Bab 118Pria itu tersenyum samar lalu menghela nafas. Dia mengulurkan tangan yang disambut oleh Alifa dengan sebuah kecupan."Baik-baik di rumah ya. Dan tolong, jangan banyak pikiran. Yakinlah, semua akan baik-baik saja."Bagaimana mungkin dia bisa dengan begitu ringannya mengucapkan kata baik-baik saja, sementara aku sendiri merasa jika semuanya akan bertambah rumit? Ini tidak semudah logikanya.Firasatku mengatakan jika akan ada sesuatu setelah ini, jika kami terlambat untuk saling memperbaiki hubungan.Komunikasi diantara kami bahkan hanya seperlunya saja. Ini sangat menyedihkan.Aku menatap sendu langkah-langkah tegap suamiku yang tengah berjalan menuju mobilnya. Tidak ada lambaian tangan dan senyum manis. Dia pergi begitu saja. Agaknya bersikap manis kepadaku sekarang bukanlah hal yang mudah untuknya. Padahal bulan demi bulan sudah berlalu.Ah, kenapa aku jadi terlalu berharap? Bukankah dia sendiri yang bilang jika dia tidak mencintaiku? Bahkan percintaan panas tadi malam pun bi
Bab 119"Tapi, Dok...." Gadis itu menggumam."Kalau saya suruh pulang, ya pulang. Kalau orang tuamu sampai komplain sama rumah sakit ini gimana?" dengus pria itu. Dia memang sudah menceritakan tentang Zaid kepada Nia, tapi bukan berarti Nia bisa ikut campur. Aariz bercerita supaya Nia tahu. Tak lebih. Karena Nia adalah asisten pribadi yang membantu mengurus pekerjaannya di rumah sakit. Nia juga sering ia titipi pesan untuk Alifa supaya jangan menunggunya pulang, karena Aariz tidak mau ditagih jatah malam.Ini tidak lucu. Biasanya pihak wanitalah yang diuber-uber untuk melayani suami, justru dialah yang terbebani. Aariz sungguh tak berminat untuk melakukan hal itu. Dia melakukannya lantaran tak tega, dan takut kalau Alifa kabur, tentunya.Rumah tangga mereka harus terus berjalan.Akhirnya Nia mengalah. Gadis itu mengambil tasnya dan bergegas meninggalkan ruangan USG, meninggalkan Aariz yang tengah sibuk menekuri beberapa map yang barusan diambilnya dari Nia.Tak ada lagi pekerjaannya.
Bab 120Tanpa bertanya lagi, Atta segera membersihkan tangannya, lalu beranjak meninggalkan meja makan.Dia sangat penasaran, siapa tamu yang pagi-pagi datang kemari? Bukankah hari ini hari libur? Meskipun baginya tidak ada istilah hari libur, karena hari ini pun dia berencana akan pergi ke hotel. Arum sudah memberinya setumpuk berkas yang harus ia periksa hari ini juga."Kamu...." Pria itu langsung tertegun. Tak menyangka jika pria ini menyambangi rumahnya pagi-pagi."Selamat pagi." Keenan mengulurkan tangan, mengajak pria itu bersalaman."Oke, silahkan duduk kembali, Mas."Pria itu mengangguk dan kini mereka sudah duduk saling berhadapan."Apa ada sesuatu hal yang ingin kita bicarakan? Bukankah kontrak kerja kemarin sudah masuk ke emailnya Mas Keenan?" todong Atta. Dia pura-pura tak paham. Tebakannya pasti tidak pernah meleset. Bagaimana mungkin Keenan pagi-pagi menyambangi rumah ini hanya untuk membahas soal pekerjaan?Mantan suami Alifa ini pasti ingin bertemu dengan Alifa dan Gib
Bab 121"Aku nggak menyangka Mas masih mau menggandeng perempuan hamil ini," sinis Eliana sembari berjalan terus mendekat.Genggaman tangan Donita melonggar. Telapak tangannya sudah berkeringat dingin. Donita merasa sangat gugup. Bagaimanapun, dia hamil diluar nikah dan itu adalah aib bagi seorang wanita.Ini Indonesia, bukan luar negeri. Seorang wanita hamil diluar pernikahan dan memelihara anak sendirian itu bukan hal yang biasa, meski cukup banyak kasus seperti itu terjadi di negeri ini."Apa ada yang salah?" Masih dengan menggandeng Donita, Kenan bergerak perlahan menjauh dari mantan istrinya ini. "Kita sudah bercerai, dan aku bebas menggandeng siapapun.""Tentu saja aku tidak menyangka, mantan suamiku demikian bodohnya mau memelihara wanita yang hamil diluar nikah!""Dan itu karena orang suruhan kamu, pria selingkuhanmu! Seharusnya kamu yang bertanggung jawab, karena sudah menyuruh Roger untuk menghamili Donita, bukan malah memaki-makinya seperti ini. Seharusnya kamu sadar itu!"
Bab 122"Bagaimana Mas?" Aku langsung mencecar suamiku dengan pertanyaan. Sejak tadi aku merasa sangat gelisah, mengkhawatirkan soal kondisi pasien itu. Tidak mungkin Nia menelpon dengan nada yang sangat panik seperti itu jika tidak benar-benar gawat."Operasinya sudah selesai dan dia belum sadar. Kondisinya masih dalam pemantauan tim. Semoga saja bisa segera dipindahkan ke ruang rawat biasa."Namun meski jawabannya cukup melegakan, tetapi aku menangkap raut wajahnya yang murung. "Masalahnya apalagi, Mas? Operasinya kan sudah selesai, dan si pasien selamat. Lalu apalagi?""Dokter Hera. Seharusnya yang memberi tindakan itu dokter Hera, bukan aku. Tapi dia nggak mau. Kamu kan tahu sendiri alasannya kenapa?" Pria itu mengingatkanku dengan percakapan dengan Nia saat kami masih berada di mobil."Karena dia nggak berani dan takut ujung-ujungnya bakalan disalahkan sama penanggung jawab pasien. Soalnya pas dirujuk kemari, si pasien dalam kondisi pendarahan yang hebat.""Iya." Pria itu menghe
Bab 123"Anak baik, jagoannya Om Keenan, bisakah kita berteman?"Kalimat itu sangat sederhana, tapi sanggup membuat mataku berkaca-kaca. Aku berusaha menahan sekuatnya agar cairan bening ini tidak merembes dari sudut mataku. Jangan ada tangis yang membuat suasana di restoran ini menjadi mellow. Cukup mas Keenan saja yang menangis. Aku tidak boleh ikutan menangis. Di dekat kami ada Donita dan pengasuh anak-anak. Jangan sampai ada yang mengira kami sedang reunian.Kulihat tangan kecil putraku mengepal ke atas. Dia tertawa riang, apalagi saat mas Keenan menciumi wajahnya."Di dekat sini ada wahana permainan anak. Kalau kamu nggak berkeberatan, kita bisa bermain bersama. Kebetulan hari ini libur. Aku dan Donita pun tidak ada pekerjaan. Khusus family time."Aku memandang wajah dua pengasuh putraku. Maya dan Naira hanya mengangkat bahu. Ya, sepertinya ini bukan ide buruk. Hari masih siang dan masih ada waktu kurang lebih satu jam sebelum pulang ke rumah."Baiklah. Aku setuju. Sudah lama ana
Bab 124Sesosok pria nampak berdiri tegak dengan tangan bersedekap di dada. Dia berdiri di depan mobil yang barusan kami tumpangi."Mas...." Aku langsung tergagap."Pulang ya. Nanti kita bicara di rumah," tegasnya. Matanya tajam menatapku, membuatku tidak berkutik.Tanpa bicara lagi aku masuk ke dalam mobil. "Pak Maman sudah aku suruh pulang. Jadi akulah yang akan mengantar kalian, supaya kalian bisa segera sampai di rumah, tidak mampir ke mana-mana lagi." Pria itu melirik ke belakang Maya dan Naira yang tengah duduk mamangku anak asuhnya masing-masing. Mereka pun diam dengan mata yang saling menatap.Aku masih diam, tak berani membantah. Lebih baik mengalah, daripada berurusan dengan pemilik muka menyeramkan saat ini.Tak ada sepatah kata pun terucap sepanjang perjalanan, kecuali desah nafas pria itu, bahkan ia tidak melirikku sama sekali. Dia fokus mengemudikan kendaraannya dengan kecepatan sedang.Aku heran, bagaimana bisa pria ini sampai di mall ini? Bukankah tadi katanya dia ti
Bab 125Aku hanya menatap nanar Mas Aariz yang bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Beberapa detik kemudian, terdengar suara guyuran air. Tampaknya dia benar-benar dikejar waktu, karena tidak sampai 10 menit dia sudah keluar dengan tubuh berbalutkan handuk.Dia terlihat seksi dengan penampilan seperti itu. Aku menelan ludahku. Rambutnya yang basah dengan titik-titik air yang membasahi bahu dan pundaknya. Dia pun memakai pakaiannya dengan tergesa-gesa dan melapisinya dengan jas kebesaran, lalu segera keluar dari kamar ini tanpa pamit kepadaku."Dia sudah pergi," gumamku lirih. Aku mulai menggerakkan tubuh. Rasanya tubuhku sakit semua, terutama di area intiku. Mas Aariz ternyata bisa juga bersikap brutal seperti ini, sisi lain darinya yang baru terlihat hari ini. Tubuhku terasa lengket dengan keringat, memaksaku untuk duduk. Aku menyingkirkan selimut tanpa peduli dengan tubuh telanjangku. Toh, tidak ada siapapun di kamar ini. Aku meraih kimono mandi, lalu masuk ke kamar mandi. Berend
Bab 169Atta memang sungguh tidak terduga. Dia cerdik melebihi ekspektasi, walaupun terkadang sikapnya rada menyebalkan. Tapi Aariz tidak menampik, Atta memang memiliki kepekaan tinggi jika ada bahaya disekitar mereka.Dia dan Atta memang jarang akur, jarang satu pemikiran dan pendapat, tapi mereka tetaplah saudara. Di dalam diri mereka mengalir darah yang sama, darah El Fata.Di sela-sela kesibukannya yang berkali-kali lipat meningkat sejak Hotel Permata bekerjasama dengan perusahaan milik Keenan, Atta tetap meluangkan waktunya untuk mengamati perkembangan yang terjadi di rumah utama, terutama Alifa dan orang-orang yang berada di sekitar perempuan itu. Bahkan Naira dan Maya pun tidak luput dari perhatian Atta, walaupun sebenarnya kedua gadis itu bisa dipercaya.Aariz dan Alifa bahkan tidak pernah berpikir sampai sejauh itu. Meski Alifa selalu berusaha menutupi kehamilan dengan pakaian longgar, tetapi memakai pakaian yang sangat longgar bukan merupakan style Alifa. Alifa memang menyuk
Bab 168"Sudah berapa bulan, Mbak?" tunjuk Atta pada perut Alifa."Berapa bulan?!" Perempuan itu sangat terkejut. Selama ini tidak ada yang tahu tentang kehamilannya selain mereka berdua."Mbak bisa menyembunyikan kehamilan pada semua orang, tetapi tidak padaku." Pria itu tersenyum, tapi senyumnya terasa amat misterius."Berapa bulan apanya? Kamu jangan macam-macam deh!" sergah Aariz. Tentu saja ia panik. Dia tidak menyangka ternyata ada orang yang mengetahui kehamilan Alifa, padahal mereka sudah berusaha maksimal untuk menutupi fakta itu."Aku hanya menginginkan kejujuran kalian. Mbak Alifa sudah hamil berapa bulan?" tegas pria itu. "Jangan coba-coba mengelak. Aku sudah tahu semuanya. Aku hanya ingin menguji kejujuran kalian."Alifa terlihat menghela nafas, sebelum akhirnya mendesah. "Sudah hampir 5 bulan, Ta. Dari mana kamu tahu jika aku hamil?""Akhir-akhir ini Mbak Alifa terlalu tertutup sama aku. Di awal aku malah berpikir jika Mbak ingin menghindariku setelah menikah dengan Mas
Bab 167"Masa Mas bohong sih?"Setelah memberikan penjelasan panjang lebar kepada keluarga pasien, termasuk menahan kekesalannya terhadap keluarga pasien yang terlihat sama sekali tidak khawatir dengan keadaan anggota keluarganya, bahkan malah lebih khawatir kehilangan sawah ketimbang nyawa istri sendiri, Aariz langsung kembali ke ruangan pribadinya di rumah sakit umum ini. Tentu dia mencemaskan Alifa yang harus ia tinggalkan sendirian di ruangan ini, apalagi proses operasi pengangkatan rahim itu memakan waktu berjam-jam karena penuh dengan pendarahan dan prosedurnya jauh dari kata mudah.Sebagai seorang dokter kandungan, satu hal yang paling ia hindari adalah operasi pengangkatan rahim, karena ini yang paling krusial. Bukan cuma tingkat kesulitannya yang tinggi, tapi juga tingkat emosional, karena diangkatnya rahim dari tubuh seorang perempuan, berarti mematikan harapan perempuan itu beserta keluarganya untuk mendapatkan keturunan.Terbukti, dia harus berjuang mati-matian untuk meya
Bab 166 "Mana suaminya? Panggil kemari ya." perintah Aariz kepada Nia, yang dengan segera dituruti gadis itu. Dia beranjak meninggalkan ruangan. Hanya berselang 5 menit, Nia sudah datang diiringi dengan dua orang laki-laki. Seorang laki-laki separuh baya, dan satu lagi merupakan laki-laki yang sudah tua renta. "Silahkan duduk." Pria itu mendengus kasar sebelum akhirnya ia berhasil menguasai dirinya. Sebenarnya dia ingin sekali marah, tapi dia tetap harus menjaga sikap. Ini adalah kedua kalinya dia bertemu dengan suami dari pasien yang mengalami pendarahan pasca operasi caesar ini. Dua tahun yang lalu dia juga menangani kasus yang sama. Jejak rekam medik pasien bernama Rusmina ini membuat Aariz rasanya ingin angkat tangan saja. "Mohon maaf, dua tahun yang lalu saya lah yang menangani persalinan ibu Rusmina, persalinan anak ketiga yang waktu itu pun juga mengalami kasus yang sama. Persalinan lewat operasi caesar dengan kasus plasenta akreta dan obesitas. Saat itu saya sudah m
Bab 165"Aku ikut, Mas!" Perempuan itu mengambil tasnya, lalu memegang tangan sang suami, membuat Aariz menghela nafas berat. Dia tentu paham maksud sang istri."Kamu yakin? Mas tidak tahu kapan kita bisa pulang. Mungkin malam....""Tidak apa-apa. Aku bisa menunggu di ruang pribadi Mas seperti biasa.""Baiklah." Pria itu berjongkok, lalu mencium pipi anak sambungnya sekilas. "Papa dan Mama berangkat dulu ya. Gibran baik-baik sama tante Naira."Beruntungnya tidak ada drama yang menghambat kepergian mereka. Gibran anak yang anteng dan jarang rewel. Dia sudah biasa hanya bersama pengasuhnya. Aariz mengendarai mobilnya dengan terburu-buru, meski tidak ugal-ugalan. Dia tetap memperhatikan keselamatan berlalu lintas, apalagi ada istri di sampingnya.Alifa hanya terdiam. Dia tidak berminat untuk berbicara dengan sang suami, dan justru tenggelam dalam pikirannya sendiri. Frasatnya sudah tidak enak saat dokter Halimah menelpon. Alifa tahu dokter Halimah adalah orang yang loyal kepada suaminy
Bab 164 "Program masih berjalan, walaupun tidak terlalu efektif. Ada orang yang dikhususkan untuk mengurusi itu," jelas Aariz. "Kok bisa? Bukannya kemarin banyak yang menyambut antusias program itu? Terutama para ibu hamil atau pasangan suami istri yang merencanakan kehamilan dan punya anak." Alifa menyerngitkan kening. Dia baru ingat, karena terlibat secara langsung saat launching program itu. Dan dia melihat sendiri bagaimana antusiasme para undangan yang memenuhi tempat acara itu, terutama ibu-ibu hamil yang memang pernah memeriksakan kandungan ke RSIA Hermina, atau yang sedang menjalani promil. "Mas juga kurang tahu apa sebabnya, tetapi Mas bersyukur masih banyak juga orang yang percaya dengan RSIA Hermina, dan masih banyak orang yang mau menitipkan uangnya agar nantinya mereka bisa merencanakan persalinan yang aman dan selamat." "Itu tujuan kita, bukan?" tukas Alifa. "Itu tujuan utama, di samping pihak rumah sakit pastinya akan mendapatkan dana segar yang bisa digunakan
Bab 163Membayangkannya saja sudah membuat Alifa merasa ngilu, apalagi jika ia sendiri yang mengalaminya. Jangankan riwayat SC 3 kali, riwayat SC 1 kali pun pasien tidak boleh melahirkan di rumah, apalagi tanpa ada bantuan dari tenaga medis. Seharusnya ketika pasien akan melahirkan, harus dirujuk ke rumah sakit yang lengkap peralatan dan tenaga medisnya, karena melahirkan normal dengan riwayat SC sebelumnya rentan terjadi robekan rahim yang bisa mengancam jiwa, baik ibu maupun bayi.VBAC ( Vaginal Birth After Cesarean) atau persalinan normal setelah operasi caesar tidak bisa dilakukan sembarangan, harus di awasi ketat oleh dokter kandungan. Bukan cuma itu. Fasilitas operasi harus disiapkan untuk berjaga-jaga bila terjadi komplikasi di dalam persalinan, semisal robekan di rahim.Aariz benar-benar mengemudikan kendaraannya dengan kecepatan sangat tinggi. Dia bahkan memijat pelipisnya berkali-kali dengan keringat dingin yang membasahi dahi. Bukan sekedar nyawa pasien yang menjadi taruhan
Bab 162Keenan benar-benar membawa Naira keluar dari apartemen pagi ini setelah mereka selesai sarapan. Namun ternyata dia tidak membawanya langsung pulang ke rumah utama keluarga El Fata, tetapi justru jalan-jalan keliling kota dan berakhir dengan mampir di sebuah mall yang memiliki wahana permainan anak."Santai saja, Nai. Aariz dan Alifa tidak akan pulang pagi-pagi. Mereka itu pergi ke villa dan kamu tahu tempatnya di mana, bukan?" bujuk Keenan sembari mengingatkan. Dia menyadari ekspresi Naira yang muram. Dia berusaha menjelaskan bahwa tidak mungkin Aariz dan Alifa akan pulang cepat, mengingat lokasi villa keluarga yang terletak di desa, suatu daerah di luar kota."Aku cuma ingin cepat sampai di rumah, Mas. Aku capek.""Capek dengan tingkah Mas?" Pria itu tersenyum kecut. "Maaf ya." Namun lagi-lagi tangannya lancang mengacak rambut gadis itu. "Percayalah, Mas tidak pernah bermaksud macam-macam, melainkan hanya menuruti keinginan hati saja.""Bermain drama, ngaku-ngaku aku adalah
Bab 161"Mas akui, Mas bukan pria yang baik, tetapi tidak seberengsek seperti yang kamu duga. Hubungan Mas dengan Donita tidak seperti yang kamu pikirkan. Mas sekamar dengan Donita, karena ingin menjaga perempuan itu. Dia adalah karyawan terbaik Mas. Dia itu aset perusahaan yang harus Mas jaga. Dia adalah pahlawan bagi Mas. Disaat perusahaan mengalami krisis, Donita berdiri dengan tegar bersama dengan tim kami menyelamatkan perusahaan. Menurutmu apa yang harus Mas lakukan untuk membalas jasanya?" Keenan berkata dengan suara perlahan memberi pengertian pada gadis itu. Cara bicaranya sudah seperti seorang lelaki yang memberi pengertian pada pacar yang tengah cemburu karena dia dekat dengan wanita lain."Aku nggak ada kaitannya sama hubungan Mas dengan Mbak Donita. Apa urusannya denganku?" rajuk gadis itu seraya melengos ke samping."Jelas ada urusannya dengan kamu, karena kamu mengira Mas itu kumpul kebo dengan Donita. Kamu pasti mengira Mas sedang menjalin hubungan tanpa status! Kamu s