“Tu-tuan? Anda sudah pulang?” tanya Anike terbata. Dia gemetar, menatap sosok tinggi tegap yang memandangnya dengan sorot berbeda.
“Aku baru kembali dari mengantarkan Diana ke rumahnya,” sahut Carlen tanpa melepaskan pandangan.
“Bagaimana? Apakah kencan butanya lancar?” tanya Anike lagi. Tak lupa dia memasang tampang ceria, meskipun hatinya tak karuan.
“Apa kau yang mengatur semua rencana tadi?” Carlen malah balik bertanya.
“Rencana apa?”
“Jangan pura-pura.” Carlen mendekatkan wajah sembari menyentuh pipi mulus Anike. “Apa kau sudah tidak sabar untuk segera keluar dari rumahku?”
Anike tak menjawab. Dia terlalu sibuk mengatur napas yang tak beraturan. Jantungnya seolah tak berfungsi normal, sehingga Anike harus meremas dada untuk menahan rasa yang hampir meledak.
“Kenapa diam saja?” tanya Carlen lagi. Suaranya terdengar begitu dalam dan lemb
“Apa?” Anike segera mendongakkan wajah dan menatap tak percaya ke arah Carlen. “Seperti yang kau inginkan tadi. Aku memberimu kebebasan. Jalanilah hidupmu dengan sebaik-baiknya.” Carlen tersenyum kalem. Tak terlihat penyesalan atau sedikitpun kesedihan di wajah tampannya. Kalimat Carlen bagaikan pisau tajam yang menghujam jantung Anike. Terlebih raut suami kontraknya itu seakan tanpa beban, membuat batin Anike semakin tersiksa. Dia membalikkan badan dan tidur membelakangi Carlen. “Selamat tidur, Tuan,” ucapnya lirih. Sebisa mungkin dia memejamkan mata. Barangkali tidur dapat menyembuhkan luka hatinya. Carlen tak membalas ucapan itu. Namun, dia beringsut mendekat dan memeluk Anike dari belakang. Tak membutuhkan waktu lama bagi Carlen untuk terlelap. Dengkuran halus terdengar, menggelitik telinga Anike yang nyatanya tak bisa tidur sama sekali. Air mata menetes, membasahi pipi mulusnya. “Tak ada lagi yang tersisa,” gumam Anike pelan. Malam itu, dia kehilangan harga diri dan kehormatan
Carlen terbangun saat seseorang memercikkan air ke wajahnya. Sambil memicingkan mata, samar-samar dia melihat sosok seorang gadis sedang membawa segelas air. “Anike? Kau sudah bangun?” tanyanya dengan suara parau.“Aku Lula,” jawab sosok itu.“Lula?” Carlen bangkit, lau mengucek-ucek matanya. “Di mana Anike?”“Justru itu yang ingin kutanyakan padamu. Aku kemari hendak mencarinya, tapi malah kamu yang tidur di kamar Anike,” ujar Lula. Dia memperhatikan setiap sudut ruangan, lalu kembali fokus pada Carlen. “Bajumu berserakan di mana-mana. Apa tadi malam kalian berdua ….”“Begitulah,” balas Carlen malas.“Ya, ampun! Senangnya aku!” Lula bersorak sorai, sampai lupa kalau dirinya sedang membawa gelas. “Lantas, di mana Anike sekarang?”“Ck, kau lihat kan, kalau aku baru bangun tidur,” gerutu Carlen. “Berbaliklah dulu
“Lula?” Anike menelan ludah saat adik bungsu Carlen sudah berdiri anggun di hadapannya.“Kenapa kau pergi dari rumah? Carlen khawatir setengah mati,” ujar Lula tanpa basa-basi.“Untuk apa dia khawatir? Toh, tadi malam kakakmu sudah mengatakan kalau kami akan berpisah hari ini.” Anike memalingkan muka. Tak berani menatap ke arah Lula sama sekali.“Benarkah?” Lula maju selangkah. Bola mata hazelnya lekat menatap Anike sambil berusaha memahami apa yang baru saja Anike ucapkan.“Kalau memang Carlen berniat untuk berpisah, kenapa pagi ini dia terlihat sedih dan gusar?” Lula memicingkan matanya. “Dengar ya, Anike. Aku mengenal kakakku sejak kecil. Dia memang aneh dan galak, tapi aku bisa menilai bahwa kepanikannya saat kamu menghilang itu nyata. Dia benar-benar khawatir padamu,” imbuhnya.“Aku ….”“Siapa tamunya, Ke?” sela Tiara, yang tiba-tiba sudah berdiri di samping Anike. “Siapa dia?” Tiara menatap Lula curiga.“Adik bungsu Tuan Carlen,” jawab Anike pelan.“Oh, jadi ini yang merusak hid
“Oh, tidak bisa! Anda tidak bisa seenaknya membawa pergi adik saya. Sekarang, tinggalkan tempat ini sebelum saya melaporkan anda pada polisi! Saya tidak takut meskipun anda kaya raya dan berkuasa sekalipun!” ancam Tiara tak gentar.Carlen tak menanggapi. Dia hanya memandang Tiara dengan sorot tenang, tanpa mengucapkan sepatah katapun. “Jangan membuat segala sesuatunya menjadi sulit, Nona. Aku tidak ingin membuat keributan,” ujarnya kalem.“Apa anda mengancam saya?” Intonasi Tiara semakin meninggi.“Bukankah anda yang lebih dulu mengancam saya?” balas Carlen santai.Kedua tangan Tiara terkepal. Jikalau bisa, ingin rasanya dia memukul wajah tampan pria di hadapannya itu. Akan tetapi, Tiara mengurungkannya karena membayangkan berapa jumlah ganti rugi yang harus dia berikan untuk Carlen, andai pria bule itu menuntutnya.“Kalau memang anda peduli pada Anike, tolong tinggalkan dia dan biarkan adik saya hidup bahagia.” Nada bicara Tiara melunak.“Darimana anda tahu jika dia akan hidup bahagi
"Tolong, jangan mempersulit hidup saya, Tuan Marten. Saya hanya ingin pulang sekarang," pinta Anike memelas. "Aku hanya menyapamu, Anike. Aku tidak bermaksud apa-apa," elak Marten."Aku sudah tidak memiliki hubungan apapun dengan keluarga anda. Tuan Carlen sudah memutuskanku," jelas Anike dengan dada sesak."Apa?" desis Marten. "Kukira kalian berdua ...." Dia mengarahkan telunjuknya pada Anike."Tidak apa-apa, Tuan. Aku sudah sangat paham di mana posisiku," ujar Anike sambil tertawa lirih. "Sudahlah, aku pulang dulu. Kakak sudah menunggu.""Tunggu!" cegah Marten. "Biar aku yang mengantarmu.""Tidak usah! Aku tidak ingin merepotkan siapapun lagi!" tolak Anike seraya berusaha membuka gerbang otomatis yang masih terkunci."Ck." Marten menggeleng pelan. Dia terheran-heran melihat sikap Anike yang keras kepala. "Kau bukan manusia super yang bisa menarik besi setebal itu," ejeknya sembari masuk ke dalam pos, lalu menekan tombol buka otomatis.Gerbang pun terbuka pelan."Kau tunggulah di sit
Sepulangnya Marten, Anike sibuk membereskan kontrakan Tiara. Mulai dari menyapu, mengepel dan merapikan semua barang-barang, hingga memasak untuk makan malam.Tepat pukul lima sore, tempat tinggal Tiara itu sudah tampak rapi dan bersih. "Akhirnya, beres juga." Anike mengempaskan napas lega.Tak lupa dia menyiapkan dua cangkir teh panas untuk Tiara dan dirinya sendiri. Biasanya sebentar lagi Tiara akan datang."Ah, Teteh datang," ucap Anike saat dia mendengar ketukan pelan di pintu depan. Dia sempat heran karena Tiara mengetuk pintu rumahnya sendiri."Tumben pakai ketuk-ketuk sega ...." Anike tak melanjutkan kalimatnya karena ternyata bukanlah Tiara yang berada di balik pintu, melainkan Gama, kekasih sang kakak."Hai, Tiara ada?" tanya Gama."Masih belum pulang, Kak. Mungkin Teteh lembur," jawab Anike ramah."Oh, lembur mendadak, ya?" Gama menggaruk kepalanya. "Tiara sepertinya lupa mengabariku. Padahal aku membawakan martabak manis kesukaannya," ujar Gama sedikit kecewa.Anike melirik
Jam beker berdering nyaring di atas nakas. Dengan mata yang masih terpejam, tangan Anike meraba-raba hingga menemukan tombol untuk mematikan alarm.Matanya terpicing mengamati jarum jam. "Masih pukul empat," gumam Anike pelan. Namun, dia tetap harus bangun dan menyiapkan segalanya sebelum Tiara berangkat bekerja.Anike memulai dari membereskan kamar, menyapu lantai dan menyiapkan sarapan di dapur. Hidangan matang, bersamaan dengan Tiara yang keluar dari kamar sambil menguap."Untung ada kamu, Ke. Aku capek banget tadi malam, jadi bangun kesiangan," ujar Tiara."Nggak apa-apa, Teh. Mumpung aku di sini. Mandi dulu sana," suruh Anike yang sibuk menata meja makan."Ya, sudah. Aku mandi dulu, ya." Tiara tersenyum, lalu beranjak ke kamar mandi.Tak berselang lama, terdengar ketukan kencang dari arah pintu depan. "Siapa yang bertamu pagi-pagi begini?" gerutu Anike. Serbet dapur dia letakkan di pundak saat membuka pin
"Kau hendak tinggal berdua dengan Anike?" Marten tertawa mendengar pertanyaan Carlen. Diperhatikannya wajah sang kakak yang tampak tegang. "Tidak masalah, kan? Kami berdua sama-sama lajang," sahutnya enteng sembari hendak berlalu dari Carlen. Akan tetapi, baru satu langkah, Carlen sudah mencekal lengan Marten dan mencengkeramnya erat-erat. Rahangnya mengeras sambil menatap Marten tajam. "Jangan macam-macam, atau ...." "Atau apa?" potong Marten. Dia menunggu tanggapan dari Carlen yang ternyata tak melanjutkan kata-katanya. Carlen tiba-tiba mundur perlahan, lalu berbalik meninggalkan Marten. Seperti biasa, pria rupawan itu mengurung diri di dalam ruang kerja. Segala cara dia lakukan agar tetap fokus pada setumpuk berkas dan dokumen yang sudah menunggu. Namun, wajah cantik Anike tak mau hilang dari pikiran. "Ah, kurang ajar sekali wanita itu. Sudah berpisah, masih saja mengganggu hidupku!" Carlen menggerutu sendiri. Pada akhirnya, Carlen mengalah. Dia memilih untuk tidak melanjutkan
"Anike!" seru Carlen seraya melemparkan pistol yang berhasil dia rebut dari Diana, ke arah Marten. Marten sigap menangkap pistol tersebut dan menyembunyikannya di balik pinggang. Sementara Maya berteriak histeris melihat Anike yang terkulai. Dia menghambur bersamaan dengan Carlen yang mengangkat tubuh istrinya. Diana sendiri hanya bisa berdiri terpaku. Tubuhnya membeku melihat Anike yang bersimbah darah. "Awasi Diana! Aku akan membawa Anike ke rumah sakit!" titah Carlen yang tak memedulikan apapun lagi. Dia membopong sang istri yang tak sadarkan diri menuju mobil mewah yang masih terparkir di halaman."Ya, Tuhan! Ada apa ini, Tuan?" Yanto berlari tergopoh-gopoh mendekati majikannya. "Siapkan mobil! Antarkan aku ke rumah sakit!" seru Carlen. Tanpa membuang waktu, Yanto segera membukakan pintu mobil dan membantu membaringkan Anike di jok belakang. Dia meletakkan kepala Anike di pangkuan Carlen. Setelah memastikan bahwa Carlen dan Anike berada pada posisi nyaman, Yanto bergegas duduk
"Kenapa, Tuan?" tanya Anike curiga. Diperhatikannya wajah tampan sang suami yang seolah tengah menyembunyikan sesuatu. "Kita harus pulang sekarang," ucap Carlen tanpa menjawab pertanyaan Anike. "Kamu juga Maya. Kemasi barang-barangmu sekarang juga. Kita akan kembali ke Jakarta sekarang sebelum bertolak ke Jerman," ajak Marten. Anike dan Maya tak membantah sama sekali. Setelah memberi pengertian pada Saodah dan Abdul Manaf, serta berpamitan pada para tamu, dua pasang mempelai itu bergegas meninggalkan gedung resepsi. Carlen dan Anike kembali ke rumah Abdul Manaf, sedangkan Marten membantu Maya bersiap-siap. Satu jam kemudian, sopir pribadi Carlen datang menjemput. Mereka masuk ke dalam mobil dengan tergesa-gesa, membuat Anike semakin was-was. "Sebenarnya ada apa ini, Tuan?" desaknya. Carlen yang duduk di samping Anike, hanya bisa menarik napas panjang. Butuh waktu lama baginya untuk menjawab pertanyaan sang istri. "Ini tentang Diana," ucap Carlen pada akhirnya. "Kenapa lagi dia?"
Maya ragu-ragu menatap Marten. Pria di hadapannya itu sungguh bersikap di luar dugaan. Pertemuan mereka yang singkat sama sekali tak membuat Marten ragu untuk melamar Maya. "Apa anda yakin, Tuan?" tanyanya hati-hati. "Seratus persen!" jawab Marten tegas. "Meskipun kita baru saja bertemu dan berkenalan?" tanya Maya lagi, sekadar untuk memastikan. "Aku bukan pria plin-plan. Sekali 'iya', maka selamanya akan tetap seperti itu. Aku ingin menikahi dan membawamu pergi," jelas Marten. "Nanti kalau anda tidak cocok dengan sifat dan kebiasaanku, bagaimana? Saya orangnya suka ngambekan," ungkap Maya. "Suka kentut juga," sahut Tatang. "Makannya banyak!" Engkos Kusnandar juga tak mau kalah. "Itu semua adalah resiko yang harus kuterima dengan lapang dada," ucap Marten. "Aku sudah mempunyai modal awal, yaitu perasaan jatuh cinta padamu. Seharusnya rasa itu saja sudah cukup untuk mengatasi semua hal-hal tak menyenangkan yang mungkin muncul di masa yang akan datang," lanjutnya. "Tuan ...." Ma
"Aku pergi dulu," ucap Marten. Dia tak memedulikan tugasnya sebagai pendamping Carlen di pelaminan. Marten malah berlari turun mengejar Maya. "Hei, sedang apa?" sapanya pada gadis cantik itu.Maya sedikit terkejut dan langsung menoleh. "Eh, Tuan," jawabnya balas menyapa. "Sedang membantu menghidangkan makanan untuk para tamu."Buat apa? Sudah ada wedding organizer yang mengurus segalanya. Ikut aku saja," ajak Marten. Dia menggandeng Maya keluar dari gedung, menuju ke taman belakang. "Mau apa ke sini, Tuan?" tanya Maya keheranan."Tidak ada. Hanya ingin mengobrol saja. Di dalam terlalu banyak orang. Selain itu, aku tak suka dipajang seperti patung," gerutu Marten."Itu namanya bukan dipajang, Tuan. Anda itu mewakili keluarga Tuan Carlen,' tutur Maya."Ah, ribet sekali. Aku tidak suka. Seharusnya cukup dua orang itu saling mencintai. Kalaupun menikah, tidak perlu mengundang banyak orang seperti ini. Merepotkan saja." Marten terus mengungkapkan rasa kesalnya."Nanti kalau anda menikah,
"Berikan aku alamatnya!" desak Diana. "Maaf, saya sendiri juga tidak tahu," jawab Yanto. "Jangan bohong kamu, ya!" Diana nekat maju, mendekati Yanto. Tanpa ragu, dia menarik krah seragam satpam yang Yanto kenakan. "Cepat berikan alamat mertua Carlen! Atau aku akan ...." "Ada ribut-ribut apa ini?" tanya seseorang, memotong kalimat Diana begitu saja. Wanita itu segera melepaskan cengkeramannya dari Yanto dan menoleh ke arah suara. "Oh, Pak Pandu rupanya." Diana tersenyum sinis. "Silakan anda pergi dari sini kalau tidak ingin saya panggilkan polisi," ancam Pandu dengan raut datar. "Anda tidak bisa memaksa saya!" Diana malah mengangkat dagu, seolah menantang Pandu. "Anda sudah cukup banyak membuat masalah, Bu Diana. Mulai dari menjebak Tuan Carlen, melukai, menipu serta terlibat dalam penculikan terhadap Nyonya Anike. Jika Tuan Carlen berkenan memproses kasus ini ke jalur hukum, maka saya dapat memastikan bahwa anda akan mendekam lama di penjara. Apalagi koneksi Tuan Carlen terhada
Beberapa hari telah berlalu, kini Marten telah terbiasa melakukan segala pekerjaan rumah tangga. Mulai dari menyapu, mengepel dan mencuci piring. Dia bahkan bisa mencuci bajunya sendiri dengan cara manual. Selama waktu itu, dia juga semakin akrab dengan Maya. Seperti siang itu saat mereka berdua berbincang santai di teras depan. "Kapan teh Anike datang?" tanya Maya basa-basi. "Kabarnya sih hari ini. Tadi dia meneleponku," jawab Marten. "Anda sampai kapan di sini?" tanya Maya lagi. "Mungkin sampai selesai resepsi. Kenapa?" Marten balik bertanya. Dia mengalihkan perhatian sepenuhnya pada Maya dan menatap paras cantik itu dengan sorot penuh kekaguman. "Tidak apa-apa." Maya menggeleng pelan seraya memalingkan muka. Dia sama sekali tak terbiasa beradu pandang dalam jarak yang sedekat itu. "Apa kamu mau ikut denganku?" tawar Marten tiba-tiba, membuat Maya langsung menoleh ke arahnya. "Ikut? Ke ... kemana?" tanya gadis lugu itu terbata. "Kita ke Jakarta dulu, setelah itu aku akan men
Tanpa memedulikan celotehan Abdul Manaf, Marten langsung berdiri dan meninggalkan pekerjaannya begitu saja. Pisau yang digunakan untuk membersihkan sisik ikan, Marten lemparkan ke atas tanah. "Hei, Nak Marten! Mau ke mana?" tanya Abdul Manaf keheranan. Tak hanya dirinya, bapak-bapak yang lain pun bingung melihat tingkah pria asli Jerman itu. "Ikannya masih banyak yang belum dibersihkan!" teriaknya. Akan tetapi, Marten tetap tak memedulikan panggilan itu. Fokus utamanya hanyalah Maya. Gadis itu terlihat sangat cantik dan segar dalam balutan daster merah. Wajahnya terlihat amat menawan meskipun tak berpoleskan make up sama sekali. "Hei! Ayo, bantu aku memutilasi ikan," ajak Marten sesaat setelah dirinya berhasil menyusul Maya dan mencekal lengannya. "Hah?" Maya langsung menoleh sambil mengernyitkan dahi. "Itu, membuang sisik ikan dan membelah perutnya," ujar Marten seraya mengarahkan telunjuknya pada Abdul Manaf bersama sekum
Kegiatan menguras kolam ikan berlangsung sampai jam delapan pagi. Mereka baru berhenti setelah semua ikan berhasil ditangkap. Kolam tersebut menyisakan lumpur hitam yang semburat tak beraturan, akibat perang lumpur yang sempat berlangsung. "Aku merasa badanku gatal-gatal," gerutu Marten yang lebih dulu melompat keluar dari kolam. "Nak Marten mau mandi?" tanya Saodah. "Itu sudah pasti. Aku tidak tahan baunya," jawab Marten sambil bersungut-sungut. "Kalau begitu, harus antri. Di sini emak yang berhak masuk ke kamar mandi lebih dulu!" ujar Abdul Manaf. "Kalian punya berapa kamar mandi?" Marten menautkan alisnya. "Satu." Abdul Manaf tersenyum lebar seraya menepuk pundak Marten. "Apa! Jadi, aku harus antri?" Marten menunjuk batang hidungnya yang mancung. "Kau urutan terakhir," sahut Carlen enteng. Dia melangkah santai melewati Marten sambil merangkul Anike. "Sialan!" umpat Marten. Dia sudah tak taha
Anike dan Carlen tengah berkencan di ruang tamu. Mereka berdua asyik bercengkerama. Tak jarang Carlen mencuri-curi ciuman dari sang istri. Sementara Anike membalasnya dengan cubitan mesra di pipi dan pinggang. Namun, kemesraan itu harus terjeda ketika Marten masuk ke dalam rumah sambil senyum-senyum sendiri. "Kenapa berhenti? Lanjutkan pacarannya. Anggap saja aku tak ada di sini," ucap Marten santai saat pasangan suami istri itu menatap heran ke arahnya. "Darimana, Marten? Perasaan tadi kau masuk ke dalam kamar?" tanya Carlen bingung. "Kau tidak perlu tahu." Marten mengedipkan sebelah mata, kemudian berlalu begitu saja menuju kamarnya, membuat Carlen dan Anike semakin bertanya-tanya. Dua sejoli itu saling pandang sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali bermesraan. Tanpa terasa, waktu berjalan begitu cepat. Malam datang menjelang. Di kampung Anike, jam sembilan malam terasa seperti tengah malam. Warga lebih suka bergelung di balik selimut di kamar masing-masing. Seperti halnya Mar