Damien tidak mengantarkan Dalena pulang setelah membelikan sebuah hadiah, melainkan ia mengajak wanita cantiknya ini ke perusahaan di mana ia bekerja. Semua orang di sana dibuat bingung dengan siapa yang datang bersama Damien, bahkan semua orang juga sudah tahu kalau calon istri Damien adalah Sabrina. Jelas saja kehadiran Dalena menimbulkan banyak tanda tanya. Dalena meremas kuat telapak tangan Damien. "Kenapa semua orang melihatku seperti itu?" tanya Dalena bingung dan takut. "Karena kau cantik," jawab Damien. "Ya ampun, Damien," lirih Dalena cemberut. Laki-laki itu melepaskan genggaman tangannya dan beralih merangkul pinggang Dalena. Tatapan semua orang sungguh mengerikan, sorot mata penuh kata-kata pedas dan tidak enak. Dalena mampu merasakannya. "Permisi Pak Presdir, ada sesuatu yang harus ditandatangani sebentar," ujar seorang karyawan perempuan yang kini mendekati Damien. "Oh ya, berikan berkasnya," pinta Damien. Laki-laki itu menoleh pada Dalena. "Sayang, tunggu di si
Kabar kedekatan Damien dan Delana sudah terdengar jelas di telinga kedua orang tuanya. Kelvan sendiri mendengar tentang Damien membawa Dalena ke kantornya dan mengenalkan sebagai calon istrinya. Hal ini membuat Kelvan dan Lora memutar otak, mereka berdua menemui Dalena secara sembunyi-sembunyi dari Damien. Mereka bertiga kini berada di sebuah cafe elit tempat yang diminta Lora. "Dalena, kau sudah dari tadi?" tanya Kelvan menatap Dalena yang duduk di hadapannya. "Sudah Tuan," jawab Dalena. "Heem, baguslah." Laki-laki itu duduk dan mengangguk. Di sampingnya ada Lora yang memesan minuman. Wanita setengah baya dengan blazer merah itu menatap Dalena sinis. "Damien tidak tahu kan kalau kau ke sini bertemu dengan kami?!" "Tidak tahu Nyonya, saya pergi setelah mengantarkan anak-anak ke sekolah." Lora mengangguk seraya mengusap keningnya. "Semenjak kau datang semuanya jadi kacau, Delana! Aku tidak tahu kau ini Mama kandungnya Raccel atau bukan, yang jelas kau mengacaukan semua rencan
Damien memeluk Delana erat-erat, wanita itu menangis sesenggukan tanpa menjelaskan apapun padanya. Bahkan sampai Raccel tidur dengan sendirinya di ruang tengah. Dalena masih menangis sesenggukan. "Ceritakan semua padaku pelan-pelan, apa yang sebenarnya terjadi?" Damien mengusap pipi Delana yang basah. Sorot matanya menunjukkan betapa sedih hati Delana. Perlahan dia meringkuk memeluk tubuh kekar Damien dan menyandarkan Kepalanya di dada bidangnya. "Jangan marah," lirihnya. "Tidak, aku tidak akan marah kalau kau jujur," bisik Damien mengecup pucuk kepala Dalena. Dalena memejamkan matanya pelan. "Mama dan Papamu tadi bertemu denganku. Mereka memintaku mengatakan apapun yang aku inginkan asal aku meninggalkan kau dan Cassel," ujar Dalena sembari mendongak menatap Damien. "Tapi aku tidak bisa, Damien. Aku tidak bisa pergi meninggalkan Cassel, aku juga tidak bisa pergi meninggalkan Raccel. Tapi... Tapi kita tidak akan pernah bisa bersama-sama. Impian memberikan keluarga untuk si kemb
Damien dan Dalena kembali tertidur setelah mereka terbangun beberapa jam lamanya. Hingga saat menjelang pagi hari, mereka belum juga bangun. Di depan pintu kamar terdengar bisikan-bisikan mungil menggemaskan dari Cassel dan Raccel yang mencari Maminya. "Jangan nangis! Nanti kalau nangis Cassel tinggal di sini nih, gelap nih! Tinggal ya sama Kakak!" seru Cassel menatap Raccel yang menangis memeluk boneka Bibby miliknya. "Tidak boleh, ihhh Cassel!" pekik Raccel memeluk tubuh Cassel erat-erat. "Nakal tapi cengeng, giliran dibalas malah kenceng nangisnya!" omel Cassel kesal sendiri. Anak laki-laki itu merangkul pundak kembarannya, sebagai seorang Kakak meskipun mereka lahir bersamaan, Cassel sangat bertanggung jawab dan peduli pada Raccel. Tidak seperti Raccel yang isi kepalanya hanya kejahilan dan hal-hal nakal yang membuat Cassel menangis. "Mami... Papi...! Adik Raccel nangis lagi nih, pecah kepala Cassel rasanya, adik cengeng sekali!" pekik Cassel mendorong pintu di depannya. "
"Dalena, kau harus memikirkan baik-baik sebelum kau menjalin hubungan dengan Damien lebih serius lagi! Pikirkan!" Seruan itu terucap dari bibir Melinda, sahabat Dalena, istri Heins yang kini tengah Dalena kunjungi bersama si kembar. Dalena ingin meminta pertimbangan pada sahabatnya mengenai hubungannya dengan Damien kedepannya. Ia tidak tenang, Dalena terus dihantui rasa takut. "Keluarga Escalante bukanlah keluarga gampangan, dia bisa membuatmu celaka kapan saja," seru Melinda lagi. "Aku tahu Damien mencintaimu, tapi dia tidak selalu full sehari semalam di sampingmu. Keluarganya yang jahat pasti mencari celah untuk menyakitimu.""Tapi Mel, terlepas dari Damien tidak semudah seperti yang aku bayangkan," ujar Delana menyeka air matanya. Dalena menangis sejak tadi menceritakan semuanya pada Melinda. "Damien sungguh berharap bisa memperbaiki semuanya demi anak-anak, dia ingin menikahiku, Mel." Satu tangan Dalena digenggam oleh Melinda dengan hangat. "Pikirkan anak-anakmu dan tujuanmu
"Kenapa wanita selembut dirimu harus terlihat jahat di hadapanku..." Damien berucap dingin sembari menatap Dalena yang tengah tertidur di atas ranjangnya. Rasa marah membucah di dada Damien. Terasa sesak, mengingat Cassel menangis, anak berusia empat tahun hingga memohon-mohon untuk tidak ditinggalkan olehnya."Aku membenci isi kepalamu, Dalena," bisik Damien. Laki-laki itu mendekatkan wajahnya pada Delana, tak ingin dia membangunkan Dalena dengan kemarahan yang membara. Damien menarik tengkuk leher Dalena dan mengecup bibir wanita itu dengan rakus hingga membuat Delana langsung tersentak dan terbangun saat itu juga. "Damien," lirihnya mendorong dada bidang Damien untuk mundur. "A-apa yang kau lakukan?" "Melakukan apa yang aku inginkan," balas laki-laki itu tersenyum sengit. Perasaan tak nyaman mulai merasuki Dalena. Ia mengerjapkan kedua matanya dan berusaha untuk bangkit, namun posisinya sungguh terkunci. Iris mata hitam itu kelam, tajam, mengancamnya. Seribu kemarahan terek
"Siapa yang membuatmu seperti ini, Dalena?!" Pekikan keras itu terdengar dari Heins. Laki-laki itu terkejut melihat Delana ke rumahnya tengah malam berjalan kaki dengan keadaan kacau. Di musim dingin akhir tahun. Dalena hanya dengan berbalut gaun tidur tanpa lapisan penghangat apapun. "Dalena siapa yang membuat keningmu terluka seperti ini?! Ini rahangmu kenapa memar seperti ini?! Katakan Dalena?!" teriak Heins mencengkeram kuat pundak sahabatnya itu. Dalena hanya bisa menangis menatap Heins dan Melinda. Sampai akhirnya Heins memeluk Dalena dengan erat, Melinda mengusap pundak sahabatnya itu dengan hangat. "Tenang Delana, tenanglah... Ceritakan pelan-pelan," bisik Melinda. "Aku... Aku kehilangan anak-anak, Heins," tangis Delana begitu kuat ia mencengkeram punggung Heins. "Ke-kehilangan bagaimana hah?! Apa maksudmu kehilangan?!" pekik Heins menarik Dalena dari pelukannya. Wajah Dalena sangat sembab, luka di keningnya seperti benturan keras, juga dagu bekas memerah di dagunya jel
Heins membawa Dalena ke rumah sakit hari ini. Dalena sakit, dia demam karena semalam cuaca tengah dingin saat Dalena pergi dari rumah Damien. Untuk sementara Dalena dirawat di sana. Ia juga mual-mual karena pusing kepalanya dan tingkat cemas terlalu tinggi. "Istirahatlah dulu, urusan si kembar biar aku dan Melinda yang mengurusi. Kau harus cepat sembuh," ujar Heins usai memasang perban di kening Dalena. "Tolong bawa mereka ke sini, Heins," pinta Dalena. "Aku akan berusaha," jawab laki-laki itu. Dalena mengangguk lemas, barulah Heins meninggalkan sendirian di dalam kamar rawat inapnya. Wanita itu menatap ke arah luar jendela. Pagi ini salju turun tipis-tipis, udara yang dingin membuat Dalena tidak bisa berhenti memikirkan anak-anaknya. "Cassel... Raccel..." Air mata Dalena kembali menetes. "Mami sangat merindukan kalian. Kalian berdua sedang apa, Sayang?" Dalena memeluk erat selimutnya dan terisak kuat-kuat. 'Mami, nanti kalau hujan salju kita buat boneka salju sama adik Racce
Sejak pagi hingga sore hari, di kediaman Keluarga Escalante sangat sibuk. Mereka menyiapkan pesta keluarga untuk malam ini. Hingga siang berganti malam, rumah megah berlantai dua itu nampak dihiasi dengan meriah lampu-lampu di luar rumah, maupun di dalam rumah. Dalena tersenyum melihat anak-anaknya berkumpul bersama. "Baru kali ini acara akhir tahun menjadi sangat meriah, iya kan, Sayang?" Dalena menoleh pada sang suami yang berdiri di sampingnya."Iya. Mungkin itu semua karena kita bisa melihat anak-anak kita, menantu kita, cucu kita berkumpul bersama. Sangat membahagiakan, Sayang." Damien merangkul pundak Dalena memperhatikan pemandangan ruangan di dalam rumah yang sudah dihias dengan indah oleh Cassel dan Nicholas sejak siang tadi. Sampai tiba-tiba saja, Elsa dan Gissele muncul dari arah lantai dua. Di sana nampak Gissele cemberut dan bersedekap dengan wajah kesalnya. "Ada apa, Sayang? Sini..." Damien melambaikan tangannya pada Gissele. Dalena juga ikut melambaikan tangannya
Salju turun cukup tebal kemarin, dan siang ini Cassel mengajak anak istrinya untuk pergi membelikan beberapa makanan, dan juga hadiah. Mereka akan menghabiskan beberapa hari di musim dingin bersama dengan keluarga Cassel. Mereka bertiga datang ke sebuah pusat perbelanjaan. Di sana, Gissele sibuk memilih mainan, camilan, dan hiasan-hiasan yang menarik perhatiannya. "Sayang, jangan mengambil gantungan banyak-banyak, nanti mau ditaruh di mana lagi?" Elsa merebut beberapa boneka gantung yang Gissele ambil. "Gissele mau itu, Ma!" seru bocah itu menunjuk ke sebuah lonceng-lonceng kecil. "Astaga ... untuk apa, Sayang?" Elsa mengusap wajahnya. "Sana, Gissele sama Papa saja. Minta gendong Papa." Anak itu cemberut. Kalau sudah bersama Papanya, dia tidak akan diturunkan dari stroller. Namun, meskipun dengan wajah protes, Gissele pun patuh dengan Elsa dan anak itu mendekati Cassel, meminta gendong dan meminta didudukkan di atas stroller miliknya. "Sudah ... Gissele duduk di sana saja, se
"Mommy dan Daddy ingin kalian menginap di sini. Kapan kalian bisa? Daddy ingin membuat party bersama kalian juga..." Suara di balik panggilan itu adalah suara Dalena yang kini bertanya pada Elsa dan Cassel. Setelah hampir tiga mingguan Cassel dan Elsa tidak datang ke kediaman orang tuanya karena sibuk. "Mungkin besok malam kita akan ke sana Mom, besok kan sudah mulai libur akhir tahun," jawab Cassel tersenyum."Iya. Janji ya, Nak ... Mommy sudah sangat kangen dengan Cucu cantik Mommy," ujar wanita itu. Cassel beranjak dari duduknya, laki-laki itu melangkah masuk ke dalam kamar. Dia menunjukkan kamera ponselnya ke arah Gissele yang kini tengah mengacau pekerjaan Elsa. Karena Elsa mempunyai banyak pesanan hingga menyentuh hampir seribu bouquet selama musim dingin ini, dia pun membawa beberapa bunga dan membentuknya di rumah. "Sayang, dicari Oma, katanya Oma kangen," ujar Cassel menyerahkan ponselnya pada Gissele.Anak cantik dengan rambut pirang cerah itu langsung melebarkan kedua
Pagi setelah menginap di tempat orang tua Cassel, esok harinya Elsa nampak sibuk di rumah. Gadis itu kini tampak bergelut dengan beberapa pekerjaan rumah, termasuk membuat banyak kue yang akan ia antarkan ke panti asuhan seperti biasa. "Mama buat kue banyak sekali? Mau dibawa ke panti, ya?" tanya Gissele yang kini membantu Mamanya memasukkan beberapa kue dalam sebuah box. "Iya Sayang. Tapi Gissele tidak usah ikut, ya ... Gissele di rumah saja dengan Tante Raccel dan Oma," ujar Elsa menatap putrinya. Dan dengan patuh Raccel menyetujui hal itu. Bukan tanpa alasan Raccel melarang putri kecilnya untuk ikut, melainkan sejak awal, pengurus panti meminta Elsa untuk tidak sering-sering lagi membawa Gissele ke panti, mereka takut Gissele ingat masa dulu dan tidak mau pulang lagi ke rumah. Anak perempuan itu mengangguk patuh, namun dia cemberut, seolah-olah dia memang tidak setuju dengan apa yang Mamanya pinta padanya. "Mama, hari ini Gissele mau pergi beli sepatu baru kata Papa," ujar an
Setelah kondisi Elsa kembali sehat, Cassel pun memutuskan untuk mengajak istrinya pergi jalan-jalan bersamanya dan putri mereka.Setelah puas menemani Gissele bermain di taman dan game zone, mereka bertiga kini pergi ke rumah orang tua Cassel. Kedatangan mereka disambut dengan sangat hangat, terlebih lagi di sana ada Raccel dan anak kembarnya. "Wahh, Cucu Oma akhirnya ke sini juga!" seru Dalena mengendong Gissele dan mengecup pipi gembul anak itu. "Gissele...!" Suara Raccel membuat Gissele menoleh, anak perempuan dengan dress merah muda itu langsung berlari ke arah Raccel di ruang tengah. Sementara Elsa, gadis itu meletakkan paper bag berisi makanan di atas meja, dan Cassel juga berjalan ke dapur mengambil minuman dingin. "Raccel di sini sejak kapan, Mom? Nicho ke mana?" tanya Cassel menatap sang Mama. "Nicholas sedang ada urusan kantor dengan Daddy, mereka ke luar kota, Sayang. Raccel memang sekarang Mommy minta untuk pindah ke sini, merawat Lovia dan Livia sendirian itu sangat
"Dokter Cassel, apakah ada jadwal yang lain lagi hari ini?" Cassel menoleh ke belakang saat rekannya bertanya, begitu Cassel keluar dari ruangan operasi. Cassel menggelengkan kepalanya. "Tidak dok. Aku akan pulang cepat hari ini karena istriku sedang sakit," jawab Cassel sembari tersenyum. "Oh begitu, baiklah..." Tanpa menjawab apapun lagi, Cassel segera bergegas keluar dari dalam ruangan itu dan ia berjalan ke arah ruangannya sendiri.Laki-laki dengan jas putih itu membuka ruangan pribadinya. Di sana, Cassel langsung meraih ponsel miliknya dan ia melihat apakah dirinya mendapatkan pesan dari Elsa atau tidak?Cassel menghela napasnya panjang dan tersenyum. Baru saja dia ingin melihat pesan, Elsa sudah memberikan kabar lebih dulu padanya."Hemm, tumben sekali dia memintaku membawakan makanan? Biasanya juga selalu menolak," gumam Cassel. Segera Cassel menghubungi Elsa. "Halo Sayang, kau ingin menitip makanan apa, hem?" tanya laki-laki itu. "Bukan aku. Tapi Gissele, dia ingin mela
Tak biasanya Gissele bangun saat hari masih petang. Anak kecil perempuan dengan rambut cokelat terang itu, sudah bermain di karpet tebal di bawah ranjang. Ocehannya yang sedang asik mengajak bonekanya berbincang itu membuat Cassel terbangun dari tidurnya tiba-tiba. Cassel yang memeluk Elsa pun sontak melepaskannya dan ia menoleh ke samping. "Loh, Gissele!" pekiknya lirih. "Papa ... Gissele di sini, Pa!" seru anak perempuan itu mengacungkan tangannya. Cassel menyergah napasnya pelan mengetahui putri kecilnya berada di bawah sana. Segera Cassel menyibak selimutnya dan berjalan mendekati Gissele yang duduk memegang mainannya. "Sayang, kenapa di sini? Ini masih petang, Gissele tidak mengantuk, hem?" tanya Cassel mengusap pucuk kepala putri kecilnya. Anak itu hanya diam dan menggelengkan kepalanya. Sebelum akhirnya Gissele merangkak mengambil botol susu miliknya dan menyerahkan pada Cassel."Apa Sayang?" tanya Cassel menatap sang putri."Buatkan susu, Pa. Gissele mau minum susu," u
Elsa dan Cassel menuhi permintaan Luna untuk datang ke sebuah rumah makan mewah di sebuah hotel berbintang malam ini. Tentunya Elsa membawa Gissele yang kini tidak mau berjalan kaki, setelah punya stroller baru, dia ingin memamerkan stroller miliknya pada semua orang. Termasuk pada Nenek dan Kakeknya.Mereka bertiga pun kini baru saja masuk ke dalam restoran tersebut. "Emmm ... di mana, Ma?" tanya Gissele menoleh ke kanan dan ke kiri dalam kereta kecilnya. "Gissele Sayang!" pekik Luna melambaikan tangannya ke arah Elsa dan Cassel. Mereka pun menoleh. "Oh, ternyata di sana!" seru Elsa terkekeh.Segera Cassel mendorong stroller milik Gissele dan mereka berjalan mendekati meja di mana kedua orang tua Elsa berada. Luna dan suaminya pun berada di sana."Ya ampun, Cucu Nenek lucu sekali," seru Vania mengangkat tubuh mungil Gissele dari atas stroller."Naik kereta baru, Sayang? Punya kereta warnanya merah muda, bagus sekali..." Teddy ikut gembira dengan kedatangan Gissele. Elsa bersala
Elsa mengantarkan makan siang yang ia siapkan untuk Cassel siang ini. Bersama dengan Gissele, mereka berdua berjalan masuk ke dalam rumah sakit. Semua rekan-rekan Cassel menyapa Elsa dengan ramahnya, karena mereka semua tahu siapa Elsa sebenarnya, yang tak lain adalah istri dari calon direktur rumah sakit. "Selamat siang Nyonya Elsa," sapa salah satu rekan kerja suaminya, dia adalah Dokter Agnes. "Selamat siang, Dokter Agnes ... emm, apa suami saya masih ada jadwal operasi?" tanya Elsa bertanya pada wanita si depannya itu. "Oh, sepertinya sudah selesai. Saya melihat beliau tadi berada di ruangannya," jawab Agnes. "Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu..." "Iya Nyonya, silakan..."Elsa pun bergegas kembali mendorong stroller di mana Gissele duduk di dalam tempat itu sambil meminum susunya di dalam botol. Mereka berdua berjalan menuju ke arah ruangan kerja Cassel. Di sana, Elsa mengetuk pintu ruangan tersebut. Pintu itu tidak sepenuhnya ditutup. Hingga Cassel yang sedang beris