like dan komen yuk. Vote jg ya. makasihđ„°
Sejak kejadian bangun tidur, Senja menjadi sedikit canggung. Ia mati-matian menahan diri untuk bersikap seperti tidak terjadi apa-apa."Senja, kenapa mukamu merah gitu?""Hah?! Iyakah?" Senja malah menepuk-nepuk pipinya yang terasa memanas. Sambil menyantap seporsi nasgor buatan Adam, ia mencari topik obrolan lain."Kamu semalam nggak bisa tidur?" imbuh Adam."Hmm, sepertinya begitu," kilah Senja sambil menunduk. Ia mencoba mengalihkan perhatian Adam dengan mengaduk-aduk nasgornya."Apa nasgornya tidak enak?" tebak Adam."Hah." Senja mengangkat kepala. Pandangan mereka bertemu. Seketika membuat jantung Senja berpacu kencang.Gegas ia memutus kontak tatapan tajam Adam yang mengarah padanya."Enak, kok. Enak banget malah," sahut Senja. Susah payah ia menelan nasi yang buru-buru dimasukkan ke mulutnya."Pelan-pelan saja makannya, nanti tersedak.""Iy...iya." Senja justru semakin salah tingkah hingga ucapannya terbata. Adam yang melihatnya pun mengulas senyum."Hari ini acaranya apa? Nant
Menjelang makan siang, Senja dan Rendra sudah bertemu klien di sebuah restoran. "Terima kasih Pak Rendra, Bu Mila atas kerja samanya. Saya yakin perusahaan Wijaya ke depan akan semakin melesat progresnya," ucap klien bisnis Senja."Sama-sama Pak. Dukungan dari klien seperti Bapak merupakan hal terpenting untuk kemajuan perusahaan kami. Kalau begitu Bapak silakan dilanjutkan menikmati hidangan penutupnya. Minggu depan kita bahas rencana jangka pendek dulu.""Saya senang sekali berdiskusi dengan orang-orang pintar seperti Pak Tendra dna Bu Mila. Tapi maaf sebelumnya saya harus melanjutkan perjalanan untuk meeting berikutnya.""Tidak masalah. Sampai jumpa." Rendra menjabat tangan kliennya diikuti Senja. Keduanya menyilakan klien itu melanjutkan kegiatannya."Gimana, Om?" tanya Senja ingin kepastian akan keputusannya memilih klien tadi."Bismillah semoga segalanya lancar dan dimudahkan, Ja.""Amin, Om. Terima kasih.""Yang dua klien tadi sudah tidak masalah kan kita tolak?""Menurut Senja
"Astaghfirullah! Pak Adam, kenapa sih? Bikin jantungan tahu, nggak?""Ingat Senja, kamu istri saya." Ucapan tegas Adam membuat tubuh Senja merem4ng. Ditambah lagi sapuan napas beraroma mint menyapu wajah membuat Senja menahan napas."Saya tidak suka ada lelaki lain yang menyentuh milik saya," bisik Adam di telinga Senja."Ough. Sakit, Ja. Kamu mau kdrt?" pekik Adam saat Senja barusan menonjok lengannya. Jelas Adam tidak siap menerima tangkisan. "Syukurin. Salah sendiri siapa yang bikin saya jantungan," protes Senja.Adam yang awalnya mau serius tiba-tiba dibuyarkan oleh kekesalan Senja. Perempuan itu justru terlihat menggemaskan kalau lagi kesal."Iya-iya. Ingat Senja, di luar sana kita pasangan dan bukan tunanganmu itu yang jadi suamimu. Apa jadinya kalau kamu bermesr4an dengan laki-laki yang bukan suami kamu.""Siapa yang mesr4-mesr4an?" kilah Senja sambil menoleh ke arah Adam yang tengah menyetir."Tadi di restoran. Pakai alasan mau bersihkan bi...""Pak Adam lihat?""Iyalah?"Sen
"Baunya harum begini. Masak apa, ya?"Begitu sosok yang datang masuk rumah sampai dapur, netranya tak berhenti memandang dari ujung rambut hingga ujung kaki. Kedua tangan pun berkacak pinggang mengamati Senja yang memasak sambil berdendang dan sesekali menggoyangkan kepalanya. Begitu Senja berbalik badan hendak mengambil wadah matanya terbelalak."Aarghh!""Kamu ngapain, Ja?" tanya seorang perempuan paruh baya tak lain adalah mamanya. Alea baru saja datang bersama Irsyad."Mama ngagetin aja." Senja menarik napas panjang sembari mengusap dadanya."Astaghfirullah, Ja. Kamu masak apaan sih?""Masak ikan, Ma," jawab Senja sambil meringis."Pa, lihat anak kita. Senja udah pinter masak. Sayangnya ikan gorengnya gosong," ucap Alea seraya terkikik geli. Padahal dirinya sendiri belum tentu bisa masak."Mama nih muji apa menjatuhkan Senja sih," gerutunya. Sontak saja Irsyad tergelak. Ia menaruh dua paper bag ditangannya ke atas meja."Ambil piring besar dua, Ja!""Buat apa, Pa?""Udah ambil aj
Mentari menelisik melalui tirai jendela. Senja merasakan tidurnya amat sangat nyaman. Saat mata mulai mengerjap, ia merasakan sebuah beban berat men*ndih perutnya. Sebuah lengan kekar terlihat memel*knya."Aargh!" Reflek Senja menutup mulutnya. Ia menoleh ke belakang lalu membalik tubuhnya menjadi berhadapan. Ternyata Adam tidur ser4njang dengannya.Alih-alih mengusirnya, Senja justru tersenyum usil. Teringat akan perdebatan semalam sebelum tidur.Malam tadi, Senja sudah bersiap dengan baju piyamanya. Berjalan menuju r4njang sambil membawa bed cover."Eits, Pak Adam tidur di bawah. Saya yang di atas.""Nggak bisa. Ini kasur saya. Lagian besok saya rapat pagi-pagi. Kalau nggak bisa tidur, saya bisa kesiangan.""Saya yang bangunin. Pokoknya Pak Adam di bawah.""Ckkk. Ya udah sana tidur duluan. Saya mau nyiapin bahan rapat buat besok."Alhasil Senja tersenyum penuh kemenangan. Ia segera mengambil singgasana untuk memanjakn tubuhnya setelah menggelar bed cover untuk Adam."Awas ya kalau Pa
Seminggu berlalu, hubungan Senja dan Adam semakin menunjukkan kedekatan. Mereka berdua mulai tidur di kamar yang sama. Meski belum terjadi hal yang umum dilakukan suami istri, Adam tetap sabar menanti. Sebab kesibukan Senja membuat perempuan itu butuh istirahat saat sampai rumah."Minumlah secangkir coklat ini biar tidurmu nyenyak," ucap Adam dengan senyum tersungging. Alih-alih bahagia, Senja justru merasa sedikit bersalah. Adam selalu melayani kebutuhan makan dan minum dirinya. Ia segera bangun dari posisi tidur lalu duduk bersila di atas kasur. Adam pun duduk di sebelahnya."Maafkan saya, Pak A.""Sttt, kita sudah sepakat untuk lebih dekat, kan? Ingat panggilan yang sudah kita setujui.""Ah iya. Maaf Mas Adam," ralat Senja masih saja dengan wajah tersipu."Kamu juga tidak perlu meminta maaf. Selagi siapa yang luang harus saling mengingatkan. Kesehatan itu penting. Apalagi kalau ingin rumah ini ada tangisan anak kecil," ucap Adam sambil tersenyum menggoda. Sebuah kerlingan mata membu
"Mila! Kamila! Tunggu, Mil!" Andika berusaha menghentikan langkah cepat Senja. Ia menahan lengan perempuan yang nafasnya sudah kembang kempis itu. Di lorong apartemen hampir menggapai lift, Senja berhenti."Mau apa kamu?! Mengelak? Aku nggak b*ta, An."Senja saling berhadapan dan menatap tajam ke arah Andika yang sedikit bersalah. Namun, laki-laki itu segera mencari alibi."Kamu tinggal seatap dengan lelaki lain. Bagaimana denganku? Aku laki-laki normal. Jelas aku cemburu calon tunanganku bersama lelaki lain. Siapa yang menjamin dia tidak menyentuhmu, huh? Bib1r ini..." Andika mengulurkan tangannya dengan lancang. Namun, Senja segera menepis tangan itu. Tatapan nyalang masih mengarah pada lelaki yang pernah menjadi tunangannya itu."Ckkk. Jangan sentuh aku!" pekiknya."Pasti sudah ternod4 tangan lelaki itu." "Aku selalu menjaga apa yang berharga kelak untuk suamiku. Tapi apa yang kudapat? Kamu malah bersama perempuan lain berbagi kamar.""Selama ini kamu selalu menolak aku s3ntuh. A
"Mas, meetingnya dipercepat nggak bisa, ya?" Lagi, Senja menawar waktu luang suaminya. Perempuan yang menyandar di kursi kemudi itu memejamkan mata.Terdengar suara tangisan di seberang sana."Nggak bisa, Ja. Ini urgen.""Tapi ada suara tangisan. Mas di mana, sih?" tanya Senja sambil menegakkan tubuh. Pandangan mengedar ek arah resto hotel. Benar saja, Adam sudah masuk menemui perempuan yang sedang menenangkan bayinya."Mas di rumah makan. Itu suara bayi pengunjung. Sudah dulu, ya. Nanti kita sambung lagi malam. Umi abi datang ke rumah siang ini trus menginap di hotel. Jadi kamu nggak harus menginap di rumah Mama Alea.""Hmm." "Ja, kamu baik-baik saja, kan?""Hmm.""Senja.""Ya. Aku baik-baik saja."Senja tiba-tiba merasa mal4s menanggapi suaminya. Ia pun bergegas menutup panggilannya. Setitik cairan bening tanpa izin menetes membasahi pipi. Ia keluar dari mobil berniat memastikan siapa yang bersama suaminya. Melangkah pasti dan penuh hati-hati, akhirnya Senja bisa melihat dengan je
Semua yang hadir di ruang keluarga menepuk dahi kecuali Adam dan Senja yang masih tak percaya."Kalian berdua memang sudah bikin heboh. Tunggu sanksi dari Abi dan Umi," ungkap Aryo."Hah?!" Senja tersipu malu. Ia tak enak hati pada keluarga Adam dan juga keluarganya."Pokoknya kita adakan resepsi secepatnya. Siap ya, Al, Syad," usul Opa Zein."Siap, Pa, Ma," balas Alea dan Irsyad bersamaan."Kan ada Rendra sama Galang yang jadi PJnya," sahut Alea yang disambut tawa kedua keluarga."Walah, kalau tahu begini, Umi sama Abi nggak susah-susah nyariin jodoh kamu biar nggak nyari-nyari Senja. Kamu nggak ingat dulu waktu kecil, kamu suka main sama Senja?" Nayla mencoba menceritakan masa kecil putranya saat diajak Aryo membahas bisnis kerja sama dengan perusahaan Zein."Yang mana ya, Ma?" tanya Adam mencoba mengingat-ingat."Itu lho yang dulu gadis berkuncir dua."Seolah ingatannya terbang ke masa lalu, Adam malah senyum-senyum sendiri. Tiba-tiba sebuah ide melintas dibenaknya."Senja." Adam me
"Aku menyayangimu, Ja. Percayalah, aku mulai menyukaimu sejak lama. Sejak kita bertemu pertama kali di kampus. Sejak kamu menjadi mahasiswa bimbinganku." Senja tidak bisa berkata-kata. Hanya bulir bening yang mewakili rasa harunya. Ternyata cintanya selama ini tidak bertepuk sebelah tangan. Ia merasa kurang sabar memahami lelaki yang dikasihinya. "Mas Adam. Maafkan aku!" Adam meletakkan telunjuknya di bibir Senja. "Sttt, kamu tidak pantas meminta maaf. Seharusnya aku yang berjuang." Tangan kanan Adam mencoba merapikan rambut poni Senja. "Senja, maukah kita memulai semuanya dari awal? Aku mau kita menjalin hubungan serius sebagai pasangan halal bukan pasangan kontrak." Senja mengangguk tanpa kata. Adam pun membalas dengan senyuman. Tanpa aba-aba, Adam melabuhkan sebuah kecupan dikening Senja. Meleburkan rasa rindu yang menggebu. Kini kesalah pahaman itu telah berlalu menyisakan kerinduan yang ingin terbayarkan. "Aku mencintaimu Senja Kamila Rahmawan." "Aku juga, Mas Adam Syail
"Ough. Sakit, Ja! Kenapa kamu pukul suamimu?!" "Hah?! Pak Adam?" Senja syok mendapati Adam yang ada di kamarnya. Namun, kesadarannya langsung pulih dengan ekspresi marah dan berkacak pinggang. "Pak Adam sengaja menakuti saya?! Kenapa masuk ke kamar ini diam-diam?" Adam yang terjungkal ke lantai karena tak siap dilawan Senja hanya bisa mengaduh. Ia berdiri lalu mengusap bagian tubuhnya yang sakit. "Kamu gimana sih, Ja. Suami sendiri malah dih4jar gini? Untung kamu nggak nendang...." Belum selesai Adam mengucap, Senja sudah terkikik geli sambil memegang perutnya. Namun, beberapa detik kemudian wajahnya berubah datar lagi. "Mau apa kemari? Bukannya Pak Adam udah balikan sama mantan?!" ucapnya seraya mendecis. Ia pun mendaratkan pant*tnya ke r4njang. "Maksud kamu apa, Ja?" "Kenapa Pak Adam tanya sama saya? Tanya saja pada diri sendiri." Lagi, Senja masih berbicara dengan nada ketus. Hal itu membuat Adam semakin tak mengerti. "Sebentar, Ja! Jangan bilang kalau kamu selama ini salah
"Ya Rabb, kenapa harus ketemu dia di rumah ini?" "Sudah pulang, Pa." Suara Sekar terdengar di telinga Senja yang masih mematung. "Senja, ini Mas Ardian suamiku. Yang ini Adam Syailendra adikku." "Hah, Adik?" Senja membatin sambil mengerutkan dahi. Ia juga mengerjapkan mata berulang, berharap itu hanya mimpi." "Kenapa jadi Pak Adam adik Mbak Sekar? Lalu Andika? Gawat, nih." "Yuk, masuk, Dam. Mbak kenalin kolega dari Yogya. Ada Senja sama Andika." "Ma, diajak duduk dulu lah. Adam dari tadi suntuk tuh. Kelaparan kayaknya. Papa ajak makan nggak mau," celetuk Ardi. Senja hanya bisa menelan ludahnya kala tatapan tajam Adam mengarah padanya. Sedetik kemudian ia justru tidak menggubris ucapan Sekar. Memilih duduk di Sofa, Adam bersikap tak acuh pada Senja maupun Andika. "Lho ternyata Pak Adam adiknya Mbak Sekar, ya? Dunia ini sempit sekali," ucap Andika santai. Namun tidak dengan Senja yang ketar-ketir sedari tadi. Ia berharap Andika tidak membuat rencana kerja samanya dengan Sekar gat
"Fifi?! Kanget tahu, nggak? Kenapa nggak bilang kalau pindah ke sini, sih?" Senja berlari lalu mem3luk tubuh Fifi. Ia tidak pernah berubah. Dilihat oleh Fifi, sahabatnya itu masih saja sama seperti saat kuliah. Suka teriak heboh sendiri. "Udah nyer0cosnya? Kayak kereta aja," sahut Fifi sambil bersungut. Senja melepas p3lukannya sambil terkikik geli. "Lagian kamu nih nggak ada kabarnya." "Yeay, siapa yang ga ada kabar. Nggak kebalik? Kamu kan yang super sibuk. Sejak jadi bos, lupa deh sama sahabat sendiri," cibir Fifi. Keduanya berjalan menuju ruang tunggu stasiun. Sebab kedatangan orang tua Fifi untuk menjenguk cucu sekaligus liburan masih sejam lagi. "Sini, ceritakan tentang kabarmu! Katanya mau nikah? Kapan? Jangan-jangan udah ya? Sejak terakhir ketemu Pak Adam di restoran, aku sudah nggak dapat kabarmu lagi, Ja. Gimana hubungan kalian?" "Nih, gini nih. Tadi aja ngatain aku myerocos kayak kereta. Giliran nanya, kamu juga nggak ada jedanya sama sekali, Fi." Fifi terbahak disusul
Seminggu berlalu, pagi-pagi sekali Senja sudah berangkat menuju kantor Sekar. Ia menginap di hotel tak jauh dari kantor. Padahal Sekar sudah menawarinya menginap. Senja merasa belum akrab, alhasil hanya mengiyakan kalau masa tinggal di hotel telah habis. "Andre!" Senja sudah sampai di kantor Sekar karena permintaan bos besar itu sendiri. "Hah, aku nggak salah lihat?" Andre mengucek matanya dengan salah satu tangan. Sementara tangan lain memegang berkas. "Ini Senja, Ndre." "Astaga! Kamu beneran Senja? Kok kamu bisa sampai sini, Ja?" "Ishh, sini aku yang harusnya tanya kenapa kamu bida di sini, Ndre?" "Aku memang pindah ke sini sudah tiga bulan, Ja." "Apa?! Fifi juga?" Senja menarik lengan Andre lalu celingukan mencari tempat duduk yang nyaman. "Sini lho kalau mau ngobrol. Memangnya kamu sudah hafal tempat-temapat di sini?" celetuk Andre. Senja hanya meringis. Dia terlalu pede dan tidak ingat kalau sedang di perusahaan orang. "Kamu pindah sama Fifi nggak kasih kabar sih, Ndre. A
"Pak. Apa mobilnya sudah siap?" tanya seorang perempuan dengan pakaian modis berhijab. "Siap, Bu. Itu dia mobilnya," seru satpam. Senja mengikuti arah pandang lelaki paruh baya itu ke perempuan tadi. "Ndre tolong handel kerjaan yang di kantor dulu. Saya harus meeting dengan klien." "Siap, Bu Sekar." Senja m3mbelalak sempurna saat percakapan itu tertangkap indera pendengarannya. "Bu Sekar?" Senja menoleh lalu mencari sumber suara tadi. "Hah, Andre? Eh apa itu Bu Sekar." Senja kelabakan melihat Andre suami sahabatnya ada di sini. Antara ingin mengejar Andre atau Bu Sekar, ia bimbang. "Duh, gimana nih?" "Hmm, tunggu, Bu." "Maaf, Mbak. Jangan sembarangan mendekat! Itu bos besar perusahaan ini," cegah seorang satpam yang tadi melayani Senja. Brukk. "Ough." "Maaf, Mbak." Satpam sedikit merasa bersalah karena Senja terpeleset. Lelaki itu segera membantu berdiri karena tidak enak terlihat buruk di mata bosnya. "Hufh. Untung bukan bahuku yang membentur lantai," keluh Senja. Ia meno
Di dalam kereta jurusan Tugu-Gubeng, Senja hanya melamun. Pikirannya tertuju pada Adam. Suaminya bertemu lagi dengan masa lalunya. "Ah, aku kenapa lagi. Harusnya aku fokus memikirkan perusahaan. Bukan malah memikirkan mereka berdua." Senja berusaha menghibur diri. Ia tidak mau gara-gara masalah cinta perusahaan turun temurun milik keluarga hancur. "Sudahlah yang penting aku sudah meninggalkan pesan dan cincin itu di laci. Belum tentu Pak Adam menemukannya juga. Mungkin dia nggak begitu mempedulikan kalaupun aku cerita tentang perjanjian itu. Pasti dia semakin semangat kembali berhubungan dengan Mbak Reva." Lima jam perjalanan akhirnya Senja sampai di stasiun Gubeng. Siang hari yang terik tidak menyurutkan semangatnya menginjakkan kaki di kota pahlawan ini. "Semangat Senja. Kamu pasti bisa." Menghirup udara kota Surabaya, Senja akan memulai petualangan barunya. Dari stasiun, ia naik taksi menuju alamat perusahaan yang diberikan oleh Restu. Sampai di depan sebuah gedung bertingkat
Bab 44 Wanita Spesial"Pak Adam kapan datang?" tanya Senja seraya berbisik saat sudah duduk di sebelah suaminya. Adam mengerutkan dahi mendengar panggilan Senja padanya berubah."Kapan datang?" ulang Senja sedikit kesal karena tidak segera dijawab."Senja buruan sarapan. Papa sama Mama mau berangkat dulu. Kalian selesaikan sarapannya ya.""Iya, Ma," sahut Adam diikuti Senja. Kini di meja makan tinggal ada dua orang yang terdiam. Mereka menikmati sepiring nasgor spesial buatan Papa Irsyad."Kamu....""Ough." Senja m3mekik saat tangan Adam menyentuh bahunya yang sakit."Kenapa, Ja?""Nggak papa, hanya sedikit cidera." Raut wajah Adam berubah khawatir. Ia meletakkan sendok di tangan lalu duduk menghadap Senja."Kamu kemana semalam? Kenapa tidak pulang?" tanya Adam dengan wajah serius. Tatapan tajamnya menyelami manik mata Senja membuat gadis itu beringsut. Memilih fokus dengan nasgornya, Senja tidak tahan ditatap seperti itu. "Saya ada pekerjaan yang harus diselesaikan." Senja mencoba b