"Seperti pengangguran. Hanya menunggui istrinya sepanjang hari.”Embun terbelalak. Mungkin jika dikatakan pada orang lain dalam kondisi biasa, ucapan Dion akan dianggap candaan biasa saja, karena cara bicara pria itu begitu ringan dan main-main, seakan dia bukannya tengah mengomentari keberadaan Kaisar di sini. Meskipun bagi mereka yang mengetahui karakter Dion, pria itu jelas-jelas memang sedang mengkritisi suami Embun. Embun sedang tidak dalam kondisi biasa. Ia sedang marah, apalagi pada pria di hadapannya ini. Karena itu, ia melihat Dion memang sedang mengusik dirinya dan Kaisar. "Kaisar sengaja menunggu saya." Embun menjawab dengan tegas, sekaligus kembali menciptakan jarak antara ia dan Dion. "Kami berencana untuk pulang bersama setelah ini."Dion mengangguk. "Tidak masalah. Tapi kan kamu harus kembali lagi ke sini, Embun.""Anda tidak bisa mengubah kontrak seenaknya, Pak," tukas Embun. "Saat saya menerima penawaran Bapak beberapa bulan yang lalu, kita sudah sepakat kalau saya
Tadinya, Embun ingin kembali ke dalam kelas, tetapi begitu melihat kelas yang hampir selesai, ia mengurungkan niatnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Kelas tadi seharusnya adalah kelas terakhir hari ini. Berarti sudah cukup lama Embun keluar dari kelas. Embun benar-benar tidak menyadari jika ternyata ia sudah menghabiskan waktu yang lama untuk berbicara dengan Dion. Urgh … mengingat pembicaraan mereka tadi saja sudah membuat Embun ingin marah lagi. Dion memanfaatkan situasi dengan baik, menjebak Embun dengan alasan kekurangan karyawan dan pemikiran bahwa semua anak-anak yang datang ke sini adalah untuk menghadiri kelas Embun.Membuatnya tidak enak hati.Bagaimana kalau image-nya akan jadi buruk lagi jika ia menolak perpanjangan kontrak ini? Apalagi kelasnya sudah terkenal di media sosial?Embun menggigit bibirnya, berpikir keras.Ia lalu mengingat-ingat semua pasal di surat kontraknya. Saat pertama kali meninjau kontrak tersebut, ia tidak menemukan keanehan atau pasal yang
"Kamu perlu bantuanku?"Embun menghela napas, berpikir bagaimana Kaisar nanti akan bisa membantunya.Sejujurnya, Embun bingung dengan posisinya saat ini. Perasaannya mengatakan bahwa Dion bukan hanya sekadar ingin bekerja dengannya ataupun tertarik sepenuhnya dengan kemampuan Embun. Ia menyadari itu. Namun, logika Embun masih terpaku di pertanyaan apakah benar Dion menginginkannya lebih dari sekadar rekan kerja, di saat pria itu tahu bahwa Embun sudah bersuami?Tapi jika tidak, kenapa Dion bisa segigih itu?Embun tidak ingin terlalu percaya diri dengan pemikirannya ini. Apalagi ini menyangkut soal dirinya.Akan tetapi, itulah yang Embun rasakan.Sebenarnya dari awal, Embun agak risih dengan bagaimana Dion selalu memanfaatkan setiap kesempatan saat bersamanya. Hanya saja, Embun tetap profesional. Karena pertemuannya dan Dion hampir selalu dengan latar tempat kerja. Karena Embun memang menempatkan pria itu di sana.Wanita berambut sebahu itu tidak ingin menjadi lebih dekat dengan Dion,
“Kamu bisa mulai dari mana pun, Embun. Aku akan mendengarkannya…”Embun mengerjapkan kedua matanya. Ia berusaha menetralkan degup jantungnya yang berdetak tak karuan. Ia berdeham, lalu mulai menumpahkan kegelisahannya. “Aku terganggu dengan perlakuan Dion…”Embun menghela napasnya, wajahnya terlihat gusar. “Tadinya, aku menerima tawaran Dion agar aku bisa rehat sejenak dari semua hal. Terutama,” Ia menatap Kaisar. “Karena banyaknya pemberitaan yang membuatku tak nyaman…”“Tapi, aku tidak menyangka jika Dion sepertinya memiliki maksud yang lain terhadapku…”Kaisar masih mendengarkan semua keluhan Embun dengan seksama. Ia bahkan sudah menggeser piringnya ke samping. “Aku sudah menyadarinya.” Embun terlihat frustasi. “Maksudku, pria itu selalu memiliki berbagai macam alasan untuk mendekatiku. Tapi, aku tidak pernah menggubrisnya…”“Tujuanku ketika menerima tawarannya untuk ikut menjadi bagian dari project ini, hanyalah agar aku bisa rehat sebentar. Itu saja…”Embun merasa lega sudah me
“Dan juga… rasanya sangat menyenangkan bila kita bisa memiliki harapan.” Embun tersenyum lebar. “Seperti… diberikan kesempatan lagi dalam kehidupan…”“Kesempatan untuk melakukan banyak hal…”Kaisar terdiam. Ia memandangi wajah Embun dari samping. Malam ini, Kaisar merasa jika Embun benar-benar telah membuka dirinya. Sisi Embun yang seperti ini mampu membuat Kaisar kewalahan. Pria itu menaruh buket popcorn yang ada di tangannya dengan sangat hati-hati. Ia menggenggam tangan Embun lembut, hingga wanita itu menoleh kepadanya. Pria itu mengelus pipi Embun perlahan, sebelum mendekatkan wajahnya. Embun menutup kedua matanya, dan membiarkan pria itu memagut bibirnya dengan pelan. Manis. Ciuman Kaisar tidak menuntut. Dan justru terasa sangat manis. Embun membalas ciuman Kaisar, membiarkan dirinya tenggelam dalam perasaan mereka yang dalam. **Seorang pria yang berada di balik kemudi tampak mengeratkan genggamannya pada setir mobil. Ia terlihat mengeraskan rahangnya. Jelas sekali jika
“Hai, Dion. Apa kau merindukanku?"“Dasar wanita gila!” Dion langsung menyemburkan amarahnya begitu mendengar nada riang dari Aletta. Aletta tertawa kecil. “Wah-wah, jangan galak-galak dong. Aku kan jadi takut!”Dion menggeram kesal. “Kamu kemana aja, hah? Setelah bikin onar, langsung menghilang gitu aja. Benar-benar sudah gila! Kamu nggak mikir dampaknya sebesar apa, ya?!”Aletta berdeham. Dion dapat menebak ekspresi dari wanita itu. Pastilah ia sedang tersenyum licik, ada kemungkinan sambil memainkan rambutnya juga. “Ayolah, Dion.” Aletta berkata dengan nada suara yang sangat tenang, namun menusuk. “Kalau bukan karena masalah yang kutimbulkan, kamu nggak akan mungkin bisa menghabiskan waktu berbulan-bulan bersama dengan Embun.”“Berdekatan dengannya lebih lama dari biasanya.”“Berterima kasihlah sedikit, Dion.”Rasanya, Dion ingin kembali memaki Aletta. Namun yang diucapkannya memang benar. Kalau bukan karena masalah yang dia timbulkan dan ide darinya, Embun tidak mungkin berada di
“A-ah, Kaisar…”Berbeda dari ciuman mereka di dalam mobil yang terasa manis, kali ini, ciuman ini terasa lebih menuntut dan penuh dengan gairah. Pergulatan bibir keduanya berakhir dengan Embun yang jatuh di tempat tidur. Embun tidak bisa menyembunyikan kegugupannya kala melihat Kaisar menanggalkan kaosnya dan membuangnya ke lantai. Ia bisa melihat tubuh atletis milik suaminya tanpa kain penghalang. Dan pipi Embun merona karenanya. Tanpa memutus kontak mata mereka, pria itu kembali memagut bibir sang istri dengan dalam. Seakan-akan ingin menyalurkan semua perasaan dan gairahnya.Lama-kelamaan pagutan Kaisar berubah menjadi lebih intens, hingga membuat Embun hampir kehabisan napasnya. Berbeda dari percintaan mereka yang pertama kali. Kali ini, Kaisar lebih dominan dan tak memberikan ruang untuk Embun bernapas. Napas mereka saling berkejaran. Dada Embun berdentum hebat, seakan-akan ada yang akan merobek dan keluar dari dalam sana. Kaisar membawa dirinya turun, ia memberikan rangsa
“Pak Dion menghilang!”Satu kalimat dari Pratama mampu membuat tidak hanya Embun yang terkejut, tapi juga semua orang yang berada di sana. Menghilang? Menghilang bagaimana maksudnya? Karena kabar menghilangnya Dion yang tiba-tiba inilah, rapat dadakan kemudian diadakan. Embun bisa merasakan aura kekhawatiran menyelimuti ruang rapat. Beberapa pekerja yang memang selalu bersinggungan langsung dengan Dion mengatakan jika pria itu tidak mungkin pergi tanpa pamit. “Pak Dion itu selalu kasih tau saya kalau mau pergi kemanapun.” Itu kata salah satu asisten Dion yang bekerja di bidang pengolahan produk. “Atau minimal ninggalin catatan, supaya kita bisa menunda beberapa pekerjaan yang perlu persetujuannya. Dan mengerjakan pekerjaan lainnya.” “Itu benar. Pak Dion cukup terstruktur dan rapi. Dia bahkan punya perencanaan jangka pendek dan panjang.” Bio–salah satu asisten Dion yang lainnya–mengeluarkan sebuah buku catatan, dan membukanya di hadapan semua orang. “Lihat! Jadwal Pak Dion hari
Beberapa tahun kemudian .... Seorang anak berusia 4 tahun tengah sibuk berlarian di dalam supermarket. Ia menjelajahi lorong dan sempat berhenti di estalase yang memampangkan makanan manis sebelum akhirnya kembali berlari. Pada akhirnya, anak itu berhenti di pojok ruangan dan berjongkok, bersembunyi di balik tumpukan kotak berisi stok makanan ringan. "Hehehe~" Anak itu tertawa kecil, sebelum kemudian menutup mulutnya sendiri. Ia tengah bersembunyi. Dan yakin bahwa tidak akan ada yang menemukannya di sini. Namun, sepertinya anak itu terlalu percaya diri. "Nathan." Tiba-tiba seorang pria yang tampaknya berada di usia tiga puluhan datang. Tubuhnya yang tinggi besar menjulang di depan tumpukan kardus yang dipakai bocah 4 tahun itu untuk bersembunyi. "Sudah main-mainnya. Ayo pulang." Si bocah yang dipanggil 'Nathan' itu langsung cemberut. "Papa kok tahu aku di sini si?" ucapnya. "Aku lagi main petak umpet, Pa." "Sama siapa?" tanya sang ayah. "Nala." Bocah itu menyebutkan nama saud
"Istriku memang cantik. Tidak perlu pengakuan orang lain lagi." Keheningan menyambut ucapan Kaisar tersebut, sementara Embun tersenyum kikuk akibat ulah sang suami. "Haha, saya setuju, Pak Kaisar. Saya setuju." Orang yang tadi berkomentar menanggapi dengan canggung. "... Bicara yang baik," bisik Embun pelan agar tidak didengar orang lain selain sang suami. "Memang aku sedang menjelekkan orang lain?" balas Kaisar sama pelannya. "Jangan pura-pura tidak tahu seperti itu, Kaisar Rahardja." Kaisar menghela napas. "Baiklah." Keduanya kemudian kembali menghadapi para tamu di depan mereka. "Oh, saya dengar Nyonya Embun sedang hamil, Pak?" Salah seorang tamu mengalihkan topik pembicaraan. "Semoga sehat-sehat selalu ya, baik ibu dan bayinya." Mendapatkan doa baik untuk istri dan anaknya, Kaisar tampak lebih ramah. "Terima kasih. Mohon doanya untuk keluarga kecil kami." Pria itu berkata. Seperti mendapatkan sinyal aman, semua tamu langsung mengobrol mengenai kehamilan Embun. "Apakah
"Saya, Kaisar Rahardja, menjadikan Embun Prajaya sebagai istri saya," ucap Kaisar, lurus menatap Embun dengan sorot matanya yang lembut dan penuh kasih. "Pada hari yang istimewa ini, di hadapan semua tamu yang menjadi saksi, saya berjanji akan selalu berada di sisi Embun, setia kepada wanita ini." Ada debar asing dalam dada Embun saat ia mendengarkan janji pernikahan Kaisar. Sebelumnya, mereka hanya menikah di kantor catatan sipil, tanpa berpikir bahwa hubungan mereka akan berkembang seperti ini. Tanpa berekspektasi bahwa mereka akan sama-sama mengikrarkan janji suci sekarang ini. Tidak ada yang romantis, sebelumnya. Embun membutuhkan suami agar ia bisa keluar dari rumah iparnya, dan Kaisar ingin menuruti kata sang ayah. Namun, semuanya sudah berbeda sekarang. "Sebagai suami, saya berjanji dan bersedia akan selalu mencintai Embun. Selalu ada untuk Embun, dalam suka maupun duka, sedih dan senang, sakit dan sehat, dan mendampingi istri saya hingga maut memisahkan." Kaisar mencium
[Info Mengejutkan! Presdir Rahardja Group Ternyata Sudan Menikah Diam-Diam!] Berita itulah yang sedang menjadi perbincangan ramai di media. Banyak pihak yang terkejut dengan kenyataan bahwa Kaisar Rahardja ternyata sudah menikah dan mempunyai istri. Oleh karena itu, banyak wartawan dan rekan media massa lain yang menyesaki Ashtana Hotel, tempat Embun dan Kaisar akan melangsungkan pesta pernikahan, sekalipun mereka tidak diizinkan masuk karena Kaisar sudah mewanti-wanti ibunya agar tidak mengundang orang media. Sepertinya pria itu khawatir pemberitaan hanya akan membuat Embun stres dan berdampak pada kehamilan istrinya. "Kaisar, bukankah ini terlalu mewah?" tanya Embun. Wanita itu sedang didandani saat Kaisar mengunjunginya di ruang ganti hotel. "Berapa banyak tamu yang akan datang?" "Tidak banyak," jawab Kaisar, tanpa mengatakan informasi bahwa ibunya hampir mengundang 500 tamu. "Tapi nyaris semuanya teman-teman Mama." Embun menghela napas. "Meski begitu, Mama turut mengundang
"Meskipun terlihat main-main, Nic adalah anak yang baik dan bertanggung jawab. Saya bisa menjamin itu." Usai mengatakan itu, Kaisar menoleh pada keponakannya dan menepuk bahu Nicholas. Sementara Friska diam saja. Seperti sudah berhenti berfungsi. "Nic, bawa pacarmu duduk." Kaisar tiba-tiba berucap. Nicholas menoleh menatap Friska yang wajahnya masih merah, lalu menarik tangan gadis itu pelan. "Mau keluar dulu saja?" bisiknya menawarkan. Nicholas seperti memahami kalau Friska perlu waktu untuk memproses timbunan informasi yang baru saja jatuh di depan matanya. Samar, Friska mengangguk. "Paman. Aku keluar sebentar. Mau cari minum yang manis-manis. Haus." Nicholas langsung izin. "Mau titip sesuatu?" Kaisar menoleh pada Embun, bertanya tanpa kata-kata. "Tidak. Sedang tidak ngidam." Embun tersenyum kecil. "Yakin?" Kaisar mengusap perut Embun. "Kadang si kecil ini berulah tiba-tiba." "Tapi nanti kalau ada apa-apa, apakah aku boleh telepon?" Embun bertanya pada Nic kemudian. "Ap
"Kamu kenal dengan Nic?" Kini, Embun yang tampak heran. Meski begitu, ia mengangguk. "Kamu kenal juga?" balas istri Kaisar itu kemudian. "Dia keponakan suamiku." Friska makin terkejut saat mendengarnya. "Suamimu seorang Rahardja?" tanya Friska, campuran antara keterkejutan dan tidak percaya, karena ia baru tahu bahwa sahabatnya menikahi keluarga Rahardja. Sementara itu, Embun tampak bingung dengan reaksi Friska. "Hm? Ya?" tanggap istri Kaisar tersebut. "Memang aku belum pernah cerita? Nama suamiku Kaisar Rahardja." "Wah." Friska berdeham, lalu menoleh pada Nicholas yang baru bergabung dengan mereka. "Wah. Kebetulan macam apa ini?" "Aku juga sedikit terkejut saat menyadari ini," ungkap Nicholas. Pria itu menggenggam tangan Friska dengan kasual sembari tersenyum pada Embun. "Halo, Tante. Wajah Tante terlihat lebih segar sekarang." "Wah." Friska masih tampak terkesan, apalagi saat mendengar bagaimana Nicholas memanggil sahabatnya. Kalau begini, pria itu makin terdengar jauh leb
"Oh? Mau mengadakan pesta pernikahan?" Embun mendengar keterkejutan dalam suara Rindang. Ia berniat menyahuti sang kakak, tapi sebelum ia sempat mengucapkan apa pun, Rindang sudah melanjutkan. "Embun kurang suka pesta. Tapi saya setuju kalau akan diadakan pesta. Menikah hanya sekali. Sayang jika tidak membuat kenangan baik." Istri Kaisar itu akhirnya menyerah. Ia tidak menanggapi, sementara Lidya dan Rindang justru terlibat obrolan seru soal pesta pernikahan. Ia belum membicarakan hal ini pada Kaisar, sekaligus mendengar tanggapan pria itu. Hingga akhirnya, Lidya pamit karena ia ada janji dengan Surya. Wanita itu berniat menjemput suaminya di kantor. "Kamu istirahat yang cukup. Makan yang benar," ucap Lidya. "Jangan terlalu membebani dirimu. Soal pesta, biar aku yang urus." Tersenyum lemah karena pasrah, Embun mengangguk. "Terima kasih, Ma," ucapnya. Dalam beberapa hari saja, keduanya sudah cukup dekat. Embun harus akui ini semua berkat kegigihan dan keterbukaan Lid
"Embun anak baik. Dia tidak akan membencimu." Lidya teringat ucapan suaminya sebelum ia memutuskan untuk bertemu dengan Embun. Namun, sesaat sebelumnya, bukan hanya itu yang dikhawatirkan Lidya. Wanita itu juga ingin mengakui dosanya pada sang suami. Bahwa ia telah berselingkuh dengan Henri Pradana. Bahwa, sekalipun Lidya melakukan itu karena pernikahan mereka yang sudah dingin, sama sekali tidak membenarkan alasannya mengkhianati sang suami. "Mas Surya, aku--" Namun, sebelum Lidya sempat melakukannya, Surya sudah memotong kalimatnya. "Lidya." Tubuh Lidya membeku saat tiba-tiba Surya menangkup sisi wajahnya, membuat wanita itu menatap sang suami. Surya tersenyum kecil. "Sepertinya kamu sudah kembali," ucapnya pelan. "Menjadi istri yang dulu kucintai." Tangis Lidya pecah. Baru kemudian ia terpikir, perubahan sikap sang suami bisa jadi karena tingkahnya yang tidak karuan; hobi berfoya-foya dan menghabiskan uang suaminya di luar negeri tanpa meluangkan waktu untuk suami dan para
"Selamat sore." Lidya melangkah lebih dekat ke tempat tidur Embun setelah memutus kontak mata dengan yang lebih muda. "Aku tunggu di luar ya," ucap Surya kemudian, membuat baik Embun maupun Lidya menoleh ke arahnya. "Kalau ada apa-apa, panggil saja." Embun melihat ayah mertuanya itu berbalik dan berniat melangkah pergi, sebelum kemudian Lidya menggenggam tangannya. "Pa," bisik ibu Kaisar tersebut. Surya menatap sang istri dan tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, dia anak baik," kata pria tua itu. "Bicaralah pada menantu kita. Semuanya akan baik-baik saja." Pria itu meremas tangan istrinya pelan sebelum kemudian melepaskan genggamannya dan berlalu keluar. Meninggalkan Embun berdua dengan Lidya. Hening. Lidya tidak mengatakan apa pun, dan Embun menunggu wanita itu memulai karena ia pikir, akan lebih baik jika ia memberikan kesempatan pada ibu mertuanya untuk menyampaikan niatnya lebih dahulu. Sekalipun Embun juga punya hal untuk dikatakan. Namun, saat Lidya tidak kunjung bi