"Kau boleh saja ikut tinggal di sini, tetapi bagaimana dengan kedua orang tua kamu itu, Din?" tanyaku.Andin tertunduk lesu, gadis itu terus menunduk hingga bulir bening kulihat jatuh pada pangkuannya. Aku terdiam. Apa yang sebenarnya terjadi dalam hidup perempuan muda di depanku hingga bulir bening jatuh bergantian. Aku masih diam, memberi waktu dan ruang pada Andin hingga dia sendiri yang ingin menceritakan derita hidupnya. Namun, hingga tiga puluh menit tidak kudengar suara yang keluar dari bibir gadis itu. Akhirnya dengan lembut kuusap punggungnya agar Andin bisa leluasa mengeluarkan semua kegelisahan dalam hatinya." Mbak!" panggil Andin lirih."Katakan apa yang ada di dalam hatimu. Mulai dari sekarang suarakan jeritan hati kamu, Din!" ucapku dengan nada yang rendah.Andin menatapku sendu, perempuan muda itu masih menatapku dengan kegalauan yang menyelingkupi hatinya. Andin masih bergeming, netranya berp. utar seakan sedang mencari sesuatu yang hendak dikeluarkan. Andin mulai ge
"Iya, Mbak Ann. Akhir-akhir ini aku tidak pernah memenuhi apa yang diinginkan oleh Bapak, Mbak," jelas Andin padaku.Aku hanya memandang pada wajah Andin yang terlihat lelah, akhirnya aku berdiri dan berjalan menuju kamar yang lain yang ada dalam rumah kontrakanku. Di dalam rumahku itu ada tiga kamar, satu sudah aku, satunya untuk ruang setrika dan tempat aku ibadah. Sedang yang satunya aku biarkan kosong, jika ada tamu yang ingin istirahat maka kamar itu lah yang aku gunakan.Setelah aku bersihkan kamar tamu itu baru lah aku silahkan Andin untuk istirahat. Mengingat tubuh dan otaknya terlihat lelah. Namun, Andin hanya tersenyum dan berdiri sambil memberesi gelas dan cemilan untuk dibawa ke belakang."Biarkan di tempat cucian semua benda kotor itu, Din. Nanti saja dicucinya!" teriakku saat Andin mulai masuk dapur.Namun, inderaku seperti mendengar gemericik air. Mungkin gelas kotor itu dicuci sendiri oleh Andin. Setelah beberapa menit kudengar langkah kaki mendekat. "Mbak, apakah ad
Udara pagi terasa sejuk, apalagi daerah sekitarku masih ditumbuhi oleh rerumputan dan sawah yang mulai menguning. Aku bangun lebih awal dari biasanya. Kulihat Andin pun sudah afa di dapur. Gadis itu terlihat sedang membersihkan beras sebelum di nanak."Pagi Mbak Ann, maaf aku menanak beras tanpa ijin!" kata Andin."Tidak apa, Lanjutkan saja. Aku mau mandi dulu, jangan lupa nanti ikut aku kepasar besar kita belanja keperluan buat jualan besok!" ingatku pada Andin."Siap, Mbak. Aku lanjut masak dulu," balas AndinSetelah menyetujui apa yang diinginkan oleh Andin aku pun masuk kedalam kamar mandi, beberapa saat setelah merasa tubuh segar dan selesai mandi aku langsung membantu Andin menyiapkan sarapan."Sudah selesai, ayo kita sarapan dulu, Din!" ajakku pada AndinKami sarapan bersama dalam diam, kesibukan mengunyah makanan membuat kami mengharuskan diam dan tidak bicara agar segera selesai. Setelah selesai segera ku angkat piring dan gelas kotor ke dapur untuk kucuci, sementara Andin me
Hari terus berlalu dan aku sudah mulai membuka usaha kue basah juga bluder yang lagi rame. Awal aku berjualan masih dari pintu ke pintu, sedangkan Andin dia lebih senang berjualan di depan sekolah atau dikeramaian. Pertama jualan keliling membuatku sedikit kurang percaya diri. Bukan aku malu tetapi pada rasa, apakah kue buatanku bisa terjual? Berbagai pertanyaan sering muncul, tetapi segala usaha pasti ada hasil.Jaulanku sekarang sedikit lebih maju, karena hari ini aku sudah bisa buka lapak didepan kontrakan. O iya sekarang kontrakkan aku ada di depan gang sehingga memudahkan aku untuk berjualan. Sengaja aku pindah yang di depan gang agar jualanku lebih dikenal oleh masyarakat, dan Andin sangat antusias."Wah asyiik! Enak seperti ini, Mbak Ann," ungkap Andin tersenyum lebar."Kamh benar, semoga kita bisa buka kios khusus Bluder ya, Din!" ucapku sekaligus doa."Aamiin," balas Andin."Jika Mbak bisa buat kios, apakah kamu masih mau bantu bikin kuenya, Din?" tanyaku."Pasti mau, Mbak. D
"Ayo, Mbak!" ajak Andin dengan suara yang lantang.Aku pun berjalan mendekat pada bentor baru milik Andin. Senyumku mengembang kala melihat wajah sumringah Andin. Aku mencoba naik bentor tersebut dan Andin mulai menyalakan mesinnya."Dapat harga berapa ini bentor kamu, Din?" tanyaku."Ini agak mahal, Mbak. Karena mesin motornya dari Hond4 tipe Gr4nd," balasnya yang belum kudengar jumlah nominal harga."Iya tahu sudah bisa aku baca, yang ingin aku tahu itu total harga keselutuhan," balasku sedikit kesal.Ku dengar napas berat dibelakangku, saat ini Andin sedang mengendarai bentor sehingga napaasnya sedikit ngos-ngosan karena belum lihai mengemudikan bentor itu. Namun, aku sangat bangga dengan gadis itu. Luka yang ditorehkan oleh ayah angkatnya tidak bisa membutakan kasih sayangnya yang tulus pada semua anggota keluarga itu.Aku sangat terharu dengan perjuangan Andin, hingga tanpa terasa mereka sampai di depan rumah Andin. Dengan riang gadis itu turun dari bentor dan berlari menuju pint
Ku lihat Andin masih menundukkan kepala ketika ditatap tajam oleh Sardi, bapak angkatnya. Aku melihat interaksi yang cukup aneh yang terjadi diantara keduanya. Andin masih ingin memberi kasih sayangnya pada kedua orang tua angkatnya. Namun, yang aku lihat si Sardi sudah enggan menerima appaun dari hasil keringat Andin."Mau apa kau datang ke sini, Din?" tanya Sardi pada Andin.Aku terhenyak mendengar pertanyaan Pak Sardi. Lelaki itu sedikitpun tidak memandang wajah Andin, dia memandang tempat kosong membuat aku semakin yakin jika dia ingin membuang Andin dalam hidupnya. Satdi begitu kekeh menolak usaha Andin."Jika bentor itu kamu bawa ke sini untuk membuatku tersenyum, maka bawa lagi aku tidak butuh itu!" hentak Sardi.Kulihat air mata Andin mulai menetes perlahan, aku pun bergeser mendekat pada posisi gadis itu. Kemudian kurengkuh tubuh lelahnya. Andin bersandar pada lenganku sambil netranya memandang wajah sang bapak yang masih bergeming pada tempat lain.Aku mencari sosok adik-adi
Aku masih dirumah orang tia Andin, disana kami masih menunggu keputusan apa yang akan diambil masalah bentor. Mengingat semua usaha Andin yang berpuasa hampir enam bulan menyisihkan uang jajan dari hasil kerja denganku menjual kue. Aku pun dengan sabar memberi tahu pada Jamilah agar mau membujuk suaminya. "Mbak, bujuklah Pak Sardi untuk menerima bentor ini toh tidak ada pajak," kataku." Sebenarnya saya sangat senang jika bentor ini bisa diterima oleh Mas Sardi. Dengan bentor ini akan memudahkan dia untuk mencari nafkah," jawab Jamilah."Nah itulah tujuan dari Andin selama ini hingga bentor ini terbeli, Mbak. Untuk itu bantulah Andin!" rayuku pada Jamilah.Jamilah akhirnya beranjak meninggalkan kami, aku memandang Andin dengan senyum agar gadis itu memiliki semangat akan diterimanya bentor itu. Andin pun membalas senyumku. Gadis itu terlihat mulai bisa menerima semua ini. "Apa sebaiknya kita pulang saja ke rumah Mbak Annas saja ya? Sepertinya di sini kita kurang mendapat perlakuan b
"Amir kelas berapa?" tanyaku pada anak lelaki kecil."Kelas lima sekolah dasar, Mbak," jawabnya."Kalau Adik ini, sudah sekolahkah?" tanyaku.Dahlia anak perempuan yang aku tanya itu hanya diam. Dia terlihat murung, lalu tangannya terangkat menjelaskan dengan menggunakan tangannya. Sejenak aku termangu, bibirku susah terkatup menyaksikan gerakan tangan Dahlia. Kemudian Amir menjelaskan jika pita suara Dahlia sangat tipis sehingga susah untuk mengeluarkan suara."Apakah Dahlia ingin Sekolah?" tanyaku.Gadis kecil itu menganggukkan kepalanya tanda dia juga ingin menuntut ilmu. Dalam gerakan tangannya bisa aku artikan jika dia si Dahlia ini ingin menjadi guru tuna wicara. Gadis kecil itu begitu menikmati saat dia bercerita mengenai inginnya tersebut. Aku melihat jika Dahlia merupakan anak yang cerdas, hal itu bisa aku lihat dari cara dia menjelaskan semua.Sementara Amir menggenggam jemari tangan mungil Dahlia. Aku ikut terharu dengan kerukunan kedua anak kecil itu. Andin yang melihat ked