"Uh..." Pria muda itu menggeliat, berusaha menggerakkan tubuhnya. Pandangannya masih gelap, tangan dan kakinya terikat, dan mulutnya tersumpal. Terus, ia mencoba untuk kembali menggerakkan tubuhnya, meski dengan susah payah. "Diam, brengsek!" Pria itu menggeram ketika perutnya kembali menjadi sasaran pukulan. Suara mesin mobil kemudian berhenti, ia ditarik keluar dengan kasar oleh, sepertinya beberapa orang. "Jangan terlalu kasar. Kita tidak diperintahkan untuk membunuhnya." "Ck, lagipula siapa yang mau membunuhnya?" Terdengar suara benturan. Lalu diikuti dengan suara tamparan. Sepertinya salah seorang diantara mereka memukul orang lainnya. "Perlakukan dia dengan baik. Ingat..." Kali ini suaranya menjadi semakin kecil. "Dia ladang uang kita. Jadi, harus kita perlakukan dengan baik." Kalimat itu langsung disambut tawa tertahan dari salah satu orang. "Benar juga. Sebentar lagi, kita akan kaya raya!" Pria itu yang masih terikat dan kedua matanya masih dit
"Apa tidak sebaiknya kita ke salon saja?" Embun menatap suaminya itu melalui kaca. Ia masih berdiri di belakang Kaisar. "Kau tak percaya padaku?" Kaisar terlihat serba salah. "Bukannya tak percaya..." Ia menatap Embun, dan akhirnya menghela napas pelan. "Baiklah..." Senyuman di wajah Embun terbit, lalu ia menepuk pipi Kaisar dengan lembut. "Serahkan padaku. Jangan khawatir, ya..." Sebetulnya Kaisar agak kurang menyukai ide memotong rambut yang digagas oleh Embun tadi. Tapi masalahnya adalah pikirannya agak tidak fokus karena foto-foto yang dikirimkan Aletta. Dan juga, kekhawatiran jika Embun salah paham padanya. Namun setelah memastikan jika ia tak perlu khawatir mengenai hal tersebut, pikiran Kaisar barulah fokus. Dan sekarang ia agak menyesal tidak mengatakan apapun ketika Embun berinisiatif untuk memotong rambutnya. Hanya saja, ia tidak mau mematahkan antusiasme Embun. Pada akhirnya, ia membiarkan istrinya itu untuk melakukan apapun yang ia inginkan. "Apakah k
"S-sebentar... Argh!" Sudah berjam-jam Dion berada di posisi digantung seperti ini. Semua ini berawal karena negosiasi yang tak berhasil dilakukan oleh Dion, untuk kedua kalinya. Beberapa jam yang lalu, saat penutup mata Dion dibuka untuk pertama kalinya. Seorang pria berkepala plontos adalah orang pertama yang ia lihat. Wajah pria itu bisa dibilang mengerikan. Dengan luka sayatan yang panjang di pipinya, dan tato yang memenuhi hampir seluruh tubuhnya. Seringaian pria berkepala plontos itu hampir membuat Dion gentar. Tapi, nyawanya sudah diujung tanduk, tak ada lagi waktu untuk merasa takut. "Bagaimana bila kita melakukan negosiasi ulang?" tawar Dion, lagi. Seringai di wajahnya menghilang, digantikan dengan tawa keras darinya. "Sudah gila dia rupanya, hah?!" Pertanyaan itu disambut dengan tawa canggung dari beberapa orang di sini. Dion menatap ke sekelilingnya. Ia berada di sebuah ruangan yang sangat besar. Ada satu, dua, lima, delapan, dua belas orang, setid
"Aletta?" Dion menatap wanita itu dengan tidak percaya. Aletta melangkah masuk ke dalam ruangan. Langkah kakinya begitu percaya diri, senyuman terbit di wajahnya yang cantik. Jika dilihat hanya dari luarnya saja, Aletta benar-benar sosok wanita sempurna. Sayangnya, penampilan fisiknya tak selaras dengan hatinya yang jahat. "Sialan! Jadi kau dalang dari semua ini?!" Dion menggerakkan tubuhnya dengan agresif, seakan-akan ia siap mencabik-cabik Aletta sampai tak berbentuk. "Duh, jangan galak gitu dong, Dion," ujar Aletta sambil tersenyum. Ia berjalan mendekat menghampiri Dion. "Ketampananmu nanti jadi menurun kalau kamu terlalu galak." "Aku membantumu, Aletta!" Suara Dion bergetar. Masih tidak percaya kalau wanita itu mengkhianatinya. "Aku membantu semua rencana gilamu itu!" "Dan sekarang kau mengkhianatiku? Memperlakukanku seperti binatang?! Sialan kau, Aletta." Aletta menatap Dion dengan ekspresi pura-pura prihatin. Sambil menepuk kepala Dion, ia berujar, "Aku han
"Perusahaan Romero Entertainment. Agensi yang menaungi Aletta."Informasi terbaru tersebut membuat Nicholas mengernyit, merasa bingung.Ia teringat malam itu, saat ia mencuri dengar percakapan Dion dan Aletta di pesta. Kemunculan Dominic Romero, sang CEO, di sisi Aletta memang cukup mengejutkan untuknya. Aletta terlibat dalam penculikan Dion?Tapi kenapa?Apakah mereka berselisih paham, hingga mantan pacar Kaisar itu berniat memberi pelajaran pada Dion? Sepengetahuan Nicholas, sekalipun interaksi antara Dion dan Aletta sedikit tidak nyaman di pesta terakhir, tapi tidak ada hal drastis yang seharusnya bisa membuat Aletta melakukan hal ini.Karenanya, Nicholas sama sekali tidak menduga kalau sebenarnya partner kejahatan Dion sendirilah yang melakukan hal ini.Mungkin Dion mencoba berkhianat? Sehingga Aletta merasa ia harus membungkam pria itu?Atau apa?Namun, sekali lagi, pengetahuan Nicholas masih sedikit. Penyelidikannya masih dangkal."Apa karena Dion berusaha kabur?" gumam Nichola
Ada yang mengetuk pintu.Lidya menegakkan punggungnya, langsung waspada. Apalagi saat ini ia tengah memikirkan si Aletta sialan."Aletta, kamu jangan main-main ya!" ucap Lidya saat itu. Sekalipun tangannya terasa dingin karena ternyata si berengsek di hadapannya mengetahui tentang perselingkuhannya."Lho, saya tidak main-main, mantan calon mama mertua," balas Aletta ringan. Suaranya yang tadinya malas langsung berubah semangat lagi. "Tidak sedang bercanda juga. Saya benar-benar takjub loh. Bagaimana rasanya selingkuh?""Kurang ajar!" Lidya menggebrak meja, membuat Aletta justru makin tertawa di seberang saluran telepon."Aduh. Jangan marah-marah. Nanti keriput. Om Henri nanti tidak suka, lho." Aletta menggoda dengan suaranya yang menjijikkan. Lalu ia terkikik. "Ah, sayang sekali saya harus pergi. Lain kali kita ngobrol lagi ya, Tante Sayang.""Aletta! Kamu--"Lalu sejak hari itu, Lidya sama sekali tidak dapat menghubungi Aletta lagi. Sama seperti saat wanita gila itu menghilang.Tapi
"Hihi, masa aku membiarkanmu hidup tenang dan bahagia dengan mantan pacarku, Embun?”Aletta mengalihkan pandangannya dari gelapnya malam di luar jendela dan kembali fokus ke ponselnya.Wanita itu mengetikkan sesuatu di sana dan menekan tombol kirim, sebelum kemudian bertitah, "Injak gasnya. Ini jalan tol. Jangan mengemudi seperti siput begitu."***"Kamu sebenarnya tampak lebih bahagia di sini, Embun."Embun menatap Kaisar saat suaminya mengatakan itu. Jemarinya yang sedang memainkan rambut pria itu berhenti sejenak, sebelum kemudian kembali mengusik surai hitam di hadapannya."Kelihatan jelas, ya?" gumam Embun.Kaisar mengangguk. "Kamu suka tinggal di pedesaan seperti ini?" tanyanya kemudian."Lebih tenang, memang," balas Embun. "Di ibu kota berisik. Macet, polusi ... banyak. Di sini aku bisa mengatur jadwal dan diri sendiri dengan lebih baik. Tapi, agak bimbang juga karena," Ia menjeda kalimatnya sejenak, "di sana ada Kak Rindang. Ada Papa juga. Ada ... kamu."Kaisar terkekeh kecil.
Wanita itu… sedang menuju kemari?Mau apa lagi dia? Kaisar tahu ia harus segera melakukan sesuatu sebelum semuanya terlambat. Jadi, dengan sangat hati-hati, Kaisar turun dari ranjang, dan langsung memakai kembali pakaiannya. Sebelum ia pergi dari kamar mereka, Kaisar menatap Embun yang terlelap. Ia mendekatkan dirinya, dan mencium kening istrinya itu. Dalam hatinya ia berjanji kalau ia akan memastikan segalanya terkendali. Dan tak akan ada ruang bagi Aletta untuk menghancurkan pernikahan mereka. Lalu, dengan langkah pelan, ia keluar dari kamar. Kaisar mencari nomor seseorang di ponselnya. “Temui saya di belakang gedung B. Siapkan juga semua orang.”Dengan terburu-buru, Kaisar masuk ke dalam mobilnya dan dengan gegas ia menuju ke sana. Ketika Kaisar tiba, beberapa orang yang ia panggil sudah berada di sana dalam posisi siap. “Ada masalah apa, Pak Kaisar?” Kia langsung bertanya pada Kaisar yang terlihat cukup gusar. “Aletta sedang menuju kemari.” Kaisar melihat pesan yang dikiri
Beberapa tahun kemudian .... Seorang anak berusia 4 tahun tengah sibuk berlarian di dalam supermarket. Ia menjelajahi lorong dan sempat berhenti di estalase yang memampangkan makanan manis sebelum akhirnya kembali berlari. Pada akhirnya, anak itu berhenti di pojok ruangan dan berjongkok, bersembunyi di balik tumpukan kotak berisi stok makanan ringan. "Hehehe~" Anak itu tertawa kecil, sebelum kemudian menutup mulutnya sendiri. Ia tengah bersembunyi. Dan yakin bahwa tidak akan ada yang menemukannya di sini. Namun, sepertinya anak itu terlalu percaya diri. "Nathan." Tiba-tiba seorang pria yang tampaknya berada di usia tiga puluhan datang. Tubuhnya yang tinggi besar menjulang di depan tumpukan kardus yang dipakai bocah 4 tahun itu untuk bersembunyi. "Sudah main-mainnya. Ayo pulang." Si bocah yang dipanggil 'Nathan' itu langsung cemberut. "Papa kok tahu aku di sini si?" ucapnya. "Aku lagi main petak umpet, Pa." "Sama siapa?" tanya sang ayah. "Nala." Bocah itu menyebutkan nama saud
"Istriku memang cantik. Tidak perlu pengakuan orang lain lagi." Keheningan menyambut ucapan Kaisar tersebut, sementara Embun tersenyum kikuk akibat ulah sang suami. "Haha, saya setuju, Pak Kaisar. Saya setuju." Orang yang tadi berkomentar menanggapi dengan canggung. "... Bicara yang baik," bisik Embun pelan agar tidak didengar orang lain selain sang suami. "Memang aku sedang menjelekkan orang lain?" balas Kaisar sama pelannya. "Jangan pura-pura tidak tahu seperti itu, Kaisar Rahardja." Kaisar menghela napas. "Baiklah." Keduanya kemudian kembali menghadapi para tamu di depan mereka. "Oh, saya dengar Nyonya Embun sedang hamil, Pak?" Salah seorang tamu mengalihkan topik pembicaraan. "Semoga sehat-sehat selalu ya, baik ibu dan bayinya." Mendapatkan doa baik untuk istri dan anaknya, Kaisar tampak lebih ramah. "Terima kasih. Mohon doanya untuk keluarga kecil kami." Pria itu berkata. Seperti mendapatkan sinyal aman, semua tamu langsung mengobrol mengenai kehamilan Embun. "Apakah
"Saya, Kaisar Rahardja, menjadikan Embun Prajaya sebagai istri saya," ucap Kaisar, lurus menatap Embun dengan sorot matanya yang lembut dan penuh kasih. "Pada hari yang istimewa ini, di hadapan semua tamu yang menjadi saksi, saya berjanji akan selalu berada di sisi Embun, setia kepada wanita ini." Ada debar asing dalam dada Embun saat ia mendengarkan janji pernikahan Kaisar. Sebelumnya, mereka hanya menikah di kantor catatan sipil, tanpa berpikir bahwa hubungan mereka akan berkembang seperti ini. Tanpa berekspektasi bahwa mereka akan sama-sama mengikrarkan janji suci sekarang ini. Tidak ada yang romantis, sebelumnya. Embun membutuhkan suami agar ia bisa keluar dari rumah iparnya, dan Kaisar ingin menuruti kata sang ayah. Namun, semuanya sudah berbeda sekarang. "Sebagai suami, saya berjanji dan bersedia akan selalu mencintai Embun. Selalu ada untuk Embun, dalam suka maupun duka, sedih dan senang, sakit dan sehat, dan mendampingi istri saya hingga maut memisahkan." Kaisar mencium
[Info Mengejutkan! Presdir Rahardja Group Ternyata Sudan Menikah Diam-Diam!] Berita itulah yang sedang menjadi perbincangan ramai di media. Banyak pihak yang terkejut dengan kenyataan bahwa Kaisar Rahardja ternyata sudah menikah dan mempunyai istri. Oleh karena itu, banyak wartawan dan rekan media massa lain yang menyesaki Ashtana Hotel, tempat Embun dan Kaisar akan melangsungkan pesta pernikahan, sekalipun mereka tidak diizinkan masuk karena Kaisar sudah mewanti-wanti ibunya agar tidak mengundang orang media. Sepertinya pria itu khawatir pemberitaan hanya akan membuat Embun stres dan berdampak pada kehamilan istrinya. "Kaisar, bukankah ini terlalu mewah?" tanya Embun. Wanita itu sedang didandani saat Kaisar mengunjunginya di ruang ganti hotel. "Berapa banyak tamu yang akan datang?" "Tidak banyak," jawab Kaisar, tanpa mengatakan informasi bahwa ibunya hampir mengundang 500 tamu. "Tapi nyaris semuanya teman-teman Mama." Embun menghela napas. "Meski begitu, Mama turut mengundang
"Meskipun terlihat main-main, Nic adalah anak yang baik dan bertanggung jawab. Saya bisa menjamin itu." Usai mengatakan itu, Kaisar menoleh pada keponakannya dan menepuk bahu Nicholas. Sementara Friska diam saja. Seperti sudah berhenti berfungsi. "Nic, bawa pacarmu duduk." Kaisar tiba-tiba berucap. Nicholas menoleh menatap Friska yang wajahnya masih merah, lalu menarik tangan gadis itu pelan. "Mau keluar dulu saja?" bisiknya menawarkan. Nicholas seperti memahami kalau Friska perlu waktu untuk memproses timbunan informasi yang baru saja jatuh di depan matanya. Samar, Friska mengangguk. "Paman. Aku keluar sebentar. Mau cari minum yang manis-manis. Haus." Nicholas langsung izin. "Mau titip sesuatu?" Kaisar menoleh pada Embun, bertanya tanpa kata-kata. "Tidak. Sedang tidak ngidam." Embun tersenyum kecil. "Yakin?" Kaisar mengusap perut Embun. "Kadang si kecil ini berulah tiba-tiba." "Tapi nanti kalau ada apa-apa, apakah aku boleh telepon?" Embun bertanya pada Nic kemudian. "Ap
"Kamu kenal dengan Nic?" Kini, Embun yang tampak heran. Meski begitu, ia mengangguk. "Kamu kenal juga?" balas istri Kaisar itu kemudian. "Dia keponakan suamiku." Friska makin terkejut saat mendengarnya. "Suamimu seorang Rahardja?" tanya Friska, campuran antara keterkejutan dan tidak percaya, karena ia baru tahu bahwa sahabatnya menikahi keluarga Rahardja. Sementara itu, Embun tampak bingung dengan reaksi Friska. "Hm? Ya?" tanggap istri Kaisar tersebut. "Memang aku belum pernah cerita? Nama suamiku Kaisar Rahardja." "Wah." Friska berdeham, lalu menoleh pada Nicholas yang baru bergabung dengan mereka. "Wah. Kebetulan macam apa ini?" "Aku juga sedikit terkejut saat menyadari ini," ungkap Nicholas. Pria itu menggenggam tangan Friska dengan kasual sembari tersenyum pada Embun. "Halo, Tante. Wajah Tante terlihat lebih segar sekarang." "Wah." Friska masih tampak terkesan, apalagi saat mendengar bagaimana Nicholas memanggil sahabatnya. Kalau begini, pria itu makin terdengar jauh leb
"Oh? Mau mengadakan pesta pernikahan?" Embun mendengar keterkejutan dalam suara Rindang. Ia berniat menyahuti sang kakak, tapi sebelum ia sempat mengucapkan apa pun, Rindang sudah melanjutkan. "Embun kurang suka pesta. Tapi saya setuju kalau akan diadakan pesta. Menikah hanya sekali. Sayang jika tidak membuat kenangan baik." Istri Kaisar itu akhirnya menyerah. Ia tidak menanggapi, sementara Lidya dan Rindang justru terlibat obrolan seru soal pesta pernikahan. Ia belum membicarakan hal ini pada Kaisar, sekaligus mendengar tanggapan pria itu. Hingga akhirnya, Lidya pamit karena ia ada janji dengan Surya. Wanita itu berniat menjemput suaminya di kantor. "Kamu istirahat yang cukup. Makan yang benar," ucap Lidya. "Jangan terlalu membebani dirimu. Soal pesta, biar aku yang urus." Tersenyum lemah karena pasrah, Embun mengangguk. "Terima kasih, Ma," ucapnya. Dalam beberapa hari saja, keduanya sudah cukup dekat. Embun harus akui ini semua berkat kegigihan dan keterbukaan Lid
"Embun anak baik. Dia tidak akan membencimu." Lidya teringat ucapan suaminya sebelum ia memutuskan untuk bertemu dengan Embun. Namun, sesaat sebelumnya, bukan hanya itu yang dikhawatirkan Lidya. Wanita itu juga ingin mengakui dosanya pada sang suami. Bahwa ia telah berselingkuh dengan Henri Pradana. Bahwa, sekalipun Lidya melakukan itu karena pernikahan mereka yang sudah dingin, sama sekali tidak membenarkan alasannya mengkhianati sang suami. "Mas Surya, aku--" Namun, sebelum Lidya sempat melakukannya, Surya sudah memotong kalimatnya. "Lidya." Tubuh Lidya membeku saat tiba-tiba Surya menangkup sisi wajahnya, membuat wanita itu menatap sang suami. Surya tersenyum kecil. "Sepertinya kamu sudah kembali," ucapnya pelan. "Menjadi istri yang dulu kucintai." Tangis Lidya pecah. Baru kemudian ia terpikir, perubahan sikap sang suami bisa jadi karena tingkahnya yang tidak karuan; hobi berfoya-foya dan menghabiskan uang suaminya di luar negeri tanpa meluangkan waktu untuk suami dan para
"Selamat sore." Lidya melangkah lebih dekat ke tempat tidur Embun setelah memutus kontak mata dengan yang lebih muda. "Aku tunggu di luar ya," ucap Surya kemudian, membuat baik Embun maupun Lidya menoleh ke arahnya. "Kalau ada apa-apa, panggil saja." Embun melihat ayah mertuanya itu berbalik dan berniat melangkah pergi, sebelum kemudian Lidya menggenggam tangannya. "Pa," bisik ibu Kaisar tersebut. Surya menatap sang istri dan tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, dia anak baik," kata pria tua itu. "Bicaralah pada menantu kita. Semuanya akan baik-baik saja." Pria itu meremas tangan istrinya pelan sebelum kemudian melepaskan genggamannya dan berlalu keluar. Meninggalkan Embun berdua dengan Lidya. Hening. Lidya tidak mengatakan apa pun, dan Embun menunggu wanita itu memulai karena ia pikir, akan lebih baik jika ia memberikan kesempatan pada ibu mertuanya untuk menyampaikan niatnya lebih dahulu. Sekalipun Embun juga punya hal untuk dikatakan. Namun, saat Lidya tidak kunjung bi