Ketika ayah dan ibu akhirnya kembali, Rio memberanikan diri untuk menceritakan keinginan Shara dan juga perbuatannya yang nyaris menghilangkan nyawa dirinya sendiri.
“Apa, menikah?!”Ibu memandang bingung Slavia saat Rio memberitahukan soal keinginan Shara yang harus mereka lakukan karena keinginannya menimang anak.Saat itu hanya ada ayah dan ibu Slavia saja, sementara asisten rumah tangga sedang keluar rumah.“Betul, Bu. Aku ... sebenarnya aku juga tidak setuju dengan ide Shara,” sahut Rio dengan berat hati.“Tapi Rio, Via ini adalah adiknya Shara yang berarti dia adik ipar kamu.” Ibu mencoba mencari celah. “Bagaimana mungkin Shara memilih ide seperti itu ... Apa tidak ada cara lain yang bisa kalian lakukan selain menjadikan Via sebagai istri kedua?”“Masalahnya Shara memaksa, Bu. Dia bahkan rela melukai pergelangan tangannya sendiri karena aku menolak untuk menikahi Via,” jelas Rio putus asa.Slavia mulai merasa simpati dengan apa yang dialami Rio sebagai suami, dia tahu bahwa kakak iparnya itu adalah orang yang setia.“Rio, saya ingin bertemu Shara. Siapa tahu saya bisa membujuk dia untuk program bayi tabung saja,” kata ayah.“Ibu setuju, Shara mungkin sedang dalam keadaan tertekan.”Rio mengangguk setuju. Bersama-sama mereka berempat pergi menuju rumah sakit tempat Shara dirawat karena perbuatannya melukai diri sendiri.“Aku tetap mau Via yang hamil, Yah ...” Shara mengungkapkan keinginannya dengan terbata-bata. “Aku nggak mau bayi tabung, terlalu lama ... aku mau anak itu dilahirkan oleh seseorang yang aku kenal dekat, dia adalah Via ....”Ayah dan ibu saling pandang.“Shara, jangan seperti ini.” Rio menegur.“Aku nggak mau bicara sama kamu,” sahut Shara murung. “Kamu nggak pernah tahu perasaan aku, Mas.”“Shara,” tegur ibu. “Tidak akan ada pernikahan antara Rio dan Via, kami tidak pernah memaksa kamu untuk segera hamil. Jadi kamu jangan merasa tertekan seperti ini.”Shara yang sejak awal mencetuskan ide ini, hanya melempar pandangan dinginnya kepada Slavia, tapi itu lebih dari cukup untuk membuat Slavia merasa sedang dihakimi.“Aku nggak peduli, Bu ... Yang jelas aku mau cepat-cepat menggendong bayi!” seru Shara histeris. “Kenapa sih nggak ada yang mau mengerti aku?”Slavia menarik napas.“Apa nggak ada ide selain menikah?” katanya heran. “Masa aku harus jadi istri kedua kakak ipar? Kenapa kamu nggak adopsi anak saja, Kak?”“Aku nggak minta pendapat kamu! Aku ingin dalam dua minggu ini mereka segera diresmikan.”“Apa? Dua minggu?” seru Rio kaget. “Yang benar saja—Bu, Ayah, ini gimana?”Astaga, batin Slavia sambil memegang keningnya.“Makin cepat makin baik,” kata Shara dengan wajah puas. “Turuti permintaan aku atau aku tidak akan mau minum obat sama sekali, silakan kalian pilih.”“Shara, jangan seperti ini. Keinginan kamu itu mustahil untuk dilakukan, Rio tidak mungkin menikahi Via.”Shara menundukkan wajahnya.“Maaf Bu, tapi itu artinya kalian tidak memberikan aku pilihan,” ujar Shara lirih. “Aku mau pulang saja, aku tidak perlu dirawat ...”Dengan gerakan cepat, Shara melepas infusnya hingga darah memercik ke seprai.“Shara! Apa yang kamu lakukan?” Ibu menggeleng-gelengkan kepala. “Kok bisa-bisanya kamu ... Ini bagaimana ... Rio, panggilkan suster!”Rio mengangguk pasrah. Mau bagaimana lagi, Shara sudah sangat sulit untuk dikendalikan lagi.“Aku nggak mau diperiksa! Biar aku kehilangan banyak darah!” Shara masih menjerit-jerit. “Aku cuma mau Mas Rio menikah sama Via! Setelah dia hamil, mereka boleh bercerai dan aku yang akan merawat anaknya!”Karena Shara terus histeris dan sulit untuk dibujuk secara baik-baik, akhirnya Rio menyerah dan setuju untuk mengabulkan keinginannya.“Oke, aku akan menikahi Via sesuai keinginan kamu.”Slavia membelalakkan matanya. “Kakak serius?”“Terpaksa, Vi!” tegas Rio. “Kamu lihat sendiri situasinya seperti apa.”“Kamu serius, Mas?” tanya Shara dengan wajah memelas. “Kamu bersedia menikahi Via demi mewujudkan keinginan aku menggendong bayi?”Mau tak mau, Rio mengangguk.“Sekarang aku mohon sama kamu untuk nurut sama dokter,” ujar Rio lambat-lambat. “Aku mau kamu cepat sembuh ...”“... tentu saja! Aku harus pulih untuk mempersiapkan acara pernikahan kamu!” Shara mendadak bersemangat. “Via akan jadi istri kamu untuk sementara. Jadi aku harus bantu dia mempersiapkan diri juga ... Acaranya sederhana saja dan sebaiknya dilakukan secara tertutup ...”Ayah dan papa ibu saling pandang, begitu juga dengan Slavia dan juga Rio.“Boleh kami rundingan dulu, Kak?” tanya Slavia keberatan.“Silakan.” Shara mengangguk.Kedua orang tua mereka mendekat ke arah Slavia, sementara Rio tetap di kursinya dengan pasrah.“Vi, kamu harus nikah sama kakak ipar kamu. Mau, ya?” bisik ibu. “Rio juga setuju, kok. Paling tidak, Shara jadi mau dirawat sampai sembuh.”“Bu, Kak Rio itu kakak ipar aku...” ujar Slavia berat hati. “Aku belum sanggup jadi istri orang, belum nanti kalau aku betulan hamil, aku takut melahirkan ....”“Mikirmu kejauhan, Vi,” tukas ayah. “Yang penting masalah Shara selesai dulu. Soal pernikahan kamu dan Rio, ini cuma sementara. Setelah kamu hamil dan melahirkan, kalian bisa bercerai tanpa ada yang tahu.”“Aku belum siap menikah, Yah ...”“Cuma sementara saja, nantinya juga kamu akan bercerai dari Rio,” tukas ayah lagi. “Kamu nurut saja, ya? Nikah dulu sama Rio biar masalah kakak kamu cepat berlalu.”Bener-bener bencana, batin Slavia nelangsa.Dia harus bersusah-payah menahan tangis di samping Rio sementara ayah dan ibu merundingkan hari dan tanggal pernikahan mereka bersama Shara.Rio tidak tahu harus menghibur dengan cara apa supaya bisa meredam air mata Slavia yang mulai membanjir. Otaknya terus berpikir bagaimana caranya dia bisa keluar dari situasi sulit seperti pernikahan kedua.“Sudah, kamu tidak perlu menangis. Pernikahan kita cuma sementara waktu saja,” kata Rio akhirnya.“Kakak kok tenang-tenang saja, sih?” sahut Slavia sambil mengusap matanya. “Kakak senang ya sama rencana pernikahan ini?”Rio menarik napas.“Apa kamu tidak bisa membedakan mana ekspresi senang sama sedih?” komentarnya. “Kalau aku senang, pasti sudah dari awal aku menyetujui ide kakak kamu.”“Terus gimana, aku kan belum siap menikah ...”“Sama, kamu pikir aku juga siap punya dua istri?” tukas Rio. “Kamu tidak perlu khawatir, sekali lagi ini cuma sementara saja—daripada Shara mencoba menyakiti dirinya lagi ....”“Ya sudah, apa boleh buat.” Slavia mengusap matanya yang sembab.Hari pernikahan tiba, hanya dalam hitungan menit saja Slavia akan mengukir sebuah sejarah baru dalam hidupnya. Sekaligus mengubah status dirinya yang semula masih lajang menjadi seorang pengantin atas dasar paksaan kakaknya sendiri.Shara memasuki kamar Slavia untuk menjemputnya turun ke bawah.“Vi, petugasnya sudah datang. Kamu sudah siap kan?” tanya Shara sambil mendekati adiknya yang sedang merapikan baju kebaya.“Sudah, Kak. Tinggal mempersiapkan mental saja yang rasanya nggak pernah siap,” jawab Slavia mengandung sindiran.“Kamu tenang saja, asal kamu cepat hamil maka kamu akan semakin cepat terbebas dari pernikahan ini.” Shara berkomentar santai.Bersambung—“Kakak ini benar-benar aneh memang,” tanggap Slavia sambil berdiri dan memandang dirinya sendiri di kaca untuk terakhir kalinya sebelum turun.Meskipun pernikahan ini hanya sementara dan akan diakhiri dengan diam-diam, Slavia tetap saja merasa gugup saat Shara menuntunnya untuk duduk di samping Rio yang hanya memakai kemeja putih sederhana dengan ekspresi tidak terbaca di wajahnya.Pernikahan itu sendiri dilaksanakan tertutup di kediaman orang tua Shara dan dihadiri oleh saksi dan orang tua Rio yang tampak bingung.Jantung Slavia bergemuruh keras sekali ketika sang ayah menjabat tangan Rio kuat-kuat saat dimulai pernikahan. Hanya dalam satu tarikan napas, Rio segera mengucapkan ikrar suci itu di hadapan semua orang yang hadir.Malam harinya sesuai persetujuan, Slavia akan menempati kamar tamu di rumah Rio. Awalnya dia pikir seperti itu, sebelum Shara muncul dan mempersilakan Slavia untuk bermalam di kamar utama bersama Rio.Shara memeluk suaminya dan sang adik sesaat setelah mereka ma
“Tapi aku butuh bukti kalau kalian sudah ....”“Astaga Shara, kamu anggap kami ini apa?” potong Rio, kali ini dia benar-benar sudah tidak bisa menahan diri lagi. “Kalau kamu tidak percaya bahwa kami akan melakukannya, sebaiknya malam ini aku dan Via tidur terpisah saja.”“Nggak bisa begitu, Mas! Aku cuma ... aku nggak yakin kalau Via mau melakukannya, aku takut hal itu juga yang akan bikin kamu nggak jadi melanjutkan rencana kita!” Shara masih gigih dengan pendapatnya. “Pokoknya cepat selesaikan, setelah itu kamu ke kamar sebelah.”Terjadi kesunyian panjang setelah Shara mengakhiri ucapannya.“Kak ...?” panggil Slavia lirih. “Aku ... aku belum siap kalau ....”“Mau sampai kapan kamu siap, hah?” tukas Shara tidak sabar. “Sudah Mas, langsung kamu selesaikan saja. Nggak usah pakai pemanasan segala, nggak penting!”Ada air bening yang menggenang di mata Slavia ketika Shara berbalik dan menutup pintu dengan keras.“Vi?” panggil Rio pelan.“I—ya Kak?” Slavia menyahut dengan tubuh gemetar.“
Slavia mengambil piring, mengisinya dengan nasi dan memandang Shara.“Sudah lama aku mau tanya soal ini, Kak ... Kalaupun aku hamil dan Kakak yang membesarkan anak aku nanti, apakah orang-orang tidak tambah julid? Maksud aku ... itu sama saja bukan anak kandung Kakak kan?”Shara ikut mengambil piring sambil menyahut. “Tenang saja, aku sudah menyiapkan rencana ini dengan sangat sempurna. Kalau nantinya kamu berhasil hamil, aku akan di rumah untuk mengurus kamu ....”“Nggak usah repot-repot, Kak!”“Apanya yang repot, dengan begitu orang-orang akan aku buat percaya kalau aku hamil dan harus istirahat total di rumah.”Astaga, batin Slavia dalam hatinya. Shara terlihat sangat terobsesi memiliki momongan hanya karena terbawa perasaan terhadap komentar teman-teman tongkrongannya.Setelah selesai sarapan, Slavia duduk-duduk di halaman belakang. Rumah Rio sangat besar dan terkesan sepi karena hanya ditinggali oleh dua anggota keluarga saja, pantas jika Shara merasa kesepian.“Aku mau pergi, ka
“Memang itu kenyataannya,” sergah Slavia membela diri. “Terus ini gimana urusannya, Kak? Tangan aku sudah mati rasa.”“Tenang saja ...” Rio berkata santai. “Biar aku yang coba geser ...”“Aduh, Kak! Aduh!” rintih Slavia, saat Rio baru bergerak sedikit saja.“Apa sih, ini juga aku baru bergerak sedikit.” Rio memandang Slavia heran. “Katanya aku disuruh nolong?”“Pelan-pelan geraknya, kena goncangan dikit aaja rasanya sakit!” keluh Slavia. “Badan aku juga pegel membungkuk seperti ini terus.”“Iya, iya, aku tolong. Tapi jangan protes,” kata Rio memperingatkan. “Jangan bilang aku mesum lagi, awas kamu.”“Pelan-pelan tapi, Kak ...” Slavia mengingatkan.Rio mengangkat kedua tangannya ke atas dan melingkarkannya ke punggung Slavia. Dengan sangat hati-hati Rio memutar posisinya untuk membaringkan perempuan itu di tempat tidur. Perempuan anggun seperti Slavia memang harus diperlakukan dengan sangat hati-hati supaya tidak terluka sedikit pun.Saat Rio sedang membaringkan Slavia dengan kedua tan
“Nggak mau lah!” tolak Slavia keras-keras.“Tidak usah gengsi,” kata Rio sambil tersenyum samar. “Daripada nanti kamu penasaran terus sama badan aku dan membayangkan yang tidak-tidak, lebih baik kamu rasakan saja sendiri.”“Kita kan sudah pernah melakukannya, Kak. Lupa ya?” tanya Slavia dengan wajah merona merah.“Memang pernah, tapi bukankah kita harus terus melakukannya sampai kamu hamil?” jawab Rio lugas.“Hamil ...?”“Iya, itu kan tujuan utama dari pernikahan ini.” Rio menyahut kalem.“Tapi ... seandainya Kak Shara yang hamil duluan, kita bisa bercerai kan Kak?” tanya Slavia memastikan. “Ada rasa tidak tega melihat Kak Shara diduakan seperti ini, dan ternyata akulah pihak ketiga itu ....”Rio menarik napas pasrah, sungguh ujian kesabaran yang sangat luar biasa.“Kak, kok diam?”“Masalahnya itu nyaris tidak mungkin, Shara sudah sangat putus asa.” Rio berkata sambil menggerakkan tangannya yang menumpang di atas lengan Slavia. Kemudian pelan-pelan dia berbaring telentang di samping a
“Makanya kalian usaha yang keras, Mas!” desak Shara. “Aku tidak mau kamu sama Via terlalu lama jadi suami istri—aku sebenarnya ... cemburu.”“Salah siapa,” komentar Rio acuh. “Bukankah ini yang kamu inginkan?”Shara menarik napas.“Kita kan sudah sejauh ini,” katanya mengalah. “Gimana kalau kamu sama Via pergi bulan madu, mau nggak?”Rio diam sembari berpikir.“Pergi bulan madu?” tanya Rio ragu.“Iya, bulan madu seperti yang kita lakukan dulu,” jawab Shara. “Siapa tahu Via bisa hamil setelah kalian pulang dari bulan madu.”“Tidak.” Rio menggeleng tegas.“Kenapa tidak mau?” tanya Shara bingung.Rio memandang Shara.“Tidak usah pakai bulan madu, bukan kewajiban.” Rio mengingatkan Shara dengan tegas.“Bulan madu bisa membuat kalian lebih fokus pada tujuan,” sahut Shara tidak mau kalah.“Ra, aku itu ingin tetap berjarak sama Via,” sahut Rio kesal. “Aku tidak mau jarak itu jadi hilang gara-gara tuntutan kamu.”Shara langsung membantah pendapat suaminya mentah-mentah.“Kamu salah, Mas. Niat
Di ruang tamu, Shara masih menyangga kepalanya dengan tangan. Dia menyesal, tadi itu dia kelepasan karena rasa cemburunya yang sudah tidak terkontrol lagi.Shara hanya ingin Slavia cepat mengandung anak Rio dan melahirkan, setelah itu dia bisa segera mengakhiri pernikahan mereka.***Rio tiba di rumah dan merasakan aura suram yang menyambutnya.“Sepi sekali, aku kira kamu belum pulang.”Shara menoleh ketika Rio muncul di kamar sebelah.“Eh Mas, kamu sudah pulang!” Shara mau tak mau menyambut suaminya. “Kamu sudah lihat Via belum?”Rio menggeleng.“Aku langsung ke sini tadi, jadi belum sempat ke kamar utama. Memangnya kenapa?”Shara menarik napas dan wajahnya mendadak murung, dia lantas menceritakan keributan kecil yang sempat terjadi antara dirinya dan Slavia.“... takutnya Via ngambek dan minta cerai betulan, Mas ... Gimana ini?”Rio menghela napas, masalah ternyata tidak henti-hentinya mampir setelah semua hal yang dia lakukan.“Kamu juga sih, jangan terlalu menekan Via. Hamil itu t
“Gerah Kak, gerah banget!” Slavia mengipas-ngipas bagian depan bajunya. “Aku pengin ....”“Pengin apa sih?”“Aku pengin nyanyi-nyanyi ... ayo!”Shara melotot saat Slavia berlenggak-lenggok di depannya, segera dia berteriak, “Mas! Mas Rio! Tolong bantu aku, Mas!”“Ya, sebentar!”Shara memandang aneh ke arah adiknya yang kini bertingkah sangat tidak wajar.“Vi, kamu kenapa?” tanya Shara bingung saat Slavia mengipas-ngipas bagian depan bajunya lagi sambil melompat-lompat disertai senyuman lebar menggoda. “Via!”“Ayo kita joget!” racau Slavia lagi. “Aku butuh teman, ayo!”Bingung, Shara meraih jaket yang teronggok di sofa dan melingkarkannya di pinggang Slavia. “Jangan ditarik-tarik baju kamu, Vi! Mas Rio, kok lama banget sih?”“Iya, iya! Ini lagi jalan!”Sesampainya di ruang keluarga, Rio menghampiri Shara yang masih kerepotan mengatasi Slavia. Cepat-cepat dia mengambil alih istrinya yang sedang bertingkah seperti sedang berada di tempat hiburan.“Mas, tolong antar Via ke kamar saja!” pi
Slavia lantas menaruh foto terakhir dan sukses membuat Shara terperanjat. “Kenapa kamu menaruh foto Mas Rio di situ?” “Memangnya salah kalau foto ayah kandung ditaruh dekat dengan anak-anak kandungnya?” Shara melotot. “Anak-anak kandung ...? Anak Mas Rio dengan kamu cuma Nico!” “Coba perhatikan lagi, yang ini mamanya Luna. Bibir dan hidungnya sangat mirip sama Mas Rio.” Dengan napas yang menderu cepat, Shara mengamati foto Rio dan Lunara bergantian. Semakin dilihat, semakin kemiripan itu menjelma nyata. “Nggak ... ini nggak mungkin! Mas Rio punya anak lagi ... selain Nico?” Slavia mengangguk tenang. “Kamu bohong, Vi. Kapan kamu hamil lagi? Itu pasti anak dari laki-laki lain kan? Anak dari suami baru kamu!” “Aku belum pernah menikah lagi sampai sekarang,” kata Slavia jujur. “Seharusnya kamu berpikir, gimana ceritanya aku tinggal berjauhan sama Mas Rio, tapi masih bisa hamil anaknya?” Shara menatap Slavia dengan penuh dendam. “Aku nggak percaya ini ....” “Tanya saja sama Mas
Sebuah mobil asing ternyata sudah menunggu ketika Ardan tiba di rumah Slavia. “Itu mobilnya Pak Rio, Dan!” “Mau aku antar sampai rumah?” “Nggak usah, aku akan hadapi Pak Rio sendiri.” “Apa kamu yakin, Vi? Kalau dia menyakiti kamu gimana?” “Aku sudah mempekerjakan asisten rumah tangga, Dan. Setidaknya aku nggak benar-benar sendirian di rumah,” jawab Slavia. “Kamu pulang saja, kamu juga harus istirahat karena ada air in kamu sama Raras sibuk banget bantu aku.” Mau tak mau Ardan mengangguk. “Kalau ada apa-apa, kamu harus cepat hubungi aku atau Raras.” “Pasti, aku turun ya?” Dengan berat hati, kartun terpaksa mengganggu dan membiarkan Slavia turun dari mobilnya. “Lama sekali, sengaja?” sambut Rio datar ketika akhirnya Slavia muncul di hadapannya. “Aku kan harus jaga-jaga, takutnya kamu coba-coba menyerangku karena aku sudah melaporkan istri kamu ke polisi.” “Bisa kita bicara baik-baik?” “Oke, masuk saja ke rumahku.” Tanpa menunggu jawaban Rio, Slavia segera meninggal pergi mem
“Kenapa, Bik?” “Ada polisi di depan, Pak ....” “Polisi? Mereka cari siapa?” Rio terbelalak kaget. “Cari ibu, Pak ... Saya nggak berani bilang Bu Shara, makanya saya langsung bilang Bapak saja.” Rio mengusap wajahnya dengan kalut. Ada masalah apa lagi ini? “Selamat malam, Pak!” “Selamat malam, ada perlu apa ya Pak?” tanya Rio sopan. “Kami datang ke sini sambil membawa perintah surat penangkapan untuk Bu Shara,” jawab salah seorang petugas yang datang. “Memangnya istri saya kenapa, Pak?” “Istri Bapak ditangkap atas laporan pengayaan terhadap Bu Slavia.” Rio terperanjat kaget, terlebih ketika petugas polisi menyebut nama mantan istri keduanya. “Mas, ini kita mau ke mana?” tanya Shara ketika Rio menjemputnya di kamar. “Ada yang mau bertemu sama kamu ....” “Siapa?” Rio tidak menjawab. Bukannya dia seorang suami yang tega, justru dia sangat ingin tahu tentang apa yang sedang terjadi sebenarnya. “Polisi? Kok mereka ada di sini sih, Mas?” Shara langsung menghentikan langkahnya s
Shara manggut-manggut, dia sangat yakin jika Slavia tidak akan seberani itu untuk melapor. Atau dia akan membuat namanya kembali viral, dan berimbas ke bisnis online yang digelutinya. “Gimana keadaan kamu, Vi?” “Ya beginilah, Ras ... Luna gimana?” “Ardan yang jemput Luna, kamu tenang saja.” Slavia menarik napas panjang. “Kamu harus dirawat ingat di sini ya?” tanya Raras. “Sebenarnya aku mau pulang, tapi tapi kepalaku pusing banget dan sama dokter diminta untuk observasi di klinik dulu sementara ....” “Atau kamu pindah ke rumah sakit saja?” “Nggak usah lah Ras, aku kan dianiaya bukan sakit kronis.” Raras menghela napas. “Tapi menurutku perbuatan mereka itu sudah sangat keterlaluan, mereka nggak Cuma mempermalukan kamu, Vi. Mereka juga menganiaya kamu, entah apa yang akan terjadi seandainya aku sama Ardan nggak datang ....” “Oh ya, kalian berdua kok bisa tahu posisiku sama apa yang aku alami?” tanya Slavia penuh rasa syukur. “Bukannya kamu yang nelepon pakai aplikasi pesan?”
Jantung Slavia berpacu dengan cepat ketika para wanita itu merundungnya baik verbal maupun fisik, dari mulai menjambak rambut, menampar wajah, dan menarik telinganya beramai-ramai. “Hentikan ini, aku nggak sepenuhnya salah!” teriak Slavia sambil menutupi wajahnya. “Banyak omong, aku viralkan kamu ya!” “Dasar pelakor hina!” Slavia berusaha melawan, tapi tentu saja dia kalah jumlah. Orang-orang mulai berdatangan untuk melihat apa yang terjadi, bahkan ada yang berusaha untuk menghentikan penganiayaan itu. “Stop, Ibu-Ibu! Ini ada apa?” “Tolong jangan main hakim sendiri!” “Anda ini kan sesama perempuan, kenapa menyakiti perempuan?” Teman-teman Shara menghentikan sejenak aksi bar-bar mereka. “Dia ini pelakor!” “Betul, dia adalah orang ketiga dalam rumah tangga teman kami!” “Haahh? Jadi dia itu pelakor?” Slavia menurunkan tangannya dan berteriak. “Bohong, itu semua fitnah!” “Wah, berani juga pelakor ini!” “Iya nih, dasar nggak punya malu!” “Aku memang bukan pelakor, istri perta
Mana bisa begitu,” tolak Shara. “Nico itu anak Mas Rio, dan aku adalah istrinya.” “Aku nggak peduli, aku ini ibu kandung Nico.” “Nggak bisa, Vi. Sesuai perjanjian, Nico harus kamu serahkan kepada Shara dan Rio untuk dirawat.” Rini menengahi. “Ibu lupa kalau perjanjian itu sudah enggak berlaku lagi?” tanya Slavia mengingatkan. “Mas Rio dan ibunya sendiri yang datang untuk bujuk aku supaya melanjutkan pernikahan itu, sedangkan uang ganti rugi yang sudah Kak Shara bayarkan juga diganti sama Mas Rio.” “Jadi kamu mau uang?” sentak Shara. “Tolong deh, bisa nggak jangan pakai teriak-teriak?” Slavia mengingatkan. “Di sini itu tempat umum, bukan tempat buat marah-marah ....” Rini mengusap tangan Shara. “Tenang.” Slavia menarik napas. “Sejak awal aku sudah bilang sama mas Rio Kalau aku cuma mau mengurus masalah hak asuh Nico, aku nggak peduli lagi sama kalian berdua. Asal aku nggak diusik, aku juga nggak akan mengusik kamu ataupun Mas Rio.” “Kamu nggak usah bohong, Vi. Buktinya kamu int
Aku mungkin menyesalkan ide kamu, tapi ... aku tidak menyesali kehadiran Nico sedikit pun.” “Kamu bikin aku sakit hati, Mas. Kamu tega ....” “Kamu sendiri tega memaksaku menduakan pernikahan kita, sampai kamu mencoba bunuh diri dan membuatku tersudut bersama Via. Ingat?” Shara mati kutu. Semua yang Rio ucapkan terasa seperti beberapa anak panah yang meluncur bersamaan dan menancap tepat di ulu hatinya. “Justru itu aku minta kamu untuk memperbaiki pernikahan kita, Mas. Aku nggak mau ada Via lagi di tengah-tengah kita, cukup Nico saja yang akan jadi pelengkap kebahagiaan ... Belum lagi anak kita nanti seandainya aku diberi kepercayaan untuk hamil anak kamu.” Rio memijat keningnya, rasa pusing kini seringkali mampir sejak dia bertemu kembali dengan Slavia dan juga bocah perempuan itu. “Mas, apa ucapan aku ada yang salah? Kok kamu diam saja?” tanya Shara khawatir. “Aku terlalu pusing dengan semua ini ....” “Oke, kita sebaiknya jangan membicarakan soal Via atau perjanjian masa lalu
“Istri satu-satunya ya, sungguh membanggakan. Akan jauh lebih membanggakan lagi kalau kamu bisa kasih keturunan sama suami kamu,” sindir Slavia tepat sasaran. “Kamu ....” “Atau jangan-jangan kamu juga sudah berhasil punya anak? Kalau begitu, kembalikan Nico sama aku. Bukankah kamu bisa merawat anak kandung kamu sendiri?” tanya Slavia pura-pura. “Mulut kamu itu ya, Vi. Pengin aku robek-robek rasanya!” Slavia tersenyum kecil. “Kamu masih nggak berubah juga ya, suka emosian.” “Diam kamu, aku sudah kasih kamu peringatan. Jangan sampai aku bikin mental kamu hancur untuk yang kedua kalinya.” Mendengar ancaman itu, Slavia seketika berdiri dan membuat Shara terperanjat kaget saat melihat sorot matanya yang tajam membunuh. “Coba saja, kamu pikir aku masih sama seperti Via yang dulu?” “Apa maksud kamu?” “Pikir saja sendiri, kamu masih bisa mikir kan?” “Jangan kurang ajar kamu!” Shara ikut berdiri dan bersiap melayangkan tamparan ke wajah Slavia, tapi tangan itu tidak pernah mendarat d
“Daripada Nico tahu dari orang lain, nanti dia malah bingung. Kasihan,” ucap Rio sembari memejamkan mata. “Kita tetap harus kasih tahu dia, Ra.” “Aku mohon pertimbangkan lagi keputusan kamu, Mas. Bukankah Via punya niat jelek untuk merampas Nico dari tangan kamu?” “Aku akan membujuknya supaya tidak melakukan hal itu.” “Membujuk gimana?” Shara menyipitkan mata. “Jangan bilang kalau kamu diam-diam menemui Via di belakang aku, ya?” “Ngapain aku harus diam-diam? Aku tidak harus minta izin kamu buat bicara sama Via kan?” tukas Rio, tampak tidak senang. “Bukan begitu juga maksud aku, Mas ....” “Aku bisa lihat kalau Via dendam sekali sama kita, seolah kita sudah melakukan kesalahan besar di masa lalu.” Rio menambahkan, membuat wajah Shara memucat. “Aku tidak habis pikir sama Via, dia benar-benar sudah berubah.” Shara menelan ludah, dia merasa harus segera berbuat sesuatu. “Terus apa rencana kamu?” “Seperti yang aku bilang tadi, aku akan minta Via untuk tidak meributkan soal hak asuh