Ana terdiam setelah mendengar jawaban sang putra. Sorot kosongnya masih menatap buah apel di tangannya. Entah kenapa, dia merasa ada yang aneh dengan Arka.
"Sejak pertama kali kamu meminta ijin pada mama dan papa untuk menikahi Liora secara tiba-tiba, jujur mama masih bertanya-tanya ... benarkah secepat itu kamu melupakan Seyla?"Ana diam sejenak, pikirannya kembali berputar pada waktu beberapa bulan lalu dimana Arka meminta restu untuk menikah dengan perempuan yang sebelumnya belum pernah dikenalkan pada Ana atau pun Raditiya. Tentu itu menjadi kabar yang sangat mengejutkan bagi Ana."Tapi setelah mama pikir-pikir lagi, sepertinya keputusanmu untuk menikahi Liora adalah pilihan yang tepat. Daripada mama harus melihat anak mama sedih menunggu tunangannya koma."Arka diam, saat mamanya mengukir senyum tulus ke arahnya. Arka tak tau apa maksud Ana mengingatkan semua itu padanya, yang jelas itu justru membuat hati Arka sakit dan ingin segera menemu"Sudah merasa lebih baik?" tanya Ana masih khawatir setelah Liora mengatakan merasa sakit di bagian perutnya. Liora tersenyum tipis, lalu menggeleng menandakan bahwa dirinya sekarang jauh lebih baik. Kini dia sudah duduk di sofa, di sampingnya ada Arka yang berhasil dia hentikan untuk tidak pergi. Sebenarnya perut Liora tidak terasa sakit, dia sengaja mengatakan semua itu agar sang suami kasihan dan tak jadi pergi ke rumah sakit. Jujur, Liora sangat terkejut setelah mendengar pembicaraan Ana tadi bahwa Seyla kini sudah sadar dari koma. Dan sekarang, walau Arka sudah berjanji untuk terus berada di sampingnya, Liora masih saja khawatir jika laki-laki itu akan kembali pada Seyla. Tapi pembicaraan mama mertuanya sedikit membuatnya merasa tenang. Setidaknya Liora tau jika Ana dan Raditiya berada di pihaknya. "Maaf Liora, mama tidak pernah bicara apapun padamu tentang Seyla. Mama hanya ingin kamu tau semuanya secara langsung dari Arka."
Terdengar suara pintu terbuka. Kedatangan seorang pria paruh baya mengagetkan perempuan yang sejak tadi duduk di atas brangkar pasien.Bibir perempuan itu nyaris tersenyum senang saat dia pikir suara pintu yang dia dengar barusan adalah tanda kedatangan seseorang yang sejak tadi dia tunggu. Tapi dugaannya salah. "Seyla," panggil pria paruh baya yang baru datang tersebut, mulai menghampirinya.Seyla berusaha mengukir senyum manis, menyambut kedatangan pria yang sangat dia kenal tersebut dengan hangat."Om Raditiya.""Om mendengar kabar jika kamu sudah bangun. Om sagat senang mendengarnya, maka dari itu om segera ke sini untuk melihat keadaanmu. Bagaimana dengan kondisimu saat ini?""Seyla sudah merasa lebih baik. Sebenarnya Seyla sangat ingin segera keluar dari rumah sakit, tapi dokter belum mengijinkan. Karena koma terlalu lama, dokter ingin mengawasi kondisi tubuh Seyla untuk beberapa Minggu ke depan."Raditiya mengang
Orang tua mana yang mau melihat anaknya terus sedih, menunggu tanpa kepastian? Jujur, awalnya Ana dan Raditiya sangat mendukung hubungan Arka dan Seyla. Mereka sudah bertunangan dan juga sudah menentukan tanggal pernikahan.Namun sayang, takdir sepertinya belum ikut merestui. Seyla mengalami kecelakaan bersama kedua orang tuanya, dan koma selama satu tahun.Hal yang Ana khawatirkan sebagai seorang ibu, dia tak mau melihat putranya terus menunggu tanpa tau pasti apakah perempuan yang ditunggu akan hidup atau mati. Hingga suatu hari Arka tiba-tiba meminta ijin untuk menikahi perempuan lain, dan meninggalkan Seyla. Ana sangat senang, walau terdengar sangat mendadak tapi Ana dan Raditiya sangat mendukung keputusan sang putra. Ana dan Raditiya tidak pernah tau, apa yang terjadi pada Arka dan Liora hingga membuat keduanya menikah secara tiba-tiba. Ana dan Raditiya tidak pernah tau jika putranya menikahi perempuan lain, di saat hatinya masih
Seharian berjalan ke mall, kafe, dan tempat lainnya hingga membuat Arka dan Liora sampai rumah saat hari sudah gelap.Ana sudah dijemput oleh supir pribadinya, jadi Arka tak perlu mengantar mamanya untuk pulang. "Kamu pasti sangat kelelahan kan?" tanya Arka tiba-tiba saat melihat istrinya baru saja menyandarkan tubuhnya ke sofa ruang tengah. Dia memutuskan untuk duduk di samping Liora, sambil menatap wajah lelah perempuan itu sesaat. "Jika kamu lelah, kamu seharusnya jujur saja pada mama sejak tadi. Jadi kamu tidak perlu memaksakan diri untuk mengikuti apa keinginan mama."Liora menggeleng tak membenarkan apa yang Arka katakan. Walau benar saat ini dia sangat kelelahan karena menghabiskan waktu seharian di luar rumah, tapi Liora sangat senang dengan hal itu. "Aku tidak pernah menghabiskan banyak waktu dengan mama. Dan, aku sangat menyukainya. Jadi aku tidak ingin menolak saat mama mengajakku jalan-jalan seharian.""Tapi kondisimu saat ini -"
Pukul enam pagi, Liora baru terbangun dari tidurnya. Dia menggeliat sesaat, merenggangkan otot tangannya yang terasa kaku hingga mendadak perutnya kini menjadi kram. Liora meringis tertahan.Tangannya mulai meraba ke samping kirinya, berniat untuk memberitahu sang suami. Namun sayangnya Liora tak mendapati keberadaan seseorang di sana. Dia mengernyit, lalu membuka matanya lebar-lebar untuk melihat ke sekitarnya. Ternyata benar sang suami sudah tak ada di sampingnya. Pasti laki-laki itu bangun lebih pagi seperti biasanya.Liora mengusap perutnya dengan pelan, berharap kram itu segera pudar. Dia bahkan berusaha menahan nafas sesaat, agar kram itu tak terasa semakin parah. Hingga perlahan, rasa kram itu perlahan hilang.Mendadak suara pintu kamar terbuka telah mengalihkan perhatian Liora. Seseorang yang baru saja Liora cari akhirnya datang menghampiri. Membuat Liora tersenyum menyambutnya."Kamu sudah bangun?" tanya Arka memastikan. Dia kem
Seorang perempuan yang masih memakai selang infus di tangannya kini duduk di atas kasur pasien. Tak ada hal lain yang bisa dia lakukan selain menatap pemandangan di luar melalui jendela kaca yang terpasang di samping tempat tidurnya. Karena dia pasien VIP, tentu ruang rawatnya juga terlihat sangat nyaman berbeda dengan ruang rawat pada umumnya. Namun tidak ada hal yang menyenangkan baginya berada di ruangan itu sendirian, tanpa ditemani siapapun. Tentu dia merasa sangat kesepian. Bahkan, dia sangat merindukan seseorang yang sejak kemarin ingin dia temui. Suara pintu terbuka sedikitpun tak berhasil mengusik lamunannya. Perempuan itu terus menatap pemandangan di luar sana, tanpa mempedulikan siapa yang masuk ke ruang rawatnya. Jika bukan dokter, mungkin suster yang ingin mengecek keadaanya. Itu yang dia pikirkan saat mendengar suara pintu ruangan terbuka. "Kamu sepertinya sangat ingin segera keluar dari tempat ini."Mata perempuan itu m
Mata Seyla melebar tak percaya. Hatinya semakin teriris perih setelah mendengar pernyataan Arka barusan. Dia menggeleng, berusaha untuk tak mempercayai. Tidak mungkin Arka akan Setega itu padanya. "Kita sudah bertunangan Ka. Kamu masih mencintaiku kan? Aku yakin, selama aku koma pasti kamu menjaga hatimu dan terus menungguku. Arka, apa yang kamu katakan barusan tidak benar kan?"Arka menghela nafas berat. Lalu menjawab, "aku sudah tidak pantas lagi untukmu. Kamu berhak mendapatkan laki-laki yang lebih baik selain aku. Selama kamu koma, itu mungkin adalah sebuah ujian. Dan aku telah gagal melewati ujian itu. Aku memilih untuk membuka hati pada perempuan lain, tanpa memikirkanmu. Dan sekarang, kamu sudah bangun dan aku tidak bisa kembali padamu."Seyla masih menggeleng. Tak membenarkan apa yang Arka katakan. Dia masih menginginkan Arka. "Arka, kamu tau apa yang membuatku bisa sekuat ini sampai sekarang? Kamu tau apa yang membuatku bisa bangun dari
Langkah Liora terhenti tepat saat dirinya sampai di depan sebuah ruang rawat VIP. Ervan yang sejak tadi berjalan mengikuti perempuan itu pun juga ikut terhenti."Kau tunggu di sini, jangan menguping pembicaraanku dengan perempuan itu. Dan ingat mulai sekarang kau sudah berada di pihakku, jadi jangan katakan apapun tentangku pada Arka tanpa seijinku!" ucap Liora penuh peringatan. Ervan mengangguk sebagai jawaban menyetujui apa yang Liora katakan. Dia tak mengikuti lagi saat Liora mulai masuk ke dalam ruangan, dan memilih berdiri di depan ruangan itu menunggu sang bos.Perempuan yang masih duduk di kasur pasien baru saja berhasil menghentikan tangisannya. Baru beberapa detik dia kembali menikmati pemandangan melalui jendela kaca ruangan itu, kini ketenangannya kembali diusik oleh suara pintu masuk yang terbuka. Dia menoleh, dan berharap itu adalah laki-laki yang sama yang menghampirinya beberapa menit lalu.Tapi nyatanya bukan. Dia justru mengernyi
Pagi harinya, Liora dan Arka langsung memutuskan untuk segera pulang ke rumah. Karena mereka hanya membawa satu baju ganti, jadi mereka tak mungkin akan bermain-main di pantai lebih dulu sebelum pulang. Sesampai di rumah, mereka langsung membersihkan diri masing-masing. Mereka juga sempat membeli makanan di luar untuk di bawa ke rumah. Karena perjalanan yang cukup jauh, tentu Liora juga pasti lelah, Arka tak mungkin meminta sang istri untuk menyiapkan sarapan untuk mereka. Kini mereka duduk di ruang makan, menikmati sarapan yang sudah siap di meja makan. "Minggu depan Kala sudah mulai masuk sekolah kan?" tanya Liora memastikan. Kala mengangguk membenarkan. "Iya ma, sekarang Kala jadi tidak sabar untuk masuk sekolah. Saat masuk sekolah nanti, Kala akan minta ibu guru untuk memanggil nama Kala lebih dulu, agar Kala bisa menceritakan kisah liburan Kala bersama mama papa lebih dulu ke teman-teman."
"Wahh cantiknya!" seru Kala saat melihat hamparan bintang di langit. Saat ini dia duduk di depan tenda, beralaskan tikar dan didampingi mama papanya di sampingnya. "Papa, ayo kita hitung bintang-bintang itu." Mendengar ucapan sang anak, Liora justru tertawa kecil. "Mana mungkin kita bisa menghitung bintang itu. Jumlahnya sangat banyak, pasti sampai berjuta-juta." "Kala suka dengan bintang-bintang itu, andai saja bisa menatapnya setiap malam. Arka menghela nafas pelan. "Sayang sekali bintang tidak muncul setiap malam. Tapi jika cuacanya bagus dan Kala ingin melihatnya lagi saat di rumah, Kala bisa keluar rumah sebelum tidur. Papa dan mama akan menemani Kala." "Benarkah?" Arka mengangguk mengiyakan, membuat anak itu bersorak riang. "Terimakasih papa." "Kamu tidak berterima kasih juga pada mama? Mama juga akan menemanimu melihat bintang," ucap Liora memasang raut cemburu.
Cukup lama setelah Arka dan Liora menemani Kala bermain membuat istana pasir, menikmati makan siang bersama, bercerita, bercanda, berfoto dan banyak hal yang mereka lalui hingga akhirnya matahari mulai tenggelam di ufuk barat.Liora dan Arka berdiri membelakangi kamera yang masih menyala, mereka menikmati senja di pantai itu sambil bergandengan tangan. Sesekali menertawakan Kala yang tengah berlari bersama anak lainnya mengejar burung camar yang terbang di langit-langit senja. "Kala itu ... mirip denganmu ya."Liora menoleh, menatap sang suami dengan sorot tak setuju. "Tapi cara berpikirnya mirip denganmu, lihat saja jika dia memutuskan sesuatu ... sangat sama sepertimu."Arka terkekeh pelan. Mungkin yang dikatakan Liora memang benar. "Tapi dia cantik, sepertiku kan?" Liora tersenyum bangga. Dia melepaskan genggamannya lalu melipat tangannya ke depan dada. "Jika kamu tidak menikah denganku, anakmu mungkin tidak akan secantik Kala."
Cukup lama Liora dan Arka berjalan di tepi pantai bergandengan berdua saja. Mereka benar-benar menikmati waktu berdua, mengingatkan mereka kembali dengan masa-masa di mana Liora masih mengejar cinta Arka.Tapi sekarang, Liora sudah tak mengejarnya lagi. Dia sudah berhasil memiliki Arka. "Liora."Liora ikut menghentikan langkahnya saat Arka berhenti. Laki-laki itu kini menatapnya dengan sorot serius, entah kenapa tatapan itu justru membuat Liora gugup. Sudah sangat lama dia tak merasa seperti ini.Arka meraih satu tangan istrinya lagi, menggenggamnya erat. "Terimakasih telah menghadirkan kebahagiaan ini."Liora tersenyum. "Seharusnya aku yang harus mengatakan itu. Terimakasih sayang.""Dan ada satu hal yang ingin kembali ku katakan padamu."Liora tak menjawab, dia masih menunggu dengan perasaan yang begitu penasaran. Apa yang ingin dikatakan Arka?"Aku sungguh mencintaimu."Liora tertegun. Kalimat itu .
Pukul delapan pagi, mobil yang Arka kemudikan akhirnya sampai juga di tempat tujuan mereka. Baru keluar dari pantai saja Kala begitu tampak antusias melihat pemandangan yang indah. Ini pertama kalinya dia diajak ke sana. Kala jadi tak sabar untuk bermain pasir dan air di pinggir pantai itu. Dia juga melihat banyak anak kecil seumurannya bermain di sana. "Mama papa ayo!"Arka mengambil beberapa peralatan di bagasi mobil, seperti kursi lipat, tripod, kamera, makanan ringan dan minuman. Tentu Arka tak mau momen spesial ini tak diabadikan begitu saja. "Ayo," ajak Liora. Dia mengulurkan tangannya untuk menyuntik sang anak. Sedangkan Arka yang sibuk membawa barang-barang, mulai mengikuti langkah mereka dari belakang. Sampai di tepi pantai, Arka langsung mencari tempat yang pas untuk menyusun tempat duduk yang akan menjadi tempat istirahat mereka nantinya saat lelah bermain. Kala yang begitu antusias mulai melepas alas ka
Arka meletakkan secangkir kopi susu di atas meja. Dia lalu duduk di samping sahabatnya yang sejak tadi sudah menunggunya di kursi teras rumah."Istri dan anakmu sudah tidur?" tanya Ervan memastikan. Arka menjawabnya dengan anggukan. Jika tidak mengingat ucapan Ervan di wahana bermain tadi, Arka juga tidak mau meminta Ervan untuk datang ke rumahnya. "Besok aku dan Liora akan mengajak Kala ke pantai, jadi mungkin hanya malam ini ada waktu untuk mengobrol bersamamu. Takutnya apa yang ingin kau bicarakan itu sangat penting, jadi aku tidak mau menundanya lama."Ervan mengangguk paham. Namun sebelum mengatakan inti pembicaraan mereka, Ervan justru tertawa pelan. "Apa kau tidak mau berterimakasih padaku? Jika bukan karena caraku untuk mengajak Kala ke wahana bermain tadi, mungkin Liora tidak akan bersikap seperti ini, mungkin istrimu masih belum sadar jika anaknya begitu sangat penting, jadi bukankah karena caraku ini Liora jadi sadar?"Arka m
Terlalu semangat dan menikmati liburan hari ini, Kala kelelahan. Kini sudah menunjukan pukul 7 malam, mereka seharusnya sudah sampai ke rumah, tapi jalanan malam itu mendadak macet. Tak ada cara lain, Arka harus dengan sabar mengikuti antrian panjang di jalanan yang sudah mulai gelap itu. Jarak rumahnya dari tempat wahana bermain tadi juga sangat jauh, memerlukan waktu hampir dua jam untuk ke sana. Tapi Arka tak mengeluh, paling tidak hari ini dia bisa melihat putrinya tersenyum bahagia.Arka menoleh, sang anak kini sudah terlelap di pangkuan Liora. Liora dengan tulus sejak tadi terus mengusap punggung sang anak, berusaha membuat kenyamanan untuk tidur anak itu walau tidur dengan posisi yang mungkin tidak biasa."Apa kamu lelah?" tanya Arka memastikan keadaan sang istri. Liora menjawab dengan gelengan, lalu mengukir senyum. "Hari ini sangat menyenangkan, aku sama sekali tidak lelah. Mungkin aku lebih menyukai hari seperti ini
Anak kecil yang sejak tadi duduk di kursi taman sambil menikmati es krim di tangannya tak sadar jika ada dua orang dewasa mendekatinya."Kala."Kala berhenti menikmati es krim tersebut, kini dia mendongak. Mata seketika berbinar senang melihat kedua orang tuanya akhirnya datang juga.Dia tidak akan marah lagi pada Liora ataupun Arka, karena sebelum Ervan meninggalkannya tadi dia sudah berjanji pada Ervan. Karena Ervan sudah membuat rasa sedih Kala hilang, maka dia harus memaafkan kedua orang tuanya, seperti yang Kala janjikan pada Ervan tadi."Mama, papa!"Liora dan Arka memutuskan untuk ikut duduk di samping anak itu. "Kala, maafin mama ya."Kala terdiam sesaat, dia tau apa maksud mamanya barusan. Dia kemudian menggeleng tak ingin menyalahkan sang mama. "Mama enggak salah, Kala yang harus minta maaf ke mama. Kala tau mama sibuk, tapi Kala selalu meminta mama untuk menemani Kala. Maafin Kala ya ma."Arka tersen
Dengan tergesa, Liora dan Arka keluar dari mobil setelah sampai di sebuah tempat yang cukup ramai. Ini pertama kalinya mereka datang ke sana. Liora melihat banyak anak kecil bersama orang tuanya bersenang-senang di tempat itu. Di sana juga banyak wahana untuk anak kecil yang terlihat begitu menyenangkan. Liora yakin Ervan tak membohongi mereka saat ini, pasti benar Kala sangat menyukai tempat itu."Arka, Liora!"Perhatian Arka dan Liora langsung tertuju ke asal suara yang memanggilnya barusan. Ervan benar ada di sana, dan mulai menghampiri mereka.Namun Liora tetap tidak bisa tenang, tidak ada Kala di dekat Ervan. Lalu di mana anaknya? Bukankah Ervan saat di telpon tadi mengatakan sedang bersama Kala?"Ervan, mana Kala?" tanya Arka yang juga sama khawatirnya dengan Liora.Ervan menghela nafas pelan. Lalu menjelaskan semuanya. "Kala hanya ingin berlibur."Arka tau, Minggu ini anaknya libur sekolah. Bahkan Minggu lalu Kal