Sepulangnya Marten, Anike sibuk membereskan kontrakan Tiara. Mulai dari menyapu, mengepel dan merapikan semua barang-barang, hingga memasak untuk makan malam.Tepat pukul lima sore, tempat tinggal Tiara itu sudah tampak rapi dan bersih. "Akhirnya, beres juga." Anike mengempaskan napas lega.Tak lupa dia menyiapkan dua cangkir teh panas untuk Tiara dan dirinya sendiri. Biasanya sebentar lagi Tiara akan datang."Ah, Teteh datang," ucap Anike saat dia mendengar ketukan pelan di pintu depan. Dia sempat heran karena Tiara mengetuk pintu rumahnya sendiri."Tumben pakai ketuk-ketuk sega ...." Anike tak melanjutkan kalimatnya karena ternyata bukanlah Tiara yang berada di balik pintu, melainkan Gama, kekasih sang kakak."Hai, Tiara ada?" tanya Gama."Masih belum pulang, Kak. Mungkin Teteh lembur," jawab Anike ramah."Oh, lembur mendadak, ya?" Gama menggaruk kepalanya. "Tiara sepertinya lupa mengabariku. Padahal aku membawakan martabak manis kesukaannya," ujar Gama sedikit kecewa.Anike melirik
Jam beker berdering nyaring di atas nakas. Dengan mata yang masih terpejam, tangan Anike meraba-raba hingga menemukan tombol untuk mematikan alarm.Matanya terpicing mengamati jarum jam. "Masih pukul empat," gumam Anike pelan. Namun, dia tetap harus bangun dan menyiapkan segalanya sebelum Tiara berangkat bekerja.Anike memulai dari membereskan kamar, menyapu lantai dan menyiapkan sarapan di dapur. Hidangan matang, bersamaan dengan Tiara yang keluar dari kamar sambil menguap."Untung ada kamu, Ke. Aku capek banget tadi malam, jadi bangun kesiangan," ujar Tiara."Nggak apa-apa, Teh. Mumpung aku di sini. Mandi dulu sana," suruh Anike yang sibuk menata meja makan."Ya, sudah. Aku mandi dulu, ya." Tiara tersenyum, lalu beranjak ke kamar mandi.Tak berselang lama, terdengar ketukan kencang dari arah pintu depan. "Siapa yang bertamu pagi-pagi begini?" gerutu Anike. Serbet dapur dia letakkan di pundak saat membuka pin
"Kau hendak tinggal berdua dengan Anike?" Marten tertawa mendengar pertanyaan Carlen. Diperhatikannya wajah sang kakak yang tampak tegang. "Tidak masalah, kan? Kami berdua sama-sama lajang," sahutnya enteng sembari hendak berlalu dari Carlen. Akan tetapi, baru satu langkah, Carlen sudah mencekal lengan Marten dan mencengkeramnya erat-erat. Rahangnya mengeras sambil menatap Marten tajam. "Jangan macam-macam, atau ...." "Atau apa?" potong Marten. Dia menunggu tanggapan dari Carlen yang ternyata tak melanjutkan kata-katanya. Carlen tiba-tiba mundur perlahan, lalu berbalik meninggalkan Marten. Seperti biasa, pria rupawan itu mengurung diri di dalam ruang kerja. Segala cara dia lakukan agar tetap fokus pada setumpuk berkas dan dokumen yang sudah menunggu. Namun, wajah cantik Anike tak mau hilang dari pikiran. "Ah, kurang ajar sekali wanita itu. Sudah berpisah, masih saja mengganggu hidupku!" Carlen menggerutu sendiri. Pada akhirnya, Carlen mengalah. Dia memilih untuk tidak melanjutkan
Anike sontak melotot mendengar pengakuan Carlen. Entah apa lagi yang pria itu rencanakan. “Anda jangan macam-macam ya, Tuan. Jangan membuat ulah di rumah sakit!” tegur Anike. “Aku hanya mengatakan yang sebenarnya,” elak Carlen. “Apa Tuan ini memang suami ibu?” tanya perawat itu memastikan. “Bukan!” “Iya!” Anike dan Carlen menjawab secara bersamaan. “Jadi yang benar yang mana?” si petugas medis memandang ke arah Anike dan Carlen secara bergantian. “Begini, aku tidak suka membuang-buang waktu,” ujar Carlen seraya merogoh sesuatu dari kantong celananya. Dia mengeluarkan dompet kulit mahal, lalu mengambil beberapa lembar uang ratusan ribu. “Tiga ratus ribu tunai, asalkan anda mau menjawab pertanyaan saya. Apakah pasien anda yang satu ini hamil?” tanya Carlen penuh penekanan sambil menyodorkan uang tadi pada si perawat. “Hamil?” ulang Anike keheranan. Dia hendak menimpali Carlen, tetapi dirinya lebih dulu merasakan mual. Sang perawat sigap memberikan wadah bagi Anike untuk mengelua
"Ke Jerman?" desis Anike. Seketika rasa mual di perutnya berganti dengan mulas serta melilit."Kau punya paspor, kan?" tanya Marten.Anike menggeleng. "Aku tidak pernah mengurus paspor, Tuan," jawabnya lugu."Kenapa kau tidak mengurus berkas sepenting itu?" Marten menggeleng tak mengerti."Untuk apa? Saya pergi paling jauh cuma waktu mudik lebaran," terang Anike."Kau tidak ada keinginan untuk keluar negeri?" cecar Marten."Ehm, aku tidak pernah membayangkan pergi ke luar negeri, selain untuk menjadi TKW. Namun, aku tidak berminat. Takut dihamili majikan," ucap Anike asal."Ada-ada saja kau ini." Marten tergelak mendengar jawaban Anike. "Sekarang cukup bercandanya. Aku serius mengajakmu ke Jerman," lanjut Marten."Tapi ...." Anike gelisah. Dia tak memungkiri bahwa ajakan Marten benar-benar bagaikan mimpi. Siapa yang tak ingin melancong dan merasakan hidup di luar negeri. Namun, seketika bayangan Tiara dan kedua orang tuanya had
“Kamu gila ya, Ke!” Tiara melotot tajam. Baru saja dirinya meminta maaf pada Anike dan menyesali perbuatannya. Akan tetapi, kini Anike kembali melakukan sesuatu di luar nalar, sehingga kembali menyulut emosi Tiara.“Eit, sabar dulu! Aku hanya menumpang di sana. Tuan Marten memberikan satu kamar tamu, Teh. Dia sopan, kok. Nggak pernah berbuat kurang ajar,” sanggah Anike.“Iya, tetap saja, Ke. Orang melihatnya tuh, kamu tinggal berdua sama laki-laki. Walaupun kalian nggak ngapa-ngapain, tapi ….”“Aku sudah tidak peduli omongan orang, Teh. Yang penting aku tidak melakukan sesuatu yang melanggar batas,” potong Anike.“Ya, ampun!” Tiara meraup mukanya kasar. “Ini nih, yang membuatku lepas kendali,” sungutnya.“Tuan Marten juga mengajakku ke Jerman, Teh,” ujar Anike yang kembali membuat Tiara terkejut. Seolah sebuah petir besar menyambar ujung kepala Tiara dan membuat ubun-ubunnya berasap.“Untuk apa jauh-jauh ke sana? Apa kamu nggak kasihan dengan Abah dan Emak?” sergah Tiara.“Aku mau car
Setelah menatap Marten, Carlen mengalihkan perhatian sepenuhnya pada Anike. “Benarkah itu?” tanyanya. “Seperti yang anda dengar.” Anike mencoba untuk tersenyum, meskipun hatinya terasa tak karuan. “Aku sama sekali tidak mengerti, Anike.” Carlen menggeleng pelan. “Apa yang tidak anda mengerti?” balas Anike. “Di satu sisi, aku bisa merasakan sikapmu yang ….” Carlen menjeda kalimatnya, lalu menoleh pada Marten. “Aku ingin bicara berdua dengannya. Bisakah kau keluar?” Carlen menyuruh Marten seenaknya. “Apa kau lupa? Ini apartemenku. Seharusnya kau yang keluar.” Marten mendengkus kesal. “Baiklah kalau begitu.” Carlen tersenyum kalem. Dia kembali memusatkan perhatian pada Anike. “Ayo, kita bicara di luar. Apa sambil makan siang?” tawarnya lembut seraya menarik tangan Anike tanpa permisi. “Tunggu! Kau tak boleh membawanya pergi ke manapun!” sergah Marten. “Apa hakmu? Apa sekarang giliran kau yang ingin mengikat Anike dan membelenggu kebebasannya?” pancing Carlen. Sekilas dirinya melir
"Apa maumu, Anike?" Carlen mengempaskan napas pelan. Dia mencoba untuk bersabar terhadap sikap wanita cantik di hadapannya itu."Aku ingin kita kembali, sebagai pasangan suami istri yang sebenarnya. Tanpa kontrak," tegas Anike."Itu tidak mungkin." Carlen terbahak. "Apanya yang tidak mungkin? Tanpa perjanjian kontrak pun kita tetap bisa bersenang-senang. Mempunyai anak-anak yang lucu ....""Cukup, Anike. Jangan terlalu berlebihan," potong Carlen tak suka."Apanya yang berlebihan, Tuan?" Anike menggigit bibir demi menahan air mata agar tak jatuh."Jangan meminta sesuatu di luar batas!" tolak Carlen.Seketika Anike terdiam. Angan-angannya untuk dapat mereguk kebahagiaan dalam bahtera rumah tangga yang sebenarnya bersama Carlen, harus pupus."Bodohnya aku." Anike terkekeh pelan. "Kupikir anda memiliki perasaan yang sama denganku.""Memangnya apa yang kau pikirkan?" "Apa anda tidak bisa melihatny
"Anike!" seru Carlen seraya melemparkan pistol yang berhasil dia rebut dari Diana, ke arah Marten. Marten sigap menangkap pistol tersebut dan menyembunyikannya di balik pinggang. Sementara Maya berteriak histeris melihat Anike yang terkulai. Dia menghambur bersamaan dengan Carlen yang mengangkat tubuh istrinya. Diana sendiri hanya bisa berdiri terpaku. Tubuhnya membeku melihat Anike yang bersimbah darah. "Awasi Diana! Aku akan membawa Anike ke rumah sakit!" titah Carlen yang tak memedulikan apapun lagi. Dia membopong sang istri yang tak sadarkan diri menuju mobil mewah yang masih terparkir di halaman."Ya, Tuhan! Ada apa ini, Tuan?" Yanto berlari tergopoh-gopoh mendekati majikannya. "Siapkan mobil! Antarkan aku ke rumah sakit!" seru Carlen. Tanpa membuang waktu, Yanto segera membukakan pintu mobil dan membantu membaringkan Anike di jok belakang. Dia meletakkan kepala Anike di pangkuan Carlen. Setelah memastikan bahwa Carlen dan Anike berada pada posisi nyaman, Yanto bergegas duduk
"Kenapa, Tuan?" tanya Anike curiga. Diperhatikannya wajah tampan sang suami yang seolah tengah menyembunyikan sesuatu. "Kita harus pulang sekarang," ucap Carlen tanpa menjawab pertanyaan Anike. "Kamu juga Maya. Kemasi barang-barangmu sekarang juga. Kita akan kembali ke Jakarta sekarang sebelum bertolak ke Jerman," ajak Marten. Anike dan Maya tak membantah sama sekali. Setelah memberi pengertian pada Saodah dan Abdul Manaf, serta berpamitan pada para tamu, dua pasang mempelai itu bergegas meninggalkan gedung resepsi. Carlen dan Anike kembali ke rumah Abdul Manaf, sedangkan Marten membantu Maya bersiap-siap. Satu jam kemudian, sopir pribadi Carlen datang menjemput. Mereka masuk ke dalam mobil dengan tergesa-gesa, membuat Anike semakin was-was. "Sebenarnya ada apa ini, Tuan?" desaknya. Carlen yang duduk di samping Anike, hanya bisa menarik napas panjang. Butuh waktu lama baginya untuk menjawab pertanyaan sang istri. "Ini tentang Diana," ucap Carlen pada akhirnya. "Kenapa lagi dia?"
Maya ragu-ragu menatap Marten. Pria di hadapannya itu sungguh bersikap di luar dugaan. Pertemuan mereka yang singkat sama sekali tak membuat Marten ragu untuk melamar Maya. "Apa anda yakin, Tuan?" tanyanya hati-hati. "Seratus persen!" jawab Marten tegas. "Meskipun kita baru saja bertemu dan berkenalan?" tanya Maya lagi, sekadar untuk memastikan. "Aku bukan pria plin-plan. Sekali 'iya', maka selamanya akan tetap seperti itu. Aku ingin menikahi dan membawamu pergi," jelas Marten. "Nanti kalau anda tidak cocok dengan sifat dan kebiasaanku, bagaimana? Saya orangnya suka ngambekan," ungkap Maya. "Suka kentut juga," sahut Tatang. "Makannya banyak!" Engkos Kusnandar juga tak mau kalah. "Itu semua adalah resiko yang harus kuterima dengan lapang dada," ucap Marten. "Aku sudah mempunyai modal awal, yaitu perasaan jatuh cinta padamu. Seharusnya rasa itu saja sudah cukup untuk mengatasi semua hal-hal tak menyenangkan yang mungkin muncul di masa yang akan datang," lanjutnya. "Tuan ...." Ma
"Aku pergi dulu," ucap Marten. Dia tak memedulikan tugasnya sebagai pendamping Carlen di pelaminan. Marten malah berlari turun mengejar Maya. "Hei, sedang apa?" sapanya pada gadis cantik itu.Maya sedikit terkejut dan langsung menoleh. "Eh, Tuan," jawabnya balas menyapa. "Sedang membantu menghidangkan makanan untuk para tamu."Buat apa? Sudah ada wedding organizer yang mengurus segalanya. Ikut aku saja," ajak Marten. Dia menggandeng Maya keluar dari gedung, menuju ke taman belakang. "Mau apa ke sini, Tuan?" tanya Maya keheranan."Tidak ada. Hanya ingin mengobrol saja. Di dalam terlalu banyak orang. Selain itu, aku tak suka dipajang seperti patung," gerutu Marten."Itu namanya bukan dipajang, Tuan. Anda itu mewakili keluarga Tuan Carlen,' tutur Maya."Ah, ribet sekali. Aku tidak suka. Seharusnya cukup dua orang itu saling mencintai. Kalaupun menikah, tidak perlu mengundang banyak orang seperti ini. Merepotkan saja." Marten terus mengungkapkan rasa kesalnya."Nanti kalau anda menikah,
"Berikan aku alamatnya!" desak Diana. "Maaf, saya sendiri juga tidak tahu," jawab Yanto. "Jangan bohong kamu, ya!" Diana nekat maju, mendekati Yanto. Tanpa ragu, dia menarik krah seragam satpam yang Yanto kenakan. "Cepat berikan alamat mertua Carlen! Atau aku akan ...." "Ada ribut-ribut apa ini?" tanya seseorang, memotong kalimat Diana begitu saja. Wanita itu segera melepaskan cengkeramannya dari Yanto dan menoleh ke arah suara. "Oh, Pak Pandu rupanya." Diana tersenyum sinis. "Silakan anda pergi dari sini kalau tidak ingin saya panggilkan polisi," ancam Pandu dengan raut datar. "Anda tidak bisa memaksa saya!" Diana malah mengangkat dagu, seolah menantang Pandu. "Anda sudah cukup banyak membuat masalah, Bu Diana. Mulai dari menjebak Tuan Carlen, melukai, menipu serta terlibat dalam penculikan terhadap Nyonya Anike. Jika Tuan Carlen berkenan memproses kasus ini ke jalur hukum, maka saya dapat memastikan bahwa anda akan mendekam lama di penjara. Apalagi koneksi Tuan Carlen terhada
Beberapa hari telah berlalu, kini Marten telah terbiasa melakukan segala pekerjaan rumah tangga. Mulai dari menyapu, mengepel dan mencuci piring. Dia bahkan bisa mencuci bajunya sendiri dengan cara manual. Selama waktu itu, dia juga semakin akrab dengan Maya. Seperti siang itu saat mereka berdua berbincang santai di teras depan. "Kapan teh Anike datang?" tanya Maya basa-basi. "Kabarnya sih hari ini. Tadi dia meneleponku," jawab Marten. "Anda sampai kapan di sini?" tanya Maya lagi. "Mungkin sampai selesai resepsi. Kenapa?" Marten balik bertanya. Dia mengalihkan perhatian sepenuhnya pada Maya dan menatap paras cantik itu dengan sorot penuh kekaguman. "Tidak apa-apa." Maya menggeleng pelan seraya memalingkan muka. Dia sama sekali tak terbiasa beradu pandang dalam jarak yang sedekat itu. "Apa kamu mau ikut denganku?" tawar Marten tiba-tiba, membuat Maya langsung menoleh ke arahnya. "Ikut? Ke ... kemana?" tanya gadis lugu itu terbata. "Kita ke Jakarta dulu, setelah itu aku akan men
Tanpa memedulikan celotehan Abdul Manaf, Marten langsung berdiri dan meninggalkan pekerjaannya begitu saja. Pisau yang digunakan untuk membersihkan sisik ikan, Marten lemparkan ke atas tanah. "Hei, Nak Marten! Mau ke mana?" tanya Abdul Manaf keheranan. Tak hanya dirinya, bapak-bapak yang lain pun bingung melihat tingkah pria asli Jerman itu. "Ikannya masih banyak yang belum dibersihkan!" teriaknya. Akan tetapi, Marten tetap tak memedulikan panggilan itu. Fokus utamanya hanyalah Maya. Gadis itu terlihat sangat cantik dan segar dalam balutan daster merah. Wajahnya terlihat amat menawan meskipun tak berpoleskan make up sama sekali. "Hei! Ayo, bantu aku memutilasi ikan," ajak Marten sesaat setelah dirinya berhasil menyusul Maya dan mencekal lengannya. "Hah?" Maya langsung menoleh sambil mengernyitkan dahi. "Itu, membuang sisik ikan dan membelah perutnya," ujar Marten seraya mengarahkan telunjuknya pada Abdul Manaf bersama sekum
Kegiatan menguras kolam ikan berlangsung sampai jam delapan pagi. Mereka baru berhenti setelah semua ikan berhasil ditangkap. Kolam tersebut menyisakan lumpur hitam yang semburat tak beraturan, akibat perang lumpur yang sempat berlangsung. "Aku merasa badanku gatal-gatal," gerutu Marten yang lebih dulu melompat keluar dari kolam. "Nak Marten mau mandi?" tanya Saodah. "Itu sudah pasti. Aku tidak tahan baunya," jawab Marten sambil bersungut-sungut. "Kalau begitu, harus antri. Di sini emak yang berhak masuk ke kamar mandi lebih dulu!" ujar Abdul Manaf. "Kalian punya berapa kamar mandi?" Marten menautkan alisnya. "Satu." Abdul Manaf tersenyum lebar seraya menepuk pundak Marten. "Apa! Jadi, aku harus antri?" Marten menunjuk batang hidungnya yang mancung. "Kau urutan terakhir," sahut Carlen enteng. Dia melangkah santai melewati Marten sambil merangkul Anike. "Sialan!" umpat Marten. Dia sudah tak taha
Anike dan Carlen tengah berkencan di ruang tamu. Mereka berdua asyik bercengkerama. Tak jarang Carlen mencuri-curi ciuman dari sang istri. Sementara Anike membalasnya dengan cubitan mesra di pipi dan pinggang. Namun, kemesraan itu harus terjeda ketika Marten masuk ke dalam rumah sambil senyum-senyum sendiri. "Kenapa berhenti? Lanjutkan pacarannya. Anggap saja aku tak ada di sini," ucap Marten santai saat pasangan suami istri itu menatap heran ke arahnya. "Darimana, Marten? Perasaan tadi kau masuk ke dalam kamar?" tanya Carlen bingung. "Kau tidak perlu tahu." Marten mengedipkan sebelah mata, kemudian berlalu begitu saja menuju kamarnya, membuat Carlen dan Anike semakin bertanya-tanya. Dua sejoli itu saling pandang sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali bermesraan. Tanpa terasa, waktu berjalan begitu cepat. Malam datang menjelang. Di kampung Anike, jam sembilan malam terasa seperti tengah malam. Warga lebih suka bergelung di balik selimut di kamar masing-masing. Seperti halnya Mar