luka bekas operasinya sudah tidak ada. Begitu juga dengan luka parut di pipinya. Jika dipandang sekilas, orang-orang tidak akan tau kalau Haikal itu baru saja menjalani operasi rekonstruksi kepala dan wajah. Haikal sudah kembali gagah dan tampan seperti sebelumnya. Kecuali bila didekati dan diperhatikan dengan seksama. Maka akan tampak bekas-bekas operasi halus di sana. Hasil kerja rumah sakit ter
Rasa adem langsung menerpa kulit Kanaya, kala ia mendorong pintu kafe. Ramainya pengunjung membuat Kanaya celingukan mencari-cari meja yang kosong. Pada hari minggu seperti ini kafe memang sedang ramai-ramainya. Sebenarnya Kanaya malas sekali harus meninggalkan warung dan juga Juang untuk ke kafe ini. Tetapi demi menguak tabir kebenaran mengapa sikap Haikal berubah 180 derajat seperti ini, Kanaya memaksakan diri ke sini juga. Safa ingin bertemu dengannya secara empat mata katanya. Makanya Kanaya penasaran sekali. Kanaya menebak, pasti ini semua ada kaitannya dengan Haikal.Kanaya memindai seantero kafe. Mencari-cari meja yang masih kosong. Pengunjung kafe hari ini sangat ramai. Tidak heran memang, mengingat ini adalah hari minggu. Hari di mana orang-orang refreshing menikmati hari libur, atau sekedar family time dengan makan bersama. Kanaya menarik napas lega kala pandangannya membentur meja yang paling pojok. Meja itu memang relatif lebi
Ghifari memandang video-video panas yang baru saja diedit Rafly dengan tatapan puas. Sungguh ia sama sekali tidak menyangka, kalau teknologi sekarang sudah secanggih ini. Video-video panasnya dengan Kanaya semasa masih menjadi sepasang suami istri dulu, telah berganti waktu dan tanggalnya. Ia memang suka merekam aksi-aksi panas mereka dulu tanpa sepengetahuan Kanaya. Dan ia sama sekali tidak menyangka kalau kebiasaannya itu kini akan sangat berguna dalam planning-planningnya. Ia akan merebut kembali Kanaya dari Haikal tentu saja."Oke, Pak Ghifari. Semua video-video ini sudah saya edit tanggal dan jamnya. Saya yakin, tidak ada satu orang pun yang bisa mendeteksi kebenarannya." Rafly, sang peretas juga ikut tersenyum puas. Hanya saja tingkat kepuasan dua orang laki-laki ini berbeda. Jika Ghifari puas karena ia akan mendapatkan kembali mantan istrinya, maka Rafly puas karena akan mendapatkan sejumlah besar dana. Win win solution.
Kanaya memandangi rinai hujan di depan jendela. Sesekali ia mengusap kaca jendela nako yang basah. Bulir-bulir air yang berjatuhan mewakili hatinya saat ini. Jatuh ke titik nadir. Saat ini ia berada di rumah Jihan. Entah mengapa saat mengorder taksi online tadi, ia malah mengetik alamat Jihan, alih-alih orang tuanya. Mungkin ia merasa malu karena rumah tangganya kembali bermasalah. Makanya alam bawah sadarnya mencari perlindungan pada Jihan. Sebagai sesama wanita yang gagal dalam berumah tangga, setidaknya Jihan pasti sangat memahami keadaannya saat ini.Dugaan Kanaya tepat. Jihan sama sekali tidak heboh dan menginterogasinya saat melihat kedatangannya malam-malam. Istimewa dengan keadaan yang seadanya. Kanaya memang hanya sempat membawa dompet dan ponsel, selain baju yang melekat di badan. Itu pun karena dua benda tersebut kebetulan ada di saku celananya.Saat ia datang dalam rinai hujan, Jihan dengan luwes