Kini aku sudah mulai masuk kuliah, aku mulai beraktivitas di luar rumah, rasanya aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatanku untuk belajar, apalagi jalan yang aku tempuh untuk bisa melanjutkan pendidikan ini sangatlah rumit.
Satu bulan telah berlalu, aku mulai aktif mengikuti organisasi kampus, ada beberapa informasi beasiswa juga yang telah aku dapatkan.
"Beasiswa bagi mahasiswa yang memiliki indeks prestasi tiga koma tujuh hingga empat." Sebuah brosur yang aku baca di mading kampus.
Tentu jika aku berusaha belajar lebih giat, aku bisa mendapatkan beasiswa itu, dan aku tidak perlu menggunakan uang kuliah dari Gus Ibrahim lagi untuk biaya pendidikanku.
Aku cukup optimis, dan aku yakin akan ada jalan dari setiap masalahku.
Jika aku bisa mendapatkan beasiswa mungkin semua akan terasa lebih mudah, aku sedikit demi sedikit bisa membayar hutang ibuku, bisa segera keluar dari rumah itu, dan tidak perlu menjadi istri bawah tangan Gus Ibrahim lagi.
Sore ini setelah jam kuliah usai, sebuah tawaran pekerjaan datang padaku. Salah satu dosen menawariku untuk menjadi guru private mengaji putranya yang masih duduk di bangku sekolah PAUD.
Tentu aku tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, aku terima tawaran dosenku, sekalipun aku tahu gajinya tidak seberapa, namun aku yakin, jika aku bersungguh-sungguh bekerja semua akan jadi berkah bagi hidupku.
Satu bulan sudah aku aktif menjadi guru private putra dosenku. Dan kini ada beberapa putra dan putri dosenku yang lain ikut menjadi murid privateku.
Aku sangat bersyukur, kini aku punya pekerjaan, sepulang kuliah, diwaktu senggang aku mulai datang dari rumah ke rumah muridku untuk mengajar, dan aku rasa jika aku bekerja dengan sungguh-sungguh, aku bisa segera mengumpulkan uang untuk membayar hutang-hutang ibuku.
Dan kina, satu semester perkuliahanku telah usai, berkat kegigihanku belajar, aku bisa mendapatkan IPK sesuai dengan yang aku inginkan. Aku mulai mengajukan beasiswa prestasi yang diprogramkan oleh rektor di kampusku.
Hatiku penuh kepasrahan, entah aku terjaring dalam beasiswa itu atau tidak, karena memang banyak sekali mahasiswa yang ikut dalam program beasiswa tersebut, dari kuota yang waktu itu pernah aku baca, hanya lima puluh persen pendaftar yang bisa terjaring, karena saat ini pendaftarnya memang cukup banyak sekali.
Namun aku tetap optimis dan tidak berhenti berdoa, agar aku bisa lolos untuk mendapatkan beasiswa.
Waktu terus berjalan, tepat jam delapan malam, aku baru sampai rumah, sebenarnya aku tidak dari kampus, melainkan dari mengajar private murid-muridku.
Kulihat masih tidak ada mobil Gus Ibrahim di garasi rumah, yang aku tahu selama ini Gus Ibrahim memang sering pergi keluar kota, dan terkadang sampai rumah sekitar jam sembilan malam.
Aku menghelan nafas panjang seraya menggerak-gerakkan kepalaku, rasanya badanku sangat lelah, berlahan aku membuka pintu ruang tamu, dan berjalan pelan menuju kamar. Namun saat kakiku hendak melangkah, kudengar suara seseorang begitu lantang di ruang tengah keluar ini.
"Kuliah macam apa sih mbak, kok pulangnya malam-malam terus?"
Suara itu sepertinya suara Zafira, adik kandung Mbak Zahra.
"Dia itu kan hanya kuliah di fakultas keguruan Mbak! masih semester awal lagi, masih jarang kegiatan mbak, masak setiap hari sampai pulang jam delapan malam lebih?"
Terdengar suara Zafira begitu lantang membicarakanku saat bertanya pada Mbak Zahra.
"Embak juga nggak tahu Fir!" jawab Mbak Zahra lembut.
"Alifah itu nggak kuliah di fakultas kedokteran Mbak. Atau di fakultas keperawatan, farmasi, atau fakultas lainnya, yang banyak praktikum, dan banyak kegiatan," jelas Zafira, "Dia cuma kuliah di fakultas keguruan, dan disemester awal tentu tidak mungkin banyak kegiatan," lanjutnya.
"Gitu ya, Fir?" jawab Mbak Zahra lirih.
"Embak ini sabar banget ya? Embak jangan diam saja, Embak harus bilang sama Gus Ibrahim, kalau istri keduanya Gus Ibrahim itu liar, suka pulang malam!" kata Zafira dengan suara menggebu penuh emosi. "Wajahnya saja lugu dan polos, tapi hatinya licik!" ucap Zafira geregetan seolah memendam rasa kebencian padaku.
Dan saat itu, tidak kudengar Mbak Zahra menanggapi kata-kata adiknya.
"Mbak! Embak harus hati-hati sama Alifah, aku dengar dia menikah dengan Gus Ibrahim karena uang, dia meminta mahar mahal pada suami Mbak untuk membayar hutang ibunya pada juragan jagal sapi," terang Zafira pada kakaknya.
"Zafira? Hati-hati kamu kalau bicara, jangan menfitnah!" sahut Mbak Zahra tidak percaya.
"Mbak, ini kenyataan, semua orang juga sudah tahu. Embak aja yang lugu, mau dibodohi sama suami Mbak dan wanita keluaran pesantren yang pura-pura alim itu."
Zafira mengungkapkan kata-katanya dengan penuh kebencian padaku.
"Dengar ya Mbak! Embak harus hati-hati sama Alifah, dia hanya ingin merongrong hartanya Gus Ibrahim, Mbak harus sadarkan Gus Ibrahim tentang semua ini! Jangan sampai Gus Ibrahim terlambat menyadari tabiat buruk istri keduanya itu!" nasehat Zafira kepada kakaknya. "Ingat Mbak! Ada Aisyah, Umar, Usman, dan bayi dalam kandungan Embak! Aku nggak rela kalau Alifah sampai menghancurkan kehidupan Embak dan keponakan-keponakanku!" tambah Zafira.
"Iya," terdengar suara Mbak Zahra lirih menjawab kata-kata Zafira.
Aku mulai mengatur nafasku, aku melangkah pelan menuju ke dalam kamar, agar mereka berdua tidak mengetahui kedatanganku.
Rasanya jiwaku terasa hancur, air mataku tetes demi tetes berjatuhan.
Aku sadari aku sudah menyakiti hati saudari-saudariku. Mbak Zahra yang saat ini sedang hamil delapan bulan, dan Zafira yang pasti sakit hati melihat kakak kandungnya dimadu.
Jujur hatiku terasa sakit saat mendengar percakapan mereka. Namun aku bisa apa, aku memang menikah dengan Gus Ibrahim karena sebuah uang dan pelunasan hutang-hutang ibuku, meski sedikitpun tidak terbersit dalam hatiku untuk merongrong harta suami dari kakak sepupuku itu.
Bersambung
Pagi ini setelah bersiap untuk berangkat ke kampus, aku ikut sarapan bersama keluarga."Bagaimana kuliah kamu Alifah?" tanya Gus Ibrahim padaku."Alhamdulillah, ujian semester satu sudah selesai Gus, ini transkip nilainya sudah keluar," kataku seraya membuka tas yang ada di pangkuanku untuk mengambil transkip nilai yang ada dalam tasku.Kutunjukkan hasil belajarku itu pada Gus Ibrahim, dan kulihat dia pun mempelajari nilai-nilai hasil belajarku dengan seksama."Bagus!" katanya seraya tersenyum dengan mengembalikan transkip nilai itu padaku. "Apa kamu ikut kegiatan organisasi di kampus?""Iya Gus," jawabku seraya mengangguk. Kemudian melanjutkan kembali sarapan pagiku.Setelah sarapan selesai aku membantu bibik merapikan piring-piring kotor yang ada di meja, sebelum aku berangkat ke kampus.Seperti biasa, aku lihat wajah sikap Mbak Zahra selalu dingin padaku. Aku mencoba mengabaikan semua itu, aku mencoba memahaminya, karena mungkin me
Pagi ini kulihat handphone di meja kamarku bergetar, segera kuangkat dan kulihat, ternyata seorang teman kuliah mengirimkan pesan untukku.Dan belum selesai aku membalas pesan itu, kudengar suara Gus Ibrahim mengetuk pintu kamar.Bergegas aku membuka pintu untuk menemuinya.Dia tersenyum padaku saat aku membuka pintu, seraya berjalan untuk duduk di ranjang kamarku."Bagaimana kuliahmu?" tanyanya masih dengan tersenyum."Baik," jawabku singkat seraya duduk di hadapannya."Tadi malam pulang jam berapa?" tanyanya."Mmm, mungkin lebih dari jam sembilan malam," sahutku."Dari mana? Apa ada kegiatan kuliah? Atau kegiatan organisasi di kampus?"Kulihat Gus Ibrahim menatapku penuh curiga."Mmm, semalam aku mendapat undangan makan malam dari dosen, jadi aku pulang agak malam dari biasanya," jelasku."Dosen?" Gus Ibrahim mengerutkan alisnya. "Kamu makan malam dengan dosen kamu, tanpa meminta ijin padaku?" tanya Gus I
Keesokan harinya sepulang dari kampus kudengar suara Zafira diruang keluarga sedang berbincang dengan Mbak Zahra, sepertinya dia sedang mengunjungi kakaknya tersebut."Mbah Zahra sudah bilang sama suami mbak kan, tentang kelakuan istri keduanya itu?""Udah," jawab Mbak Zahra."Mbak udah kasih fotonya juga kan?""Udah,""Gimana kata Gus Ibrahim? Pasti Gus Ibrahim menyesal sudah menikahi wanita nggak bener itu," kata Zafira. "Untung aja aku sama temen-temen aku makan di restoran itu, jadi bisa mergoki wanita sok alim itu jalan berdua sama om-om," lanjut Zafira. "Memang benar-benar ya mbak Alifah itu, nggak nyangka aku dia tega nikam saudaranya sendiri." Kudengar Zafira sangat emosi saat membicarakan tentang diriku pada mbak Zahra."Aku heran Fir, Gus Ibrahim sama sekali nggak marah sama Alifah, sepertinya Gus Ibrahim juga nggak percaya sama foto yang kamu kirim ke aku ini," sahut Mbak Zahra tanpa semangat.Aku menghelan nafas panjang da
Tidak terasa air mataku terjatuh saat mendengarkan kata-kata Mbak Zahra, mungkin baginya diriku ini begitu hina, hingga dia tidak mau menerima transfusi darah dariku.Kuhapus air mata yang terjatuh di pipiku ini, dan kemudian segera mengikuti langkah dokter.Aku tidak memperdulikan pemikiran Mbak Zahra terhadapku, yang aku pikirkan saat ini hanyalah keselamatannya, biarlah dia berfikir seperti itu padaku, karena selama ini aku memang telah menyakiti hatinya.Akhirnya transfusi darah pun dilakukan, aku tetap mendonorkan darahku untuk Mbak Zahra, meskipun Mbak Zahra menolaknya, karena Gus Ibrahim juga telah mengizinkan aku untuk melakukan semua itu.Saat ini aku masih berada di atas bad rumah sakit setelah melakukan transfusi darah, dan kudengar dokter menyarankan agar operasi Caesar dilakukan, karena ketuban di rahim Mbak Zahra telah pecah.Sungguh aku merasa bersalah dengan kondisi Mbak Zahra dan bayinya, mungkin semua ini terjadi karena diriku, an
Tak terasa hari demi hari berganti, bulan demi bulan bertambah, dan tahun demi tahun berlalu, masih tidak ada yang berubah dengan kehidupanku.Sudah hampir empat tahun aku berada di rumah Gus Ibrahim, sikap Mbak Zahra masih sama padaku, dingin dan sinis. Ya sudahlah, aku terima perlakuannya itu, karena usahaku untuk melunasi hutangku pada Gus Ibrahim pun belum terealisasi, namun aku yakin, pada saatnya nanti tuhan akan kabulkan doaku untuk pergi dari rumah ini entah dengan caranya yang bagaimana, karena sejuta usaha dan doa selalu aku panjatkan untuk bisa keluar dari rumah ini tanpa beban hutang dan dosa.Kini usia Aisyah sudah 16 tahun. Dia telah tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik dan juga Salehah. Sekolah di sekolah Islam favorit dengan pendidikan full day school, dan dengan prestasi yang membanggakan.Begitu juga dengan Umar dan Usman diapun tumbuh menjadi anak yang cerdas, pintar, dan rajin belajar.Sementara bayi mungil yang dilahirkan Mbak Zahr
Akhirnya operasi transplantasi ginjal pun dilakukan, aku dan Aisyah melakukan puasa selama kurang lebih delapan jam sebelum operasi ini dilakukan.Dalam kegugupan, aku mencoba menenangkan diri, menenangkan pikiran, memasrahkan semua pada tuhan, agar operasi ini dapat berjalan lancar.Dengan Rahmad dan ridho Allah akhirnya operasi ini pun berjalan lancar. Alhamdulillah tubuh Aisyah dapat menerima ginjal yang telah aku donorkan.Dan saat ini aku masih berada di rumah sakit, di atas bad kamar pasien untuk pemulihan paska operasi.Kulihat Gus Ibrahim dan Mbak Zahra masuk ke dalam kamarku."Bagaimana keadaanmu?" tanya Mbak Zahra dengan ramah padaku."Aku sehat kok mbak, sudah lebih baik," kataku pada Mbak Zahra dengan tersenyum, seraya berusaha bangkit untuk duduk tegak dari posisiku yang semula berbaring.Saat ini aku memang merasa sehat meskipun hidup dengan satu ginjal. Kalaupun aku masih dirawat di rumah sakit, itu karena jahitan di pe
Hari terus berganti, kini aku telah selesai diwisuda. Aku telah menjadi sarjana dan aku telah siap untuk mengamalkan ilmuku."Nak, adikmu Asyifa, sudah ada yang melamar, bagaimana menurutmu?" tanya ibu saat kami berdua makan siang."Alhamdulillah, diterima saja bu jika Syifa setuju," jawabku."Kamu bagaimana?" tanya ibu dengan menggenggam tanganku. "Masak adikmu melangkahi kamu untuk menikah dulu," lanjutnya."Ibu, ibu lupa kalau aku sudah pernah menikah," jawabku. "Aku bahagia jika adikku sudah ada yang menghitbah, aku juga senang jika ada yang ingin segera dihalalkannya," jawabku sembari tersenyum.Ibuku terlihat membalas senyumku."Ibu, jika nanti Asyifa jadi menikah, acara pernikahannya, sederhana saja ya, jangan sampai ibu menghutang lagi!" kata Alifah dengan menyentuh tangan ibunya."Iya," sahut ibunya dengan mengangguk."Tapi, bagaimana dengan kuliah Asyifa bu, dia kan masih semester dua?" tanyaku."Kata nak Iqbal
Hari demi hari telah berganti, sudah satu Minggu Ustadz Mirza menjadi direktur di yayasan tempatku mengajar.Kuakui aku tidak pernah bertemu dengan beliau karena memang ruangan tempat kerja kita yang berbeda, ruang kerja Ustadz Mirza ada di gedung utama yang berdekatan dengan ruang tata usaha, staf keuangan, dan staf administrasi yang lainnya.Sementara ruang kerjaku ada di gedung belakang bersebelahan dengan gedung sekolah bersama dewan guru yang lainnya."Ustadzah Alifah, dipanggil bapak direktur!" kata salah seorang ustadz yang baru masuk ruang guru, saat aku sedang mengerjakan penilaian lembar tugas siswa."Ada apa ya ustadz Yusuf?" tanyaku sedikit penasaran bercampur rasa cemas."Mungkin mau dikasih bonus bu," sahut Ustadz Yusuf teman sejawatku dengan meringis menggoda.Aku bergegas beranjak dari kursiku, dengan rasa cemas aku berjalan menuju ruang direktur pendidikan yayasan ini."Assalamualaikum!"Aku beruluk salam seray
Saat ini aku berada di dalam kamar. Sembari menunggu Ustadz Mirza pulang dari kantor aku menghabiskan waktu mengaji dan membaca buku.Sejujurnya kata-kata ibu mertuaku masih terngiang di telinga.Tidak ada salahnya jika aku mencari informasi tentang hal yang mengusik pikiranku itu.Tanpa berpikir panjang aku membuka laptop Ustadz Mirza yang tergeletak di meja kamar.Aku mulai mencari informasi tentang resiko yang akan terjadi jika aku hamil nanti."Perubahan fungsi ginjal saat hamil pada perempuan yang memiliki satu ginjal menempatkan mereka pada resiko hipertensi yang berujung pada komplikasi serius yang berakibat fatal bagi ibu mau pun bayinya."Aku membaca sebuah artikel di internet yang baru saja aku temukan.Tidak dimungkiri ada rasa cemas di hatiku. Apa yang akan terjadi nanti, jika aku benar-benar hamil.'Ya Allah! Semoga engkau mudahkan jalanku.' Bisikku dalam hati.*****Tidak terasa malam menjelang. Usta
Tuntas sudah kewajibanku. Aku telah menuaikan kewajiban melayani Ustadz Mirza malam ini.Saat hendak bangkit Ustadz Mirza memperhatikan sprei ranjang kami."Kamu tidak pernah melakukan apapun deng Gus Ibrahim?"Ustadz Mirza bertanya dengan suara lirih, setelah melihat becak merah di sprei warna putih itu.Aku pun menggelengkan kepala.Ustadz Mirza tersenyum, sembari kemudian mencium mesra pipiku.Sungguh aku tidak berdaya dengan senyuman dan sikap lembut Ustadz Mirza padaku malam ini.Tidak terasa subuh telah menjelang. Setelah mensucikan diri, dan melakukan jamaah subuh bersama Ustadz Mirza, aku keluar dari kamar."Sayang mau ke mana?" tanya Ustadz Mirza."Aku mau bikin sarapan buat kamu, Mas. Kamu mau aku masakin apa?" tanyaku."Aku masih nggak lapar. Cukup melihat kamu aja perutku udah kenyang."Ustadz Mirza berjalan menghampiriku, kemudian memeluk tubuhku, seraya mencium pipiku.Berlahan aku mele
Hari terus berlalu. Akhirnya sampai juga hari pernikahanku dan Ustadz Mirza.Acara ijab kabul yang digelar sederhana di rumahku berjalan dengan lancar.Tidak banyak orang yang diundang. Hanya tetangga dan keluarga dekat saja. Tapi aku tidak melihat keluarga Budhe Siti datang. Hanya Mbak Zahra dan Gus Ibrahim saja yang mewakili keluarga mereka.Ya Allah mungkinkan Budhe Siti dan Zafira masih sakit hati padaku. Ah, sudahlah tidak perlu lagi aku memikirkan hal itu. Yang harus aku lakukan adalah mendoakan Zahira semoga mendapat jodoh terbaik, dan mendoakan keluarga Budhe Siti agar mereka diberi kelembutan hati untuk memaafkanku.Tidak terasa acara ijab kabul dan walimatul nikah telah usai. Setelah acara itu, tidak ada pesta lagi yang digelar di rumahku.Orang tua Ustadz Mirza langsung meminta kepada ibu untuk membawaku pulang bersama mereka.Sungguh
Aku masih memikirkan tentang lamaran Ustadz Mirza. Entah kenapa hatiku merasa tidak tenang. Ingin rasanya aku menolak lamaran itu, tapi ibu bersikukuh untuk tetap menerimanya. Bahkan telah menentukan hari pernikahan kami.Pagi ini saat aku membantu Abizar di toko kelontong kami, Ustadz Mirza tiba-tiba datang menemuiku."Masuk, Mas!" Abizar meminta Ustadz Mirza untuk masuk ke dalam toko."Mbak, aku keluar dulu ya!" pamit Abizar kemudian.Mungkin adik laki-lakiku sengaja pergi untuk memberi ruang pada kami berdua."Aku bantu ya!" kata Ustadz Mirza saat melihat aku sibuk menata barang-barang di toko."Tidak usah, Ustadz duduk saja!"Aku mempersilahkan dia duduk di kursi yang ada di dalam toko."Sebentar lagi kita akan menikah, kan? Jadi kita harus mulai belajar bekerja sama."Laki-laki itu berlahan menghampiriku dan membantu pekerjaanku.Akhirnya aku biarkan dia, melayani pembeli, melayani sales yang mena
Hari telah berganti. Kini aku menjalankan hati-hati di rumah dengan merawat ibu, dan membantu Abizar menjaga toko kelontong yang ada di pasar dekat rumah kami."Dik, apa kamu nggak ingin kuliah?" tanyaku pada Abizar saat membantunya menimbang gula pasir, terigu, dan beberapa bahan pokok lainnya yang ada di toko."In sha Allah, nanti Mbak. Kalau ada waktu. Sekarang aku masih ingin mengumpulkan modal, biar toko kita semakin berkembang."Abizar menoleh ke arahku dengan tersenyum, sembari menata barang-barang yang baru saja dikirim oleh para salesman."Nanti kalau ada rezeki, aku ingin beli ruko yang ada di depan sana. Buat Mbak Alifah. Biar Mbak, nggak perlu kerja ikut orang," ujar Abizar."Hmmm...."Aku tersenyum."Aku juga berdoa semoga Mbak cepat dapat jodoh. Dapat suami yang salih, mapan, yang sayang sama Mbak. Karena aku ingin melihat Mbak bahagia."Aku terharu mendengar ungkapan Abizar. Tidak kusangka adik bungsuku itu, sang
Setelah masuk ke dalam rumah, aku mencoba menghubungi Ustadz Mirza."Assalamualaikum!"Ustadz Mirza langsung mengangkat teleponku."Waalaikum salam, bagaimana kabar Bapak?" tanyaku."Baik. Tumben kamu menelepon, ada apa?""Mmm.... Zafira sedang sakit, dia menangis terus sepanjang hari," kataku padanya."Lalu?""Bapak, calon tunangannya, kan? Kenapa tidak menjenguk dia?"Ustadz Mirza diam, dan tidak segera menjawab pertanyaanku."Pak Direktur! Ustadz!"Aku memanggil namanya, karena aku tidak sedikit pun mendengar suara dari dalam telepon."Aku sibuk. Nanti aku telepon lagi ya," kata Ustadz Mirza kemudian. "Assalamualaikum."Belum sempat aku menjawab salamnya, dia sudah menutup telepon dariku.Aku menatap ponselku dengan mengernyitkan dahi, dan menggelengkan kepala.Mungkinkah Ustadz Mirza tidak berkenan menerima telepon dariku tadi, hingga dia menutup telepon sebelum aku menjawab salamny
Satu jam sudah, Paklik Gufron, istrinya, dan Mbak Zahra ada di rumahku.Mereka bertiga terlihat menemani ibu di dalam kamar.Aku membuatkan teh hangat untuk mereka, sekalipun mereka tidak mengizinkan.Aku juga meminta kepada Abizar untuk membantuku di dapur, membuat kudapan buat mereka."Mbak! Mari dimakan!"Aku menawarkan makanan dan minuman yang telah aku buat kepada Mbak Zahra, saat dia sudah keluar dari kamar ibu."Kok repot-repot?""Nggak repot kok Mbak, cuma pisang goreng," sahutku.Aku menemani Mbak Zahra yang saat itu mulai duduk kembali di sofa ruang tamu."Bagaimana kabar anak-anak Mbak?" tanyaku membuka percakapan."Alhamdulillah semua sehat," jawab Mbak Zahra dengan tersenyum.Kulihat Mbak Zahra mulai meneguk teh buatanku."O, iya. Alifah? Mbak mau tanya sesuatu boleh?" tanya Mbak Zahra kemudian.Aku yang duduk menghadap ke arahnya, menganggukkan kepala sembari tersenyum."K
Saat ini mobil Pak Direktur sudah ada di depan kostku. Laki-laki itu membantuku mengeluarkan barang-barang dari dalam mobilnya.Kulihat kemudian dia mengangkat telepon."Cepat pulang, umma mau bicara!'Dia mengeraskan audio saat mengangkat teleponnya itu hingga aku mendengarnya.Setelah itu aku lihat dia menutup telepon tanpa menjawabnya.Sejujurnya aku merasa tidak nyaman dengan keadaan ini. Aku sudah membuat laki-laki yang biasa aku panggil Ustadz Mirza itu bertengkar dengan orang tuanya."Bapak pulang saja!" kataku kemudian padanya."Mmmm...."Dia mengangguk."Aku akan carikan pekerjaan yang baru buat kamu," katanya."Tidak usah Pak. Saya berencana untuk pulang kampung," sahutku."Kapan kamu mau pulang?""In sha Allah, besok pagi.""Aku antar!""Tidak usah, terima kasih banyak!" sahutku lembut menolak keinginannya untuk mengantarku.Akhirnya setelah percakapan itu, Ustadz Mirz
Setelah keluar dari ruang staf pimpinan yayasan, aku bergegas menuju ruang guru, untuk merapikan barang-barangku.Kulihat semua mata tertuju padaku. Sepertinya semua yang ada di ruangan itu sudah tahu kenapa aku dikeluarkan dari sekolah ini. Kerena salah satu di antara mereka sudah ada yang mulai mencibirku."Untung saja sudah ketahuan. Bayangkan saja kalau masih tetap bekerja di sini? Bisa-bisa suami kita diambil," celetuk salah seorang teman sejawat memancing emosiku.Aku yang awalnya sibuk merapikan buku, spontan mendobrak meja kerjaku."Ustadzah Naya? Memang saya pernah menggoda suami Anda?"Aku menoleh ke arahnya dan menatap matanya dengan tajam.Suara tanyaku yang keras sontak membuat mata seisi ruangan tertuju padaku."Pernah saya menggoda suami ustadzah-ustadzah yang ada di sini? Pernah saya menggoda ustadz-ustadz yangng ada di ya