Terlambat Menyadari PerasaanAndreas yang sudah tidak ada jam mengajar lagi, segera meninggalkan sekolah. Dia memacu motornya dengan kecepatan tinggi untuk menuju apartemen Joana. Guru matematika itu ingin memastikan sendiri bahwa Joana sudah berada di sana dan dalam keadaan yang baik-baik sajaBaru saja Andreas memarkirkan motor, terdengar ponselnya berdering. "Ibu," gumamnya, setelah mengambil ponsel dari kantong baju dan membuka layar benda pipih tersebut.[Halo, Bu.][Nak. Apa kamu masih mengajar? Jika kamu sudah pulang nanti, segeralah ke rumah ibu. Ada yang ingin ibu bicarakan denganmu.][Tentang apa, Bu?][Nanti saja di rumah. Ibu tunggu, ya.]Tanpa menunggu jawaban Andreas, Bu Martha menutup panggilan secara sepihak. Hal itu membuat Andreas bertanya-tanya."Ada apa, ya? Sebaiknya, aku ke rumah ibu sekarang. Masalah Joana, nanti lagi aku pikirkan. Lagipula, aku bingung harus beralasan apa jika mencari dan bertemu dengan
Joana baru saja hendak beristirahat di kamarnya yang berada di kediaman Pak Bernardus, ketika ponsel yang baru saja dia aktifkan berdering. "Melanie," gumamnya, setelah melihat layar ponsel yang berkedip."Siapa?" tanya Ricky, saudara sepupu Joana."Gebetan kamu, nih," balas Joana seraya menunjukkan layar ponselnya."Buru, terima!" Ricky, putra sulung Pak Bernardus yang ingin ikut mendengar suara Melanie, nampak tidak sabar."Iya-iya. Aku terima.""Kerasin suarany!" pinta Ricky lagi."Iya! Bawel, ah! Kalau kangen sama suara Melanie, kamu 'kan, bisa telepon sendiri, Rick!""Dia mana mau ngangkat, Jo?""Udah, ah. Diem!" Joana menutup mulut sang adik sepupu dengan salah satu telapak tangannya.[Iya, Mel. Ada apa?][Jo! Kamu ke mana aja, sih? Apa masih di rumah ibunya Pak Andre?]Ya. Sebelum mematikan ponselnya, Joana sempat mengabarkan pada sang sahabat, kalau dia akan berkunjung ke kediaman Bu Martha. Lalu, s
Kedatangan Joana disambut Melanie dengan wajah cemberut, pasalnya sang sahabat sedari siang mematikan ponsel hingga membuat Melanie Kelabakan. Dia juga nampak sangat mengkhawatirkan Joana. Namun, kehadiran Ricky di belakang Joana, mencairkan suasana hati Melanie yang menyimpan kekesalan.Ricky lalu mengajak Melanie untuk ke lantai atas dan memberikan kesempatan pada Joana, bicara berdua dengan Andreas. Keheningan tercipta di ruang keluarga unit milik Joana, sepeninggal sepupu dan sahabatnya itu. Andreas masih belum mau membuka suara dan raut wajahnya terlihat sangat kesal."Maaf. Ada apa, ya, Pak Andre mencari saya?" tanya Joana, mengurai keheningan."Kenapa kamu datang ke rumah ibu, tanpa memberitahu aku terlebih dahulu? Apa kamu sengaja, ingin mencari simpati dari ibu? Kamu pasti sengaja 'kan, agar ibu menyalahkan aku dengan kepergianmu?" balas Andreas dengan cercaan pertanyaan.Joana menghela napas panjang. Sejenak wanita belia
"Kenapa wajah kamu ditekuk gitu, Jo?" tanya Melanie ketika mereka berdua tengah bersiap hendak pergi ke sekolah di hari berikutnya."Aku sebenarnya malas berangkat ke sekolah, Mel," balas Joana yang kemudian mendudukkan diri di tepi pembaringan."Apa, aku pindah aja ya, Mel?" lanjutnya bertanya."Kita udah kelas tiga, Jo, dan bentar lagi ujian tengah semester. Udah, deh, enggak usah mikir yang aneh-aneh! Fokus dengan sekolah!" Melanie yang kini ikut duduk di samping Joana, mengingatkan.Joana menghela napas panjang."Kamu cemburu ya, melihat Pak Andre dekat sama Bu Jannet kemarin?" tebak Melanie, kemudian.Joana tersenyum kecut. "Entahlah, Mel. Aku sudah berusaha untuk melupakan dia. Aku juga sudah berusaha untuk membenci Pak Andre dengan mengingat semua sikap ketusnya padaku selama ini, tapi aku ...." Joana menggeleng-gelengkan kepala sendiri."Jangan dipaksakan. Pelan-pelan saja, Jo. Sibukkan diri dengan kegiatan dan perbanyak interaksi dengan orang lain agar pikiranmu tidak selalu
Disibukkan dengan mengikuti pelajaran olahraga, Joana sejenak melupakan kesedihan hatinya. Dia melupakan sikap mesra Andreas pada wanita lain yang sempat membuatnya cemburu berat, meski dia sudah berusaha untuk tidak lagi peduli dengan sang guru matematika. Joana pun melupakan perkataan sang sahabat, yang entah apa maksudnya.Kini, giliran kelompok Joana yang harus melakukan lari estafet. Siswi yang terlihat paling menonjol di antara siswi lain tersebut telah bersiap di pinggir lapangan bersama tiga orang temannya, termasuk Melanie. Dalam hitungan ke tiga, mereka serempak berlari sambil membawa tongkat.Ketika tengah berlari, tiba-tiba Joana terjatuh. Rupanya, kaki Joana terkilir karena salah menapak saat berlari di lintasan yang berbatu. Joana menjerit kecil hingga mengundang perhatian yang lain.Sigap, Jordy, sang guru olahraga langsung mendekat. "Mana yang sakit, Jo?" tanya Jordy yang nampak sangat khawatir."Kaki saya sepertinya terkilir, Pak," balas Joana sambil meringis. "Kita
Sebatas TemanHari terus berganti, minggu pun berlalu. Tak terasa sudah satu bulan lebih Joana meninggalkan unit apartemen Andreas. Selama itu pula, hubungan mereka berdua masih belum jelas akan seperti apa ke depannya.Joana yang menunggu keputusan tegas Andreas, tidak kunjung mendapatkan kepastian. Justru yang dia dapatkan adalah sikap Andreas yang terlihat semakin mesra dengan Jannet dan hal itu membuat hati Joana semakin sakit."Kamu masih cemburu sama dia, Jo?" tegur Melanie bertanya, ketika melihat tatapan sang sahabat tertuju ke arah Andreas dan Jannet yang sedang berjalan berdampingan sambil bercanda ria.Joana hanya menghela napas panjang, memberikan jawaban. "Ini bukan cemburu kurasa karena aku sama sekali tidak memiliki perasaan apa-apa lagi sama dia. Tapi ini masalah harga diri, Mel. Dia masih berstatus sebagai suamiku, harusnya dia menjaga untuk tidak bermesraan dengan wanita lain, apalagi di hadapanku."Melanie mengangguk, membenarkan
Atas saran Melanie, Joana akhirnya tetap bertahan melanjutkan sekolah, tapi hanya sampai ujian tengah semester. Setelah itu, dia akan kembali ke rumah orang tuanya agar bisa benar-benar hidup dengan tenang dan nyaman tanpa bayang-bayang Andreas. Melanie hanya bisa mengiyakan karena percuma juga melarang, Joana akan tetap keukeuh dengan pendirian."Lama banget sumpah, Mel, nunggu semesteran tiba!" keluh Joana pada suatu malam ketika mereka berdua baru saja mengerjakan tugas sekolah."Lusa, Jo. Lusa!" balas Melanie penuh penekanan."Tapi aku sudah enggak tahan, Mel! Semakin ke sini, sikap dia, tuh, kayak ....""Semakin ke sana, gitu maksud kamu, Jo," sahut Melanie seraya terkekeh.Joana melemparkan ballpoint miliknya ke arah sang sahabat. "Orang lagi benar-benar kesal malah diledekin!""Terus maunya, aku sayang-sayang, gitu?""Ish, ogah! Meski patah hati dan hampir jadi janda, aku masih waras kali, Mel! Masak iya, disayang-sayang sama k
Kini, Joana sudah duduk di sofa ruang tamu apartemennya, di antara Sabeum Alan dan kedua orang tuanya. Melanie dengan setia menemani karena tidak mau sesuatu yang tidak diinginkan terjadi pada sahabatnya. Joana nampak canggung. Berbeda dengan pelatih bela diri yang memiliki tatapan tajam tersebut, Sabeum Alan terlihat begitu tenang. "Jo. Beliau ini papa dan mamaku." Suara berat Sabeum Alan, memecah kesunyian yang sejenak tercipta di sana. Joana mengangguk lalu tersenyum pada dua orang paruh baya yang tadi sudah dia salami. Papanya Alan bersikap biasa saja. Sementara sang mama nampak tersenyum bahagia pada Joana. "Seperti apa yang aku katakan kemarin, Jo. Aku pasti datang ke tempatmu untuk melamar kamu," lanjut pelatih beladiri tersebut, penuh percaya diri. "Tapi, Sabeum. Di antara kita ...." "Aku datang untuk menunjukkan keseriusanku padamu, Jo! Apa itu belum cukup bagimu?" sergah pria muda di hadapan Joana dengan tatapan mengintimidasi. Pria paruh baya berkacamata yang datang b
Wanita bertubuh kurus yang ada di dalam mobil taksi itu terus mengamati rumah Andreas. Dia nampak menimbang-nimbang. Entah apa yang dipikirkan."Maaf, Bu. Sampai kapan kita akan tetap di sini?" tanya sopir taksi tersebut, mengurai lamunan penumpangnya."Iya, tunggu sebentar, ya, Pak."Setelah berkata demikian pada sopir taksi, wanita tinggi semampai itu segera turun lalu berjalan perlahan memasuki gerbang kediaman Andreas yang memang tidak ditutup karena ada beberapa saudara Joana yang belum datang. Tanpa ragu, dia terus melangkah perlahan lalu menaiki teras rumah yang cukup tinggi dengan sangat hati-hati. Seolah, dia takut jika kaki jenjangnya akan tersandung, dan bisa menyebabkan tubuh ringkih itu terjatuh."Permisi." Terdengar sopan, wanita itu menyapa penghuni rumah.Tak perlu menunggu lama, sosok Andreas segera muncul lalu menghampiri tamunya. Andreas mengerutkan dahi kala m
Andreas kini dapat bernapas dengan lega, setelah sang istri tersadar. Tak henti, pria tampan itu mengecupi wajah istrinya yang sudah berangsur cerah dan tak sepucat tadi. Joana bahkan sudah bisa dipindahkan ke ruang perawatan, setelah dipastikan bahwa kondisinya sudah membaik.Di ruang perawatan pun, Andreas tak mau jauh-jauh dari sang istri tercinta. Dia bahkan tadi hanya menggendong anak-anaknya sebentar karena setelah itu, kedua bayi mungil itu sudah menjadi rebutan. Saat ini, bayi laki-laki berada di pangkuan Mama Anggie, sementara bayi perempuan berada di pangkuan Bibi Liana.Ya, Bibi Liana sebenarnya menginginkan cucu perempuan karena dia hanya memiliki anak laki-laki. Namun sayang, anak yang dilahirkan sang menantu, Melanie, malah laki-laki. Meski begitu, istri Pak Bernardus itu tetap menyayangi sang cucu."Kakak Ipar. Ryan belum kebagian gendong keponakan, nih. Bikin lagi, ya. Satu aja," pinta Ryan yang tiba-tiba
Andreas yang ikut menemani sang istri di dalam ruang persalinan, sebenarnya sangat tegang. Namun, pria itu mencoba untuk menutupi ketegangannya dengan menciumi puncak kepala Joana. Andreas terus memberikan semangat kepada istrinya."Kamu pasti bisa, Yang. Kamu wanita yang hebat. Aku mencintaimu, Yang," bisik Andreas, terus menerus. Memberikan kebahagiaan semangat, sekaligus mengungkapkan perasaannya yang terdalam.Di tengah rasa sakit yang mendera, Joana mencoba untuk tersenyum. Meski wanita cantik itu tak dapat berkata-kata, tetapi melalui tatapan matanya, Joana mengungkapkan rasa syukur karena memiliki suami seperti Andreas. Dia eratkan genggaman tangan, kala kontraksi kembali datang.Ya, Joana memilih proses persalinan normal untuk melahirkan kedua bayinya. Dokter yang menangani Joana jauh-jauh hari pun setuju karena baik kondisi ibu maupun kedua janin, sama-sama sehat. Meski awalnya Andreas menyarankan untuk operasi cesar saja karena pria itu tak sanggup melihat sang istri kesakit
Joana benar-benar ikut pulang dengan kedua orang tua, beserta kakaknya, Sandy. Segala bujuk rayu Andreas, tak dia hiraukan karena wanita hamil itu ingin selalu berdekatan dengan sang mama. Bahkan sepanjang perjalanan menuju bandara, Joana terus bergelayut manja dengan mamanya dan mengabaikan sang suami yang ikut mengantar.Andreas sengaja ikut mengantar ke bandara karena berharap, sang istri akan berubah pikiran. Suami Joana itu masih berharap, sang istri mengurungkan niatnya. Sebab, Andreas tidak dapat membayangkan bagaimana hari-harinya nanti tanpa sang istri."Abang kalau kangen 'kan, bisa nyusul Jo ke sana," jawab Joana dengan santai ketika sang suami masih berusaha membujuknya."Yaelah, Jo. Kamu pikir, Jakarta Bandung. Bisa nyusul sewaktu-waktu." Ricky yang juga ikut mengantar ke bandara, menyahut."Demi cinta, pasti jarak bukan halangan. Benar begitu 'kan, Bang?" Joana m
Semua orang dibuat panik karena Joana yang tadinya baik-baik saja, tiba-tiba ambruk, dan tak sadarkan diri. Andreas langsung membopong tubuh ramping istrinya dan membawanya berlari menuju mobil. Sandi yang baru saja datang, berteriak menyuruh sang adik ipar agar membawa Joana ke mobilnya.Sandi memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sang mama yang duduk di samping kemudi, sampai harus mengingatkan sang putra sulung agar berhati-hati. Sementara di bangku belakang, Andreas yang memangku kepala sang istri, nampak sangat khawatir."Bangun, dong, Sayang. Kamu kenapa, sih?" Andreas menepuk lembut pipi Joana yang matanya terus terpejam.Sementara di belakang mobil Sandy, nampak tiga mobil lain mengiringi. Mobil yang dikendarai papanya Joana, berada tepat di belakang mobil Sandy. Diikuti mobil Ricky dan terakhir mobil Ryan.Tak berapa lama, iring-iringan mobil itu memasuki kawasan rumah sakit. Setelah berh
Belum juga ada tanda-tanda kehamilan meski sudah lebih dari satu bulan Joana dan Andreas pulang dari berbulan madu ke negara matahari terbit kala itu, membuat Joana kembali murung. Wanita cantik itu bahkan tak bersemangat, menyambut wisudanya minggu depan. Joana akhir-akhir ini juga sering mengurung diri di dalam kamar.Tentu saja sikap istrinya tersebut membuat Andreas khawatir. Pria muda itu dibuat bingung sendiri dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Padahal, dia sudah seringkali mengatakan pada sang istri bahwa tidak kunjung hamilnya Joana, tak masalah bagi Andreas."Sudah, dong, Yang. Jangan begini terus!" Andreas mencoba membujuk sang istri. "Kita makan malam di luar, yuk. Sekalian nonton film," lanjutnya menawarkan karena ingin membuat mood sang istri kembali membaik.Joana menggeleng. "Jo lagi enggak pengin ke mana-mana, Bang."Andreas menghela napas panjang. "Yang. Jangan terlalu dipikirkan
Joana benar-benar merasa kesepian kini karena sang sahabat sudah memiliki kehidupan baru sekarang. Melanie juga mulai disibukkan dengan mengikuti kursus parenting, di sela-sela dia bekerja, dan rencananya Melanie juga akan mengikuti kelas senam untuk ibu hamil karena kehamilannya sudah mulai membesar. Praktis, Melanie tak lagi memiliki waktu untuk Joana.Hanya Bu Rifah yang masih setia berkunjung, meski Joana tak lagi memperbantukan istri Om Jun itu di unitnya. Joana memberhentikan Bu Rifah sebagai asisten rumah tangga, sejak mengetahui kehamilan ibunya Dino dan Dini. Joana tak ingin sesuatu terjadi pada kandungan istrinya Om Jun, seperti yang terjadi pada Joana kala itu."Kapan, ya, Bu, Jo bisa hamil lagi?"Wajah Joana terlihat murung, padahal di depannya ada Dina, yang biasanya membuat Joana antusias untuk menggoda gadis kecil yang montok itu. Dina sekarang sudah pandai berjalan dan tingkahnya sungguh menggemaska
Joana dan Andreas tak percaya ketika melihat Ryan menggandeng mesra tangan Dini, menghampiri mereka. Begitu pula dengan Ricky yang sedang menanti sang istri, yang tengah dirias oleh MUA. Mereka semua sampai melongo, menatap ke arah Ryan yang tersenyum lebar, sementara Dini tersipu malu."Bang, Kakak Ipar. Ini kekasihku, calon istriku. Ryan akan menikahinya, begitu dia lulus nanti," kata Ryan, sambil menggenggam erat tangan kekasih belianya. Ryan dapat merasakan tangan Dini yang gemetaran, juga berkeringat."Santai aja, Dek. Mereka pasti setuju, kok. Percayalah pada Abang," bisik Ryan, meyakinkan dan Dini mengangguk.Sebenarnya, Dini tidak mengkhawatirkan hal tersebut. Dia tahu betul, seperti apa Joana, juga Andreas. Mereka tidak akan mempermasalahkan status sosial seseorang yang dekat dengan salah satu anggota keluarganya. Terbukti, Joana sendiri menikah dengan Andreas. Hari ini, Ricky juga menikahi Melanie y
Ricky dan Melanie memberanikan diri untuk berterus terang kepada orang tua mereka berdua. Tentu saja para orang tua itu murka, meski mereka juga sudah mengetahui sejauh apa hubungan anak-anaknya itu. Pihak orang tua pun akhirnya menyetujui pernikahan Ricky dan Melanie dan mereka juga mempersiapkannya dengan sangat cepat karena tak ingin orang-orang di luar sana tahu kecelakaan yang telah terjadi.Semua orang dibuat sibuk, termasuk Joana, dan Andreas. Joana sempat terkejut mendengar kabar kehamilan sang sahabat. Dia menjadi sedih karena justru Melanie yang notabene belum menginginkan hadirnya anak, justru diberikan amanah untuk mengandung benih Ricky. Sementara dirinya yang sudah sangat siap dan menginginkan agar bisa segera hamil, malah tak kunjung diberikan kepercayaan pasca keguguran tiga tahun silam.Joana pun membantu persiapan pernikahan sang sepupu dan sahabatnya itu dengan raut wajah yang dipenuhi mendung kelabu. Dia terus