selamat emmbaca. like, komen dan Vote ya. maaf musim liburan jd slow update.š„°šš»šš»
Bab 44 Wanita Spesial"Pak Adam kapan datang?" tanya Senja seraya berbisik saat sudah duduk di sebelah suaminya. Adam mengerutkan dahi mendengar panggilan Senja padanya berubah."Kapan datang?" ulang Senja sedikit kesal karena tidak segera dijawab."Senja buruan sarapan. Papa sama Mama mau berangkat dulu. Kalian selesaikan sarapannya ya.""Iya, Ma," sahut Adam diikuti Senja. Kini di meja makan tinggal ada dua orang yang terdiam. Mereka menikmati sepiring nasgor spesial buatan Papa Irsyad."Kamu....""Ough." Senja m3mekik saat tangan Adam menyentuh bahunya yang sakit."Kenapa, Ja?""Nggak papa, hanya sedikit cidera." Raut wajah Adam berubah khawatir. Ia meletakkan sendok di tangan lalu duduk menghadap Senja."Kamu kemana semalam? Kenapa tidak pulang?" tanya Adam dengan wajah serius. Tatapan tajamnya menyelami manik mata Senja membuat gadis itu beringsut. Memilih fokus dengan nasgornya, Senja tidak tahan ditatap seperti itu. "Saya ada pekerjaan yang harus diselesaikan." Senja mencoba b
Di dalam kereta jurusan Tugu-Gubeng, Senja hanya melamun. Pikirannya tertuju pada Adam. Suaminya bertemu lagi dengan masa lalunya. "Ah, aku kenapa lagi. Harusnya aku fokus memikirkan perusahaan. Bukan malah memikirkan mereka berdua." Senja berusaha menghibur diri. Ia tidak mau gara-gara masalah cinta perusahaan turun temurun milik keluarga hancur. "Sudahlah yang penting aku sudah meninggalkan pesan dan cincin itu di laci. Belum tentu Pak Adam menemukannya juga. Mungkin dia nggak begitu mempedulikan kalaupun aku cerita tentang perjanjian itu. Pasti dia semakin semangat kembali berhubungan dengan Mbak Reva." Lima jam perjalanan akhirnya Senja sampai di stasiun Gubeng. Siang hari yang terik tidak menyurutkan semangatnya menginjakkan kaki di kota pahlawan ini. "Semangat Senja. Kamu pasti bisa." Menghirup udara kota Surabaya, Senja akan memulai petualangan barunya. Dari stasiun, ia naik taksi menuju alamat perusahaan yang diberikan oleh Restu. Sampai di depan sebuah gedung bertingkat
"Pak. Apa mobilnya sudah siap?" tanya seorang perempuan dengan pakaian modis berhijab. "Siap, Bu. Itu dia mobilnya," seru satpam. Senja mengikuti arah pandang lelaki paruh baya itu ke perempuan tadi. "Ndre tolong handel kerjaan yang di kantor dulu. Saya harus meeting dengan klien." "Siap, Bu Sekar." Senja m3mbelalak sempurna saat percakapan itu tertangkap indera pendengarannya. "Bu Sekar?" Senja menoleh lalu mencari sumber suara tadi. "Hah, Andre? Eh apa itu Bu Sekar." Senja kelabakan melihat Andre suami sahabatnya ada di sini. Antara ingin mengejar Andre atau Bu Sekar, ia bimbang. "Duh, gimana nih?" "Hmm, tunggu, Bu." "Maaf, Mbak. Jangan sembarangan mendekat! Itu bos besar perusahaan ini," cegah seorang satpam yang tadi melayani Senja. Brukk. "Ough." "Maaf, Mbak." Satpam sedikit merasa bersalah karena Senja terpeleset. Lelaki itu segera membantu berdiri karena tidak enak terlihat buruk di mata bosnya. "Hufh. Untung bukan bahuku yang membentur lantai," keluh Senja. Ia meno
Seminggu berlalu, pagi-pagi sekali Senja sudah berangkat menuju kantor Sekar. Ia menginap di hotel tak jauh dari kantor. Padahal Sekar sudah menawarinya menginap. Senja merasa belum akrab, alhasil hanya mengiyakan kalau masa tinggal di hotel telah habis. "Andre!" Senja sudah sampai di kantor Sekar karena permintaan bos besar itu sendiri. "Hah, aku nggak salah lihat?" Andre mengucek matanya dengan salah satu tangan. Sementara tangan lain memegang berkas. "Ini Senja, Ndre." "Astaga! Kamu beneran Senja? Kok kamu bisa sampai sini, Ja?" "Ishh, sini aku yang harusnya tanya kenapa kamu bida di sini, Ndre?" "Aku memang pindah ke sini sudah tiga bulan, Ja." "Apa?! Fifi juga?" Senja menarik lengan Andre lalu celingukan mencari tempat duduk yang nyaman. "Sini lho kalau mau ngobrol. Memangnya kamu sudah hafal tempat-temapat di sini?" celetuk Andre. Senja hanya meringis. Dia terlalu pede dan tidak ingat kalau sedang di perusahaan orang. "Kamu pindah sama Fifi nggak kasih kabar sih, Ndre. A
"Fifi?! Kanget tahu, nggak? Kenapa nggak bilang kalau pindah ke sini, sih?" Senja berlari lalu mem3luk tubuh Fifi. Ia tidak pernah berubah. Dilihat oleh Fifi, sahabatnya itu masih saja sama seperti saat kuliah. Suka teriak heboh sendiri. "Udah nyer0cosnya? Kayak kereta aja," sahut Fifi sambil bersungut. Senja melepas p3lukannya sambil terkikik geli. "Lagian kamu nih nggak ada kabarnya." "Yeay, siapa yang ga ada kabar. Nggak kebalik? Kamu kan yang super sibuk. Sejak jadi bos, lupa deh sama sahabat sendiri," cibir Fifi. Keduanya berjalan menuju ruang tunggu stasiun. Sebab kedatangan orang tua Fifi untuk menjenguk cucu sekaligus liburan masih sejam lagi. "Sini, ceritakan tentang kabarmu! Katanya mau nikah? Kapan? Jangan-jangan udah ya? Sejak terakhir ketemu Pak Adam di restoran, aku sudah nggak dapat kabarmu lagi, Ja. Gimana hubungan kalian?" "Nih, gini nih. Tadi aja ngatain aku myerocos kayak kereta. Giliran nanya, kamu juga nggak ada jedanya sama sekali, Fi." Fifi terbahak disusul
"Ya Rabb, kenapa harus ketemu dia di rumah ini?" "Sudah pulang, Pa." Suara Sekar terdengar di telinga Senja yang masih mematung. "Senja, ini Mas Ardian suamiku. Yang ini Adam Syailendra adikku." "Hah, Adik?" Senja membatin sambil mengerutkan dahi. Ia juga mengerjapkan mata berulang, berharap itu hanya mimpi." "Kenapa jadi Pak Adam adik Mbak Sekar? Lalu Andika? Gawat, nih." "Yuk, masuk, Dam. Mbak kenalin kolega dari Yogya. Ada Senja sama Andika." "Ma, diajak duduk dulu lah. Adam dari tadi suntuk tuh. Kelaparan kayaknya. Papa ajak makan nggak mau," celetuk Ardi. Senja hanya bisa menelan ludahnya kala tatapan tajam Adam mengarah padanya. Sedetik kemudian ia justru tidak menggubris ucapan Sekar. Memilih duduk di Sofa, Adam bersikap tak acuh pada Senja maupun Andika. "Lho ternyata Pak Adam adiknya Mbak Sekar, ya? Dunia ini sempit sekali," ucap Andika santai. Namun tidak dengan Senja yang ketar-ketir sedari tadi. Ia berharap Andika tidak membuat rencana kerja samanya dengan Sekar gat
"Ough. Sakit, Ja! Kenapa kamu pukul suamimu?!" "Hah?! Pak Adam?" Senja syok mendapati Adam yang ada di kamarnya. Namun, kesadarannya langsung pulih dengan ekspresi marah dan berkacak pinggang. "Pak Adam sengaja menakuti saya?! Kenapa masuk ke kamar ini diam-diam?" Adam yang terjungkal ke lantai karena tak siap dilawan Senja hanya bisa mengaduh. Ia berdiri lalu mengusap bagian tubuhnya yang sakit. "Kamu gimana sih, Ja. Suami sendiri malah dih4jar gini? Untung kamu nggak nendang...." Belum selesai Adam mengucap, Senja sudah terkikik geli sambil memegang perutnya. Namun, beberapa detik kemudian wajahnya berubah datar lagi. "Mau apa kemari? Bukannya Pak Adam udah balikan sama mantan?!" ucapnya seraya mendecis. Ia pun mendaratkan pant*tnya ke r4njang. "Maksud kamu apa, Ja?" "Kenapa Pak Adam tanya sama saya? Tanya saja pada diri sendiri." Lagi, Senja masih berbicara dengan nada ketus. Hal itu membuat Adam semakin tak mengerti. "Sebentar, Ja! Jangan bilang kalau kamu selama ini salah
"Aku menyayangimu, Ja. Percayalah, aku mulai menyukaimu sejak lama. Sejak kita bertemu pertama kali di kampus. Sejak kamu menjadi mahasiswa bimbinganku." Senja tidak bisa berkata-kata. Hanya bulir bening yang mewakili rasa harunya. Ternyata cintanya selama ini tidak bertepuk sebelah tangan. Ia merasa kurang sabar memahami lelaki yang dikasihinya. "Mas Adam. Maafkan aku!" Adam meletakkan telunjuknya di bibir Senja. "Sttt, kamu tidak pantas meminta maaf. Seharusnya aku yang berjuang." Tangan kanan Adam mencoba merapikan rambut poni Senja. "Senja, maukah kita memulai semuanya dari awal? Aku mau kita menjalin hubungan serius sebagai pasangan halal bukan pasangan kontrak." Senja mengangguk tanpa kata. Adam pun membalas dengan senyuman. Tanpa aba-aba, Adam melabuhkan sebuah kecupan dikening Senja. Meleburkan rasa rindu yang menggebu. Kini kesalah pahaman itu telah berlalu menyisakan kerinduan yang ingin terbayarkan. "Aku mencintaimu Senja Kamila Rahmawan." "Aku juga, Mas Adam Syail
Semua yang hadir di ruang keluarga menepuk dahi kecuali Adam dan Senja yang masih tak percaya."Kalian berdua memang sudah bikin heboh. Tunggu sanksi dari Abi dan Umi," ungkap Aryo."Hah?!" Senja tersipu malu. Ia tak enak hati pada keluarga Adam dan juga keluarganya."Pokoknya kita adakan resepsi secepatnya. Siap ya, Al, Syad," usul Opa Zein."Siap, Pa, Ma," balas Alea dan Irsyad bersamaan."Kan ada Rendra sama Galang yang jadi PJnya," sahut Alea yang disambut tawa kedua keluarga."Walah, kalau tahu begini, Umi sama Abi nggak susah-susah nyariin jodoh kamu biar nggak nyari-nyari Senja. Kamu nggak ingat dulu waktu kecil, kamu suka main sama Senja?" Nayla mencoba menceritakan masa kecil putranya saat diajak Aryo membahas bisnis kerja sama dengan perusahaan Zein."Yang mana ya, Ma?" tanya Adam mencoba mengingat-ingat."Itu lho yang dulu gadis berkuncir dua."Seolah ingatannya terbang ke masa lalu, Adam malah senyum-senyum sendiri. Tiba-tiba sebuah ide melintas dibenaknya."Senja." Adam me
"Aku menyayangimu, Ja. Percayalah, aku mulai menyukaimu sejak lama. Sejak kita bertemu pertama kali di kampus. Sejak kamu menjadi mahasiswa bimbinganku." Senja tidak bisa berkata-kata. Hanya bulir bening yang mewakili rasa harunya. Ternyata cintanya selama ini tidak bertepuk sebelah tangan. Ia merasa kurang sabar memahami lelaki yang dikasihinya. "Mas Adam. Maafkan aku!" Adam meletakkan telunjuknya di bibir Senja. "Sttt, kamu tidak pantas meminta maaf. Seharusnya aku yang berjuang." Tangan kanan Adam mencoba merapikan rambut poni Senja. "Senja, maukah kita memulai semuanya dari awal? Aku mau kita menjalin hubungan serius sebagai pasangan halal bukan pasangan kontrak." Senja mengangguk tanpa kata. Adam pun membalas dengan senyuman. Tanpa aba-aba, Adam melabuhkan sebuah kecupan dikening Senja. Meleburkan rasa rindu yang menggebu. Kini kesalah pahaman itu telah berlalu menyisakan kerinduan yang ingin terbayarkan. "Aku mencintaimu Senja Kamila Rahmawan." "Aku juga, Mas Adam Syail
"Ough. Sakit, Ja! Kenapa kamu pukul suamimu?!" "Hah?! Pak Adam?" Senja syok mendapati Adam yang ada di kamarnya. Namun, kesadarannya langsung pulih dengan ekspresi marah dan berkacak pinggang. "Pak Adam sengaja menakuti saya?! Kenapa masuk ke kamar ini diam-diam?" Adam yang terjungkal ke lantai karena tak siap dilawan Senja hanya bisa mengaduh. Ia berdiri lalu mengusap bagian tubuhnya yang sakit. "Kamu gimana sih, Ja. Suami sendiri malah dih4jar gini? Untung kamu nggak nendang...." Belum selesai Adam mengucap, Senja sudah terkikik geli sambil memegang perutnya. Namun, beberapa detik kemudian wajahnya berubah datar lagi. "Mau apa kemari? Bukannya Pak Adam udah balikan sama mantan?!" ucapnya seraya mendecis. Ia pun mendaratkan pant*tnya ke r4njang. "Maksud kamu apa, Ja?" "Kenapa Pak Adam tanya sama saya? Tanya saja pada diri sendiri." Lagi, Senja masih berbicara dengan nada ketus. Hal itu membuat Adam semakin tak mengerti. "Sebentar, Ja! Jangan bilang kalau kamu selama ini salah
"Ya Rabb, kenapa harus ketemu dia di rumah ini?" "Sudah pulang, Pa." Suara Sekar terdengar di telinga Senja yang masih mematung. "Senja, ini Mas Ardian suamiku. Yang ini Adam Syailendra adikku." "Hah, Adik?" Senja membatin sambil mengerutkan dahi. Ia juga mengerjapkan mata berulang, berharap itu hanya mimpi." "Kenapa jadi Pak Adam adik Mbak Sekar? Lalu Andika? Gawat, nih." "Yuk, masuk, Dam. Mbak kenalin kolega dari Yogya. Ada Senja sama Andika." "Ma, diajak duduk dulu lah. Adam dari tadi suntuk tuh. Kelaparan kayaknya. Papa ajak makan nggak mau," celetuk Ardi. Senja hanya bisa menelan ludahnya kala tatapan tajam Adam mengarah padanya. Sedetik kemudian ia justru tidak menggubris ucapan Sekar. Memilih duduk di Sofa, Adam bersikap tak acuh pada Senja maupun Andika. "Lho ternyata Pak Adam adiknya Mbak Sekar, ya? Dunia ini sempit sekali," ucap Andika santai. Namun tidak dengan Senja yang ketar-ketir sedari tadi. Ia berharap Andika tidak membuat rencana kerja samanya dengan Sekar gat
"Fifi?! Kanget tahu, nggak? Kenapa nggak bilang kalau pindah ke sini, sih?" Senja berlari lalu mem3luk tubuh Fifi. Ia tidak pernah berubah. Dilihat oleh Fifi, sahabatnya itu masih saja sama seperti saat kuliah. Suka teriak heboh sendiri. "Udah nyer0cosnya? Kayak kereta aja," sahut Fifi sambil bersungut. Senja melepas p3lukannya sambil terkikik geli. "Lagian kamu nih nggak ada kabarnya." "Yeay, siapa yang ga ada kabar. Nggak kebalik? Kamu kan yang super sibuk. Sejak jadi bos, lupa deh sama sahabat sendiri," cibir Fifi. Keduanya berjalan menuju ruang tunggu stasiun. Sebab kedatangan orang tua Fifi untuk menjenguk cucu sekaligus liburan masih sejam lagi. "Sini, ceritakan tentang kabarmu! Katanya mau nikah? Kapan? Jangan-jangan udah ya? Sejak terakhir ketemu Pak Adam di restoran, aku sudah nggak dapat kabarmu lagi, Ja. Gimana hubungan kalian?" "Nih, gini nih. Tadi aja ngatain aku myerocos kayak kereta. Giliran nanya, kamu juga nggak ada jedanya sama sekali, Fi." Fifi terbahak disusul
Seminggu berlalu, pagi-pagi sekali Senja sudah berangkat menuju kantor Sekar. Ia menginap di hotel tak jauh dari kantor. Padahal Sekar sudah menawarinya menginap. Senja merasa belum akrab, alhasil hanya mengiyakan kalau masa tinggal di hotel telah habis. "Andre!" Senja sudah sampai di kantor Sekar karena permintaan bos besar itu sendiri. "Hah, aku nggak salah lihat?" Andre mengucek matanya dengan salah satu tangan. Sementara tangan lain memegang berkas. "Ini Senja, Ndre." "Astaga! Kamu beneran Senja? Kok kamu bisa sampai sini, Ja?" "Ishh, sini aku yang harusnya tanya kenapa kamu bida di sini, Ndre?" "Aku memang pindah ke sini sudah tiga bulan, Ja." "Apa?! Fifi juga?" Senja menarik lengan Andre lalu celingukan mencari tempat duduk yang nyaman. "Sini lho kalau mau ngobrol. Memangnya kamu sudah hafal tempat-temapat di sini?" celetuk Andre. Senja hanya meringis. Dia terlalu pede dan tidak ingat kalau sedang di perusahaan orang. "Kamu pindah sama Fifi nggak kasih kabar sih, Ndre. A
"Pak. Apa mobilnya sudah siap?" tanya seorang perempuan dengan pakaian modis berhijab. "Siap, Bu. Itu dia mobilnya," seru satpam. Senja mengikuti arah pandang lelaki paruh baya itu ke perempuan tadi. "Ndre tolong handel kerjaan yang di kantor dulu. Saya harus meeting dengan klien." "Siap, Bu Sekar." Senja m3mbelalak sempurna saat percakapan itu tertangkap indera pendengarannya. "Bu Sekar?" Senja menoleh lalu mencari sumber suara tadi. "Hah, Andre? Eh apa itu Bu Sekar." Senja kelabakan melihat Andre suami sahabatnya ada di sini. Antara ingin mengejar Andre atau Bu Sekar, ia bimbang. "Duh, gimana nih?" "Hmm, tunggu, Bu." "Maaf, Mbak. Jangan sembarangan mendekat! Itu bos besar perusahaan ini," cegah seorang satpam yang tadi melayani Senja. Brukk. "Ough." "Maaf, Mbak." Satpam sedikit merasa bersalah karena Senja terpeleset. Lelaki itu segera membantu berdiri karena tidak enak terlihat buruk di mata bosnya. "Hufh. Untung bukan bahuku yang membentur lantai," keluh Senja. Ia meno
Di dalam kereta jurusan Tugu-Gubeng, Senja hanya melamun. Pikirannya tertuju pada Adam. Suaminya bertemu lagi dengan masa lalunya. "Ah, aku kenapa lagi. Harusnya aku fokus memikirkan perusahaan. Bukan malah memikirkan mereka berdua." Senja berusaha menghibur diri. Ia tidak mau gara-gara masalah cinta perusahaan turun temurun milik keluarga hancur. "Sudahlah yang penting aku sudah meninggalkan pesan dan cincin itu di laci. Belum tentu Pak Adam menemukannya juga. Mungkin dia nggak begitu mempedulikan kalaupun aku cerita tentang perjanjian itu. Pasti dia semakin semangat kembali berhubungan dengan Mbak Reva." Lima jam perjalanan akhirnya Senja sampai di stasiun Gubeng. Siang hari yang terik tidak menyurutkan semangatnya menginjakkan kaki di kota pahlawan ini. "Semangat Senja. Kamu pasti bisa." Menghirup udara kota Surabaya, Senja akan memulai petualangan barunya. Dari stasiun, ia naik taksi menuju alamat perusahaan yang diberikan oleh Restu. Sampai di depan sebuah gedung bertingkat
Bab 44 Wanita Spesial"Pak Adam kapan datang?" tanya Senja seraya berbisik saat sudah duduk di sebelah suaminya. Adam mengerutkan dahi mendengar panggilan Senja padanya berubah."Kapan datang?" ulang Senja sedikit kesal karena tidak segera dijawab."Senja buruan sarapan. Papa sama Mama mau berangkat dulu. Kalian selesaikan sarapannya ya.""Iya, Ma," sahut Adam diikuti Senja. Kini di meja makan tinggal ada dua orang yang terdiam. Mereka menikmati sepiring nasgor spesial buatan Papa Irsyad."Kamu....""Ough." Senja m3mekik saat tangan Adam menyentuh bahunya yang sakit."Kenapa, Ja?""Nggak papa, hanya sedikit cidera." Raut wajah Adam berubah khawatir. Ia meletakkan sendok di tangan lalu duduk menghadap Senja."Kamu kemana semalam? Kenapa tidak pulang?" tanya Adam dengan wajah serius. Tatapan tajamnya menyelami manik mata Senja membuat gadis itu beringsut. Memilih fokus dengan nasgornya, Senja tidak tahan ditatap seperti itu. "Saya ada pekerjaan yang harus diselesaikan." Senja mencoba b