"Dibayar?"
Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Ilona. Seperti sebuah harapan di tengah keterpurukannya. Seperti mata air di tengah padang pasir yang kering kerontang. Setelah semua yang menimpanya, setelah dirinya dicampakkan dan kehilangan segalanya, mendapatkan pekerjaan adalah sebuah kemewahan yang tak pernah ia bayangkan. "Iya. Kau akan dibayar, tinggal di rumah kami, dan semua kebutuhanmu akan dipenuhi," ujar wanita itu dengan nada tegas, lebih tepatnya ketus. "Baiklah," jawab Ilona cepat, tanpa berpikir panjang. Wanita itu mengangguk, lalu memperkenalkan dirinya secara resmi. Bira. Nama yang terasa asing bagi Ilona, tapi entah mengapa memberi getaran aneh dalam hatinya. Ilona tak tahu bahwa keputusannya ini akan mengubah hidupnya. Ia memang terbebas dari makian Nyonya Mike, wanita yang selama ini menindasnya, tapi apakah Nyonya Bira akan memperlakukannya dengan baik? Ataukah ia justru melangkah ke dalam bahaya yang lebih besar? Ruangan perawatan itu terasa begitu sunyi. Dinding putih bersih seolah mengejeknya, mencerminkan kehampaan yang kini melingkupinya. Ia masih terlalu lemah setelah persalinan yang menyakitkan. Bayinya… sudah tiada. Hatinya terasa kosong. Ceklek! Suara pintu terbuka memecah kesunyian. Di ambang pintu, Nyonya Bira berdiri dengan angkuh. Tatapannya tajam, tanpa ekspresi hangat sama sekali. "Kita pulang!" katanya ketus. Ilona menoleh dengan kaget. Pulang? Dia pikir wanita itu hanya ingin dia menyusui cucunya sekarang, tapi malah mengajaknya pulang. Sedangkan dia masih lemah, infus saja masih terpasang di tangannya. "Tapi saya masih dalam perawatan..." Ilona mencoba menjelaskan. Tubuhnya masih lemah, ia bahkan belum benar-benar pulih. "Saya sudah bicara dengan perawat," potong Nyonya Bira dingin. "Mereka bilang kau hanya tinggal pemulihan, tidak ada masalah apa pun! Jadi, kau bisa pulang. Saya sudah mengurus semuanya." Ilona mematung. Wanita ini begitu dominan dan penuh pemaksaan. Dia tidak peduli dengan kondisi Ilona, yang terpenting baginya adalah cucunya. Hatinya ingin menolak. Tapi kemudian ia teringat bayi mungil itu—Mayumi. Bayi yang tadi tertidur dengan tenang di pelukannya, seolah menemukan rasa aman yang tak ia dapatkan sebelumnya. Wajah polos itu menarik Ilona untuk ikut dalam arus yang Nyonya Bira ciptakan. Akhirnya, meski tubuhnya masih lemah, Ilona menerima takdir ini. Ia naik ke dalam mobil bersama Nyonya Bira, menuju rumah yang tak ia kenal. Nyonya Bira bahkan tidak bertanya apakah Ilona memiliki keluarga, suami atau apapun. Rumah itu begitu megah. Bangunan tiga lantai dengan pilar-pilar kokoh, mencerminkan status keluarga kaya raya yang menempatinya. Ilona bahkan ragu apakah ia pantas berada di sini. Dan rasanya cukup trauma tinggal bersama keluarga kaya. Ia langsung diberi tugas. Meski masih lemah, ia tetap dipaksa menggendong Mayumi. "Mulai sekarang, kau adalah ibu susu dan pengasuhnya," ucap Nyonya Bira tanpa basa-basi. Ilona hanya bisa mengangguk pasrah. Tangannya dengan lembut membelai kepala Mayumi yang masih tertidur. Setidaknya, jika ia bisa menjadi sesuatu bagi bayi ini, mungkin ada sedikit tujuan dalam hidupnya yang sudah hancur. Namun, langkahnya terhenti saat ia melangkah masuk ke dalam rumah. Pandangannya membeku ketika melihat seorang pria berdiri di ambang pintu. Sosok yang tak asing. Seseorang yang dulu pernah begitu dekat dengannya. Egar. Dada Ilona seketika terasa sesak. Laki-laki itu… dia tidak mungkin lupa. Dahulu, Egar adalah cinta pertamanya. Mereka pernah berbagi mimpi saat masih SMA. Namun, takdir memisahkan mereka, meninggalkan luka yang cukup dalam. Tatapan Egar langsung tertuju padanya. Matanya menyiratkan kebingungan melihat ibunya pulang membawa orang asing. "Ma, dia siapa?" tanyanya pada Nyonya Bira, suaranya terdengar curiga. "Dia ibu susu dan pengasuh Yumi. Anakmu itu tidak mau diam, dengan dia baru mau diam," jawab Nyonya Bira santai. Egar tampak bingung. "Tapi, kita tidak menge-nalnya…" Namun, kata-katanya terhenti saat mata mereka bertemu. Ilona melihat bagaimana wajah Egar berubah. Dari bingung, menjadi syok. Bibirnya sedikit terbuka, seolah ingin mengatakan sesuatu tapi tak bisa. "Ilona?" suara Egar lirih, penuh keterkejutan. Ilona hanya menunduk, tak sanggup menatapnya lebih lama. Detik itu, Ilona sadar. Keputusan yang diambilnya bukan hanya akan mengubah hidupnya, tetapi juga akan membangkitkan luka lamanya. Mengapa dia harus kembali bertemu Egar?"Iya," jawab Ilona gugup.Ilona tidak pernah menyangka bahwa dirinya akan menjadi ibu susu untuk anak mantannya.Dulu, Ilona dan Egar menjalin hubungan yang cukup lama, sejak kelas dua hingga kelas tiga SMA. Ilona masuk ke sekolah itu dengan beasiswa karena kecerdasannya, jika mengandalkan uang dia tidak akan mampu, sekolah itu cukup terkenal dengan sebutan sekolah anak orang kaya.Dan ternyata, kepintarannya itulah yang membuat Egar mendekatinya. Ia pikir Egar mencintainya, tapi ternyata, itu semua hanya kebohongan.Setelah ujian akhir, Egar memutuskannya dengan cara yang paling kejam."Aku tidak pernah mencintaimu. Aku hanya memanfaatkan kepintaranmu. Buktinya, aku berhasil masuk sebagai juara dua."Ucapan itu masih terpatri jelas di benak Ilona, meski bertahun-tahun telah berlalu. Ia masih bisa mengingat bagaimana teman-teman mereka tercengang mendengar kata-kata itu."Kau kejam sekali, Egar," ujar salah satu temannya sambil tergelak."Kalau kalian mau dia, ambil saja. Belum aku bo
"Ya Allah, kuatkan aku selama enam bulan ini," gumam Ilona lemah saat Egar akhirnya keluar dari kamar.Dia mengelus dada membayangkan harus bertemu Egar selama itu. Dia akan menjaga jarak, itulah tekadnya.Lelaki itu hanya melihat putrinya sebentar. Tidak menggendong, tidak menyentuh. Hanya menatap Yumi sekilas, namun tatapan itu begitu dalam.Mungkin, saat melihat wajah Yumi, dia teringat istrinya.Ilona sempat mendengar dari salah satu pembantu yang sempat ke kamarnya tadi, bahwa Egar dan istrinya dulu saling mencintai. Namun, hubungan mereka terhalang restu. Bukan karena kemiskinan, tapi karena persaingan bisnis yang membuat keluarga mereka bermusuhan. Bahkan saat istrinya meninggal, Egar dilarang datang.Jasad istrinya langsung diambil alih oleh keluarganya, dan setelah itu, tidak satu pun dari mereka datang melihat Yumi. Tidak ada keluarga pihak ibu yang merangkul bayi mungil itu. Yang ada hanya tuntutan hukum—keluarga istrinya menuntut Nyonya Bira, menuduh bahwa putri mereka me
Hari-hari terasa begitu panjang bagi Ilona. Rumah megah itu bak penjara, mengekangnya dalam aturan dan tatapan penuh curiga dari Nyonya Bira dan Egar.Namun, di antara semua itu, ada satu cahaya kecil yang membuatnya tetap bertahan—Yumi.Di taman belakang rumah, di bawah langit senja yang mulai berpendar jingga, Ilona duduk di atas rumput, menggoyangkan mainan kecil di depan bayi mungil di dalam stroller yang mulai tertawa."Yumi, jadilah anak yang hebat dan baik, ya," bisiknya lembut.Yumi, yang baru berusia tiga bulan, tertawa riang. Pipi gembulnya merona, matanya yang jernih menatap Ilona dengan polos.Ilona mengusap kepala bayi itu penuh kasih sayang. Namun, di balik senyuman itu, ada perasaan pilu yang tak bisa ia usir.Sebesar apa pun cintanya pada Yumi, ia tahu pada akhirnya mereka akan menjadi orang asing."Tentu saja dia akan menjadi orang hebat. Karena ayahnya adalah aku."Ilona tersentak. Suara berat itu terdengar begitu dekat. Saat menoleh, Egar sudah berdiri di sana, bers
Owek! Owek!Tangisan Yumi menggema di seluruh rumah besar itu, menusuk setiap sudut keheningan.Ilona sudah sejak tadi berusaha menenangkan bayi perempuan itu. Digosok punggungnya, diayun-ayun dalam pelukan, bahkan sudah dibawa keluar ke halaman agar udara segar bisa membuatnya tenang. Tapi semua usaha Ilona sia-sia.Yumi tetap menangis, suaranya makin serak, napasnya tersengal-sengal di sela tangisannya yang pilu. Ilona mulai cemas, takut kalau bayi itu sakit. Berkali-kali ia meraba kening dan perut Yumi, tapi suhu tubuhnya normal. Tidak ada tanda-tanda demam atau ketidaknyamanan.Namun, tangis Yumi tak kunjung reda."Hei! Kau apakan anak itu? Berisik sekali!"Teriakan tajam Nyonya Bira terdengar dari tangga, membuat Ilona tersentak. Wanita itu turun dengan wajah kesal, tampak terganggu karena tangisan Yumi yang tak berhenti sejak tadi."Maaf, Nyonya. Tapi, Yumi tidak mau diam," jawab Ilona dengan nafas tersengal, lengannya mulai pegal setelah sekian lama menggendong bayi itu."Kau t
Ilona melangkah keluar dari rumah besar itu dengan hati yang berat. Sejak pertama kali mengasuh Yumi, ia tahu bahwa suatu hari ia harus pergi, tapi ia tidak menyangka perpisahan ini akan terasa sesakit ini. Bayi itu telah menjadi bagian dari hidupnya, seperti anaknya sendiri. Namun, kontraknya telah habis. Tidak ada yang bisa ia lakukan.Saat langkahnya semakin menjauh dari rumah itu, suara berat yang sangat familiar menghentikannya.“Kau mau ke mana?”Ilona menoleh dan mendapati Egar berdiri di sana, ekspresi wajahnya sulit ditebak. Ada kemarahan, ada kebingungan, dan mungkin juga sedikit... kekecewaan?“Maaf, saya harus pergi.”Ia menjawab tanpa ragu, mencoba bersikap sekuat mungkin. Tidak ada gunanya menetap lebih lama.Egar mensejajari langkahnya. “Kau pergi? Bagaimana dengan Yumi? Dia terus menangis.”Ilona menelan ludahnya, berusaha menekan perasaan yang mulai menyeruak. “Ada Sus Yuli.”Hanya itu jawabannya. Seperti itulah seharusnya.Egar terdiam, matanya mengawasi setiap gerak
Dalam tidurnya, Ilona merasakan sebuah kehangatan yang begitu familiar. Sebuah tangan keriput yang lembut memeluknya erat, memberikan rasa aman yang begitu dirindukannya.“Ibu…” panggilnya lirih, suaranya bergetar dalam kantuk yang membelenggunya.Dari dalam kegelapan, suara ibunya terdengar, lembut namun tegas.“Jangan putus asa.”Itu saja yang ia dengar sebelum sosok wanita tua itu perlahan menghilang, tenggelam dalam bayangan pekat malam.“Ibu, tunggu!” Ilona berteriak, tangannya terulur, berusaha meraih sosok yang semakin menjauh.Namun, yang ia dapatkan hanya kehampaan.Ilona tersentak, tubuhnya terlonjak bangun. Napasnya terengah-engah, matanya yang masih buram karena kantuk perlahan menangkap sekelilingnya. Ia tidak lagi berada dalam pelukan ibunya.Ia mendapati dirinya tertidur di dekat meja makan yang sudah tua, dengan debu yang masih menempel di permukaannya. Lilin yang tadi dinyalakan kini telah hampir habis, nyala apinya kecil dan bergetar.Ia mengusap wajahnya, mencoba me
Hening yang mencekam mengisi ruang perawatan di rumah sakit, hanya suara jam dinding dan tetesan infus yang terdengar di antara ketegangan yang menggantung di udara.“Ceraikan dia!”Teriakan itu menggema dengan penuh kemarahan, menggetarkan hati siapapun yang mendengarnya.Nyonya Mike berdiri tegak dengan tatapan penuh kebencian, menunjuk ke arah seorang wanita yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Wajahnya pucat, matanya sembab akibat tangisan yang tiada henti.Ilona, istri Romy, masih berjuang menerima kenyataan bahwa bayi yang baru saja ia lahirkan telah meninggal. Namun, belum selesai kesedihannya, kini ia harus menghadapi satu kenyataan pahit lagi—penolakan total dari keluarga suaminya.Padahal bukan inginnya seperti ini, dan kalau bisa dia rela menukarkan hidupnya dengan bayinya. Tapi, semua sudah takdir yang tidak bisa dia tolak. Tuhan lebih sayang kepada anaknya.“Ma…” Romy mencoba membela, suaranya lirih, tetapi segera dipotong oleh ibunya yang tak ingin mendengar bant
Di dalam kamar VVIP rumah sakit yang dingin dan sunyi, hanya ada Ilona dan Romy yang masih mematung. Keduanya telah menjadi orang asing. Tak ada lagi suara bentakan Nyonya Mike, tak ada lagi tekanan dari siapapun. Yang tersisa hanya kesunyian dan kenyataan pahit yang menggantung di antara mereka."Maaf…" suara Romy tercekat, hampir tak terdengar.Ilona menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Mereka saling mencintai, dan perjalanan mereka untuk sampai ke tahap ini bukanlah sesuatu yang mudah.Dua tahun mereka menjalin hubungan secara diam-diam, melawan restu yang tak pernah datang. Ilona adalah gadis miskin tanpa keluarga yang jelas, sedangkan Romy berasal dari keluarga terpandang yang menjunjung tinggi martabat dan garis keturunan. Pernikahan mereka pun hanya terjadi karena Ilona hamil—sebuah kenyataan yang menjadi satu-satunya alasan keluarga Romy menerima kehadirannya.Namun kini, alasan itu telah tiada. Bayi yang mereka nantikan, satu-satunya pengikat di antara mereka, telah pergi s
Dalam tidurnya, Ilona merasakan sebuah kehangatan yang begitu familiar. Sebuah tangan keriput yang lembut memeluknya erat, memberikan rasa aman yang begitu dirindukannya.“Ibu…” panggilnya lirih, suaranya bergetar dalam kantuk yang membelenggunya.Dari dalam kegelapan, suara ibunya terdengar, lembut namun tegas.“Jangan putus asa.”Itu saja yang ia dengar sebelum sosok wanita tua itu perlahan menghilang, tenggelam dalam bayangan pekat malam.“Ibu, tunggu!” Ilona berteriak, tangannya terulur, berusaha meraih sosok yang semakin menjauh.Namun, yang ia dapatkan hanya kehampaan.Ilona tersentak, tubuhnya terlonjak bangun. Napasnya terengah-engah, matanya yang masih buram karena kantuk perlahan menangkap sekelilingnya. Ia tidak lagi berada dalam pelukan ibunya.Ia mendapati dirinya tertidur di dekat meja makan yang sudah tua, dengan debu yang masih menempel di permukaannya. Lilin yang tadi dinyalakan kini telah hampir habis, nyala apinya kecil dan bergetar.Ia mengusap wajahnya, mencoba me
Ilona melangkah keluar dari rumah besar itu dengan hati yang berat. Sejak pertama kali mengasuh Yumi, ia tahu bahwa suatu hari ia harus pergi, tapi ia tidak menyangka perpisahan ini akan terasa sesakit ini. Bayi itu telah menjadi bagian dari hidupnya, seperti anaknya sendiri. Namun, kontraknya telah habis. Tidak ada yang bisa ia lakukan.Saat langkahnya semakin menjauh dari rumah itu, suara berat yang sangat familiar menghentikannya.“Kau mau ke mana?”Ilona menoleh dan mendapati Egar berdiri di sana, ekspresi wajahnya sulit ditebak. Ada kemarahan, ada kebingungan, dan mungkin juga sedikit... kekecewaan?“Maaf, saya harus pergi.”Ia menjawab tanpa ragu, mencoba bersikap sekuat mungkin. Tidak ada gunanya menetap lebih lama.Egar mensejajari langkahnya. “Kau pergi? Bagaimana dengan Yumi? Dia terus menangis.”Ilona menelan ludahnya, berusaha menekan perasaan yang mulai menyeruak. “Ada Sus Yuli.”Hanya itu jawabannya. Seperti itulah seharusnya.Egar terdiam, matanya mengawasi setiap gerak
Owek! Owek!Tangisan Yumi menggema di seluruh rumah besar itu, menusuk setiap sudut keheningan.Ilona sudah sejak tadi berusaha menenangkan bayi perempuan itu. Digosok punggungnya, diayun-ayun dalam pelukan, bahkan sudah dibawa keluar ke halaman agar udara segar bisa membuatnya tenang. Tapi semua usaha Ilona sia-sia.Yumi tetap menangis, suaranya makin serak, napasnya tersengal-sengal di sela tangisannya yang pilu. Ilona mulai cemas, takut kalau bayi itu sakit. Berkali-kali ia meraba kening dan perut Yumi, tapi suhu tubuhnya normal. Tidak ada tanda-tanda demam atau ketidaknyamanan.Namun, tangis Yumi tak kunjung reda."Hei! Kau apakan anak itu? Berisik sekali!"Teriakan tajam Nyonya Bira terdengar dari tangga, membuat Ilona tersentak. Wanita itu turun dengan wajah kesal, tampak terganggu karena tangisan Yumi yang tak berhenti sejak tadi."Maaf, Nyonya. Tapi, Yumi tidak mau diam," jawab Ilona dengan nafas tersengal, lengannya mulai pegal setelah sekian lama menggendong bayi itu."Kau t
Hari-hari terasa begitu panjang bagi Ilona. Rumah megah itu bak penjara, mengekangnya dalam aturan dan tatapan penuh curiga dari Nyonya Bira dan Egar.Namun, di antara semua itu, ada satu cahaya kecil yang membuatnya tetap bertahan—Yumi.Di taman belakang rumah, di bawah langit senja yang mulai berpendar jingga, Ilona duduk di atas rumput, menggoyangkan mainan kecil di depan bayi mungil di dalam stroller yang mulai tertawa."Yumi, jadilah anak yang hebat dan baik, ya," bisiknya lembut.Yumi, yang baru berusia tiga bulan, tertawa riang. Pipi gembulnya merona, matanya yang jernih menatap Ilona dengan polos.Ilona mengusap kepala bayi itu penuh kasih sayang. Namun, di balik senyuman itu, ada perasaan pilu yang tak bisa ia usir.Sebesar apa pun cintanya pada Yumi, ia tahu pada akhirnya mereka akan menjadi orang asing."Tentu saja dia akan menjadi orang hebat. Karena ayahnya adalah aku."Ilona tersentak. Suara berat itu terdengar begitu dekat. Saat menoleh, Egar sudah berdiri di sana, bers
"Ya Allah, kuatkan aku selama enam bulan ini," gumam Ilona lemah saat Egar akhirnya keluar dari kamar.Dia mengelus dada membayangkan harus bertemu Egar selama itu. Dia akan menjaga jarak, itulah tekadnya.Lelaki itu hanya melihat putrinya sebentar. Tidak menggendong, tidak menyentuh. Hanya menatap Yumi sekilas, namun tatapan itu begitu dalam.Mungkin, saat melihat wajah Yumi, dia teringat istrinya.Ilona sempat mendengar dari salah satu pembantu yang sempat ke kamarnya tadi, bahwa Egar dan istrinya dulu saling mencintai. Namun, hubungan mereka terhalang restu. Bukan karena kemiskinan, tapi karena persaingan bisnis yang membuat keluarga mereka bermusuhan. Bahkan saat istrinya meninggal, Egar dilarang datang.Jasad istrinya langsung diambil alih oleh keluarganya, dan setelah itu, tidak satu pun dari mereka datang melihat Yumi. Tidak ada keluarga pihak ibu yang merangkul bayi mungil itu. Yang ada hanya tuntutan hukum—keluarga istrinya menuntut Nyonya Bira, menuduh bahwa putri mereka me
"Iya," jawab Ilona gugup.Ilona tidak pernah menyangka bahwa dirinya akan menjadi ibu susu untuk anak mantannya.Dulu, Ilona dan Egar menjalin hubungan yang cukup lama, sejak kelas dua hingga kelas tiga SMA. Ilona masuk ke sekolah itu dengan beasiswa karena kecerdasannya, jika mengandalkan uang dia tidak akan mampu, sekolah itu cukup terkenal dengan sebutan sekolah anak orang kaya.Dan ternyata, kepintarannya itulah yang membuat Egar mendekatinya. Ia pikir Egar mencintainya, tapi ternyata, itu semua hanya kebohongan.Setelah ujian akhir, Egar memutuskannya dengan cara yang paling kejam."Aku tidak pernah mencintaimu. Aku hanya memanfaatkan kepintaranmu. Buktinya, aku berhasil masuk sebagai juara dua."Ucapan itu masih terpatri jelas di benak Ilona, meski bertahun-tahun telah berlalu. Ia masih bisa mengingat bagaimana teman-teman mereka tercengang mendengar kata-kata itu."Kau kejam sekali, Egar," ujar salah satu temannya sambil tergelak."Kalau kalian mau dia, ambil saja. Belum aku bo
"Dibayar?"Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Ilona. Seperti sebuah harapan di tengah keterpurukannya. Seperti mata air di tengah padang pasir yang kering kerontang. Setelah semua yang menimpanya, setelah dirinya dicampakkan dan kehilangan segalanya, mendapatkan pekerjaan adalah sebuah kemewahan yang tak pernah ia bayangkan."Iya. Kau akan dibayar, tinggal di rumah kami, dan semua kebutuhanmu akan dipenuhi," ujar wanita itu dengan nada tegas, lebih tepatnya ketus."Baiklah," jawab Ilona cepat, tanpa berpikir panjang.Wanita itu mengangguk, lalu memperkenalkan dirinya secara resmi. Bira. Nama yang terasa asing bagi Ilona, tapi entah mengapa memberi getaran aneh dalam hatinya.Ilona tak tahu bahwa keputusannya ini akan mengubah hidupnya. Ia memang terbebas dari makian Nyonya Mike, wanita yang selama ini menindasnya, tapi apakah Nyonya Bira akan memperlakukannya dengan baik? Ataukah ia justru melangkah ke dalam bahaya yang lebih besar?Ruangan perawatan itu terasa begitu sun
"Hah? Apa?" Wanita itu menatap Ilona dengan kesal, matanya tajam dan penuh curiga.Itu wajar, kan? Toh mereka tidak saling kenal, tiba-tiba saja dia menawarkan menyusui anak tersebut. Perkara susu menyusui kan bukanlah hal yang biasa."Kasihan dia kelaparan," jawab Ilona lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh tangisan bayi yang berada dalam gendongan wanita itu.Wanita itu menunduk, menatap bayi yang terus menangis, wajahnya sudah memerah, suaranya mulai melemah. Ia terlihat kelelahan, tangisannya tak lagi kencang, hanya rintihan kecil yang menyayat hati.Wanita itu juga tampak kesal dan frustasi, entah sudah berapa lama dia tidak berhasil menenangkan bayi yang malang itu."Apa yang kau inginkan?" suara wanita itu dingin, seolah tak ingin berurusan dengan Ilona.Dia begitu waspada. Mungkin takut Ilona punya niat buruk.Ilona menggigit bibirnya. "Saya baru saja melahirkan… anak saya meninggal," ucapnya dengan suara bergetar.Wanita itu mendongak, menatap Ilona dari atas hingga bawah. Ad
Di dalam kamar VVIP rumah sakit yang dingin dan sunyi, hanya ada Ilona dan Romy yang masih mematung. Keduanya telah menjadi orang asing. Tak ada lagi suara bentakan Nyonya Mike, tak ada lagi tekanan dari siapapun. Yang tersisa hanya kesunyian dan kenyataan pahit yang menggantung di antara mereka."Maaf…" suara Romy tercekat, hampir tak terdengar.Ilona menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Mereka saling mencintai, dan perjalanan mereka untuk sampai ke tahap ini bukanlah sesuatu yang mudah.Dua tahun mereka menjalin hubungan secara diam-diam, melawan restu yang tak pernah datang. Ilona adalah gadis miskin tanpa keluarga yang jelas, sedangkan Romy berasal dari keluarga terpandang yang menjunjung tinggi martabat dan garis keturunan. Pernikahan mereka pun hanya terjadi karena Ilona hamil—sebuah kenyataan yang menjadi satu-satunya alasan keluarga Romy menerima kehadirannya.Namun kini, alasan itu telah tiada. Bayi yang mereka nantikan, satu-satunya pengikat di antara mereka, telah pergi s