“Mohon maaf, sepertinya Embun merasa kurang nyaman dengan kontak fisik yang tiba-tiba.”Embun melihat bagaimana sang bibi menatap Kaisar dan terlihat tidak senang dengan keberadaan pria itu. Wanita paruh baya itu tampak mengamati Kaisar dari atas sampai bawah, kemudian mendengus.“Jangan sok tahu,” ucap sang bibi. “Memangnya kamu siapa?”Bibi Embun berpikir, Kaisar hanyalah pria sok tahu yang kebetulan ada di sana bersama Embun. Di samping itu, ia juga mengira bahwa pria ini bisa jadi batu sandungan untuk Dion, yang bibi Embun pikir sedang dekat dengan Embun saat ini.Tentunya ia lebih memilih keponakannya bersama putra Henry Pradana tersebut.“Dengar ya. Saya ini sudah lama sekali tidak bertemu dengan keponakan kesayangan saya. Baru saja datang, sudah diperlakukan begini. Kamu jangan menghalang–”Namun, sebelum bibi Embun menyelesaikan kalimatnya, paman Embun maju selangkah dan langsung mengulurkan tangan ke arah Kaisar dengan senyum ramah di bibir.“Kaisar?” sapa pria paruh baya itu,
Embun berakhir langsung tidur, melewatkan makan dan mandi sore. Wanita itu hanya sempat mencuci tangan dan kaki, lalu tanpa bicara apa pun pada Kaisar, Embun membaringkan diri.Berbeda dengan saat pertama kali mereka masuk ke kamar ini, Embun kini sudah tidak malu-malu lagi.Namun, bahkan Kaisar pun tahu kalau ini bukan karena Embun sudah merasa nyaman dengannya, melainkan lebih ke arah mengabaikan Kaisar.“Embun. Tadi pagi kamu makan sedikit.” Kaisar berucap pelan. Tangannya menyentuh bahu Embun dengan hati-hati dan menggoyangkan tubuh sang istri sedikit. Namun, Embun bergeming. “Ayo makan dulu.”Hening. Kaisar sekilas menoleh pada sate ayam dan ayam bakar di meja, kemudian kembali menatap wajah Embun yang terlelap. Perlahan, pria itu menyentuh kening Embun, memastikan bahwa istrinya tersebut tidak sedang demam atau sakit.Tanpa sadar, tangan Kaisar mengelus rambut sebahu Embun dengan lembut. Tatapan sepasang mata segelap malam itu masih terpaku di wajah cantik Embun, tidak berkedip
“Ayo mengobrol sebentar dengan Bibi.”Seketika ekspresi Embun berubah. Ia yang semula tampak tenang, kini terlihat jengkel dan kesal.Ia tidak ingin berurusan dengan wanita ini.Memutuskan hal tersebut, Embun melepaskan tangan sang bibi.“Saya tidak ada urusan dengan Anda,” ucapnya dingin. “Ck, jangan begitu.” Bibi Embun, Hera, cemberut. Ia sudah memastikan bahwa tidak ada orang di sekitar mereka saat ini. Sehingga, ia tidak perlu berpura-pura. “Kita sudah lama tidak mengobrol begini. Ternyata kamu jadi sombong sekali ya.”“Sebelumnya juga kita tidak pernah mengobrol,” balas Embun. “Yang Anda lakukan kan hanya menyuruh saya ini itu.”“Aduh, apakah kamu pikir aku sembarangan melakukannya? Ternyata kamu salah paham.” Hera tersenyum sok manis. “Ada alasannya. Itu untuk mendidik–”“Pembantu?” potong Embun. Ia teringat bagaimana ia dipelakukan saat kecil. Bibinya tidak akan segan-segan menyuruhnya melakukan pekerjaan rumah dari pagi hingga malam. Bahkan mengguyurnya dengan air jika ia tid
“Harta orang tuamu itu tidak seberapa! Tapi bukankah seharusnya kamu membantu tantemu ini?”Tidak.Embun menutup matanya, mencoba menahan dirinya agar tidak terpancing emosi di sana. Ia sudah mengikhlaskan harta orang tuanya sejak awal, sejak ia menyaksikan apa yang mampu dilakukan paman serta bibinya untuk memperoleh harta itu. Sejak ia dan Rindang memutuskan untuk kabur dari rumah tempat yang mereka huni sejak kecil.Namun, rupanya, itu tetap terasa menyakitkan. Kemunculan paman dan bibinya benar-benar membangkitkan kenangan yang tidak ingin Embun ingat.Dan mungkin, sekali lagi, ia harus kembali mendorong memori itu ke belakang.“Saya tidak ada kewajiban membantu Anda,” ucap Embun. Nada suaranya terdengar lebih dingin daripada tadi.Tanpa menunggu respons Hera, Embun melangkah pergi, kembali menapaki jalan menuju penginapan.“Semoga Kaisar tidak sedang di kamar,” batin Embun. Tangannya gemetar. “Aku tidak ingin dia melihatku seperti–”Tiba-tiba tangan Embun ditarik oleh seseorang,
“Jangan sampai saya melihat Anda menyakiti istri saya lagi. Ini peringatan.”Kaisar melihat keterkejutan di mata paman dan bibi Embun, tapi ia tidak peduli. Pria itu fokus membawa Embun pergi dari sana.Sepanjang jalan ke kamar mereka di penginapan, Embun tidak mengatakan apa pun dan Kaisar pun diam saja. Pria itu tidak ingin mengusik Embun ataupun memberondongnya dengan pertanyaan seperti waktu itu.Mungkin, jika Embun sudah siap, ia akan mengatakan pada Kaisar mengenai keluarga yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka sekarang ini. Bahwa Embun memiliki keluarga selain Rindang.“Istirahatlah,” ucap Kaisar, saat akhirnya mereka sampai di kamar. Ia membuat Embun duduk di atas tempat tidur sementara ia tetap berdiri.Haruskah ia mencari tempat yang menjual martabak sekarang? Kaisar ingin membuat Embun merasa lebih baik.Namun, saat pria itu hendak melangkah pergi, Embun menggenggam tangannya.Tadinya, wanita berambut sebahu itu berpikir bahwa ia tidak ingin Kaisar melihatnya dalam kondi
Ciuman Kaisar terasa manis dan lembut. Pria itu seperti tengah menenangkan Embun, seakan mengatakan bahwa ia akan terus ada di sana dan semua akan baik-baik saja.Dan Embun membalasnya, menyadari sepenuh hati bahwa ia membutuhkan ini.Rasanya, ia begitu aman bersama Kaisar. "Kaisar," gumam Embun saat ciuman pertama mereka berakhir. Meskipun, sesungguhnya wanita ini tidak yakin apakah benar ini adalah ciuman pertama mereka?Wajah Embun memerah saat memikirkannya."Hei," panggil Kaisar. Pria itu menangkup pipi Embun dengan tangannya yang besar dan membuat sang istri mendongak untuk menatapnya. "Apa yang kamu pikirkan?""Tidak ada," jawab Embun cepat. Terlalu cepat hingga membuat Kaisar terkekeh kecil.Tiba-tiba, pria itu menarik Embun ke arahnya, membuat sang istri berakhir di pangkuan Kaisar."Ah!" Embun terkejut. Sepasang mata cokelatnya melebar karena tindakan Kaisar yang tiba-tiba.Namun, Embun tidak memprotes. Wanita itu justru berpegangan di bahu bidang Kaisar saat mereka berhadap
"Ungh...."Embun membuka matanya yang terasa berat sebelum alarmnya kembali berbunyi di pagi hari. Tubuhnya terasa sedikit kaku karena jatuh tertidur di posisi yang sama semalaman tanpa banyak bergerak.Tubuhnya pun mulai menggigil kedinginan. Namun, saat ia berniat merenggangkan tubuhnya, Embun merasakan tangan kokoh melingkari perutnya, menahan gerakan Embun."Ah." Embun langsung ingat apa yang ia lakukan semalam, serta berpikir mengapa ia tidak banyak bergerak dalam tidurnya, sekalipun memang ia merasa ia tidak pernah tidur senyenyak ini sebelumnya.Embun menoleh ke belakang dan mendapati wajah Kaisar yang masih terlelap di sana. Tanpa sadar Embun tersenyum dengan wajah yang bersemu kemerahan."Ah, dia belum pergi rupanya," batin Embun. "Tidak seperti sebelumnya."Sebelumnya, saat Embun bangun, Kaisar sudah ada di kamar mandi. Wanita itu bahkan tidak tahu apakah mereka tidur di ranjang yang sama atau tidak, bagaimana mereka melakukan hubungan, bagaimana perasaan Kaisar, dan semuany
“A-aku…”Embun memundurkan wajahnya. Ia tidak bisa lagi menyembunyikan kegugupannya. Apalagi dengan pernyataan ambigu dari Kaisar barusan. Menemani Embun kemana? Menemaninya… membersihkan diri? Menemaninya mandi? Pipi Embun merona ketika ia memikirkan hal itu. Namun, buru-buru memejamkan matanya guna mengusir semua pikiran-pikiran yang aneh itu. “Kenapa kamu gugup begitu, Embun?”Kaisar merapatkan kembali tubuhnya, bahkan sekarang hidung mereka sampai bersentuhan. Pria itu tersenyum, dan dengan perlahan mengecup kedua pipi, hidung, kening, hingga sampai di bibir Embun. Semua kecupan itu diberikannya dengan sangat lembut sekali. Seolah-olah Kaisar ingin menyampaikan semua perasaannya pada Embun. Kaisar menempelkan kening mereka, sebelum berujar, “Mandilah lebih dulu, Embun…”**Tadinya, Embun ingin bergegas pergi ke kelas karena takut terlambat. Namun Kaisar memintanya untuk menunggunya sebentar agar mereka bisa pergi bersama. Begitu melihat Kaisar masuk ke dalam kamar mandi, Em
Beberapa tahun kemudian .... Seorang anak berusia 4 tahun tengah sibuk berlarian di dalam supermarket. Ia menjelajahi lorong dan sempat berhenti di estalase yang memampangkan makanan manis sebelum akhirnya kembali berlari. Pada akhirnya, anak itu berhenti di pojok ruangan dan berjongkok, bersembunyi di balik tumpukan kotak berisi stok makanan ringan. "Hehehe~" Anak itu tertawa kecil, sebelum kemudian menutup mulutnya sendiri. Ia tengah bersembunyi. Dan yakin bahwa tidak akan ada yang menemukannya di sini. Namun, sepertinya anak itu terlalu percaya diri. "Nathan." Tiba-tiba seorang pria yang tampaknya berada di usia tiga puluhan datang. Tubuhnya yang tinggi besar menjulang di depan tumpukan kardus yang dipakai bocah 4 tahun itu untuk bersembunyi. "Sudah main-mainnya. Ayo pulang." Si bocah yang dipanggil 'Nathan' itu langsung cemberut. "Papa kok tahu aku di sini si?" ucapnya. "Aku lagi main petak umpet, Pa." "Sama siapa?" tanya sang ayah. "Nala." Bocah itu menyebutkan nama saud
"Istriku memang cantik. Tidak perlu pengakuan orang lain lagi." Keheningan menyambut ucapan Kaisar tersebut, sementara Embun tersenyum kikuk akibat ulah sang suami. "Haha, saya setuju, Pak Kaisar. Saya setuju." Orang yang tadi berkomentar menanggapi dengan canggung. "... Bicara yang baik," bisik Embun pelan agar tidak didengar orang lain selain sang suami. "Memang aku sedang menjelekkan orang lain?" balas Kaisar sama pelannya. "Jangan pura-pura tidak tahu seperti itu, Kaisar Rahardja." Kaisar menghela napas. "Baiklah." Keduanya kemudian kembali menghadapi para tamu di depan mereka. "Oh, saya dengar Nyonya Embun sedang hamil, Pak?" Salah seorang tamu mengalihkan topik pembicaraan. "Semoga sehat-sehat selalu ya, baik ibu dan bayinya." Mendapatkan doa baik untuk istri dan anaknya, Kaisar tampak lebih ramah. "Terima kasih. Mohon doanya untuk keluarga kecil kami." Pria itu berkata. Seperti mendapatkan sinyal aman, semua tamu langsung mengobrol mengenai kehamilan Embun. "Apakah
"Saya, Kaisar Rahardja, menjadikan Embun Prajaya sebagai istri saya," ucap Kaisar, lurus menatap Embun dengan sorot matanya yang lembut dan penuh kasih. "Pada hari yang istimewa ini, di hadapan semua tamu yang menjadi saksi, saya berjanji akan selalu berada di sisi Embun, setia kepada wanita ini." Ada debar asing dalam dada Embun saat ia mendengarkan janji pernikahan Kaisar. Sebelumnya, mereka hanya menikah di kantor catatan sipil, tanpa berpikir bahwa hubungan mereka akan berkembang seperti ini. Tanpa berekspektasi bahwa mereka akan sama-sama mengikrarkan janji suci sekarang ini. Tidak ada yang romantis, sebelumnya. Embun membutuhkan suami agar ia bisa keluar dari rumah iparnya, dan Kaisar ingin menuruti kata sang ayah. Namun, semuanya sudah berbeda sekarang. "Sebagai suami, saya berjanji dan bersedia akan selalu mencintai Embun. Selalu ada untuk Embun, dalam suka maupun duka, sedih dan senang, sakit dan sehat, dan mendampingi istri saya hingga maut memisahkan." Kaisar mencium
[Info Mengejutkan! Presdir Rahardja Group Ternyata Sudan Menikah Diam-Diam!] Berita itulah yang sedang menjadi perbincangan ramai di media. Banyak pihak yang terkejut dengan kenyataan bahwa Kaisar Rahardja ternyata sudah menikah dan mempunyai istri. Oleh karena itu, banyak wartawan dan rekan media massa lain yang menyesaki Ashtana Hotel, tempat Embun dan Kaisar akan melangsungkan pesta pernikahan, sekalipun mereka tidak diizinkan masuk karena Kaisar sudah mewanti-wanti ibunya agar tidak mengundang orang media. Sepertinya pria itu khawatir pemberitaan hanya akan membuat Embun stres dan berdampak pada kehamilan istrinya. "Kaisar, bukankah ini terlalu mewah?" tanya Embun. Wanita itu sedang didandani saat Kaisar mengunjunginya di ruang ganti hotel. "Berapa banyak tamu yang akan datang?" "Tidak banyak," jawab Kaisar, tanpa mengatakan informasi bahwa ibunya hampir mengundang 500 tamu. "Tapi nyaris semuanya teman-teman Mama." Embun menghela napas. "Meski begitu, Mama turut mengundang
"Meskipun terlihat main-main, Nic adalah anak yang baik dan bertanggung jawab. Saya bisa menjamin itu." Usai mengatakan itu, Kaisar menoleh pada keponakannya dan menepuk bahu Nicholas. Sementara Friska diam saja. Seperti sudah berhenti berfungsi. "Nic, bawa pacarmu duduk." Kaisar tiba-tiba berucap. Nicholas menoleh menatap Friska yang wajahnya masih merah, lalu menarik tangan gadis itu pelan. "Mau keluar dulu saja?" bisiknya menawarkan. Nicholas seperti memahami kalau Friska perlu waktu untuk memproses timbunan informasi yang baru saja jatuh di depan matanya. Samar, Friska mengangguk. "Paman. Aku keluar sebentar. Mau cari minum yang manis-manis. Haus." Nicholas langsung izin. "Mau titip sesuatu?" Kaisar menoleh pada Embun, bertanya tanpa kata-kata. "Tidak. Sedang tidak ngidam." Embun tersenyum kecil. "Yakin?" Kaisar mengusap perut Embun. "Kadang si kecil ini berulah tiba-tiba." "Tapi nanti kalau ada apa-apa, apakah aku boleh telepon?" Embun bertanya pada Nic kemudian. "Ap
"Kamu kenal dengan Nic?" Kini, Embun yang tampak heran. Meski begitu, ia mengangguk. "Kamu kenal juga?" balas istri Kaisar itu kemudian. "Dia keponakan suamiku." Friska makin terkejut saat mendengarnya. "Suamimu seorang Rahardja?" tanya Friska, campuran antara keterkejutan dan tidak percaya, karena ia baru tahu bahwa sahabatnya menikahi keluarga Rahardja. Sementara itu, Embun tampak bingung dengan reaksi Friska. "Hm? Ya?" tanggap istri Kaisar tersebut. "Memang aku belum pernah cerita? Nama suamiku Kaisar Rahardja." "Wah." Friska berdeham, lalu menoleh pada Nicholas yang baru bergabung dengan mereka. "Wah. Kebetulan macam apa ini?" "Aku juga sedikit terkejut saat menyadari ini," ungkap Nicholas. Pria itu menggenggam tangan Friska dengan kasual sembari tersenyum pada Embun. "Halo, Tante. Wajah Tante terlihat lebih segar sekarang." "Wah." Friska masih tampak terkesan, apalagi saat mendengar bagaimana Nicholas memanggil sahabatnya. Kalau begini, pria itu makin terdengar jauh leb
"Oh? Mau mengadakan pesta pernikahan?" Embun mendengar keterkejutan dalam suara Rindang. Ia berniat menyahuti sang kakak, tapi sebelum ia sempat mengucapkan apa pun, Rindang sudah melanjutkan. "Embun kurang suka pesta. Tapi saya setuju kalau akan diadakan pesta. Menikah hanya sekali. Sayang jika tidak membuat kenangan baik." Istri Kaisar itu akhirnya menyerah. Ia tidak menanggapi, sementara Lidya dan Rindang justru terlibat obrolan seru soal pesta pernikahan. Ia belum membicarakan hal ini pada Kaisar, sekaligus mendengar tanggapan pria itu. Hingga akhirnya, Lidya pamit karena ia ada janji dengan Surya. Wanita itu berniat menjemput suaminya di kantor. "Kamu istirahat yang cukup. Makan yang benar," ucap Lidya. "Jangan terlalu membebani dirimu. Soal pesta, biar aku yang urus." Tersenyum lemah karena pasrah, Embun mengangguk. "Terima kasih, Ma," ucapnya. Dalam beberapa hari saja, keduanya sudah cukup dekat. Embun harus akui ini semua berkat kegigihan dan keterbukaan Lid
"Embun anak baik. Dia tidak akan membencimu." Lidya teringat ucapan suaminya sebelum ia memutuskan untuk bertemu dengan Embun. Namun, sesaat sebelumnya, bukan hanya itu yang dikhawatirkan Lidya. Wanita itu juga ingin mengakui dosanya pada sang suami. Bahwa ia telah berselingkuh dengan Henri Pradana. Bahwa, sekalipun Lidya melakukan itu karena pernikahan mereka yang sudah dingin, sama sekali tidak membenarkan alasannya mengkhianati sang suami. "Mas Surya, aku--" Namun, sebelum Lidya sempat melakukannya, Surya sudah memotong kalimatnya. "Lidya." Tubuh Lidya membeku saat tiba-tiba Surya menangkup sisi wajahnya, membuat wanita itu menatap sang suami. Surya tersenyum kecil. "Sepertinya kamu sudah kembali," ucapnya pelan. "Menjadi istri yang dulu kucintai." Tangis Lidya pecah. Baru kemudian ia terpikir, perubahan sikap sang suami bisa jadi karena tingkahnya yang tidak karuan; hobi berfoya-foya dan menghabiskan uang suaminya di luar negeri tanpa meluangkan waktu untuk suami dan para
"Selamat sore." Lidya melangkah lebih dekat ke tempat tidur Embun setelah memutus kontak mata dengan yang lebih muda. "Aku tunggu di luar ya," ucap Surya kemudian, membuat baik Embun maupun Lidya menoleh ke arahnya. "Kalau ada apa-apa, panggil saja." Embun melihat ayah mertuanya itu berbalik dan berniat melangkah pergi, sebelum kemudian Lidya menggenggam tangannya. "Pa," bisik ibu Kaisar tersebut. Surya menatap sang istri dan tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, dia anak baik," kata pria tua itu. "Bicaralah pada menantu kita. Semuanya akan baik-baik saja." Pria itu meremas tangan istrinya pelan sebelum kemudian melepaskan genggamannya dan berlalu keluar. Meninggalkan Embun berdua dengan Lidya. Hening. Lidya tidak mengatakan apa pun, dan Embun menunggu wanita itu memulai karena ia pikir, akan lebih baik jika ia memberikan kesempatan pada ibu mertuanya untuk menyampaikan niatnya lebih dahulu. Sekalipun Embun juga punya hal untuk dikatakan. Namun, saat Lidya tidak kunjung bi