Udara pagi terasa sejuk, apalagi daerah sekitarku masih ditumbuhi oleh rerumputan dan sawah yang mulai menguning. Aku bangun lebih awal dari biasanya. Kulihat Andin pun sudah afa di dapur. Gadis itu terlihat sedang membersihkan beras sebelum di nanak."Pagi Mbak Ann, maaf aku menanak beras tanpa ijin!" kata Andin."Tidak apa, Lanjutkan saja. Aku mau mandi dulu, jangan lupa nanti ikut aku kepasar besar kita belanja keperluan buat jualan besok!" ingatku pada Andin."Siap, Mbak. Aku lanjut masak dulu," balas AndinSetelah menyetujui apa yang diinginkan oleh Andin aku pun masuk kedalam kamar mandi, beberapa saat setelah merasa tubuh segar dan selesai mandi aku langsung membantu Andin menyiapkan sarapan."Sudah selesai, ayo kita sarapan dulu, Din!" ajakku pada AndinKami sarapan bersama dalam diam, kesibukan mengunyah makanan membuat kami mengharuskan diam dan tidak bicara agar segera selesai. Setelah selesai segera ku angkat piring dan gelas kotor ke dapur untuk kucuci, sementara Andin me
Hari terus berlalu dan aku sudah mulai membuka usaha kue basah juga bluder yang lagi rame. Awal aku berjualan masih dari pintu ke pintu, sedangkan Andin dia lebih senang berjualan di depan sekolah atau dikeramaian. Pertama jualan keliling membuatku sedikit kurang percaya diri. Bukan aku malu tetapi pada rasa, apakah kue buatanku bisa terjual? Berbagai pertanyaan sering muncul, tetapi segala usaha pasti ada hasil.Jaulanku sekarang sedikit lebih maju, karena hari ini aku sudah bisa buka lapak didepan kontrakan. O iya sekarang kontrakkan aku ada di depan gang sehingga memudahkan aku untuk berjualan. Sengaja aku pindah yang di depan gang agar jualanku lebih dikenal oleh masyarakat, dan Andin sangat antusias."Wah asyiik! Enak seperti ini, Mbak Ann," ungkap Andin tersenyum lebar."Kamh benar, semoga kita bisa buka kios khusus Bluder ya, Din!" ucapku sekaligus doa."Aamiin," balas Andin."Jika Mbak bisa buat kios, apakah kamu masih mau bantu bikin kuenya, Din?" tanyaku."Pasti mau, Mbak. D
"Ayo, Mbak!" ajak Andin dengan suara yang lantang.Aku pun berjalan mendekat pada bentor baru milik Andin. Senyumku mengembang kala melihat wajah sumringah Andin. Aku mencoba naik bentor tersebut dan Andin mulai menyalakan mesinnya."Dapat harga berapa ini bentor kamu, Din?" tanyaku."Ini agak mahal, Mbak. Karena mesin motornya dari Hond4 tipe Gr4nd," balasnya yang belum kudengar jumlah nominal harga."Iya tahu sudah bisa aku baca, yang ingin aku tahu itu total harga keselutuhan," balasku sedikit kesal.Ku dengar napas berat dibelakangku, saat ini Andin sedang mengendarai bentor sehingga napaasnya sedikit ngos-ngosan karena belum lihai mengemudikan bentor itu. Namun, aku sangat bangga dengan gadis itu. Luka yang ditorehkan oleh ayah angkatnya tidak bisa membutakan kasih sayangnya yang tulus pada semua anggota keluarga itu.Aku sangat terharu dengan perjuangan Andin, hingga tanpa terasa mereka sampai di depan rumah Andin. Dengan riang gadis itu turun dari bentor dan berlari menuju pint
Ku lihat Andin masih menundukkan kepala ketika ditatap tajam oleh Sardi, bapak angkatnya. Aku melihat interaksi yang cukup aneh yang terjadi diantara keduanya. Andin masih ingin memberi kasih sayangnya pada kedua orang tua angkatnya. Namun, yang aku lihat si Sardi sudah enggan menerima appaun dari hasil keringat Andin."Mau apa kau datang ke sini, Din?" tanya Sardi pada Andin.Aku terhenyak mendengar pertanyaan Pak Sardi. Lelaki itu sedikitpun tidak memandang wajah Andin, dia memandang tempat kosong membuat aku semakin yakin jika dia ingin membuang Andin dalam hidupnya. Satdi begitu kekeh menolak usaha Andin."Jika bentor itu kamu bawa ke sini untuk membuatku tersenyum, maka bawa lagi aku tidak butuh itu!" hentak Sardi.Kulihat air mata Andin mulai menetes perlahan, aku pun bergeser mendekat pada posisi gadis itu. Kemudian kurengkuh tubuh lelahnya. Andin bersandar pada lenganku sambil netranya memandang wajah sang bapak yang masih bergeming pada tempat lain.Aku mencari sosok adik-adi
Aku masih dirumah orang tia Andin, disana kami masih menunggu keputusan apa yang akan diambil masalah bentor. Mengingat semua usaha Andin yang berpuasa hampir enam bulan menyisihkan uang jajan dari hasil kerja denganku menjual kue. Aku pun dengan sabar memberi tahu pada Jamilah agar mau membujuk suaminya. "Mbak, bujuklah Pak Sardi untuk menerima bentor ini toh tidak ada pajak," kataku." Sebenarnya saya sangat senang jika bentor ini bisa diterima oleh Mas Sardi. Dengan bentor ini akan memudahkan dia untuk mencari nafkah," jawab Jamilah."Nah itulah tujuan dari Andin selama ini hingga bentor ini terbeli, Mbak. Untuk itu bantulah Andin!" rayuku pada Jamilah.Jamilah akhirnya beranjak meninggalkan kami, aku memandang Andin dengan senyum agar gadis itu memiliki semangat akan diterimanya bentor itu. Andin pun membalas senyumku. Gadis itu terlihat mulai bisa menerima semua ini. "Apa sebaiknya kita pulang saja ke rumah Mbak Annas saja ya? Sepertinya di sini kita kurang mendapat perlakuan b
"Amir kelas berapa?" tanyaku pada anak lelaki kecil."Kelas lima sekolah dasar, Mbak," jawabnya."Kalau Adik ini, sudah sekolahkah?" tanyaku.Dahlia anak perempuan yang aku tanya itu hanya diam. Dia terlihat murung, lalu tangannya terangkat menjelaskan dengan menggunakan tangannya. Sejenak aku termangu, bibirku susah terkatup menyaksikan gerakan tangan Dahlia. Kemudian Amir menjelaskan jika pita suara Dahlia sangat tipis sehingga susah untuk mengeluarkan suara."Apakah Dahlia ingin Sekolah?" tanyaku.Gadis kecil itu menganggukkan kepalanya tanda dia juga ingin menuntut ilmu. Dalam gerakan tangannya bisa aku artikan jika dia si Dahlia ini ingin menjadi guru tuna wicara. Gadis kecil itu begitu menikmati saat dia bercerita mengenai inginnya tersebut. Aku melihat jika Dahlia merupakan anak yang cerdas, hal itu bisa aku lihat dari cara dia menjelaskan semua.Sementara Amir menggenggam jemari tangan mungil Dahlia. Aku ikut terharu dengan kerukunan kedua anak kecil itu. Andin yang melihat ked
Waktu terus berlalu, usaha kue yang aku jalankan semakin berkembang. Kehidupan ekonomiku juga mulai merangkak naik, semua hal itu juga membawa kebaikan pada ekonomi keluarga Andin. Sekarang keluarga Sardi menjadi terangkat hal ini membuat Andin semakin giat membantuku dalam bisnis kue yang sudah semakin maju.Sekarang kios kue yang aku miliki sudah memiliki cabang, dengan adanya cabang itu kesibukanku semakin bertambah. Aku hampir melupakan rasa rindu pada dua buah hatiku, sedang apa kalian di sana. Mengapa tiba-tiba rindu ini kembali menyapa? Aku pun tidak sanggup lagi untuk bisa mendengar suara kedua anakku."Kapan bunda bisa melihat kalian?" lirihku dalam kesunyian malam.Aku masih terus melamun membayangkan wajah Amelia yang imut dengan kulit kuning langsat membuatnya terlihat cantik. Namun, beberapa bulan yang lalu wajah itu terlihat lelah. Sedih hatiku saat ingat senyumnya yang seakan dipaksa agar aku terlihat lega dan bisa bebas bekerja demi untuk kelangsungan hidup kami kelak.
"Jika tertawa jangan terbahak seperti itu, nanti gantengnya hilang lho. Terus jauh dari jodoh," kataku pada Frans."Ini lagi ngobrol sama jodohku, jodohku dirimu hingga mati!" ucap Frans sambil berdendang lagu artis ibukota."Nah, nah lho!" balasku."Aku serius padamu, Ann. Bahkan jauh sebelum kamu kenal Jasen, kutu kupret itu," ucap Frans.Aku terdiam, bagaimana dia bisa bilang jauh sebelum aku kenal Jasen. Sedangkan aku sendiri tidak pernah melihat wajahnya sebelum perjumpaan saat Amel pingsan tahun kemarin. Sejak peristiwa itulah aku mulai dekat dengam Frans, meski saat ini aku ada di Madiun. Frans terkadang meneleponku seperti saat ini. Awal dia membicarakan mengenai kedua anakku, lambat laun berbicara mengenai rasanya padaku. Hal inilah yang membuat aku terkadang bisa lupa akan rasa pada Mas Jasen. Walau bagaimana pun, Mas Jasen adalah pertama bagiku. Hingga menancap begitu dalam rasa dan sakitku."Hai, Ann, apakah kamu masih di sana?" tanya Frans membuyarkan lamunanku."Masih,
"Bunda?" Aku langsung terhenyak kala mendengar panggilan Amelia, segera kuanggukkan kepala tanda membenarkan pertanyaannya. Sungguh saat melihat anggukan kepalaku, putriku itu seketika menggeser duduknya menjadi lebih dekat dengan abangnya. Sementara Quinsa sedikit merapat pada palukan Yoga. Kepalanya menelusup pada dada abangnya.Pandangan matanya terlihat ketakutan pada Amelia, aku semakin heran dengan perilaku Quinsa. Beberapa kali kudengar Yoga bersenandung islami untuk menenangkan emosi adik tirinya tersebut. Dahiku langsung mengernyit kala mengenal senandung itu. "Yoga, tolong jelaskan pada bunda, apa yang terjadi dengan adik kamu itu!" desakku."Sini, Sayang. Quinsa ikut kak Amel dulu. Biarkan Abang ngobrol sama Bunda, ya. Ayo!" ajak Amelia lembut.Perlahan pelukan Quinsa mengurai dan mulai mengendur, tatapannya menatap sendu pada Yoga. Begitu ada anggukan dari putraku, barulah Quinsa mau turun dari pangkuan sang abang. Amelia segera melebarkan senyumnya agar adik tirinya mau
Setelah menghabiskan satu roll roti gulung, Quinsa tertidur di sofa. Aku hanya memandang kasian pada anak tersebut. Sedangkan Yoga masih terlelap di pangkuanku. Sangat terlihat jika aura di wajahnya begitu lelah. Kusurai rambutnya yang sedikit panjang, jariku menelusuri setiap lekuk wajah putraku tersebut."Sungguh indah pahatan ini, satu kata untuk mengambarkan seluruhnya. Tampan!" lirihku."Tampan saja tidak akan cukup untuk menatap dunia, Bunda!" kata Yoga dengan mata masih terpejam.Seketika kutarik ujung jariku yang sudah menyusuri hidungnya yang tinggi. Sungguh hampir kesemua permukaan wajahnya menirukan Jasen. Mungkin hanya bentuk hidung dan bibir yang membedakan mereka. "Lalu dengan apa kamu tatap duniamu, Sayang?" tanyaku."Dengan agama dan ilmu, Bunda. Seperti yang selalu Bunda ajarkan pada kami," jawab Yoga sambil mencoba bangkit dan duduk.Mata cokelat terang yang indah itu kini menatapku sendu, aku hanya mampu membalas tatapannya penuh tanya. Kemudian kudengar napas pan
Siluet tubuhnya masih aku ingat, tetapi ini mengapa dia membawa seorang anak perempuan? Mungkinkah dia anaknya dengan Rowena, jika kuhitung usia anak itu saat ini berkisar di usia sepuluh tahun. Apakah itu sosok Quinsa, bayi imut yang dulu sempat aku timang.Oh, Tuhan. Kuatkan hatiku, cobaan apa lagi yang Engkau hadirkan dalam hidupku kali ini. Sekuat apapun hati ini, jika bersangkutan dengan Mas Jasen pasti akan membawa luka. Meskipun terkadang rasa sepi melandaku tetapi jika dia datang bersama dengan yang lain, sakit itu kian terasa. Apakah ini maksud mimpiku beberpa hari yang lalu. Untuk apa Mas Jasen datang lagi dalam hidupku setelah sepuluh tahun tidak berhubungan dan apa maksudnya membawa Quinsa. Kemana Rowena? Berbagai pertanyaan muncul di otak kasarku. Sungguh rasanya aku tidak sanggup Tuhan."Bunda!" sapa lembut suara Quinsa.Naluriku sebagai ibu tidak dapat mengindahkan panggilan itu. Bagiku yang salah bukan anaknya melainkan kedua orang tuanya. Para karyawanku akhirnya pam
Sore semilir angin menerpa wajahku. Bayangan Jupri bersama Halimah masih nyata di pelupuk mata. Entah mengapa hati ini terasa sakit dan kecewa. Apakah aku sempat jatuh hati pada Jupri? Sejak mula semua rasa ini aku tolak. Namun, saat kulihat lelaki itu datang ke toko dengan membawa wanita hamil, hatiku sakit. Aku sendiri juga bingung dengan rasaku ini. Bagaimana bisa aku memupuk rasa yang belum tentu ada pada diri Jupri. Saat itu memang dia tidak ada cerita sedang dekat dengan seorang wanita manapun. Namun, pernah satu kali lelaki itu kelepasan bertanya mode baju syari terbaik dan berapa harganya. Hal ini sempat membuatku penasaran. Mungkin aku harus berusaha menepis segala rasa pada lelaki itu. Sejak kunjungan pertama Jupri dam istri menjadi sering datang dengan alasan Halimah susah makan nasi jadi dia lebih memilih kue basah ataupun roti bolu. "Aku harus segera pupus rasa ini dan lupakan semua. Kamu sudah mendapatkan bidadari yang terbaik, Jupri. Selamat!" batinku saat kulihat se
"Tadi Gibran sudah bilang lho, Nenek. Hanya itu Onty Dahlia," jawab Gibran."Iya, Sayang. Onty kan lama tidak jumpa Adik. Mungkin dia lebih senang menggoda, jadi maafkan Onty nya dong?" kataku pada Gibran sambil kuangkat dia ke pangkuanku.Namun, lelaki kecil menggeleng tanda dia tidak mau memaafkan Dahlia. Aku tersenyum melihat tingkah cucuku itu, dia sangat menggemaskan apalagi jika pipinya menggembung dengan bola mata yang berputar. Pasti bikin semua yang ada di sana ingin mencubit pipinya."Nenek, besok jika onty Dahlia pulang tidak usah dimasakin opor ayam, Ya. Biar tahu rasa!" dengusnya geram.Kulihat sejak tadi Dahlia hanya diam menatap Gibran, wanita muda itu menahan tawanya agar tidak terdengar oleh ponakannya yang lucu itu. Sementara Andin sejak tadi hanya berdiri, kini dia berjalan menuju dapur. Beberapa saat kemudian Andin sudah kembali dengan membawa piring berisi nasi opor ayam. "Ayo turun dari pangkuan nenek, Adik makan dulu!" ajak Andin."Lho Adik belum makan, sini bi
Dahlia dan Amelia terlihat semakin kompak dan solid. Aku sangat bahagia melihat perkembangan mereka berdua. Setelah makan siang aku pun ngobrol dengan keduanya untuk sesaat sebelum aku kembali lagi ke toko. O ya, toko kue ku sekarang sudah maju pesat dan dikenal oleh berbagai kalangan. Bahkan setiap Dahlia pulang, ada saja temannya yang nitip buat oleh-oleh.Sedangkan Amelia, dia terkadang ikut membantu di toko bila sedang senggang. Aku juga sangat bahagia karena sudah di panggil nenek oleh anaknya si Andin. Gadis itu sekarang sudah bukan gadis lagi melainkan sudah menjadi seorang ibu muda dengan anak satu."Bund, si ucrit bagaimana kabarnya?" tanya Dahlia."Jangan bilang ucrit, anak itu punya nama, Lho! Nanti jika Mbak kamu tiba-tiba dengar kamu yang akan kena omelannya," kataku."Hehe, iya ini Mbak Lia parah!" kelakar Amelia.Aku geleng kepala melihat keakraban mereka berdua. Aku dan kedua putriku selalu berbincang akrab seperti ini dalam menunggu waktu untuk memulai aktifitas kemba
Akhirnya aku mendapatkan bis tepat di jam empat sore. Kali ini aku naik bis cepat antar kota jurusan Jogyakarta. Bis yang terkenal dengan kecepatannya melebihi bis yang lain. Bis ini paling banyak peminatnya. Aku pun merasa bahwa pelayanan kondektur bis juga sangat ramah dan sopan.Bis melaju dengan kecepatan rata-rata. Mungkin bila dilihat dari kuar kecepatan bis itu tinggi. Tetapi bagi kami para penumpang terasa nyaman, hal ini terbukti para penumpang bisa tidur dengan lelap termasuk aku. Tanpa tetasa waktu terus berjalan hingga terdengar suara kondektur memberitahukan pada kami bahwa sebentar lagi bis akan memasuki kawasan Madiun."Madiun terakhir, terminal Madiun terakhir." Terdengar wakil kondektur berteriak memberitahukan pada para penumpang agar bersiap-siap. Aku pun segera terbangun dari tidurku. Perjalanan Surabaya - Madiun hanya membutuhkan waktu kurang lebih dua jam dengan bis antar kota."Bunda pulang, Sayang!" batinku.Sungguh aku sangat rindu dengan putriku itu. Hampir
"Andin, apakah kamu masih di sana?" tanyaku.Hening, lambat laun kudengar isak tangis lirih. Mendengar suaranya aku semakin bingung dan resah. Memangnya sedang ada apa hingga membuat Andin sampai terisak. Aku semakin penasaran."Andin, katakan pada Mbak. Apa yang terjadi pada kalian?" tanyaku."Selamat ya, Mbak Ann. Semua sudah selesai hingga sesuai dengan angannya Mbak. Dan satu lagi semua keperluan toko aman dan terkendali, Kok!" balas Andin."Lalu mengenai gaji? Dan apa yang menyebabkan kamu tadi terisak, Lho?" tanyaku beruntun."Nanti lah, tunggu Mbak pulang," balas Andin.Lama aku berbincang dengan Andin. Meski aku berusaha mengorek keterangan mengenai gaji karyawan, Andin tidak mau cerita. Dia masih kekeh menunggu kepulanganku. Karena ini aku menjadi tidak nyaman dan ingin segera pulang. Kemudian aku mendengar suara klakson sebuah mobil yang berhenti. Seketika aku tersadar dan pamit pada Andin menyudahi panggilan."Lagi asyik menelepon siapa lho, Ann?" tanya Irene saat aku sudah
Aku menoleh pada sosok itu, mataku seketika membelalak. Sebuah nama yang aku ingat pada sosok itu, Jupri. Iya dia adalah Jupri. Tetapi siapakah dua sosok itu? "Ibu Ann, maaf bisakah kita mulai sekarang?" "oh, ya. Silahkan, Pak!" jawabku."Ini surat janda dan ini semua yang menyangkut persidangan kemarin, Ibu Ann. Saya mengucapkan terima kasih atas undangan Anda," kata pengacaraku."Saya juga berterim kasih atas bantuan Bapak. Untuk fee sudah saya transfer ke rekening Anda, Pak. Saya terima kasih," kataku sambil menjabat tangan si pengacara.Akhirnya kami melanjutkan makan siang bersama. Saat di sela makan siang kulihat sekeliling mencari sosok yang tadi sempat aku lihat. Rupanya Jupri ada di sudut kanan ruangan ini pada meja nomer lima puluh. Di sana dia sedang bersama seorang Kyai dan seorang gadis yang cantik. "Apakah dia istrinya?" lirihku."Siapa yang Anda maksud, Ibu Ann?" tanya Pengacaraku."Seorang sahabat lama, Pak. Eeh, maaf, silahkan dilanjut!" ucapku.Beberapa saat kemud