"Dibayar?"
Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Ilona. Seperti sebuah harapan di tengah keterpurukannya. Seperti mata air di tengah padang pasir yang kering kerontang. Setelah semua yang menimpanya, setelah dirinya dicampakkan dan kehilangan segalanya, mendapatkan pekerjaan adalah sebuah kemewahan yang tak pernah ia bayangkan. "Iya. Kau akan dibayar, tinggal di rumah kami, dan semua kebutuhanmu akan dipenuhi," ujar wanita itu dengan nada tegas, lebih tepatnya ketus. "Baiklah," jawab Ilona cepat, tanpa berpikir panjang. Wanita itu mengangguk, lalu memperkenalkan dirinya secara resmi. Bira. Nama yang terasa asing bagi Ilona, tapi entah mengapa memberi getaran aneh dalam hatinya. Ilona tak tahu bahwa keputusannya ini akan mengubah hidupnya. Ia memang terbebas dari makian Nyonya Mike, wanita yang selama ini menindasnya, tapi apakah Nyonya Bira akan memperlakukannya dengan baik? Ataukah ia justru melangkah ke dalam bahaya yang lebih besar? Ruangan perawatan itu terasa begitu sunyi. Dinding putih bersih seolah mengejeknya, mencerminkan kehampaan yang kini melingkupinya. Ia masih terlalu lemah setelah persalinan yang menyakitkan. Bayinya… sudah tiada. Hatinya terasa kosong. Ceklek! Suara pintu terbuka memecah kesunyian. Di ambang pintu, Nyonya Bira berdiri dengan angkuh. Tatapannya tajam, tanpa ekspresi hangat sama sekali. "Kita pulang!" katanya ketus. Ilona menoleh dengan kaget. Pulang? Dia pikir wanita itu hanya ingin dia menyusui cucunya sekarang, tapi malah mengajaknya pulang. Sedangkan dia masih lemah, infus saja masih terpasang di tangannya. "Tapi saya masih dalam perawatan..." Ilona mencoba menjelaskan. Tubuhnya masih lemah, ia bahkan belum benar-benar pulih. "Saya sudah bicara dengan perawat," potong Nyonya Bira dingin. "Mereka bilang kau hanya tinggal pemulihan, tidak ada masalah apa pun! Jadi, kau bisa pulang. Saya sudah mengurus semuanya." Ilona mematung. Wanita ini begitu dominan dan penuh pemaksaan. Dia tidak peduli dengan kondisi Ilona, yang terpenting baginya adalah cucunya. Hatinya ingin menolak. Tapi kemudian ia teringat bayi mungil itu—Mayumi. Bayi yang tadi tertidur dengan tenang di pelukannya, seolah menemukan rasa aman yang tak ia dapatkan sebelumnya. Wajah polos itu menarik Ilona untuk ikut dalam arus yang Nyonya Bira ciptakan. Akhirnya, meski tubuhnya masih lemah, Ilona menerima takdir ini. Ia naik ke dalam mobil bersama Nyonya Bira, menuju rumah yang tak ia kenal. Nyonya Bira bahkan tidak bertanya apakah Ilona memiliki keluarga, suami atau apapun. Rumah itu begitu megah. Bangunan tiga lantai dengan pilar-pilar kokoh, mencerminkan status keluarga kaya raya yang menempatinya. Ilona bahkan ragu apakah ia pantas berada di sini. Dan rasanya cukup trauma tinggal bersama keluarga kaya. Ia langsung diberi tugas. Meski masih lemah, ia tetap dipaksa menggendong Mayumi. "Mulai sekarang, kau adalah ibu susu dan pengasuhnya," ucap Nyonya Bira tanpa basa-basi. Ilona hanya bisa mengangguk pasrah. Tangannya dengan lembut membelai kepala Mayumi yang masih tertidur. Setidaknya, jika ia bisa menjadi sesuatu bagi bayi ini, mungkin ada sedikit tujuan dalam hidupnya yang sudah hancur. Namun, langkahnya terhenti saat ia melangkah masuk ke dalam rumah. Pandangannya membeku ketika melihat seorang pria berdiri di ambang pintu. Sosok yang tak asing. Seseorang yang dulu pernah begitu dekat dengannya. Egar. Dada Ilona seketika terasa sesak. Laki-laki itu… dia tidak mungkin lupa. Dahulu, Egar adalah cinta pertamanya. Mereka pernah berbagi mimpi saat masih SMA. Namun, takdir memisahkan mereka, meninggalkan luka yang cukup dalam. Tatapan Egar langsung tertuju padanya. Matanya menyiratkan kebingungan melihat ibunya pulang membawa orang asing. "Ma, dia siapa?" tanyanya pada Nyonya Bira, suaranya terdengar curiga. "Dia ibu susu dan pengasuh Yumi. Anakmu itu tidak mau diam, dengan dia baru mau diam," jawab Nyonya Bira santai. Egar tampak bingung. "Tapi, kita tidak menge-nalnya…" Namun, kata-katanya terhenti saat mata mereka bertemu. Ilona melihat bagaimana wajah Egar berubah. Dari bingung, menjadi syok. Bibirnya sedikit terbuka, seolah ingin mengatakan sesuatu tapi tak bisa. "Ilona?" suara Egar lirih, penuh keterkejutan. Ilona hanya menunduk, tak sanggup menatapnya lebih lama. Detik itu, Ilona sadar. Keputusan yang diambilnya bukan hanya akan mengubah hidupnya, tetapi juga akan membangkitkan luka lamanya. Mengapa dia harus kembali bertemu Egar?"Iya," jawab Ilona gugup. Ilona tidak pernah menyangka bahwa dirinya akan menjadi ibu susu untuk anak mantannya. Dulu, Ilona dan Egar menjalin hubungan yang cukup lama, sejak kelas dua hingga kelas tiga SMA. Ilona masuk ke sekolah itu dengan beasiswa karena kecerdasannya, jika mengandalkan uang dia tidak akan mampu, sekolah itu cukup terkenal dengan sebutan sekolah anak orang kaya. Dan ternyata, kepintarannya itulah yang membuat Egar mendekatinya. Ia pikir Egar mencintainya, tapi ternyata, itu semua hanya kebohongan. Setelah ujian akhir, Egar memutuskannya dengan cara yang paling kejam. "Aku tidak pernah mencintaimu. Aku hanya memanfaatkan kepintaranmu. Buktinya, aku berhasil masuk sebagai juara dua." Ucapan itu masih terpatri jelas di benak Ilona, meski bertahun-tahun telah berlalu. Ia masih bisa mengingat bagaimana teman-teman mereka tercengang mendengar kata-kata itu. "Kau kejam sekali, Egar," ujar salah satu temannya sambil tergelak. "Kalau kalian mau dia, ambil saja. Belu
"Ya Allah, kuatkan aku selama enam bulan ini," gumam Ilona lemah saat Egar akhirnya keluar dari kamar.Dia mengelus dada membayangkan harus bertemu Egar selama itu. Dia akan menjaga jarak, itulah tekadnya.Lelaki itu hanya melihat putrinya sebentar. Tidak menggendong, tidak menyentuh. Hanya menatap Yumi sekilas, namun tatapan itu begitu dalam.Mungkin, saat melihat wajah Yumi, dia teringat istrinya.Ilona sempat mendengar dari salah satu pembantu yang sempat ke kamarnya tadi, bahwa Egar dan istrinya dulu saling mencintai. Namun, hubungan mereka terhalang restu. Bukan karena kemiskinan, tapi karena persaingan bisnis yang membuat keluarga mereka bermusuhan. Bahkan saat istrinya meninggal, Egar dilarang datang.Jasad istrinya langsung diambil alih oleh keluarganya, dan setelah itu, tidak satu pun dari mereka datang melihat Yumi. Tidak ada keluarga pihak ibu yang merangkul bayi mungil itu. Yang ada hanya tuntutan hukum—keluarga istrinya menuntut Nyonya Bira, menuduh bahwa putri mereka me
Hari-hari terasa begitu panjang bagi Ilona. Rumah megah itu bak penjara, mengekangnya dalam aturan dan tatapan penuh curiga dari Nyonya Bira dan Egar.Namun, di antara semua itu, ada satu cahaya kecil yang membuatnya tetap bertahan—Yumi.Di taman belakang rumah, di bawah langit senja yang mulai berpendar jingga, Ilona duduk di atas rumput, menggoyangkan mainan kecil di depan bayi mungil di dalam stroller yang mulai tertawa."Yumi, jadilah anak yang hebat dan baik, ya," bisiknya lembut.Yumi, yang baru berusia tiga bulan, tertawa riang. Pipi gembulnya merona, matanya yang jernih menatap Ilona dengan polos.Ilona mengusap kepala bayi itu penuh kasih sayang. Namun, di balik senyuman itu, ada perasaan pilu yang tak bisa ia usir.Sebesar apa pun cintanya pada Yumi, ia tahu pada akhirnya mereka akan menjadi orang asing."Tentu saja dia akan menjadi orang hebat. Karena ayahnya adalah aku."Ilona tersentak. Suara berat itu terdengar begitu dekat. Saat menoleh, Egar sudah berdiri di sana, bers
Owek! Owek!Tangisan Yumi menggema di seluruh rumah besar itu, menusuk setiap sudut keheningan.Ilona sudah sejak tadi berusaha menenangkan bayi perempuan itu. Digosok punggungnya, diayun-ayun dalam pelukan, bahkan sudah dibawa keluar ke halaman agar udara segar bisa membuatnya tenang. Tapi semua usaha Ilona sia-sia.Yumi tetap menangis, suaranya makin serak, napasnya tersengal-sengal di sela tangisannya yang pilu. Ilona mulai cemas, takut kalau bayi itu sakit. Berkali-kali ia meraba kening dan perut Yumi, tapi suhu tubuhnya normal. Tidak ada tanda-tanda demam atau ketidaknyamanan.Namun, tangis Yumi tak kunjung reda."Hei! Kau apakan anak itu? Berisik sekali!"Teriakan tajam Nyonya Bira terdengar dari tangga, membuat Ilona tersentak. Wanita itu turun dengan wajah kesal, tampak terganggu karena tangisan Yumi yang tak berhenti sejak tadi."Maaf, Nyonya. Tapi, Yumi tidak mau diam," jawab Ilona dengan nafas tersengal, lengannya mulai pegal setelah sekian lama menggendong bayi itu."Kau t
Ilona melangkah keluar dari rumah besar itu dengan hati yang berat. Sejak pertama kali mengasuh Yumi, ia tahu bahwa suatu hari ia harus pergi, tapi ia tidak menyangka perpisahan ini akan terasa sesakit ini. Bayi itu telah menjadi bagian dari hidupnya, seperti anaknya sendiri. Namun, kontraknya telah habis. Tidak ada yang bisa ia lakukan.Saat langkahnya semakin menjauh dari rumah itu, suara berat yang sangat familiar menghentikannya.“Kau mau ke mana?”Ilona menoleh dan mendapati Egar berdiri di sana, ekspresi wajahnya sulit ditebak. Ada kemarahan, ada kebingungan, dan mungkin juga sedikit... kekecewaan?“Maaf, saya harus pergi.”Ia menjawab tanpa ragu, mencoba bersikap sekuat mungkin. Tidak ada gunanya menetap lebih lama.Egar mensejajari langkahnya. “Kau pergi? Bagaimana dengan Yumi? Dia terus menangis.”Ilona menelan ludahnya, berusaha menekan perasaan yang mulai menyeruak. “Ada Sus Yuli.”Hanya itu jawabannya. Seperti itulah seharusnya.Egar terdiam, matanya mengawasi setiap gerak
Dalam tidurnya, Ilona merasakan sebuah kehangatan yang begitu familiar. Sebuah tangan keriput yang lembut memeluknya erat, memberikan rasa aman yang begitu dirindukannya.“Ibu…” panggilnya lirih, suaranya bergetar dalam kantuk yang membelenggunya.Dari dalam kegelapan, suara ibunya terdengar, lembut namun tegas.“Jangan putus asa.”Itu saja yang ia dengar sebelum sosok wanita tua itu perlahan menghilang, tenggelam dalam bayangan pekat malam.“Ibu, tunggu!” Ilona berteriak, tangannya terulur, berusaha meraih sosok yang semakin menjauh.Namun, yang ia dapatkan hanya kehampaan.Ilona tersentak, tubuhnya terlonjak bangun. Napasnya terengah-engah, matanya yang masih buram karena kantuk perlahan menangkap sekelilingnya. Ia tidak lagi berada dalam pelukan ibunya.Ia mendapati dirinya tertidur di dekat meja makan yang sudah tua, dengan debu yang masih menempel di permukaannya. Lilin yang tadi dinyalakan kini telah hampir habis, nyala apinya kecil dan bergetar.Ia mengusap wajahnya, mencoba me
Ilona menatap Bu Misna dengan pandangan terluka. "Astaga, saya pulang ke rumah saya, Bu. Bukan untuk menggoda suami orang," ucapnya dengan suara lirih, mencoba menahan gemuruh di dadanya.Namun, kata-kata itu seperti angin lalu bagi Bu Misna. Wajahnya tetap sinis, tatapan matanya penuh curiga. "Ya, kan siapa tahu. Selama ini biasa hidup enak. Dan cara yang cepat untuk mendapatkan semuanya ya itu cara instant menggoda suami orang. Apalagi sekarang sudah janda, gak ada lagi kan ketakutan apapun," katanya dengan nada yang menusuk.Ilona menggeleng, memilih diam. Sejak tadi, ia sebenarnya cukup senang ada tetangga yang menyapa, tapi kenyataan tidak seindah harapannya. Ia mengira akan menemukan kehangatan, tetapi yang ia dapat hanyalah prasangka.Dengan nafas panjang, Ilona kembali jongkok, menarik rumput liar yang merajalela di halaman rumah tua itu. Rumah ini adalah satu-satunya tempat yang tersisa untuknya, satu-satunya tempat di mana ia bisa mencoba menata kembali hidupnya.“Benar kan
Sementara itu…Tangisan itu masih memenuhi seluruh rumah besar dan mewah itu, seakan tak akan pernah berhenti. Sudah dua hari satu malam. Apalagi sejak kepergian Ilona, tangisannya semakin menjadi-jadi, bahkan suaranya sudah serak.Yumi, bayi berusia enam bulan itu, terus menangis. Sesekali tangisnya mereda, hanya untuk kembali pecah dengan lebih kuat. Bahkan dalam tidurnya, isaknya tak kunjung hilang. Dia hanya menyusu seadanya, mungkin hanya untuk melepaskan laparnya saja.Seisi rumah kelelahan karena semalaman tidak bisa tidur, tapi tidak ada yang lebih jengah daripada Nyonya Bira. Dia sangat kesal dengan cucunya itu.Wanita paruh baya itu melipat tangan di dadanya, ekspresi geram tergambar jelas di wajahnya. "Sus, apakah kau tidak mampu menenangkan Yumi barang sejenak? Kita semua butuh istirahat, kalau begini terus, aku akan gila. Semalaman tidak bisa tidur!" bentaknya dengan nada tajam.Pengasuh bayi itu, Sus Yuli, hanya bisa menunduk dalam-dalam. "Maaf, Nyonya. Saya sudah mencob
Suasana hangat perlahan mengisi ruang tamu. Xello duduk di lantai, bersila, dikelilingi oleh Yumi dan Gana yang tak henti tertawa mendengarkan dongeng yang ia bacakan. Tangan Xello bergerak dramatis, suaranya naik turun menirukan suara naga, ratu jahat, dan pahlawan kecil.Anita duduk di sofa, matanya berbinar melihat kebahagiaan terpancar dari wajah anaknya. Dalam hati, ia bangga melihat Xello yang sangat menyayangi Yumi dan Gana, meskipun mereka baru bertemu.“Selama di kota ini, Mami tinggal di hotel,” jawab Anita tiba-tiba, memecah keheningan antara mereka berdua. Menjawab pertanyaan Xello tadi.Xello menoleh, memutar badan menatap ibunya. Matanya membulat. “Serius? Selama ini Mami gak pernah nginap di rumah Kak Ilona?”Anita mengangguk. &ldqu
Kezio baru saja pergi. Suara mobil yang membawanya masih terdengar samar dari halaman depan, meninggalkan keheningan yang cukup menusuk di dalam rumah Ilona.Anita berdiri mematung di depan pintu, menatap kosong ke arah jalan yang kini lengang. Matanya berkaca-kaca, tapi ia berusaha tidak menangis. Tak mau terlihat rapuh di depan anak bungsunya, Xello.“Sudahlah, Mi. Jangan pikirkan, dia sudah besar,” ujar Xello pelan, berdiri di samping ibunya. Suaranya tenang, tapi mengandung simpati yang dalam.Anita hanya mengangguk perlahan. Hatinya remuk melihat Kezio pergi dalam amarah, tapi juga hangat karena Xello tetap tinggal.“Terima kasih, Xello,” ucap Anita lirih, matanya menatap anak lelakinya dengan penuh rasa syukur. Tak pernah ia duga, Xello yang
“Mami mengkhianati Papi!”Kalimat itu seperti belati, menancap tajam ke dada Anita. Anaknya masih bersikeras.Wanita paruh baya itu hanya menggeleng pelan, menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya. Ia menatap Kezio, anak sulungnya, dengan sorot lembut namun penuh luka.“Tidak, sama sekali tidak,” jawab Anita dengan suara serak, nyaris berbisik. “Tapi… bolehkah Mami bahagia sebentar saja… sebelum Mami meninggal, Nak?”Seisi ruangan seketika menjadi senyap. Keheningan merambat pelan seperti kabut, menyelimuti semua yang ada di sana. Kata-kata itu bukan hanya menyayat hati, tapi juga memukul kesadaran semua orang. Bahkan Xello yang biasanya cerewet, kali ini hanya mampu menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca.Kezio terpaku. Nafasnya tertahan. Urat di lehernya masih menegang, tapi kata-kata Anita baru saja mengguncang dinding-dinding egonya. Dia seolah tersadar kalau ibu mereka memang menderita sakit sejak lama, dan kapanpun bisa meninggal.“Mi…” gumamnya lirih, namun ke
Ruangan makan sore itu terasa lebih dingin dari biasanya, bukan karena AC yang terlalu dingin, tapi karena emosi yang menegang di antara keluarga yang sedang bergolak.“Kenapa aku mesti diam? Aku bertanya, berikan aku jawaban,” suara Xello terdengar lantang, memecah keheningan yang membatu.Semua mata tertuju padanya. Xello berdiri, tubuhnya tegak, suaranya mantap meski sorot matanya mengandung kekecewaan.Kezio memalingkan wajah, rahangnya mengeras. Ia tidak suka ditantang—apalagi oleh adik sendiri. “Kau masih kecil. Kau tidak mengerti apa-apa,” jawabnya dingin, nadanya meremehkan.Xello tertawa kecil, sinis, lalu melangkah maju dan berdiri tepat di depan Kezio. Meskipun selisih usia mereka lima tahun, kini Xello sudah hampir menyamai tinggi tubuh sang kakak.“Aku sudah hampir delapan belas tahun,” katanya dengan tenang namun tegas. “Aku sudah besar. Dan aku cukup mengerti dengan semua kepentingan kalian. Please, Kezio, support Mami…”Anita yang duduk di ujung meja langsung berdiri.
“Xello!” bentak Kezio dengan suara tinggi, membuat suasana di ruang keluarga sontak tegang. Nada suaranya bagaikan cambuk yang mencabik-cabik udara sore itu.Dia marah kepada adiknya yang begitu mudah menerima Ilona masuk ke dalam keluarga mereka. Dia tidak merasa memiliki ikatan dengan Ilona, seharusnya Xello juga merasakan hal yang sama, bukan malah menikmati tempat ini.Xello, yang tengah duduk santai sambil menikmati pemandangan halaman belakang dari balik kaca besar, hanya menoleh dan tersenyum ke arah sang kakak.“Come on, brother,” sahutnya dengan nada tenang yang kontras. “Untuk apa marah-marah? Mami terlihat lebih bahagia di sini. Dan juga... cepat atau lambat, semua akan saling meninggalkan. Buktinya kamu sendiri sudah keluar dari rumah dan tinggal di apartemen, bukan? So, di rumah juga hanya aku, Papi jarang ada di rumah.”Kalimat itu menghujam, bukan karena kasar, tapi karena menyentuh titik yang tak ingin Kezio akui. Ia terdiam, namun sorot matanya masih menusuk.Anita, y
Rumah itu terasa sedikit lebih sepi dari biasanya, meskipun anak-anak Egar dan Ilona sedang bermain di ruang keluarga. Ketegangan menggantung di udara seperti kabut tipis yang tak terlihat namun bisa dirasakan. Ilona berdiri di samping Egar, mencoba menenangkan kegugupan yang tak bisa ia sembunyikan.Egar berdiri sambil menggendong Gana yang sedang mengunyah biskuit dengan tenang, sementara Yumi duduk di karpet, menggambar bunga dengan pensil warna. Tapi fokus mereka semua kini tertuju pada dua sosok yang baru saja tiba di depan pintu: Kezio dan Xello.Mereka tinggi, tampan, dan membawa aura kota besar dalam gaya berpakaian mereka. Tapi yang paling mencolok adalah ekspresi wajah keduanya. Datar, dingin, dan nyaris tanpa emosi. Jojo, sopir pribadi Anita yang menjemput mereka dari bandara, hanya tersenyum canggung sebelum segera pamit dan meninggalkan mereka dalam keheningan yang mencekam.Anita mengambil langkah pertama. Ia tahu ini akan sulit. Tapi ini adalah pilihan yang sudah ia amb
Dapur rumah itu sederhana, namun hangat oleh aroma bumbu dan suara air yang mengalir. Ilona berdiri di depan wastafel, tangannya cekatan membersihkan cumi yang tadi dibawa Egar dari gudang. Di sampingnya, Anita duduk di kursi kecil, mengamati anak perempuannya dengan mata yang tak lelah mengagumi. Sejak kedatangannya ke rumah ini, Anita merasa hatinya mulai disembuhkan—perlahan tapi pasti.“Sejak kapan Egar bisnis hasil laut?” tanya Anita, suaranya ringan namun menyimpan keingintahuan yang dalam.“Sejak sekitar tiga tahun lalu, Ma,” jawab Ilona sambil tetap memfokuskan perhatian pada potongan cumi di tangannya. “Waktu kami pindah ke kota ini, Egar memutuskan untuk membuka usaha sendiri.”Anita mengangguk pelan. “Sebelumnya Egar bekerja di perusahaan ibunya, ya?”“Iya, Ma. Dulu dia menjabat sebagai salah satu pemimpin di perusahaan keluarganya. Tapi itu sebelum kami menikah.”Ada sedikit jeda, sebelum Anita mengajukan pertanyaan berikutnya. “Kalian berdua memang sudah kenal sejak kamu
Senja menyelimuti langit dengan semburat jingga yang menenangkan. Di ruang keluarga yang sederhana namun nyaman itu, Ilona duduk di sisi Anita dengan pikiran yang sedikit tidak tenang.Aroma melati dari teh memenuhi ruangan, namun tidak cukup kuat untuk mengalihkan perhatian Ilona dari berita yang baru saja disampaikan ibunya.“Ini adalah hal yang Mama tunggu. Tapi, sekaligus yang Mama takutkan,” ucap Anita lirih.Ilona mengernyit, memandang ibunya dengan penuh tanda tanya. Ada kekhawatiran yang tergurat jelas di wajah Anita, seperti seseorang yang ingin memberi kabar bahagia tapi takut akan badai yang bisa menyusul kemudian.“Adik-adikmu sudah datang. Hari ini… mereka sedang dalam perjalanan ke kota ini. Mereka datang lebih cepat dari yang Mama kira,” sambung Anita.Kalimat itu membuat hati Ilona bergetar. Ia memang telah tahu dirinya bukan anak tunggal dari Anita, ada dua orang lainnya yang lahir dari rahim yang sama. Hanya saja, mereka berbeda nasib. Kehidupan adik-adiknya berbandi
Hari itu, langit tampak kelabu. Awan menggantung berat seakan menyimpan beban yang tak kasat mata. Di ruang keluarga yang hangat dan tertata rapi, Ilona duduk bersandar di sofa. Cangkir teh di tangannya sudah mendingin sejak tadi, tak sempat ia hirup karena pikirannya terlalu sibuk menebak arah pembicaraan ibunya—Anita—yang baru saja datang membawa kabar yang belum sepenuhnya dijelaskan.Anita duduk di seberangnya. Perempuan paruh baya itu tampak lebih tenang hari ini. Meski garis wajahnya menunjukkan ketegasan, namun ada gurat kelelahan yang tak bisa disembunyikan.Ilona menarik napas dalam, lalu bertanya dengan suara pelan namun menembus tajam, “Apa yang mereka inginkan?”Anita menoleh, tersentak dari lamunannya. Ia tahu siapa yang dimaksud dengan "mereka" — keluarga besar Ilma, keluarga tempat ia berasal dan tempat yang selama ini Ilona bahkan tidak pernah tahu menjadi bagian dari dirinya.“Hanya ingin kenalan,” jawab Anita berusaha tenang, meskipun nada bicaranya terdengar menggan