Raysa menatap layar televisi dengan tatapan kosong, seakan tak percaya dengan berita yang baru saja dilihatnya. Nama Reza kini menjadi sorotan, dikenal sebagai pewaris tunggal Nikel Wijaya—sesuatu yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Dulu, ia hanya melihat Reza sebagai pria sederhana, dan itu sebabnya keputusan untuk menceraikannya terasa mudah. Tapi kini, mengetahui siapa Reza sebenarnya membuatnya merasa begitu terpukul. Rasa marah bercampur penyesalan mulai menguasai dirinya. Ia menyadari bahwa dengan menceraikan Reza, ia telah melepaskan bukan hanya seorang suami, tapi seseorang yang kini diakui sebagai pewaris salah satu perusahaan terbesar. Raysa merasa tenggelam dalam penyesalan, hatinya berdesir dengan pikiran-pikiran yang semakin menyakitkan. Sambil berdiri tertegun di tengah ruang tamu, ia bergumam pada dirinya sendiri, “Bagaimana aku bisa begitu bodoh? Mengapa aku tidak pernah menyadari siapa Reza sebenarnya?” Seakan ada yang menghantam hatinya, ia mulai menyalahkan
Randi duduk di kursinya, menatap kosong ke layar komputer, tapi pikirannya tidak berada di sana. Bayangan Via dan berita pernikahannya dengan Reza terus mengganggu pikirannya. Selama ini, ia berharap bisa membangun masa depan bersama Via—wanita yang ia cintai sejak hari pertama bertemu di bangku kuliah. Namun, semua harapan itu kini pupus, bagai runtuh oleh kenyataan bahwa Via telah memilih pria lain.Hatinya terasa berat, dan setiap kali ia mencoba menerima kenyataan, rasa pahit itu semakin kuat. Selama bertahun-tahun, Randi menjadi sahabat dan pendukung setia Via, berharap bahwa suatu hari nanti Via akan melihatnya lebih dari sekadar teman. Namun kini, ia merasa seperti seseorang yang terlambat menyatakan perasaan.Saat menghela napas panjang, Randi teringat bagaimana Via dulu selalu tersenyum saat mereka berbagi cerita. Ia ingat betul canda tawa yang mereka alami bersama, dan entah kenapa, bagian kecil dari dirinya tetap berharap Via akan kembali, atau setidaknya, merasa ada ruang
Raysa menunggu dengan sabar di luar rumah elite yang baru ia ketahui adalah tempat tinggal Via dan Reza. Sore itu, setelah melihat Via meninggalkan tempat kerjanya di mal, Raysa merasa semakin penasaran. "Bagaimana mungkin Via bisa tinggal di rumah mewah seperti ini?" pikirnya dengan geram.Dengan setengah hati, Raysa duduk di dalam mobilnya, memandangi gerbang rumah itu sambil memainkan ponselnya. Dia mencoba menghubungi Reza berulang kali, namun setiap panggilannya hanya berakhir di kotak pesan. Raut wajahnya semakin kesal setiap kali nada panggilan itu berakhir tanpa jawaban."Apa-apaan ini, Reza? Dulu, saat masih bersama, kamu selalu angkat teleponku! Sekarang malah sibuk dengan perempuan itu!" gumamnya sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di kemudi dengan kesal.Setelah beberapa saat yang terasa seperti berjam-jam baginya, Raysa mendongak dan melihat lampu depan mobil mendekat dari kejauhan. Saat kendaraan itu semakin dekat, dia langsung mengenali plat mobil Reza. Jantungnya berdegu
Raysa masih berdiri di sana, dengan senyum terpaksa dan mata yang penuh harapan. Reza menghela napas berat, jelas menunjukkan ketidaknyamanan. Setelah beberapa saat, ia keluar dari mobil dan berjalan mendekat, memandang Raysa dengan tatapan tajam.“Raysa, aku sudah bilang, kita sudah selesai. Tidak ada alasan untuk kamu menunggu di sini atau mencoba menghubungiku terus-terusan,” kata Reza tegas, nada suaranya mulai terdengar kesal.Raysa merespon dengan raut wajah penuh kekecewaan. “Reza, kita ini sudah lama bersama. Kamu tahu betapa aku masih peduli sama kamu. Kamu tega tinggalin aku begitu aja?”Reza mendengus, menahan amarahnya yang kian memuncak. “Kamu sendiri yang memilih untuk pergi, Raysa. Kamu yang mengambil keputusan itu! Jangan salahkan aku kalau sekarang aku punya kehidupan baru.”“Apa karena perempuan itu, Reza? Dia cuma perempuan kampung! Bagaimana mungkin kamu memilih dia, meninggalkan aku yang sudah mendampingimu bertahun-tahun?” suara Raysa mulai meninggi, menampilkan
Via mencoba untuk tersenyum mendengar cerita Lisa, tapi dalam hatinya ia merasa sedikit terganggu. Bayangan Raysa yang dengan mudah mendekati Reza di depan rumahnya sendiri membuat hati Via gelisah. Dia mencoba mengabaikannya, tetapi rasa khawatir itu tetap bertahan. Melihat perubahan ekspresi Via, Lisa segera mengganti suasana. “Sudahlah, jangan terlalu dipikirin. Orang kayak Raysa itu cuma nyari perhatian aja. Kamu tahu kan, dia memang selalu punya cara buat bikin orang nggak nyaman. Tapi aku yakin, Reza nggak bakal tergoda,” ujar Lisa sambil tersenyum penuh keyakinan. Via hanya mengangguk pelan, berusaha meyakinkan dirinya dengan kata-kata Lisa. Tapi rasa penasaran dan sedikit cemburu membuatnya ingin tahu lebih dalam. “Aku nggak ngerti kenapa Raysa terus-terusan ngejar Reza. Setelah apa yang dia lakukan, bukannya dia yang minta cerai duluan?” tanya Via, mengingat bahwa Raysa pernah menjadi bagian dari masa lalu Reza. Lisa mengangkat bahu sambil menatap Via penuh arti. “Ya, mun
Setelah kejadian dengan Raysa, Via dan Reza berusaha menjalani hari-hari mereka dengan lebih tenang. Namun, keadaan justru makin rumit ketika berita besar tentang perusahaan Wijaya Nikel mulai beredar. Beberapa media menyoroti isu bahwa ada pihak-pihak yang ingin merebut kendali dari pewaris sah, dan ini tentu menyudutkan posisi Reza sebagai ahli waris utama.Suatu malam, saat Via dan Reza sedang menikmati makan malam di rumah, ponsel Reza berdering. Melihat nama di layar, Reza tampak ragu sebelum akhirnya mengangkat panggilan tersebut. Setelah beberapa menit berbicara dengan nada serius, Reza menutup telepon dengan wajah tegang.Via, yang memperhatikan perubahan sikapnya, segera bertanya, "Ada apa, Reza? Kamu kelihatan tegang."Reza terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Itu pengacara keluarga. Katanya ada tuntutan baru dari pihak keluarga pamanku, Pak Adi. Mereka berusaha memblokir aksesku ke perusahaan. Mereka akan berusaha membuatku terlihat tidak
Saat Reza sedang sibuk mempersiapkan konferensi pers untuk mengklarifikasi posisinya di keluarga Wijaya, Bima dan Chandra merencanakan strategi untuk mempermalukan Reza di hadapan publik. Bima memutuskan untuk mengungkit kejadian yang pernah terjadi di masa lalu, yakni saat Reza tertangkap sedang bersama Via di sebuah hotel ketika masih berstatus suami Raysa.Dalam pertemuan keluarga yang dihadiri wartawan, Bima tiba-tiba mengambil alih pembicaraan dan memutar balik cerita, membuat seolah-olah Reza adalah seorang pria yang suka mengkhianati istri. Dia dengan tegas mengungkit tentang "skandal" Reza dengan Via dan menggunakan momen ini untuk menjelek-jelekkan Reza di hadapan semua orang."Apakah seorang pria yang tertangkap basah di hotel bersama wanita lain pantas disebut pewaris Wijaya Nikel?" Bima menyindir dengan tajam, mengarahkan tatapan tajamnya pada Reza.Para wartawan yang hadir langsung heboh, mengajukan berbagai pertanyaan yang mempermalukan Reza dan membuat suasana semakin t
Tak ingin melewatkan kesempatan untuk balas dendam, Raysa mulai menyusun rencana. Dengan hati penuh amarah dan dendam pada Reza, yang menurutnya telah menghancurkan hidupnya, ia memutuskan untuk mendekati Chandra. Baginya, Chandra adalah sekutu sempurna yang bisa membantu menjatuhkan Reza dan mengusir Via dari hidup Reza.Suatu sore, Raysa mengundang Chandra bertemu di sebuah kafe yang cukup tersembunyi. Ketika Chandra tiba, ia terlihat penasaran namun juga hati-hati. Raysa, yang tampak anggun dan tenang, memulai percakapan dengan santai."Chandra, aku tahu kamu mungkin bingung kenapa aku memintamu bertemu di sini," kata Raysa, tersenyum penuh arti.Chandra mengangguk, memasang ekspresi serius. "Benar. Ada apa, Raysa? Ada sesuatu yang perlu kita bahas?"Raysa menghela napas panjang sebelum menjawab, “Kamu dan aku sama-sama tahu bahwa Reza tidak pantas mendapatkan semuanya. Aku tahu kamu juga merasakan ketidakadilan ini. Dia hanya bermain perasaan dengan banyak orang, mempermainkan hat
Reza menekan tombol jawab pada ponselnya, meski ragu. Suara di ujung sana langsung menyapa dengan nada tenang, namun penuh misteri.“Reza, ini aku, Randi. Lama tidak bertemu,” ucap suara itu.Reza mengernyit. Nama itu membuat pikirannya melayang ke masa lalu, ke hubungan Via dengan Randi yang dulu sempat menjadi masalah di antara mereka. “Randi? Ada apa? Kenapa meneleponku?”“Aku hanya ingin memberi tahu sesuatu yang penting. Ini tentang keluargamu. Bisa kita bicara secara langsung? Ada hal yang lebih baik aku jelaskan secara tatap muka,” kata Randi, nadanya serius.Reza menggenggam ponselnya lebih erat, pandangannya melirik ke arah Via yang sedang menggoda Arya di ruang tamu. “Katakan saja sekarang, Randi. Aku tidak punya waktu untuk permainan.”“Aku pikir kamu tidak akan mau mendengarnya jika aku tidak menjelaskan langsung,” jawab Randi. “Kamu bisa datang ke kafe di dekat taman kota besok sore? Ini soal Via dan masa lalu keluargamu.”Kata-kata itu membuat Reza terdiam. Perasaan geli
Siang itu, Via melangkah perlahan menuju kamar perawatan ibunya di pusat terapi. Perutnya yang membesar membuat setiap langkah terasa lebih berat, namun ia tetap berusaha tersenyum. Hari itu, ia ingin memastikan ibunya merasa nyaman di tempat baru tersebut.Saat tiba di depan pintu, Via mendengar suara tawa pelan dari dalam ruangan. Ia membuka pintu dengan hati-hati dan menemukan ibunya sedang duduk di kursi, ditemani Lisa, seorang perawat yang bertugas merawat Bu Diana."Via!" seru Bu Diana begitu melihat putrinya masuk. Wajahnya berseri-seri. "Mama senang kamu datang. Lihat, Lisa tadi membantu Mama memilih baju baru untuk hari ini."Lisa tersenyum hangat ke arah Via. "Bu Diana terlihat sangat cantik hari ini. Kami tadi juga sempat berbincang tentang cucu yang sebentar lagi lahir."Via tersenyum, meskipun ada sedikit rasa canggung setiap melihat Lisa. Bagaimanapun, ia tahu perawat itu tulus menjaga ibunya. "Terima kasih, Mbak Lisa, sudah merawat Mama dengan baik."Lisa mengangguk sop
Pagi itu, Reza duduk di meja makan sambil membaca laporan pekerjaan di tablet-nya. Via, dengan perut yang sudah membesar, tampak sibuk memotong buah di dapur. Meski kehamilannya sudah memasuki trimester terakhir, ia tetap berusaha aktif, meski langkahnya mulai melambat.“Sayang, duduk dulu, istirahat,” kata Reza tanpa menoleh dari tablet.Via menoleh dengan senyum tipis. “Sebentar lagi, Mas. Aku mau siapkan jus dulu.”Reza menurunkan tablet dan menatap Via dengan serius. “Aku bisa bikin jus sendiri. Kamu tuh harus lebih banyak istirahat.”Via mengangkat alis. “Mas, aku masih bisa gerak, kok. Enggak usah khawatir berlebihan.”Reza mendesah, tapi memutuskan untuk tidak memperdebatkannya. Setelah Via selesai dan duduk di depannya, ia membuka pembicaraan yang sejak tadi ada di pikirannya.“Sayang, aku mau ngomong soal Mama,” kata Reza hati-hati.Via menghentikan gerakannya, menatap Reza dengan ekspresi penasaran. “Kenapa dengan Mama?”Reza mengusap dagunya, mencari kata yang tepat. “Aku p
Reza dan Dani segera keluar dari rumah, masuk ke mobil, dan mulai menyusuri jalanan perumahan. Reza mengemudi dengan wajah tegang, sementara Dani mencoba mencairkan suasana.“Pak, apa Ibu Via pernah cerita tempat favoritnya kalau lagi ingin sendiri?” tanya Dani, mencoba membantu.Reza berpikir sejenak. “Dia suka pergi ke taman kota, tempat dia sering jalan-jalan waktu masih kecil. Tapi...” Reza melirik jam di dashboard. “Jam segini? Aku enggak yakin.”Dani mengangguk. “Kita coba saja, Pak. Siapa tahu benar.”Mereka menuju taman kota. Saat tiba, suasana cukup sepi. Lampu taman redup menerangi jalan setapak, tetapi tidak ada tanda-tanda Via. Reza turun dari mobil, berjalan cepat memeriksa setiap sudut taman. Dani mengikutinya dengan senter di tangan.“Via!” panggil Reza beberapa kali, suaranya menggema di tengah malam.Tiba-tiba, Dani menunjuk ke arah bangku taman di dekat danau kecil. “Pak, itu... seperti ada seseorang.”Reza langsung berlari mendekat, dan benar saja, Via duduk di sana
Di ruang kerja yang tenang, Reza duduk di sofa sambil memijat pelipisnya. Dani, asistennya, berdiri di dekat meja dengan secangkir kopi untuk Reza. Ekspresi penasaran terlihat jelas di wajah Dani."Pak, Anda kelihatan sangat lelah. Ada masalah?" tanya Dani sambil menyerahkan kopi.Reza mendesah panjang, menatap Dani sejenak sebelum akhirnya berbicara. "Ini soal Via. Sejak hamil, tingkah lakunya semakin manja. Kadang saya tidak tahu harus tertawa atau menangis."Dani menahan senyum. "Apa yang dilakukan Bu Via, Pak? Hingga membuat Anda seperti ini."Reza menyandarkan tubuhnya ke sofa, seolah mencari dukungan. "Tengah malam, Dani. Dia membangunkan saya karena ingin martabak rasa pandan. Jam dua dini hari, bayangkan itu. Saya harus keliling kota mencari penjual martabak yang masih buka."Dani mengerutkan alis, mencoba serius, tapi sudut bibirnya hampir terangkat. "Dan Bapak menemukannya?""Setelah hampir satu jam berkeliling, akhirnya ketemu. Tapi begitu saya pulang dan menyerahkannya, ta
Via, yang awalnya tampak bingung dengan kedatangan Raysa dan kedua orang tuanya, berusaha tetap tenang. Diana, yang berdiri di sampingnya, hanya melirik Raysa dengan dingin. Bagaimanapun, Diana masih merasa tidak nyaman dengan sikap Raysa sebelumnya."Ada apa kalian datang ke sini?" tanya Via lembut, meski hatinya sedikit gelisah. Ia tak ingin memicu masalah baru setelah semua yang terjadi.Raysa menunduk sejenak, menarik napas panjang, lalu menatap Via dengan tatapan penuh penyesalan. "Aku ingin meminta maaf, Via. Atas semua yang telah aku lakukan padamu dan Reza."Via tampak terkejut. Ia menatap ayah dan ibu Raysa yang mengangguk, mendukung langkah putri mereka.Diana, meskipun terlihat enggan, akhirnya berbicara, "Apa kamu benar-benar tulus meminta maaf, Raysa? Atau ini hanya taktik baru?"Raysa menelan ludah, menyadari bahwa ia memang harus membuktikan niatnya. "Aku tulus, Bu Diana. Aku sadar kesalahanku. Aku ingin memperbaiki hubungan ini. Aku tidak ingin lagi hidup dengan dendam
Sembab masih terlihat di wajah Raysa. Dia mengaduk jus jeruk di hadapan dengan hampa, pikirannya masih berkelana pada langkah-langkah yang mungkin bisa dia tempuh untuk membalas perlakuan Reza dan Via. Sakit hatinya belum reda, dia belum bisa menerima. Itu bukanlah akhir yang dia inginkan. Dua jam yang lalu, dia memutuskan untuk keluar dari rumah, setelah beberapa hari tak bersentuhan dengan udara di luar. Dia ingin mencari inspirasi, bukan untuk memulihkan usaha, tetapi untuk membalas luka yang ada. Penyakit hati memang susah sembuhnya. Kafe yang biasa didatangi oleh kebanyakan anak muda itu, terlihat tenang, dan ramai seperti biasanya. Dari luar, terlihat sangat menarik karena desainnya yang nyentrik tapi tidak norak. Ala-ala tahun sembilan puluhan, yang jadinya terlihat unik dan elegan. Bima yang kebetulan melintas di sana pun ikut tertarik. Dia memutuskan untuk singgah karena memang merasa haus setelah cukup lama berkendara. Aru Malaca dan Harua memiliki jarak yang lumayan. Apa
Hal yang paling ditakutkan oleh Randi akhirnya terjadi. Via memutuskan untuk mengakhiri kerjasamanya dan tampil di depan. Randi tak masalah dengan itu, karena sejak awal, dia memang ingin Via yang tampil di depan mewakili perusahaan. Namun, yang jadi penyesalan adalah dia yang tak bisa menemani Via lagi. “Aku mengerti dan aku menerimanya dengan lapang dada. Aku sendiri memang berniat untuk mengundurkan diri. Via sungguh, rasanya aku sudah tidak punya muka untuk bertemu denganmu. Aku …” Randi menjeda, mengambil napas lumayan panjang untuk memenangkan perasaan. “Aku benar-benar menyesal,” lanjutnya kemudian. Suara pria itu terdengar bergetar. “Demi apa pun, Randi. Sebenarnya aku sangat ingin memarahimu. Namun, aku juga tak bisa sepenuhnya membencimu. Terima kasih sudah mencintaiku sedalam itu, menemani, dan juga selalu mendukungku selama ini.” “Ya, jadi inilah akhirnya. Semoga bahagia.” Randi mengalihkan pandangan, helaan napasnya sangat berat. Mata pria itu dipenuhi oleh embun yang
Makan malam terasa lebih hangat dari biasanya. Kehadiran Eyang Wiryo dan Candra di meja makan memberi warna tersendiri. Diana juga lebih banyak tersenyum karena ditemani oleh Eyang Wiryo. Hanya saja, Candra terlihat berbeda. Dia seolah larut dalam pikirannya sendiri. Tawa dan canda yang dilontarkan, tak sejalan dengan ekspresi wajahnya. “Kamu sakit?” tanya Reza. Setelah beberapa waktu, akhirnya dia menyadari jika ada yang salah dengan saudaranya. Candra terkesiap, dia terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab. “A-aku, hanya sedikit lelah.” “Kalau begitu istirahatlah. Namun, habiskan dulu makananmu, biar ada tenaga.” Candra mengangguk, dia kembali pada piring miliknya dan menyendok pelan makanan di sana. Memaksakan diri untuk segera menghabiskan menu di sana dan pergi. Setidaknya, dia berpikir sendiri mungkin akan lebih baik untuknya saat ini. Selesai makan malam, Candra pamit ke kamar untuk istirahat. Sementara yang lain, kecuali Lisa, berkumpul di ruang keluarga sambil berbagi