Slavia mencoba untuk berpikir positif, meski perasaannya gelisah tidak keruan. “Halo Vi, apa berita itu benar?” tanya Raras ketika dia menghubungi Slavia melalui sambungan telepon. “Berita apa, Ras?”“Berita kalau kamu ... jadi istri kedua, itu betul?” tanya Raras terbata. “Aku Cuma mau memastikan saja, semoga sih nggak betul ....”“Aku memang sudah menikah, Ras. Aku pernah cerita kan sebelumnya?”“Ta—tapi kamu nggak pernah bilang kalau kamu jadi istri kedua, Vi!”Slavia menggigit bibirnya, dia bingung bagaimana harus menjelaskan hal ini kepada Raras. Malah kalau dipikir-pikir lagi, Slavia tidak memiliki kewajiban untuk menjelaskan situasi yang sebenarnya kepada siapa pun.“Gimana ya, Ras ... Aku Cuma bisa bilang kalau pernikahan kedua ini atas izin istri pertama, jadi ....”“Tapi istri pertama suami kamu adalah kakak kamu sendiri, jujur aku nggak paham sama hal itu.”Slavia semakin dibuat tidak nyaman, karena status istri kedua selalu tampak salah di mata sebagian orang.
“Tapi tidak ada yang neror kamu kan?” “Nggak ada, tapi ....” Slavia menggantung ucapannya.“Tapi apa?”“Orang-orang jadi hujat aku, Mas.”Rio terpaku mendengar penuturan istri keduanya.“Mereka memang nggak kenal aku secara personal, tapi tetap saja mereka menghujat aku yang dibahas dalam artikel berita yang viral akhir-akhir ini.” Slavia melanjutkan. “Aku harus gimana, Mas?”Rio menggenggam tangan Slavia untuk menyalurkan ketenangan.“Bagaimana kalau kamu tutup media sosial kamu, jangan dulu aktif atau cek apa pun lagi ... Aku bukannya egois satu tidak mau mencarikan jalan keluar, tapi memang inilah situasi yang harus kita jalani. Pernikahan segitiga seperti ini sering sekali dipandang negatif oleh sebagian besar orang, aku atau kamu tidak bisa mengontrol pendapat mereka.”Slavia menarik napas. Rio mana mengerti tentang perasaannya karena bukan dia yang dihujat, bukan pula Shara.Melainkan dirinya yang berstatus sebagai istri kedua dan dianggap perebut suami orang.“Aku su
“Maaf, aku belum bisa cerita apa-apa. Intinya, aku nggak kayak yang mereka bilang di pemberitaan itu. Kamu percaya kan?” “Iya, Vi. Setidaknya kamu harus cerita kenapa bisa kamu mau jadi istri kedua, sedangkan status itu adalah status yang selalu dianggap negatif sama masyarakat?” Slavia menarik napas, pikirannya menerawang ke segala arah. Dia enggan mengumbar masalah rumah tangganya, tapi kelihatan sekali jika ada orang yang sengaja mengobral lika-liku pernikahannya yang dipelintir sedemikian rupa sehingga menjadi viral seperti ini. “Aku akan ceritakan intinya saja, suatu saat nanti mungkin ....” “Ayolah Vi, biar orang-orang nggak memandang negatif terus tentang kamu.” “Aku paham, Ras. Masalahnya nggak segampang itu, ada banyak nama yang harus aku jaga privasi mereka.” “Oke deh, Vi. Kapan pun kamu mau cerita, aku selalu siap mendengarkan.” “Terima kasih ya, Ras. Aku titip toko kita selama aku belum bisa ke sana ....” “Santai, kamu bisa mempercayai aku.” Slavia tersenyum lega,
Shara mau tak mau tersenyum, dia tidak menolak lagi ketika Rio mulai menanggalkan pembatas yang terbentang di antara mereka untuk segera bersatu padu menuju satu tujuan. Selagi mereka dikuasai gelora, Shara tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia ukir beberapa tanda cinta yang teramat indah di dada dan leher Rio supaya momen percintaan mereka tidak serta merta hilang begitu saja dalam waktu singkat. Keesokan paginya, Slavia beraktivitas seperti biasa. Dia memandikan Nico, memakaikannya baju dengan setelan pilot, kemudian turun ke dapur untuk sarapan. “Pagi, Bik! Kak Shara belum turun?” sapa Slavia basa-basi. “Belum, Mbak. Pak Rio juga belum kelihatan dari tadi,” sahut Bik Tata tanpa menoleh ke arah Slavia. “Masakannya sudah matang dari tadi, mungkin mau makan duluan.” “Terima kasih, Bik.” Slavia tetap berusaha bersikap ramah kepada asisten rumah tangga yang dipekerjakan Rio. “Nico biar saya yang gendong,” usul Bik Tata setelah dia selesai mencuci panci, dia mengulurkan tang
Sejak sebelum atau bahkan sesudah Slavia hadir di tengah-tengah mereka. Maafkan aku, Vi. Rio berbisik dalam hati. “Ibu mantap sekali,” puji Bik Tata yang masih menggendong Nico. “Apanya yang mantap, Bik?” “Duh, Ibu jangan pura-pura ... Di sini kan sudah nggak ada siapa-siapa selain bibik.” Shara mengernyit. “Saya nggak tahu bibik ngomong apa, mantap gimana maksudnya?” Bik Tata nyengir lagi, setelah itu dia berbisik di dekat Shara. “Ibu sama bapak mantap, kejar setoran ya? Sampai merah-merah begitu ....” “Eh, masa sih?” Shara menutup mulutnya dengan telapak tangan. “Bibik jangan bercanda, aduh—saya jadi nggak enak sama Via kan?” “Kok nggak enak, Ibu sama bapak kan suami istri!” “Aduh, bibik nggak akan ngerti ... Serius tadi ada bekasnya, Bik? Jangan-jangan Bibik cuma mau goda saya ....” “Sumpah, Bu! Saya lihat sendiri kok, jadi seharusnya Mbak Via juga lihat.” Shara sontak lemas mendengar pengakuan Bik Tata. “Kasian Via ....” “Kok kasihan sih, suami istri kan wajar kalau s
Slavia diam sejenak. Kata-kata bijak Shara belum mampu membuat tenang sejak dia tahu bahwa selama ini dirinya dihujat oleh sebagian orang yang membenci pernikahan segitiga ini. “Apa aku ... mundur saja ya, Kak?” “Hah, maksud kamu?” Slavia menarik napas panjang, terlihat sedang tertekan. “Kenapa tiba-tiba kamu berpikir begitu, Vi? Apa selama ini Mas Rio kurang adil sama kamu?” Slavia tidak menjawab. “Kamu nggak perlu khawatir, nanti aku akan bicara sama Mas Rio supaya membagi segalanya dengan lebih adil ....” “Nggak usah, Kak.” Slavia menggeleng. “Kalau tiba saatnya nanti ... mungkin aku akan mundur kalau sudah nggak sanggup lagi.” Shara tertegun, dia membelai puncak kepala Slavia sembari menghela napas. “Apa maksudnya sudah tidak sanggup lagi?” Suara di belakang mereka membuat keduanya menoleh. “Mas ... kamu sudah pulang?” tanya Shara buru-buru. Slavia mengubah ekspresi wajahnya menjadi biasa saja, dia mengalihkan perhatiannya kepada Nico yang berbaring di atas karpet. “Ap
Shara ternyata sudah berdiri di depan pintu kamar tamu yang terbuka sedikit, dia membelalakkan matanya ketika menyaksikan Rio yang sedang bercumbu mesra dengan Slavia. Nico semakin rewel ketika Shara mengajaknya kembali ke kamar utama. “Sudah dibilang, papa sama ibu kamu lagi asyik-asyikan berdua!” desis Shara seraya menaruh Nico di atas karpet. “Kamu jangan ikut-ikutan bikin mama kesal ya?” Nico berguling-guling di karpet sambil terus merengek, tapi Shara tidak peduli. Pandangannya menerawang jauh, hingga dia tidak lagi mengawasi Nico yang bergerak terus hingga tubuhnya bergeser melewati karpet. Tidak dapat dipungkiri, bagaimana sakitnya hati Shara ketika melihat sendiri bagaimana Rio memperlakukan Slavia. Dia tidak bisa menerima karena ternyata Rio berbuat hal yang sama seperti yang biasa mereka lakukan saat berdua saja. Awas saja, geram Shara. Awas saja kalau sampai aku lihat bekas sekecil apa pun di kulit Mas Rio, aku nggak akan tinggal diam. “Aku minta maaf kalau aku belum
Shara terdiam, dia bahkan tidak sadar kapan Nico meninggalkan kamar. Anak itu kan belum bisa merangkak, jadi bagaimana bisa dia jatuh?“Mas, jangan bicara sembarangan! Aku tadi sama Nico ada di kamar, kamu tuh yang salah, ngapain saja sama Via?”“Kok jadi kamu yang nuduh aku? Justru karena Nico sama kamu, makanya aku percaya kalau kamu bisa menjaga anakku ....”“Oh begitu, seenaknya kamu menyalahkan aku sedangkan kamu sendiri asyik-asyikan sama Via di kamar?”Rio mengerutkan keningnya mendapati respons Shara yang jauh lebih emosional daripada dirinya. Bukankah jelas-jelas dia yang salah karena telah lalai menjaga Nico? Bagaimana kalau Nico terluka parah gara-gara kelalaiannya itu?“Apa maksud kamu? Kenapa jadi memojokkan aku sama Via?”“Karena kalian berdua cuma peduli sama urusan kalian sendiri!” tunjuk Shara ke dada Rio. “Kalian nggak peduli sama perasaan aku!”Rio mengacak rambutnya, tidak mengerti kenapa tiba-tiba Shara berubah sedrastis ini mengingat kemarin-kemarin dia be
Slavia lantas menaruh foto terakhir dan sukses membuat Shara terperanjat. “Kenapa kamu menaruh foto Mas Rio di situ?” “Memangnya salah kalau foto ayah kandung ditaruh dekat dengan anak-anak kandungnya?” Shara melotot. “Anak-anak kandung ...? Anak Mas Rio dengan kamu cuma Nico!” “Coba perhatikan lagi, yang ini mamanya Luna. Bibir dan hidungnya sangat mirip sama Mas Rio.” Dengan napas yang menderu cepat, Shara mengamati foto Rio dan Lunara bergantian. Semakin dilihat, semakin kemiripan itu menjelma nyata. “Nggak ... ini nggak mungkin! Mas Rio punya anak lagi ... selain Nico?” Slavia mengangguk tenang. “Kamu bohong, Vi. Kapan kamu hamil lagi? Itu pasti anak dari laki-laki lain kan? Anak dari suami baru kamu!” “Aku belum pernah menikah lagi sampai sekarang,” kata Slavia jujur. “Seharusnya kamu berpikir, gimana ceritanya aku tinggal berjauhan sama Mas Rio, tapi masih bisa hamil anaknya?” Shara menatap Slavia dengan penuh dendam. “Aku nggak percaya ini ....” “Tanya saja sama Mas
Sebuah mobil asing ternyata sudah menunggu ketika Ardan tiba di rumah Slavia. “Itu mobilnya Pak Rio, Dan!” “Mau aku antar sampai rumah?” “Nggak usah, aku akan hadapi Pak Rio sendiri.” “Apa kamu yakin, Vi? Kalau dia menyakiti kamu gimana?” “Aku sudah mempekerjakan asisten rumah tangga, Dan. Setidaknya aku nggak benar-benar sendirian di rumah,” jawab Slavia. “Kamu pulang saja, kamu juga harus istirahat karena ada air in kamu sama Raras sibuk banget bantu aku.” Mau tak mau Ardan mengangguk. “Kalau ada apa-apa, kamu harus cepat hubungi aku atau Raras.” “Pasti, aku turun ya?” Dengan berat hati, kartun terpaksa mengganggu dan membiarkan Slavia turun dari mobilnya. “Lama sekali, sengaja?” sambut Rio datar ketika akhirnya Slavia muncul di hadapannya. “Aku kan harus jaga-jaga, takutnya kamu coba-coba menyerangku karena aku sudah melaporkan istri kamu ke polisi.” “Bisa kita bicara baik-baik?” “Oke, masuk saja ke rumahku.” Tanpa menunggu jawaban Rio, Slavia segera meninggal pergi mem
“Kenapa, Bik?” “Ada polisi di depan, Pak ....” “Polisi? Mereka cari siapa?” Rio terbelalak kaget. “Cari ibu, Pak ... Saya nggak berani bilang Bu Shara, makanya saya langsung bilang Bapak saja.” Rio mengusap wajahnya dengan kalut. Ada masalah apa lagi ini? “Selamat malam, Pak!” “Selamat malam, ada perlu apa ya Pak?” tanya Rio sopan. “Kami datang ke sini sambil membawa perintah surat penangkapan untuk Bu Shara,” jawab salah seorang petugas yang datang. “Memangnya istri saya kenapa, Pak?” “Istri Bapak ditangkap atas laporan pengayaan terhadap Bu Slavia.” Rio terperanjat kaget, terlebih ketika petugas polisi menyebut nama mantan istri keduanya. “Mas, ini kita mau ke mana?” tanya Shara ketika Rio menjemputnya di kamar. “Ada yang mau bertemu sama kamu ....” “Siapa?” Rio tidak menjawab. Bukannya dia seorang suami yang tega, justru dia sangat ingin tahu tentang apa yang sedang terjadi sebenarnya. “Polisi? Kok mereka ada di sini sih, Mas?” Shara langsung menghentikan langkahnya s
Shara manggut-manggut, dia sangat yakin jika Slavia tidak akan seberani itu untuk melapor. Atau dia akan membuat namanya kembali viral, dan berimbas ke bisnis online yang digelutinya. “Gimana keadaan kamu, Vi?” “Ya beginilah, Ras ... Luna gimana?” “Ardan yang jemput Luna, kamu tenang saja.” Slavia menarik napas panjang. “Kamu harus dirawat ingat di sini ya?” tanya Raras. “Sebenarnya aku mau pulang, tapi tapi kepalaku pusing banget dan sama dokter diminta untuk observasi di klinik dulu sementara ....” “Atau kamu pindah ke rumah sakit saja?” “Nggak usah lah Ras, aku kan dianiaya bukan sakit kronis.” Raras menghela napas. “Tapi menurutku perbuatan mereka itu sudah sangat keterlaluan, mereka nggak Cuma mempermalukan kamu, Vi. Mereka juga menganiaya kamu, entah apa yang akan terjadi seandainya aku sama Ardan nggak datang ....” “Oh ya, kalian berdua kok bisa tahu posisiku sama apa yang aku alami?” tanya Slavia penuh rasa syukur. “Bukannya kamu yang nelepon pakai aplikasi pesan?”
Jantung Slavia berpacu dengan cepat ketika para wanita itu merundungnya baik verbal maupun fisik, dari mulai menjambak rambut, menampar wajah, dan menarik telinganya beramai-ramai. “Hentikan ini, aku nggak sepenuhnya salah!” teriak Slavia sambil menutupi wajahnya. “Banyak omong, aku viralkan kamu ya!” “Dasar pelakor hina!” Slavia berusaha melawan, tapi tentu saja dia kalah jumlah. Orang-orang mulai berdatangan untuk melihat apa yang terjadi, bahkan ada yang berusaha untuk menghentikan penganiayaan itu. “Stop, Ibu-Ibu! Ini ada apa?” “Tolong jangan main hakim sendiri!” “Anda ini kan sesama perempuan, kenapa menyakiti perempuan?” Teman-teman Shara menghentikan sejenak aksi bar-bar mereka. “Dia ini pelakor!” “Betul, dia adalah orang ketiga dalam rumah tangga teman kami!” “Haahh? Jadi dia itu pelakor?” Slavia menurunkan tangannya dan berteriak. “Bohong, itu semua fitnah!” “Wah, berani juga pelakor ini!” “Iya nih, dasar nggak punya malu!” “Aku memang bukan pelakor, istri perta
Mana bisa begitu,” tolak Shara. “Nico itu anak Mas Rio, dan aku adalah istrinya.” “Aku nggak peduli, aku ini ibu kandung Nico.” “Nggak bisa, Vi. Sesuai perjanjian, Nico harus kamu serahkan kepada Shara dan Rio untuk dirawat.” Rini menengahi. “Ibu lupa kalau perjanjian itu sudah enggak berlaku lagi?” tanya Slavia mengingatkan. “Mas Rio dan ibunya sendiri yang datang untuk bujuk aku supaya melanjutkan pernikahan itu, sedangkan uang ganti rugi yang sudah Kak Shara bayarkan juga diganti sama Mas Rio.” “Jadi kamu mau uang?” sentak Shara. “Tolong deh, bisa nggak jangan pakai teriak-teriak?” Slavia mengingatkan. “Di sini itu tempat umum, bukan tempat buat marah-marah ....” Rini mengusap tangan Shara. “Tenang.” Slavia menarik napas. “Sejak awal aku sudah bilang sama mas Rio Kalau aku cuma mau mengurus masalah hak asuh Nico, aku nggak peduli lagi sama kalian berdua. Asal aku nggak diusik, aku juga nggak akan mengusik kamu ataupun Mas Rio.” “Kamu nggak usah bohong, Vi. Buktinya kamu int
Aku mungkin menyesalkan ide kamu, tapi ... aku tidak menyesali kehadiran Nico sedikit pun.” “Kamu bikin aku sakit hati, Mas. Kamu tega ....” “Kamu sendiri tega memaksaku menduakan pernikahan kita, sampai kamu mencoba bunuh diri dan membuatku tersudut bersama Via. Ingat?” Shara mati kutu. Semua yang Rio ucapkan terasa seperti beberapa anak panah yang meluncur bersamaan dan menancap tepat di ulu hatinya. “Justru itu aku minta kamu untuk memperbaiki pernikahan kita, Mas. Aku nggak mau ada Via lagi di tengah-tengah kita, cukup Nico saja yang akan jadi pelengkap kebahagiaan ... Belum lagi anak kita nanti seandainya aku diberi kepercayaan untuk hamil anak kamu.” Rio memijat keningnya, rasa pusing kini seringkali mampir sejak dia bertemu kembali dengan Slavia dan juga bocah perempuan itu. “Mas, apa ucapan aku ada yang salah? Kok kamu diam saja?” tanya Shara khawatir. “Aku terlalu pusing dengan semua ini ....” “Oke, kita sebaiknya jangan membicarakan soal Via atau perjanjian masa lalu
“Istri satu-satunya ya, sungguh membanggakan. Akan jauh lebih membanggakan lagi kalau kamu bisa kasih keturunan sama suami kamu,” sindir Slavia tepat sasaran. “Kamu ....” “Atau jangan-jangan kamu juga sudah berhasil punya anak? Kalau begitu, kembalikan Nico sama aku. Bukankah kamu bisa merawat anak kandung kamu sendiri?” tanya Slavia pura-pura. “Mulut kamu itu ya, Vi. Pengin aku robek-robek rasanya!” Slavia tersenyum kecil. “Kamu masih nggak berubah juga ya, suka emosian.” “Diam kamu, aku sudah kasih kamu peringatan. Jangan sampai aku bikin mental kamu hancur untuk yang kedua kalinya.” Mendengar ancaman itu, Slavia seketika berdiri dan membuat Shara terperanjat kaget saat melihat sorot matanya yang tajam membunuh. “Coba saja, kamu pikir aku masih sama seperti Via yang dulu?” “Apa maksud kamu?” “Pikir saja sendiri, kamu masih bisa mikir kan?” “Jangan kurang ajar kamu!” Shara ikut berdiri dan bersiap melayangkan tamparan ke wajah Slavia, tapi tangan itu tidak pernah mendarat d
“Daripada Nico tahu dari orang lain, nanti dia malah bingung. Kasihan,” ucap Rio sembari memejamkan mata. “Kita tetap harus kasih tahu dia, Ra.” “Aku mohon pertimbangkan lagi keputusan kamu, Mas. Bukankah Via punya niat jelek untuk merampas Nico dari tangan kamu?” “Aku akan membujuknya supaya tidak melakukan hal itu.” “Membujuk gimana?” Shara menyipitkan mata. “Jangan bilang kalau kamu diam-diam menemui Via di belakang aku, ya?” “Ngapain aku harus diam-diam? Aku tidak harus minta izin kamu buat bicara sama Via kan?” tukas Rio, tampak tidak senang. “Bukan begitu juga maksud aku, Mas ....” “Aku bisa lihat kalau Via dendam sekali sama kita, seolah kita sudah melakukan kesalahan besar di masa lalu.” Rio menambahkan, membuat wajah Shara memucat. “Aku tidak habis pikir sama Via, dia benar-benar sudah berubah.” Shara menelan ludah, dia merasa harus segera berbuat sesuatu. “Terus apa rencana kamu?” “Seperti yang aku bilang tadi, aku akan minta Via untuk tidak meributkan soal hak asuh