Pagi itu, Viera memandang keluar jendela mobil Pak Mamad yang melaju pelan memasuki gerbang sekolah. Perasaannya campur aduk - antara lega bisa kembali ke sekolah dan gelisah menghadapi gosip yang mungkin beredar. Kepalanya sudah tidak pusing lagi, tapi memori tentang perhatian Ian kemarin masih terasa hangat di benaknya."Sudah merasa baikan, Non?" tanya Pak Mamad sambil menghentikan mobil di depan gedung sekolah."Sudah jauh lebih baik, Pak. Terima kasih," jawab Viera sambil tersenyum, lalu turun dari mobil dengan hati-hati.Belum sempat Viera melangkah jauh, suara familiar menyambutnya dengan penuh semangat. "Vieraaaa!" Renna dan Fanny berlari kecil menghampirinya, wajah mereka dipenuhi kekhawatiran sekaligus kelegaan."Ya Ampun, loe benar-benar sudah sembuh?" tanya F
Keesokan harinya, Viera melangkah memasuki kelas dengan langkah berat. Meski kepalanya sudah tidak sakit, namun hatinya masih was-was menghadapi bisik-bisik yang tak kunjung reda. Ia duduk di bangkunya seperti biasa, mengeluarkan buku pelajaran sambil sesekali melirik sekeliling."Wah, wah... si anak rajin sudah datang rupanya," suara sinis itu membuat Viera mendongak. Reggina, gadis populer itu berdiri di depan mejanya dengan tangan terlipat di dada. Rambut panjangnya yang dicat coklat keemasan terlihat berkilau, hasil blow di salon mahal langganannya.Riasan wajahnya lebih tebal dari siswi lain - dengan eye shadow kecoklatan dan lipstik merah muda yang mencolok. Jam tangan Cartier berkilau di pergelangan tangannya, senada dengan kalung berlian yang selalu ia pamerkan. Tak heran banyak yang menyebutnya 'Princess' sekolah, mengingat ayahnya adalah salah satu pe
Bel pulang sekolah berbunyi nyaring, menandakan berakhirnya sesi bimbel sore itu. Viera membereskan bukunya dengan tenang, sementara Renna dan Fanny masih menggerutu tentang kejadian pagi tadi."Gila ya si cabe gatal itu," Renna mendengus kesal sambil memasukkan buku ke dalam tasnya. "Sok banget sih dia. Mentang-mentang rambutnya di-blow tiap hari.""Iya! Udah gitu pake acara bawa-bawa nama Pak Ian segala," Fanny menimpali. "Padahal dia sendiri yang ganjen sama Pak Ian."Viera hanya tersenyum mendengar ocehan kedua sahabatnya. "Udah, biarin aja. Nanti juga capek sendiri."Belum sempat mereka melangkah keluar kelas, sosok Reggina muncul di ambang pintu, diapit oleh Daisy dan Ingrid - duo tak terpisahkan yang selalu mengekorinya kemanapun. Daisy dengan rambut pirang platin
Minggu ini, seluruh siswa kelas 12 disibukkan dengan try out untuk persiapan ujian kelulusan. Pagi itu, suasana kelas terasa tegang saat try out Kimia berlangsung. Viera duduk di bangkunya dengan tenang, sesekali mengetuk-ngetuk pensil ke meja sambil berpikir. Soal-soal di hadapannya tidak terlalu sulit berkat persiapannya yang matang selama seminggu terakhir.Pak Darto, guru yang terkenal dengan kedisiplinannya yang ketat, berjalan mengawasi dengan langkah berat. Kacamatanya yang tebal menambah kesan serius pada wajahnya yang kaku. Suara sepatunya yang berketuk di lantai membuat beberapa siswa merasa was-was."Ingat, waktu tinggal 30 menit lagi," suara berat Pak Darto memecah keheningan.Viera tetap fokus pada pekerjaannya, tidak menyadari Pak Darto yang kini berhenti di samping mejanya. Guru senior itu mengerutkan
Di dalam mobil, Viera memandang kosong ke luar jendela. Matanya masih terasa panas setelah dimarahi Pak Darto. Getaran ponsel di sakunya membuat ia tersentak - nama Ian muncul di layar."Halo," Viera menjawab dengan suara pelan."Aku dengar kamu mencontek saat try out Kimia," suara Ian terdengar dingin, lebih dingin dari biasanya."Ian, aku tidak—""Kenapa?" potong Ian. "Kenapa kau melakukan hal yang paling aku benci, Viera?""Aku tidak mencontek!" Viera berusaha menahan suaranya agar tidak terdengar oleh Pak Mamad. "Aku yakin ini perbuatan Reggina. Dia—""Jangan menuduh orang lain, Viera," Ian mendengus. "Contekan itu ada di mejamu. Dan kamu tahu prosedurnya - sebelum
Pagi itu, Viera dan Mamanya berjalan beriringan memasuki gedung sekolah. Langkah mereka mantap menuju ruang guru, meskipun jantung Viera berdegup kencang.Di sepanjang koridor, beberapa siswa berbisik-bisik sambil melirik ke arahnya. Viera bisa mendengar samar-samar nama Reggina dan Ian disebut-sebut. Ia menundukkan kepala, mencoba mengabaikan tatapan menghakimi dari teman-temannya. Mama yang menyadari hal itu langsung menggenggam tangannya erat, memberinya kekuatan."Kamu tidak sendirian," bisik Mama sambil tersenyum meyakinkan.Viera membalas genggaman tangan Mamanya. Dalam hati, ia bersyukur memiliki ibu yang selalu mendukungnya. Bahkan di saat-saat terberatnya seperti ini."Selamat pagi, Bu," sapa Pak Darto begitu mereka memasuki ruangannya. "Silakan duduk."
"Viera, pertemuan keluarga ini bermaksud untuk menjodohkanmu dengan Ian." Kalimat itu terus terngiang di kepala Viera, membuatnya merasa bagai tersambar petir di siang bolong. Bagaimana bisa orang tuanya, Robert Hanske dan Tiara Hanske, memutuskan untuk menjodohkannya dengan Ian, guru matematika killer di sekolahnya?“Oh My God? Bagaimana bisa takdir indahnya harus berakhir tragis seperti ini. Tuhan, apakah Engkau sangat tega menguji anak manis nan cantik sepertiku ini?. Akankah aku kuat menghadapi cobaan ini?” Viera bertanya-tanya dalam hati.Mereka tengah berada di sebuah restoran Prancis mewah di tengah kota, tempat pertemuan rutin keluarga mereka dan keluarga Ian, Toni Gunawan dan Citra Gunawan, diadakan. Suasana restoran yang elegan dengan dekorasi interior bergaya Eropa abad pertengahan itu tak mampu mengalihkan pikiran Viera dari kenyataan yang baru saja disampaikan oleh Papa dan Mamanya.Jujur saja, Viera, masih belum bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi. Bagaimana mung
Xaviera Hanske, termasuk murid paling beruntung di High International School (HIS). Setiap hari, ia diantar oleh sopir pribadinya, Pak Mamad, menggunakan mobil Alvard putih keluaran terbaru yang baru saja dibeli oleh Papanya."Pak Mamad, tolong parkir dekat pintu masuk ya," perintah Viera sambil merapikan rambutnya di cermin mobil.Pak Mamad tersenyum, "Baik, Nona Viera."Saat turun dari mobil Alvard putih keluaran terbaru, Viera langsung disambut oleh sahabatnya, Renna dan Fanny."Hai, teman-teman akuuu!" sapa Viera riang.Renna tertawa, "Mobil barumu lagi-lagi bikin iri nih!"Fanny menimpali, "Kalian ini selalu saja begitu. Kita kan sama-sama punya mobil bagus.""Bukan soal mobil, tapi gaya hidupnya!" Renna mencubit lengan Fanny. Mereka bertiga tertawa.Saat ini, Viera duduk di bangku kelas 12 SMA. Ia bersahabat dengan dua orang gadis cantik bernama Renna Rennatta dan Fanny Winata. Mereka bertiga bersahabat sejak masuk sekolah ini. Renna dan Fanny juga terlahir dari keluarga kaya r
Pagi itu, Viera dan Mamanya berjalan beriringan memasuki gedung sekolah. Langkah mereka mantap menuju ruang guru, meskipun jantung Viera berdegup kencang.Di sepanjang koridor, beberapa siswa berbisik-bisik sambil melirik ke arahnya. Viera bisa mendengar samar-samar nama Reggina dan Ian disebut-sebut. Ia menundukkan kepala, mencoba mengabaikan tatapan menghakimi dari teman-temannya. Mama yang menyadari hal itu langsung menggenggam tangannya erat, memberinya kekuatan."Kamu tidak sendirian," bisik Mama sambil tersenyum meyakinkan.Viera membalas genggaman tangan Mamanya. Dalam hati, ia bersyukur memiliki ibu yang selalu mendukungnya. Bahkan di saat-saat terberatnya seperti ini."Selamat pagi, Bu," sapa Pak Darto begitu mereka memasuki ruangannya. "Silakan duduk."
Di dalam mobil, Viera memandang kosong ke luar jendela. Matanya masih terasa panas setelah dimarahi Pak Darto. Getaran ponsel di sakunya membuat ia tersentak - nama Ian muncul di layar."Halo," Viera menjawab dengan suara pelan."Aku dengar kamu mencontek saat try out Kimia," suara Ian terdengar dingin, lebih dingin dari biasanya."Ian, aku tidak—""Kenapa?" potong Ian. "Kenapa kau melakukan hal yang paling aku benci, Viera?""Aku tidak mencontek!" Viera berusaha menahan suaranya agar tidak terdengar oleh Pak Mamad. "Aku yakin ini perbuatan Reggina. Dia—""Jangan menuduh orang lain, Viera," Ian mendengus. "Contekan itu ada di mejamu. Dan kamu tahu prosedurnya - sebelum
Minggu ini, seluruh siswa kelas 12 disibukkan dengan try out untuk persiapan ujian kelulusan. Pagi itu, suasana kelas terasa tegang saat try out Kimia berlangsung. Viera duduk di bangkunya dengan tenang, sesekali mengetuk-ngetuk pensil ke meja sambil berpikir. Soal-soal di hadapannya tidak terlalu sulit berkat persiapannya yang matang selama seminggu terakhir.Pak Darto, guru yang terkenal dengan kedisiplinannya yang ketat, berjalan mengawasi dengan langkah berat. Kacamatanya yang tebal menambah kesan serius pada wajahnya yang kaku. Suara sepatunya yang berketuk di lantai membuat beberapa siswa merasa was-was."Ingat, waktu tinggal 30 menit lagi," suara berat Pak Darto memecah keheningan.Viera tetap fokus pada pekerjaannya, tidak menyadari Pak Darto yang kini berhenti di samping mejanya. Guru senior itu mengerutkan
Bel pulang sekolah berbunyi nyaring, menandakan berakhirnya sesi bimbel sore itu. Viera membereskan bukunya dengan tenang, sementara Renna dan Fanny masih menggerutu tentang kejadian pagi tadi."Gila ya si cabe gatal itu," Renna mendengus kesal sambil memasukkan buku ke dalam tasnya. "Sok banget sih dia. Mentang-mentang rambutnya di-blow tiap hari.""Iya! Udah gitu pake acara bawa-bawa nama Pak Ian segala," Fanny menimpali. "Padahal dia sendiri yang ganjen sama Pak Ian."Viera hanya tersenyum mendengar ocehan kedua sahabatnya. "Udah, biarin aja. Nanti juga capek sendiri."Belum sempat mereka melangkah keluar kelas, sosok Reggina muncul di ambang pintu, diapit oleh Daisy dan Ingrid - duo tak terpisahkan yang selalu mengekorinya kemanapun. Daisy dengan rambut pirang platin
Keesokan harinya, Viera melangkah memasuki kelas dengan langkah berat. Meski kepalanya sudah tidak sakit, namun hatinya masih was-was menghadapi bisik-bisik yang tak kunjung reda. Ia duduk di bangkunya seperti biasa, mengeluarkan buku pelajaran sambil sesekali melirik sekeliling."Wah, wah... si anak rajin sudah datang rupanya," suara sinis itu membuat Viera mendongak. Reggina, gadis populer itu berdiri di depan mejanya dengan tangan terlipat di dada. Rambut panjangnya yang dicat coklat keemasan terlihat berkilau, hasil blow di salon mahal langganannya.Riasan wajahnya lebih tebal dari siswi lain - dengan eye shadow kecoklatan dan lipstik merah muda yang mencolok. Jam tangan Cartier berkilau di pergelangan tangannya, senada dengan kalung berlian yang selalu ia pamerkan. Tak heran banyak yang menyebutnya 'Princess' sekolah, mengingat ayahnya adalah salah satu pe
Pagi itu, Viera memandang keluar jendela mobil Pak Mamad yang melaju pelan memasuki gerbang sekolah. Perasaannya campur aduk - antara lega bisa kembali ke sekolah dan gelisah menghadapi gosip yang mungkin beredar. Kepalanya sudah tidak pusing lagi, tapi memori tentang perhatian Ian kemarin masih terasa hangat di benaknya."Sudah merasa baikan, Non?" tanya Pak Mamad sambil menghentikan mobil di depan gedung sekolah."Sudah jauh lebih baik, Pak. Terima kasih," jawab Viera sambil tersenyum, lalu turun dari mobil dengan hati-hati.Belum sempat Viera melangkah jauh, suara familiar menyambutnya dengan penuh semangat. "Vieraaaa!" Renna dan Fanny berlari kecil menghampirinya, wajah mereka dipenuhi kekhawatiran sekaligus kelegaan."Ya Ampun, loe benar-benar sudah sembuh?" tanya F
Bel pulang berbunyi nyaring di seluruh penjuru sekolah, menandakan berakhirnya kegiatan belajar mengajar hari itu. Murid-murid kelas 10 dan 11 berhamburan keluar kelas dengan semangat, membawa tas dan perlengkapan sekolah mereka.Di tengah hiruk pikuk tersebut, Viera merasakan getaran di ponselnya. Sebuah pesan masuk dari Ian. "Aku akan mengantarmu pulang. Kamu bisa jalan sendiri ke parkiran mobil guru kan? Aku tidak ingin ada yang melihat," begitu isi pesan Ian. Viera membaca pesan itu dengan senyum tipis tersungging di bibirnya. Ia paham betul mengapa Ian bersikap begitu hati-hati."Bu Nina, saya pamit pulang ya," ucap Viera sopan."Oh, Pak Mamad sudah jemput? Ibu antar ke depan ya?" tawar Bu Nina."Tidak usah repot-repot, Bu. Saya bisa sendiri kok," tolak Viera halus.Sebelum beranjak, Viera mengirim pesan ke grup chatnya dengan Renna dan Fanny. "Guys, aku pulang duluan ya. Gak ikut bimbel hari ini.""Lho kenapa? Kepalamu masih sakit?" balas Renna cepat."Iya nih, mending istiraha
Siang itu, Viera hanya bisa berbaring di UKS, menatap langit-langit putih yang membosankan. Bu Nina sudah memberinya izin untuk tidak mengikuti pelajaran hari ini, termasuk bimbel sepulang sekolah. Pipinya masih terasa nyeri, tapi setidaknya bengkaknya sudah mulai berkurang."Istirahat saja ya," kata Bu Nina sambil membereskan kotak obat. "Kalau ada apa-apa, tekan bel di samping tempat tidur. Ibu ada di ruang guru sebentar."Viera mengangguk lemah. Setelah Bu Nina pergi, ia menghela napas panjang. Tangannya tanpa sadar menyentuh pipinya yang masih berdenyut."Permisi," sebuah suara familiar terdengar dari pintu.Viera menoleh, mendapati Felix berdiri dengan senyum hangatnya yang khas. Di tangannya ada kantong plastik berisi susu dan roti.
Langit Jakarta tampak cerah siang itu, terlalu cerah untuk mata Viera yang masih mengantuk setelah pelajaran matematika. Bunyi peluit dari Pak Dani, guru olahraga mereka, menggema di lapangan, memaksa seluruh siswa untuk berbaris."Hari ini kita praktek voli," kata Pak Dani lantang. "Bagi diri menjadi dua kelompok, masing-masing 15 orang."Viera merasakan perutnya mulas. Dari sekian banyak olahraga, kenapa harus voli? Ia masih ingat jelas bagaimana dulu bola voli selalu berhasil menghindari tangannya, atau lebih parah, mendarat tepat di wajahnya."Ra, satu tim sama aku ya!" ajak Fanny bersemangat."Iya, gue juga!" Renna menimpali.Viera tersenyum lemah. "Kalian yakin mau satu tim sama gue? Kalian kan tahu gue payah main voli.