Ilona menatap Bu Misna dengan pandangan terluka. "Astaga, saya pulang ke rumah saya, Bu. Bukan untuk menggoda suami orang," ucapnya dengan suara lirih, mencoba menahan gemuruh di dadanya.Namun, kata-kata itu seperti angin lalu bagi Bu Misna. Wajahnya tetap sinis, tatapan matanya penuh curiga. "Ya, kan siapa tahu. Selama ini biasa hidup enak. Dan cara yang cepat untuk mendapatkan semuanya ya itu cara instant menggoda suami orang. Apalagi sekarang sudah janda, gak ada lagi kan ketakutan apapun," katanya dengan nada yang menusuk.Ilona menggeleng, memilih diam. Sejak tadi, ia sebenarnya cukup senang ada tetangga yang menyapa, tapi kenyataan tidak seindah harapannya. Ia mengira akan menemukan kehangatan, tetapi yang ia dapat hanyalah prasangka.Dengan nafas panjang, Ilona kembali jongkok, menarik rumput liar yang merajalela di halaman rumah tua itu. Rumah ini adalah satu-satunya tempat yang tersisa untuknya, satu-satunya tempat di mana ia bisa mencoba menata kembali hidupnya.“Benar kan
Sementara itu…Tangisan itu masih memenuhi seluruh rumah besar dan mewah itu, seakan tak akan pernah berhenti. Sudah dua hari satu malam. Apalagi sejak kepergian Ilona, tangisannya semakin menjadi-jadi, bahkan suaranya sudah serak.Yumi, bayi berusia enam bulan itu, terus menangis. Sesekali tangisnya mereda, hanya untuk kembali pecah dengan lebih kuat. Bahkan dalam tidurnya, isaknya tak kunjung hilang. Dia hanya menyusu seadanya, mungkin hanya untuk melepaskan laparnya saja.Seisi rumah kelelahan karena semalaman tidak bisa tidur, tapi tidak ada yang lebih jengah daripada Nyonya Bira. Dia sangat kesal dengan cucunya itu.Wanita paruh baya itu melipat tangan di dadanya, ekspresi geram tergambar jelas di wajahnya. "Sus, apakah kau tidak mampu menenangkan Yumi barang sejenak? Kita semua butuh istirahat, kalau begini terus, aku akan gila. Semalaman tidak bisa tidur!" bentaknya dengan nada tajam.Pengasuh bayi itu, Sus Yuli, hanya bisa menunduk dalam-dalam. "Maaf, Nyonya. Saya sudah mencob
"Dari mana kau tahu kalau Yumi butuh Ilona?"Nyonya Bira menatap putranya dengan sorot mata tajam, menuntut jawaban. Dia tidak bisa menerima keinginan Egar yang ingin membawa Ilona kembali ke rumah mereka. Ilona dan Egar adalah mantan kekasih, meskipun hubungan itu dulunya adalah cinta monyet, tapi dia yakin kalau Ilona pasti punya keinginan untuk kembali bersama Egar.Egar menghela napas panjang. Kepalanya pening, pikirannya bercampur aduk antara kelelahan, amarah, dan keputusasaan. Dengan suara yang berusaha ia kendalikan, ia menjawab, "Bukankah Mama dengar sendiri? Dokter sudah mengatakan kalau Yumi tidak memiliki penyakit. Dia merasa kehilangan. Itu sudah jelas, Ma, dia kehilangan Ilona. Dia hanya ingin Ilona!"Tangisan Yumi yang lemah masih terdengar dari gendongan Sus Yuli di dalam kamar, dan suara itu semakin menyesakkan dada Egar.Namun, alih-alih tersentuh, Nyonya Bira justru mendengus kesal. Ia melipat tangannya di dada, ekspresi wajahnya penuh ketidaksetujuan. "Tidak! Ilona
Yumi akhirnya mendapatkan perawatan di rumah sakit. Dokter mengatakan bahwa bayi itu mengalami dehidrasi akibat menangis terlalu lama, meskipun untungnya belum dalam kondisi yang parah. Kini, dia tertidur lelap dengan infus di tangannya. Wajah mungilnya tampak lebih tenang, meski sesekali isakannya masih terdengar samar dalam tidurnya.Egar duduk di sofa yang ada di kamar perawatan, matanya terpejam. Rasa lelah mendera tubuh dan pikirannya.Suara langkah sepatu hak tinggi yang menghentak lantai terdengar mendekat. Nyonya Bira baru saja tiba di rumah sakit, menyusul setelah memastikan bahwa Yumi telah dipindahkan ke ruang perawatan yang lebih nyaman. Wajahnya penuh ketidakpuasan."Kan dia bisa diam. Harusnya sejak semalam langsung dirawat saja!" ucapnya dengan nada ketus.Egar hanya melirik sekilas ke arah ibunya, lalu kembali memejamkan matanya. Dia tidak ingin berdebat sekarang. Kepalanya terasa penuh.Tapi Nyonya Bira belum selesai. "Tidak perlu Ilona, dia menangis bukan karena wani
Egar menghela napas panjang, berdiri di depan gerbang sekolah lamanya. Sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali dia menginjakkan kaki di sini, dan sekarang dia kembali—bukan untuk bernostalgia, tapi untuk mencari seseorang yang mungkin menjadi satu-satunya harapan bagi putrinya.Saat memasuki gedung administrasi, ia langsung menyampaikan tujuannya."Maaf, kami tidak bisa memberikan data pribadi alumni," ujar petugas administrasi dengan nada tegas."Tapi, saya sangat butuh. Ini demi keselamatan anak saya," katanya pelan. Ia tidak ingin memaksa, tapi jika tidak segera menemukan Ilona, Yumi bisa kembali jatuh sakit.Egar menjelaskan panjang lebar tentang kondisi Yumi, wanita itu akhirnya mengalah."Baiklah, tapi ini hanya informasi terbatas," ujarnya sambil membuka dokumen di komputer kemudian menyerahkan secarik kertas kepada Egar.Egar segera melihatnya, namun wajahnya mengerut. Alamatnya tidak lengkap. Ilona hanya menuliskan daerah tempat tinggalnya, tanpa nomor rumah atau jalan yan
Duaar!Guruh menggelegar, disusul hujan yang turun dengan derasnya. Jalanan yang sebelumnya kering kini berubah menjadi genangan air, membuat banyak orang terpaksa berteduh di depan toko. Egar, yang sudah lelah setelah seharian mencari Ilona, hanya bisa mendesah dan memutuskan untuk menyerah.Lagi-lagi, pencariannya berakhir dengan tangan kosong.Dengan langkah berat, ia berjalan pulang, hujan membasahi tubuhnya, seakan mencerminkan perasaannya yang hancur. “Di mana kau, Ilona?”Sementara itu, di dalam toko pakaian, Ilona sibuk di meja kasir. Hujan yang turun membuat pelanggan membludak, banyak yang membeli baju atau sekadar berteduh sambil berbelanja.Setelah hampir satu jam berlalu, hujan mulai mereda, dan toko pun kembali sepi. Arya, sang pemilik toko, berjalan mendekati Ilona dengan senyum kecil."Sepertinya kau memang pemikat pelanggan," ujarnya sambil melirik kasir yang penuh dengan hasil penjualan hari itu.Ilona tertawa kecil. "Ada-ada saja, ini semua karena produk yang bagus,
Hujan turun dengan derasnya, membuat trotoar di sepanjang jalan basah dan licin. Beberapa orang berlarian mencari tempat berteduh, termasuk seorang pria dengan jas hitam yang kini basah kuyup.Egar memandang ke sekeliling, matanya penuh harapan. Sudah empat bulan ia mencari, menyusuri setiap sudut daerah ini dengan penuh kesabaran. Namun, sampai detik ini, Ilona belum juga ditemukan.Sementara itu, di rumah keluarganya, suara tangisan Yumi kembali memenuhi ruangan. Gadis kecil yang kini berusia sepuluh bulan itu matanya basah oleh air mata, tangannya menggenggam boneka lusuh yang selalu ia bawa kemana-mana.“Ma, kemana Sus Yuli?” tanya Egar ketika ia masuk ke rumah dan melihat seorang pengasuh baru yang asing baginya.“Sudah Mama pecat!” jawab Nyonya Bira dengan nada ketus.“Kenapa?”“Tidak bisa bekerja! Tugasnya hanya mengasuh Yumi, tapi anak itu terus saja menangis dan lihatlah betapa kurusnya dia!”Egar menatap Yumi dengan perasaan iba. Bukan salah pengasuhnya jika Yumi menjadi sep
Langit siang itu tampak mendung, seolah ikut merasakan beban yang kini memenuhi hati Ilona. Udara di sekitar toko tempatnya bekerja terasa lebih berat dari biasanya. Namun, bukan karena suhu atau cuaca, melainkan karena pria yang kini berlutut di hadapannya.“Egar, apa yang kau lakukan?”Sosok yang dulu pernah membuat hidupnya penuh luka, kini ada di sini dengan wajah penuh keputusasaan. Matanya yang dulu penuh kebanggaan kini hanya menyiratkan kepasrahan. Dan kata-kata yang baru saja keluar dari bibirnya masih menggema di telinga Ilona."Aku harus menyelamatkan Yumi."Ilona menggigit bibirnya, mencoba menahan gejolak dalam hatinya. Ia telah membangun kembali hidupnya di tempat ini, jauh dari semua luka dan kenangan yang ingin ia lupakan. Tapi kini, Egar datang, membawa kenyataan pahit yang memaksa Ilona untuk menghadapi semuanya.“Tapi, kau tidak perlu menyumpahi Yumi!”“Memang itu yang dokter katakan.”Ilona menatapnya tajam, hatinya sakit mendengar kata-kata itu. “Kau tega mengatak
Suasana hangat perlahan mengisi ruang tamu. Xello duduk di lantai, bersila, dikelilingi oleh Yumi dan Gana yang tak henti tertawa mendengarkan dongeng yang ia bacakan. Tangan Xello bergerak dramatis, suaranya naik turun menirukan suara naga, ratu jahat, dan pahlawan kecil.Anita duduk di sofa, matanya berbinar melihat kebahagiaan terpancar dari wajah anaknya. Dalam hati, ia bangga melihat Xello yang sangat menyayangi Yumi dan Gana, meskipun mereka baru bertemu.“Selama di kota ini, Mami tinggal di hotel,” jawab Anita tiba-tiba, memecah keheningan antara mereka berdua. Menjawab pertanyaan Xello tadi.Xello menoleh, memutar badan menatap ibunya. Matanya membulat. “Serius? Selama ini Mami gak pernah nginap di rumah Kak Ilona?”Anita mengangguk. &ldqu
Kezio baru saja pergi. Suara mobil yang membawanya masih terdengar samar dari halaman depan, meninggalkan keheningan yang cukup menusuk di dalam rumah Ilona.Anita berdiri mematung di depan pintu, menatap kosong ke arah jalan yang kini lengang. Matanya berkaca-kaca, tapi ia berusaha tidak menangis. Tak mau terlihat rapuh di depan anak bungsunya, Xello.“Sudahlah, Mi. Jangan pikirkan, dia sudah besar,” ujar Xello pelan, berdiri di samping ibunya. Suaranya tenang, tapi mengandung simpati yang dalam.Anita hanya mengangguk perlahan. Hatinya remuk melihat Kezio pergi dalam amarah, tapi juga hangat karena Xello tetap tinggal.“Terima kasih, Xello,” ucap Anita lirih, matanya menatap anak lelakinya dengan penuh rasa syukur. Tak pernah ia duga, Xello yang
“Mami mengkhianati Papi!”Kalimat itu seperti belati, menancap tajam ke dada Anita. Anaknya masih bersikeras.Wanita paruh baya itu hanya menggeleng pelan, menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya. Ia menatap Kezio, anak sulungnya, dengan sorot lembut namun penuh luka.“Tidak, sama sekali tidak,” jawab Anita dengan suara serak, nyaris berbisik. “Tapi… bolehkah Mami bahagia sebentar saja… sebelum Mami meninggal, Nak?”Seisi ruangan seketika menjadi senyap. Keheningan merambat pelan seperti kabut, menyelimuti semua yang ada di sana. Kata-kata itu bukan hanya menyayat hati, tapi juga memukul kesadaran semua orang. Bahkan Xello yang biasanya cerewet, kali ini hanya mampu menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca.Kezio terpaku. Nafasnya tertahan. Urat di lehernya masih menegang, tapi kata-kata Anita baru saja mengguncang dinding-dinding egonya. Dia seolah tersadar kalau ibu mereka memang menderita sakit sejak lama, dan kapanpun bisa meninggal.“Mi…” gumamnya lirih, namun ke
Ruangan makan sore itu terasa lebih dingin dari biasanya, bukan karena AC yang terlalu dingin, tapi karena emosi yang menegang di antara keluarga yang sedang bergolak.“Kenapa aku mesti diam? Aku bertanya, berikan aku jawaban,” suara Xello terdengar lantang, memecah keheningan yang membatu.Semua mata tertuju padanya. Xello berdiri, tubuhnya tegak, suaranya mantap meski sorot matanya mengandung kekecewaan.Kezio memalingkan wajah, rahangnya mengeras. Ia tidak suka ditantang—apalagi oleh adik sendiri. “Kau masih kecil. Kau tidak mengerti apa-apa,” jawabnya dingin, nadanya meremehkan.Xello tertawa kecil, sinis, lalu melangkah maju dan berdiri tepat di depan Kezio. Meskipun selisih usia mereka lima tahun, kini Xello sudah hampir menyamai tinggi tubuh sang kakak.“Aku sudah hampir delapan belas tahun,” katanya dengan tenang namun tegas. “Aku sudah besar. Dan aku cukup mengerti dengan semua kepentingan kalian. Please, Kezio, support Mami…”Anita yang duduk di ujung meja langsung berdiri.
“Xello!” bentak Kezio dengan suara tinggi, membuat suasana di ruang keluarga sontak tegang. Nada suaranya bagaikan cambuk yang mencabik-cabik udara sore itu.Dia marah kepada adiknya yang begitu mudah menerima Ilona masuk ke dalam keluarga mereka. Dia tidak merasa memiliki ikatan dengan Ilona, seharusnya Xello juga merasakan hal yang sama, bukan malah menikmati tempat ini.Xello, yang tengah duduk santai sambil menikmati pemandangan halaman belakang dari balik kaca besar, hanya menoleh dan tersenyum ke arah sang kakak.“Come on, brother,” sahutnya dengan nada tenang yang kontras. “Untuk apa marah-marah? Mami terlihat lebih bahagia di sini. Dan juga... cepat atau lambat, semua akan saling meninggalkan. Buktinya kamu sendiri sudah keluar dari rumah dan tinggal di apartemen, bukan? So, di rumah juga hanya aku, Papi jarang ada di rumah.”Kalimat itu menghujam, bukan karena kasar, tapi karena menyentuh titik yang tak ingin Kezio akui. Ia terdiam, namun sorot matanya masih menusuk.Anita, y
Rumah itu terasa sedikit lebih sepi dari biasanya, meskipun anak-anak Egar dan Ilona sedang bermain di ruang keluarga. Ketegangan menggantung di udara seperti kabut tipis yang tak terlihat namun bisa dirasakan. Ilona berdiri di samping Egar, mencoba menenangkan kegugupan yang tak bisa ia sembunyikan.Egar berdiri sambil menggendong Gana yang sedang mengunyah biskuit dengan tenang, sementara Yumi duduk di karpet, menggambar bunga dengan pensil warna. Tapi fokus mereka semua kini tertuju pada dua sosok yang baru saja tiba di depan pintu: Kezio dan Xello.Mereka tinggi, tampan, dan membawa aura kota besar dalam gaya berpakaian mereka. Tapi yang paling mencolok adalah ekspresi wajah keduanya. Datar, dingin, dan nyaris tanpa emosi. Jojo, sopir pribadi Anita yang menjemput mereka dari bandara, hanya tersenyum canggung sebelum segera pamit dan meninggalkan mereka dalam keheningan yang mencekam.Anita mengambil langkah pertama. Ia tahu ini akan sulit. Tapi ini adalah pilihan yang sudah ia amb
Dapur rumah itu sederhana, namun hangat oleh aroma bumbu dan suara air yang mengalir. Ilona berdiri di depan wastafel, tangannya cekatan membersihkan cumi yang tadi dibawa Egar dari gudang. Di sampingnya, Anita duduk di kursi kecil, mengamati anak perempuannya dengan mata yang tak lelah mengagumi. Sejak kedatangannya ke rumah ini, Anita merasa hatinya mulai disembuhkan—perlahan tapi pasti.“Sejak kapan Egar bisnis hasil laut?” tanya Anita, suaranya ringan namun menyimpan keingintahuan yang dalam.“Sejak sekitar tiga tahun lalu, Ma,” jawab Ilona sambil tetap memfokuskan perhatian pada potongan cumi di tangannya. “Waktu kami pindah ke kota ini, Egar memutuskan untuk membuka usaha sendiri.”Anita mengangguk pelan. “Sebelumnya Egar bekerja di perusahaan ibunya, ya?”“Iya, Ma. Dulu dia menjabat sebagai salah satu pemimpin di perusahaan keluarganya. Tapi itu sebelum kami menikah.”Ada sedikit jeda, sebelum Anita mengajukan pertanyaan berikutnya. “Kalian berdua memang sudah kenal sejak kamu
Senja menyelimuti langit dengan semburat jingga yang menenangkan. Di ruang keluarga yang sederhana namun nyaman itu, Ilona duduk di sisi Anita dengan pikiran yang sedikit tidak tenang.Aroma melati dari teh memenuhi ruangan, namun tidak cukup kuat untuk mengalihkan perhatian Ilona dari berita yang baru saja disampaikan ibunya.“Ini adalah hal yang Mama tunggu. Tapi, sekaligus yang Mama takutkan,” ucap Anita lirih.Ilona mengernyit, memandang ibunya dengan penuh tanda tanya. Ada kekhawatiran yang tergurat jelas di wajah Anita, seperti seseorang yang ingin memberi kabar bahagia tapi takut akan badai yang bisa menyusul kemudian.“Adik-adikmu sudah datang. Hari ini… mereka sedang dalam perjalanan ke kota ini. Mereka datang lebih cepat dari yang Mama kira,” sambung Anita.Kalimat itu membuat hati Ilona bergetar. Ia memang telah tahu dirinya bukan anak tunggal dari Anita, ada dua orang lainnya yang lahir dari rahim yang sama. Hanya saja, mereka berbeda nasib. Kehidupan adik-adiknya berbandi
Hari itu, langit tampak kelabu. Awan menggantung berat seakan menyimpan beban yang tak kasat mata. Di ruang keluarga yang hangat dan tertata rapi, Ilona duduk bersandar di sofa. Cangkir teh di tangannya sudah mendingin sejak tadi, tak sempat ia hirup karena pikirannya terlalu sibuk menebak arah pembicaraan ibunya—Anita—yang baru saja datang membawa kabar yang belum sepenuhnya dijelaskan.Anita duduk di seberangnya. Perempuan paruh baya itu tampak lebih tenang hari ini. Meski garis wajahnya menunjukkan ketegasan, namun ada gurat kelelahan yang tak bisa disembunyikan.Ilona menarik napas dalam, lalu bertanya dengan suara pelan namun menembus tajam, “Apa yang mereka inginkan?”Anita menoleh, tersentak dari lamunannya. Ia tahu siapa yang dimaksud dengan "mereka" — keluarga besar Ilma, keluarga tempat ia berasal dan tempat yang selama ini Ilona bahkan tidak pernah tahu menjadi bagian dari dirinya.“Hanya ingin kenalan,” jawab Anita berusaha tenang, meskipun nada bicaranya terdengar menggan