Jeremy berdiri tertegun di luar untuk waktu yang lama. Akhirnya, dia berkata pelan, "Bawa Harry ke sini.""Baik," jawab Andy dengan mata yang juga penuh kesedihan.Ah .... Anak sekecil itu, bagaimana mungkin pelaku bisa tega melakukan hal sekejam itu? Betapa kejamnya pelaku ini! Jika benar ini perbuatan Yoana, Andy merasa Yoana benar-benar tidak pantas hidup.....Harry segera dibawa ke sisi Jeremy. Melihat suasana yang begitu muram, Harry bisa merasakan bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi.Tanpa disadari, matanya memerah dan air matanya jatuh.Jeremy menoleh menatap Harry. Dia terdiam sejenak sebelum berbicara perlahan, "Pergilah temani Mama dan kakakmu, ya."Harry mengatupkan bibirnya erat-erat. Air mata dan ingusnya bercampur, dan setelah beberapa lama, dia bertanya dengan suara bergetar, "Kakak ... dia akan baik-baik saja, 'kan?"Mendengar pertanyaan itu, tubuh Jeremy bergetar hebat dan punggungnya semakin kaku. Dengan suara yang nyaris tak terdengar, dia menjawab, "Dia akan bai
Yoana menarik napas dalam-dalam karena rasa sakit yang menusuk. Alicia segera mendekat untuk membantunya, "Aduh, sayangku, pelan-pelan, sakit sekali, ya?""Mm ...." Suara Yoana terdengar seperti hampir menangis. Merasakan rasa sakit di tubuhnya, kebenciannya terhadap Eleanor semakin membara. Dia ingin sekali menghancurkan Eleanor hingga tak bersisa.Alicia menepuk punggung Yoana untuk menenangkannya. "Bersabarlah sedikit lagi. Nanti aku dan ayahmu pasti akan menangkap perempuan itu untuk melampiaskan amarahmu."Yoana menahan amarah di dalam hatinya dan mengangguk dengan ekspresi penuh dendam. "Ibu, kita nggak boleh melepaskannya.""Ibu tahu, Sayang. Ibu tahu.""Soal Remy yang akan melakukan tes DNA sama anak itu, kalian harus mengawasi dengan sangat ketat. Nggak boleh ada kesalahan sekecil apa pun dalam hal ini." Yoana menggenggam tangan Alicia dan terus-menerus mengingatkannya."Baik, Ibu tentu tahu. Aku dan ayahmu sudah sangat berhati-hati. Kamu nggak perlu khawatir."Alicia memahami
Eleanor panik. Dia berusaha sekuat tenaga mengejar, tetapi langkahnya tidak cukup cepat untuk menyusul Daniel yang semakin menjauh. "Daniel, jangan pergi! Daniel, kembali! Daniel ...."Daniel menoleh, tersenyum padanya, lalu berbalik dan pergi. Eleanor mencoba mengejarnya, tetapi dia terjatuh dengan keras.Ketika dia mengangkat kepalanya lagi, Daniel sudah menghilang. Sebagai gantinya, Harry muncul di hadapannya. Namun perlahan-lahan, Harry juga mulai menghilang.Air mata menggenang di mata Eleanor. Dengan panik, dia berteriak, "Jangan! Jangan pergi! Daniel! Harry!"Eleanor bangkit dari tanah, tetapi kabut putih tiba-tiba naik dan menutupi penglihatannya. Dia mencari dengan cemas, tetapi dia tidak dapat menemukan satu pun anak-anaknya."Daniel! Harry!" Eleanor tiba-tiba terbangun dari tempat tidurnya. Dia duduk dengan cepat. Tubuhnya penuh keringat dingin, napasnya terengah-engah, dan matanya penuh dengan kepanikan.Segala sesuatu dalam mimpinya terasa begitu nyata, begitu nyata hingga
"Hah, tunggu saja," kata Glenn sambil menatap dengan sorot mata yang gelap, lalu berjalan ke jendela dan menelepon seseorang.Vivi memandangnya dengan bingung, tidak tahu apa yang dia rencanakan.Setengah jam kemudian.Entah dari mana, mereka berhasil mendapatkan dua jas putih seperti dokter. Dengan masing-masing membawa dua ember putih, mereka tiba di depan kamar Yoana.Vivi memandang benda yang dipegangnya, lalu menoleh ke arah Glenn yang kini telah menyamar dengan sangat rapi. "Kamu yakin nggak akan ada yang mengenalimu?""Apa yang perlu ditakutkan? Aku lagi menjalankan misi kebenaran."Vivi mengangkat ibu jarinya dengan kagum. "Hanya karena kamu bilang itu misi kebenaran, aku resmi jadi temanmu."Glenn menyeringai, "Sama-sama.""Ayo."Mereka berdua mendorong pintu kamar. Yoana sedang bersandar di tempat tidur sambil bermain ponsel. Wajahnya sudah terlihat jauh lebih baik. Luka-lukanya memang menyakitkan, tetapi tidak sampai mengancam nyawa.Keluarga Pratama yang kaya telah menyedia
Para pelayan yang sebelumnya ketakutan oleh kejadian tadi hanya bisa bersembunyi di sudut ruangan. Ketika mereka sadar dan ingin mengejar, semuanya sudah terlambat.Pintu kamar Yoana dipenuhi orang-orang yang berkumpul untuk menyaksikan pemandangan kacau dan agak menyeramkan di dalam. Banyak di antara mereka mengeluarkan ponsel dan mulai merekam."Astaga, apa yang dilakukan dua orang ini sampai dibalas seperti ini?""Iya, pasti mereka melakukan sesuatu yang buruk. Kalau nggak, siapa yang tega membalas dendam sekejam ini?"Tiara keluar dari kamar dengan penampilan yang sangat berantakan. Orang-orang di sekitar langsung menutup hidung dan menjauh darinya."Astaga, baunya menyengat sekali! Cepat masuk lagi, jangan keluar!""Benar, jangan mengganggu orang lain dengan bau ini."Komentar orang-orang membuat Tiara merasa sangat malu. Dengan wajah merah padam, dia kembali ke kamar dengan penuh rasa malu dan amarah.Namun, kamar itu sendiri sudah dipenuhi bau amis darah yang sangat menyengat, m
Eleanor berpikir sejenak dan kira-kira bisa menebak siapa yang melakukannya. Jika memang demikian, anggap saja itu ulahnya, dia tidak peduli!Jeremy perlahan mengalihkan pandangannya. "Aku nggak bilang begitu.""Kalau kamu berpikir begitu, itu juga nggak salah," Eleanor mengangguk, mengakui tanpa ragu-ragu.Saat itu, dokter keluar dari ruang perawatan intensif. Eleanor segera berdiri. Dokter mengangguk, memberi isyarat bahwa dia sekarang bisa masuk untuk menemani Daniel.Eleanor tidak mengatakan apa-apa lagi pada Jeremy dan langsung masuk ke kamar.Daniel masih seperti kemarin, mengenakan masker oksigen. Wajah kecilnya pucat, matanya tertutup rapat, seolah-olah tidak ada tanda-tanda kehidupan.Melihat kondisi Daniel seperti itu, Eleanor merasa seluruh kekuatannya lenyap. Dia menarik napas dalam beberapa kali, tetapi rasa sesak di dadanya tidak kunjung hilang.Seperti biasa, Eleanor duduk di samping Daniel dan menggenggam tangannya yang kecil dengan hati-hati. Dia mulai bercerita dengan
"Maaf, Pak Patrick. Bos kami sudah memberi perintah untuk menjaga tempat ini, kami nggak bisa membiarkan Anda masuk," jawab salah satu pengawal dengan nada tegas."Kalau begitu, sampaikan pada Jeremy bahwa aku yang memerintah. Suruh dia datang menemuiku kalau berani. Aku jamin kalian nggak akan mendapat masalah," kata Patrick dengan nada sombong.Wajah pengawal itu menunjukkan sedikit keengganan. "Pak Patrick, bukankah Anda hanya berani datang karena tahu Bos kami lagi nggak di sini? Kalau Pak Jeremy marah, Anda sendiri juga nggak akan aman, apalagi menjamin keselamatan kami."Mereka tidak datang di saat Jeremy berada di sana, tapi langsung muncul begitu dia pergi. Jelas sekali mereka takut pada Jeremy. Pengawal-pengawal itu bukan orang bodoh dan mereka tidak akan termakan oleh ancaman kosong seperti itu.Patrick semakin marah melihat mereka tetap keras kepala. "Kalian mau minggir atau nggak? Kalau nggak, jangan salahkan kami kalau harus bertindak kasar!""Silakan saja, tapi hari ini A
Dua pengawal Keluarga Adrian segera maju untuk melindungi Eleanor. Namun tiba-tiba, terdengar suara teguran keras dari belakang. "Aku mau lihat siapa yang berani!"Semua orang menoleh ke arah suara itu dan terlihat Bella sedang duduk di kursi roda dengan didorong oleh seorang pelayan.Karena merasa bersalah, Bella tidak datang menjenguk Daniel selama beberapa hari terakhir. Namun hari ini, dia memutuskan untuk datang dan langsung melihat keributan ini."Apa-apaan ini? Ini tempat apa? Rumah sakit! Siapa yang suruh kalian buat keributan di sini?" Bella menatap tajam ke arah kerumunan dan suaranya penuh kemarahan.Sungguh tidak tahu aturan.Tidak ada yang memikirkan tempat ini adalah rumah sakit. Anak di dalam sedang berjuang hidup, tetapi mereka masih punya keberanian untuk membuat keributan di depan kamar.Eleanor akhirnya melepaskan tangan Alicia yang hampir pingsan karena rasa sakit. Alicia terhuyung mundur beberapa langkah sebelum akhirnya ditahan oleh Patrick.Dengan nada penuh amar
"Jadi, kamu setuju atau nggak?" tanya Eleanor sambil menatap Jeremy dengan cemas. Dia berharap Jeremy akan setuju karena ini adalah solusi terbaik untuk semua orang."Kalau aku setuju, jadi apa? Jangan lupa, masih ada Kakek," kata Jeremy."Ini hal yang harus kamu pertimbangkan," balas Eleanor."Ya," jawab Jeremy sambil menganggukkan kepala."Kalau begitu, aku nggak mau diobati lagi. Tawaranmu nggak berlaku," lanjut Jeremy dengan nada yang tenang dan lembut. Dia menatap Eleanor dengan tajam dan bahkan terlihat tak berdaya."Jeremy, kamu ... sungguh luar biasa," kata Eleanor sambil tersenyum dan menggertakkan giginya karena kesal. Tidak mau diobati? Memang hanya Jeremy yang bisa melakukan hal seperti ini.Jeremy tersenyum dengan lembut dan mengelus kepala Eleanor. Meskipun akan dianggap tidak tahu malu, pokoknya dia tidak akan membiarkan Eleanor pergi lagi.Eleanor yang merasa kesal langsung mengangkat tangannya dan menepis tangan Jeremy. "Jangan sentuh aku lagi, nanti aku jadi botak."D
"Aku tentu saja nggak bermaksud membawa anak-anak pergi dari ibu kota. Aku hanya ingin tinggal bersama mereka, kamu bisa menjenguk mereka kapan pun," kata Eleanor. Dia tahu dia jelas tidak mungkin bisa membawa anak-anak itu pergi.Jeremy tersenyum pahit, lalu menatap Eleanor dan bertanya dengan tak berdaya, "Selain anak-anak, apa kita nggak ada hal lain lagi yang bisa dibicarakan?"Eleanor menggigit bibirnya, lalu menghela napas. "Nggak ada."Jeremy mengepalkan tangannya sambil menatap wajah wanita di depannya yang cantik dan dingin. Dia mengulurkan tangannya untuk menyentuh kening Eleanor dan mengelusnya dengan lembut. "Eleanor, apa yang harus kulakukan agar kamu memberiku kesempatan sekali lagi?"Mendengar perkataan itu, tubuh Eleanor bergetar sejenak. Jeremy tidak pernah memanggil namanya dengan begitu lembut selama delapan tahun ini, sehingga dia menundukkan kepalanya. Panggilan yang begitu mesra terdengar sangat memikat saat diucapkan dengan suara Jeremy yang serak dan dahulu dia
Kehangatan tubuh dan aroma yang familier ....Ekspresi Eleanor pun berubah. Saat bersandar di dada Jeremy dan mendengar detak jantung Jeremy yang kuat, jantungnya juga tanpa sadar makin berdebar."Eleanor, aku akhirnya menemukanmu," kata Jeremy sambil menghela napas. Lengannya yang kuat juga memeluk Eleanor dengan makin erat dan lembut. Berbagai emosi yang sudah lama dipendamnya pun meledak dan membuatnya memeluk Eleanor dengan makin erat lagi, seolah-olah tidak ingin melepaskan Eleanor lagi.Eleanor mengepal tangannya yang disembunyikan di saku mantelnya karena merasa bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.Melihat keduanya berpelukan dengan erat, suasana hati Vivi menjadi rumit. Jeremy memang sudah banyak berubah dibandingkan dahulu, tetapi apakah luka yang pernah diberikan Jeremy pada Eleanor bisa dimaafkan begitu saja? Dia hanya bisa menghela napas karena dia tidak tahu dan tidak berhak memutuskan hal ini. Dia mengajak Daniel dan Harry untuk keluar dari ruangan dan menutup pintun
"Remy, kamu mau pergi ke mana lagi?" tanya Bella dengan segera."Menjemput anak-anak," kata Jeremy, lalu langsung pergi.Melihat Jeremy yang pergi dengan terburu-buru, Bella hanya menggelengkan kepala dengan tak berdaya. Ekspresi Jeremy sama sekali bukan seperti orang yang pergi menjemput anak-anak.Pada saat itu, Simon juga perlahan-lahan turun dari lantai atas. Melihat Jeremy yang baru saja kembali kini sudah pergi lagi, dia hanya bisa mendengus. "Nggak ada aturan. Dia mau pergi ke mana lagi?"Bella hanya berkata, "Dia pergi menjemput anak-anak. Ayah, kita makan saja dulu, nggak perlu menunggu mereka."Simon pun tidak mengatakan apa-apa lagi.Jeremy menyuruh sopir untuk segera mengemudikan mobilnya menuju restoran sambil menggenggam ponselnya dengan erat karena dia tiba-tiba merasa ada yang aneh. Dia berpikir apakah mungkin Eleanor sudah kembali? Begitu pemikiran itu muncul, harapannya makin membesar dan jantungnya makin berdebar. Dia sangat penasaran apakah semua yang dipikirkannya
Sasha terkejut melihat ekspresi Jeremy, tetapi tubuhnya secara refleks mendekat saat melihat wajah Jeremy yang tampan dan menawan. "Pak Jeremy, ada apa denganmu? Apa kamu nggak enak badan? Apa kamu perlu bantuanku ....""Menjauh dariku," kata Jeremy dengan nada yang muram serta dingin dan tatapannya tajam seolah-olah hendak membunuh seseorang.Tatapan Jeremy membuat Sasha menghentikan langkahnya dan berdiri di tempat dengan ekspresi bingung. Saat Jeremy mengambil pakaian dan langsung pergi, dia sempat mengejar Jeremy beberapa langkah. Namun, melihat Jeremy yang begitu marah, dia kembali berhenti dan tidak berani mendekat lagi. Hanya saja, dia tidak mengerti apa yang telah dilakukannya sampai Jeremy begitu marah.Jeremy segera pergi dari sana.Melihat Jeremy yang keluar dengan begitu cepat, pemilik klub melihat jam tangannya. Menyadari Sasha masuk hanya puluhan menit saja, dia berpikir Jeremy tidak begitu hebat dan agak lemah. Namun, dia tentu saja hanya berani berpikir begitu dalam hat
Setelah Eleanor keluar, pemilik kelab yang mengetahui kedatangan Jeremy pun datang dan menyiapkan beberapa botol anggur terbaik. Bahkan, dia memilihkan wanita tercantik untuk menemani Jeremy.Wanita itu bernama Sasha. Di depan pintu, pemilik kelab berpesan kepada Sasha untuk melayani Jeremy sebaik mungkin. Kemudian, dia membawanya masuk.Begitu masuk, Sasha langsung terpana melihat pria yang duduk di sofa. Pandangannya tidak bisa dialihkan lagi.Pria ini sangat tampan. Apalagi, dia adalah Jeremy, pewaris Keluarga Adrian, keluarga paling berpengaruh di ibu kota. Dia adalah sosok yang luar biasa.Dengan penuh percaya diri, Sasha melangkah mendekat, menonjolkan tubuhnya yang selama ini selalu dibanggakan. Tanpa ragu, dia bersandar pada Jeremy dan mengeluarkan suara manja, "Pak Jeremy ...."Kepala Jeremy berdenyut sakit. Saat aroma parfum yang menyengat mendekat, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak mengernyit.Sasha hanya menatap wajah mabuk itu, sama sekali tidak menyadari betapa terg
Eleanor menemukan ruang VIP tempat Jeremy berada. Dia sempat ragu sejenak di luar sebelum akhirnya mendorong pintu dan masuk.Ruangan itu sunyi dan rapi, tidak seperti yang dia bayangkan. Tidak ada kebisingan atau kekacauan. Matanya menyapu seluruh ruangan sebelum akhirnya tertuju pada sosok pria yang terbaring di sofa.Jeremy bersandar di sofa dengan mata terpejam rapat. Di meja depan, tampak botol-botol kosong berserakan. Bisa dilihat pria ini minum sangat banyak.Jantung Eleanor berdetak semakin cepat saat dia melangkah mendekat. Kakinya tanpa sengaja menendang salah satu botol kosong di lantai, menimbulkan suara kecil yang membuat hatinya menegang. Namun, pria itu tetap tidak bereaksi.Eleanor memperlambat langkahnya, lalu berdiri di samping Jeremy. Dia mengulurkan tangan dan menyentuh lengannya dengan lembut, lalu memanggil dengan pelan, "Jeremy?"Tiba-tiba, pria yang memejamkan mata itu langsung mengangkat tangannya dan mencengkeram pergelangan tangan Eleanor.Matanya yang dingin
"Masuklah." Vivi membuka pintu kursi belakang, memberi isyarat kepada kedua anak kecil untuk masuk.Tiba-tiba, kedua anak itu langsung membeku. Mata besar mereka menatap orang di dalam mobil dengan tidak percaya. Mereka terpaku di tempat, tidak bisa bergerak sedikit pun.Ketika melihat kedua anak itu menatapnya dengan penuh keterkejutan, mata Eleanor langsung memerah. Tanpa ragu, dia turun dari mobil dan langsung memeluk mereka berdua."Anak-anakku, Mama sudah kembali."Kedua anak itu tetap tidak bergerak. Sampai suara lembut Eleanor terdengar di telinga mereka, hingga kehangatan pelukannya menyelimuti mereka, barulah mereka sadar ....Dalam sekejap, mata mereka yang basah. Air mata mulai berlinang di wajah mereka."Mama?" panggil Harry dengan ragu."Mama di sini. Maafkan Mama, Daniel, Harry. Kalian sampai menunggu begitu lama. Mama sudah kembali." Suara Eleanor bergetar saat dia memeluk mereka erat-erat.Akhirnya, kedua anak itu menyadari bahwa ini bukan mimpi. Ibu mereka benar-benar
Keesokan harinya, di bandara.Eleanor tetap memutuskan untuk kembali. Dia tidak bisa begitu saja meninggalkan kedua anaknya begitu saja.Begitu turun dari pesawat, Eleanor sekali lagi menginjakkan kaki di tempat ini. Perasaannya agak sedih.Pada akhirnya, dia tetap kembali.Sebuah Audi putih berhenti di depan Eleanor. Seorang wanita bergegas turun, menatapnya dengan mata membelalak. Seketika, matanya dipenuhi air mata."Eleanor ...." Vivi menatap Eleanor yang berdiri hidup-hidup di depannya, tidak tahu dirinya harus menangis atau tertawa. "Eleanor, ini ... benaran kamu?"Eleanor tersenyum lembut. "Ini aku."Air mata Vivi langsung mengalir deras. Dia berlari dan langsung memeluk Eleanor erat-erat."Eleanor! Kamu ... kamu benaran masih hidup .... Huhu ... kemarin saat kamu meneleponku, kupikir aku sedang mimpi .... Kamu menghilang begitu lama, aku ketakutan setengah mati ...."Vivi menangis dengan emosinal, tubuhnya bahkan gemetar saat memeluk Eleanor. Eleanor membiarkan dirinya dipeluk.