"Kok bisa sakit gini, sih, Kak?" Azriya dengan telaten mengganti cairan infus, ia juga sesekali menyeka keringat yang seakan tidak mau berhenti menetes di kening Andreas. "Mana nggak mau dirawat di rumah sakit lagi. Kenapa, sih?" gerutunya lagi.Azriya bukannya terpaksa merawat Andreas, tetapi ia kesal dengan Kakaknya yang tidak mau di rawat. Sedari dulu Andreas paling anti dirawat di rumah sakit. Mau separah apapun sakitnya, ia tetap memilih rawat jalan. Entahlah, mungkin karena bekerja di rumah sakit, menyebabkan Andreas jadi bosan kalau sakit harus tidur di rumah sakit juga."Jangan gitu, kasihan Kak Andreas," sahut Gavriel.Azriya memalingkan wajah dengan tatapan kesal. "Aku itu khawatir, Gav. Kakak memang selalu begini, kalau sakit itu seharusnya di rawat biar cepat sembuh, bukannya kayak gini!""Ini hanya demam biasa, Riya," timpal Andreas dengan kekehan kecil.Azriya merendahkan tubuhnya. "Aku khawatir sama Kakak. Makanya aku selalu cerewet.""Yeah. Nggak papa." Pria itu menge
Malam ini Gavriel tengah berada di ruang kerjanya bersama Zhask, beberapa saat lalu pria itu merana lantaran Azriya tidak mau tidur dengannya dan lebih memilih bersama anak-anak. Beruntung Zhask datang membawakan dokumen untuk dibahas, jadi Gavriel bisa melupakan sedikit kekesalannya."Perusahaan ini sudah lama menjadi rival kita, dan dia mau membeli saham? Kau tidak merasa aneh, Zhask?""Sebenarnya saya juga curiga, Tuan. Makanya saya belum memberi kejelasan tentang penawaran beliau.""Bagaimana kalau ditolak saja. Aku kemarin sudah mengecek penawarannya, sebenarnya menggiurkan karena dia mematok harga tinggi. Tapi aku malas kalau sahamku jatuh ke tangannya, meskipun itu hanya sepuluh persen.""Kalau Anda sebagai pemimpin tertinggi tidak setuju, saya akan kembalikan berkas penawaran itu berserta alasan penolakannya, Tuan."Gavriel mengangguk, ia mengambil map berwarna biru tua dan menyerahkannya kepada Zhask. Pria berusia 26 tahun itu menerimanya, baru kemudian ia pamit pulang.Gavri
Azriya yang merasa bosan karena tidak ada kegiatan apa-apa, akhirnya memutuskan keluar guna mengunjungi salah satu pusat perbelanjaan. Beberapa saat lalu ia sudah membuat janji dengan Elena, niat awalnya memesan salad buah malah ia manfaatkan untuk mengajak Elena jalan-jalan, beruntung Elena tidak ada jadwal di rumah sakit hari ini.Pusat perbelanjaan tidak terlalu ramai, sehingga Azriya dan Elena bisa leluasa jalan-jalan. Dua wanita cantik itu pergi tanpa pengawalan bodyguard, tetapi tidak membuat keduanya mengkhawatirkan apa-apa."Ayo kita makan dulu, Riya.""Iya, El. Tapi aku pengen makan nasi goreng sama sup buntut, dicampur gitu kayaknya enak."Elena sontak saja membelalakkan mata. Ia sudah mendengar banyak tentang keanehan Azriya dari Andreas, tetapi tetap saja kaget saat berhadapan langsung."Memangnya enak?" tanyanya Elena, ragu."Makanya kita coba dulu, El. Kamu juga harus mencobanya."Elena semakin terhenyak. "Aku makan yang normal-normal saja, Riy. Cukup nasi goreng saja ti
Seperti yang telah direncakan sebelumnya, hari ini Elena mengunjungi Mansion Erlando dengan membawa banyak salad buah. Wanita itu sudah menyiapkan banyak mental untuk menghadapi sikap aneh Azriya."Wah .. kamu akhirnya datang juga, El. Aku sudah nungguin kamu dari tadi."Elena mengangguk dan ia lantas melangkah masuk. "Suami dan anak-anak kamu di mana? Kok sepi?""Kalau Gavriel ada keperluan mendadak tadi sama asistennya, aku nggak tahu apa. Kalau anak-anak lagi berenang di belakang. Kamu mau di sini saja atau di belakang?" "Di belakang boleh, deh. Seru kayaknya kalau lihat anak-anak main," sahut Elena yang langsung diangguki oleh Azriya.Kedua wanita itu berjalan menuju kolam renang yang terletak di halaman belakang, suara riuh canda tawa anak-anak langsung terdengar bersahut-sahutan. Elena mengulas senyum saat netranya beradu pandang dengan Aurell, begitu pula dengan gadis kecil itu yang langsung memanggil namanya. "Kakak El!" pekik Aurell.Elena melambaikan tangan seraya tersenyu
"Baby?" Gavriel berjalan memasuki mansion dengan langkah tergesa. Ia sudah mendengar kalau Elena kecelakaan, apalagi wanita itu baru saja pulang dari kediamannya. "Kenapa sepi sekali?" gumamnya.Gavriel berjalan menuju kamar Austin dan menemukan ketiga anaknya di sana, tetepi tidak dengan istrinya. Kemudian pria itu memilih menemui kepala maid, barulah Gavriel tahu kalau Azriya sudah lebih dulu ke rumah sakit bersama bodyguard."Zhask, ayo kita sekarang ke Green Hospital. Azriya sudah lebih dulu ke sana diantar bodyguard.""Baik, Tuan."Gavriel duduk di kursi depan, ia sedikit lega karena istrinya sudah ke sana. Namun pria itu juga khawatir kalau Azriya stres karena memikirkan keadaan Elena, oleh karena itu ia juga ingin segera sampai di rumah sakit.Setelah menempuh perjalanan tidak terlalu lama, mobil tersebut sudah berhenti di parkiran rumah sakit, Gavriel langsung berlari memasuki lift guna menuju lantai di mana Elena di rawat.Namun, saat sampai di sana semuanya kosong. Tidak ada
"Sudah lama aku menantikan ini, Riy. Aku tidak bisa tenang hidup tanpa kamu." Pria itu menunduk, mendekatkan wajahnya kepada wajah Azriya. "Asal kamu tahu, setelah kita putus waktu itu, tidak terhitung berapa kali aku melakukan percobaan bunuh diri, Riy. Aku yang kau lihat saat kita bertemu di penthouse Andreas, dan saat kau ke Australia, itu hanyalah topeng sebagai penutup sifat asliku! Dan inilah aku yang sesungguhnya, Riy! Aku yang selalu terobsesi padamu!" jelasnya dengan menekan di setiap intonasi kata. Xavier menjauhkan wajah, netranya menatap lurus ke manik bening wanita yang dicintainya itu. Tampak jelas kalau Azriya masih sangat terkejut, tetapi hal itu malah membuat Xavier menarik sudut bibirnya."Kamu terkejut, Honey?" Xavier memasukkan tangannya ke dalam saku celana. Sejurus kemudian pria itu melepas gelak tawanya, ia terbahak-bahak layaknya orang yang tengah kesenangan. "Aku memang ingin membuatmu terkejut, Honey!" sentaknya yang sontak membuat Azriya terlonjak kaget.Azr
Steve bangkit dari duduknya, pria itu mengambil tas yang berisi beberapa map. Kemudian ia mengeluarkan sebuah map hitam dari sana, senyumnya langsung mengembang saat jemarinya mulai membuka map tersebut."Aku akan memberimu sebagian, Xav. Aku tidak mungkin menikmati ini sendiri.""Tidak perlu, aku sudah puas saat mendapatkan Azriya. Anggap saja itu sebagai bayaranmu.""Tapi aku tetep ingin memberikannya, setidaknya tiga puluh persen."Xavier menggelengkan kepala. "Sudah aku bilang tidak usah, lagi pula harta yang diwariskan Ayah sudah banyak. Aku pun malas harus menerima harta bekas Gavriel.""Xav—""Sudahlah, Steve. Kau ambil saja semuanya, aku tidak berminat mengambil sepeserpun harta pria keparat itu."Steve mengangguk. "Baiklah kalau begitu. Sekarang aku akan memeriksa berkasnya, aku penasaran apa saja yang ada di sini.""Periksalah."Steve tidak menyahut, ia mulai fokus memeriksa lembaran kertas tersebut. Jarum jam terus berputar, mengganti detik dengan menit, hingga kening pria
Mobil yang ditunggangi Xavier sudah berhenti di Bandara, tetepi pria itu mengurungkan niatnya untuk turun lantaran melihat banyak sekali orang berpakaian serba hitam berjaga di sana. Pria itu menoleh kepada Azriya yang masih tertidur karena pengaruh obat yang tadi ia berikan."Apa jangan-jangan mereka anak buahnya Gavriel? Ah, aku nggak mau membuat resiko dengan membawa Azriya keluar sekarang," gumamnya.Pria itu meraih ponsel dan lantas mencari nomor Steve, kemudian ia langsung meminta panggilan telepon dengan sahabatnya itu."Halo, Xav. Kau sudah sampai Bandara?" tanya Steve di seberang telepon."Sudah. Tapi di sini banyak sekali orang berpakaian serba hitam, Steve. Aku khawatir kalau mereka anak buahnya Gavriel.""Orang berpakaian hitam?""Yeah. Mereka bergerombol dan terlihat sedang mengawasi sekitar.""Lalu Azriya bagaimana?" Xavier lantas menoleh melihat kepada Azriya. "Dia masih tidur. Tadi di jalan aku kasih minuman yang dicampur obat tidur, niatnya biar dia nggak banyak tany
Azriya membawa tubuh Aurell masuk ke dalam pelukannya, wanita cantik itu mengusap lembut rambut hitam putri kecilnya. Pedih.Yeah! Aurell hanya gadis kecil yang sudah kehilangan orang tuanya dan sekarang harus kehilangan sang Grandma, ditambah ia baru tahu fakta ini."Kenapa Grandma menyiapkan ini semua untukku, Mom? Aku tidak mau. Apa itu semua bisa ditukar agar Grandma bisa kembali lagi?" tanyanya di sela-sela isak tangis."Grandma menyerahkan itu kepada kamu, karena Grandma percaya kamu bisa menjaganya, Nak. Jangan berpikir seperti itu, ya. Nanti Grandma sedih. Aurell tidak mau 'kan Grandma sedih di sana?" Gadis cantik itu menggelengkan kepala, meskipun hatinya masih perih dengan kejadian ini, tetapi ia harus kuat demi Grandma nya. Azriya menyugar pelukan, menghapus titik air mata yang masih mengalir deras dari pelupuk netra Aurell. Sementara Gavriel sudah memalingkan pandangan, tidak kuasa melihat pemandangan haru ini."Sekarang kamu buka kotak ini. Setelah ini kotak dan isinya
"Tuan, Nyonya," sapa Ghina seraya membungkukkan badan.Wanita paruh baya dengan setelah serba hitam itu mengulas senyum tipis, di tangannya memegangi goodie bag berwarna hitam yang entah berisi apa."Kamu ... datang sendirian?" tanya Azriya."Iya, Nyonya. Tadi saya naik taksi ke sini," sahut Ghina dengan kepala yang masih menunduk."Ayo masuk saja." Ajak Gavriel yang melangkah lebih dulu ke dalam Mansion.Pria itu mendudukkan dirinya di atas sofa diikuti oleh Azriya, sementara ketiga anak itu langsung menuju kamar masing-masing tanpa harus diperintah lagi."Silakan duduk Ghina, tidak usah sungkan. Kamu di sini adalah tamu," ucap Azriya yang lantas diangguki oleh Ghina.Wanita itu duduk dengan kikuk, goodie bag ia letakkan di atas sofa kemudian kedua tangannya ditumpuk di atas paha."Kedatangan saya malam ini karena mendengar kabar Nyonya Lauren meninggal, saya mengucapkan berduka cita yang sedalam-dalamnya." Ghina menjeda ucapannya barang sesaat. "Saya juga ingin mengembalikan barang
"Baby, kamu masih lama?" suara bariton itu sontak membuat Azriya tersentak."Gav, aku menemukan ini," ucapnya tanpa menjawab pertanyaan Gavriel barusan."Apa itu?" Pria itu melangkah masuk ke dalam kamar, meraih sebuah buku kecil yang ditunjukkan istrinya."Apa ini, Baby?" Gavriel kembali melontarkan pertanyaan."Aku tidak tahu, sepertinya itu buku diary Mom. Yeah, meskipun awalnya aku tidak percaya Mom masih menulis di diary, tetapi setelah aku membaca lembar pertama, aku yakin kalau buku itu memang buku diary," jelas Azriya yang membuat Gavriel mengernyit bingung.Selama hidup ia tidak pernah tahu kalau Mommy-nya menyimpan buku ini, ia semakin terkejut saat melihat sekilas isi lembar buku itu yang kebanyakan berisi isi hati Mommy-nya untuk mendiang sang Kakak — Silvana."Aku menemukannya di tumpukan kain batik, Gav," ucap Azriya yang langsung diangguki oleh Gavriel."Baiklah, kita akan melihat nanti saja. Sekarang kita ke depan, pemuka agama sudah menunggu kainnya." Gavriel memasukka
Gavriel luruh ke lantai saat Azriya melipat kembali surat tersebut. Dadanya sakit, seperti ada tangan tak kasat mata yang meremas jantungnya.Gavriel adalah seorang pria, ia sudah membunuh banyak musuh dengan tangannya. Menghadapi segala rintangan dan tantangan dalam hidup. Pahit manis kehidupan dan tipu daya musuh sudah pernah ia rasakan.Namun, kenapa sekarang ia menangis? Kenapa menjadi lemah?Oh, sungguh! Mau sejahat apapun Mommy-nya, Gavriel tetap tidak sanggup kalau harus kehilangan. Lauren adalah seluruh cintanya, baginya posisi wanita paruh baya itu setara dengan posisi Azriya di hatinya."Sayang?" Azriya mengambil posisi jongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan sang suami. "Jangan seperti ini, Mom pasti sedih melihat kamu begini," ucapnya lagi."Memangnya apa yang lebih sedih dari ini? Mom sudah mendapatkan ingatannya tiga bulan lalu, tapi Mom berlagak tidak ingat dan tidak mau bicara denganku. Hanya momen saat di taman tadi yang menjadi kebersamaan manis kita, Baby. Bagaimana
Gavriel ingin tidak percaya, tetapi Dokter sendiri yang mengatakannya. Pria itu akhirnya menuju rumah sakit dengan memacu mobilnya secepat mungkin, hingga tidak seberapa lama kemudian mobil mewah itu sudah berhenti di parkiran gedung rumah sakit.Ia turun dan lantas berlari memasuki rumah sakit dengan Azriya yang mengekor dari belakang, langkahnya menuju ke kamar rawat Lauren. Sampai di sana ia melihat kamar itu sudah penuh dikerubungi tim medis."Dokter!" pekiknya yang sontak membuat semua orang menoleh. "Kenapa bisa seperti ini? Saya tadi meninggalkan Mom, Mom masih baik-baik saja. Bahkan hari ini Mom mau keluar ke taman, bukankah itu suatu perkembangan bagus? Lalu kenapa sekarang bisa seperti ini?" tanyanya lagi."Pak, tolong dengarkan saya dulu." Dokter paruh baya itu menarik napas dalam, kemudian ia mulai berkata," saat suster mengantarkan makan siang untuk pasien, suster mendapati kalau pasien sedang tidur, Pak. Suster berusaha membangunkan, tetapi pasien sama sekali tidak meres
Hari-hari berlalu, setiap ada kesempatan selalu digunakkan Gavriel untuk mengunjungi Lauren. Pria itu mengajak sang Mommy berbincang, ia juga menceritakan banyak hal. Meskipun tidak ada jawaban dari wanita paruh baya itu, tetapi Gavriel tidak menyerah.Sampai akhirnya hari ini Lauren meminta ditemani berjemur di taman. Gavriel sangat bahagia, ia dengan semangat membantu Mommy-nya untuk turun dari ranjang dan naik kursi roda.Yeah! Terlalu banyak mendapatkan suntikan berefek pada kondisi Lauren yang semakin lemas, bahkan terkadang kakinya mati rasa. "Matahari pagi ini bagus banget, Mom. Udaranya juga segar," ucap Gavriel. "Mommy suka?" Pria itu kembali melontarkan pertanyaan.Lauren hanya mengangguk, bibirnya mengulas senyum memandang langit biru. Meskipun ia hanya menyebut nama Silvana dan Kartika, tetapi Lauren sama sekali tidak membenci Gavriel. Wanita paruh baya itu juga menurut saat beberapa kali Azriya menyuapinya.Ah, entahlah. Lauren tidak membenci, atau ingatannya belum puli
Gavriel memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi, membelah jalan raya dengan perasaan was-was dan pandangan mata ke mana-mana seakan bingung."Tenang, Sayang. Semua akan baik-baik saja," ucap Azriya seraya mengelus lembut lengan suaminya.Pria itu hanya mengangguk, ia tidak menyahut karena terlalu fokus dengan kemudinya. Sementara Austin yang duduk di kursi belakang hanya bisa diam karena takut salah bicara dan membuat Daddy-nya semakin pusing.Setelah menempuh perjalanan tidak terlalu lama, mobil mewah itu sudah berhenti di parkiran rumah sakit. Gavriel turun dan berlari masuk untuk menemui Dokter, sementara Azriya menggandeng tangan Austin dan berjalan cepat menyusul Gavriel.Azriya mendapati suaminya tengah berbincang serius dengan Dokter, tubuh atletis itu tiba-tiba lemas dan terduduk luruh ke kursi. Azriya segera menghampiri, khawatir dengan wajah suaminya yang sudah memucat."Ada apa, Dok?" tanya Azriya."Ibu Lauren mengingat kenangan masa lalunya, Bu. Setiap hari beliau melihat a
Keesokan harinya.Aurell dan Austin sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter, hari ini Adolf juga tinggal di Mansion Erlando selama satu hari, tentunya bersama si cantik Vessia."Di sini menyenangkan, ya. Banyak makanan," celetuk Vessia yang langsung mendapat senggolan dari Clara."Kenapa, Mah?" Vessia menoleh menatap Mamanya, sejurus kemudian gadis kecil itu menunduk saat melihat Mamamya mendelikkan mata.Azriya yang melihat interaksi ibu dan anak itu hanya mampu mengulas senyum. "Tidak apa-apa, Cla. Namanya juga anak kecil, toh kami menyiapkan ini juga untuk anak-anak," ujar wanita itu."Aku malu, Riy. Anakku seperti tidak pernah makan saja, padahal dia juga setiap hari makan jajan saat di rumah," sahut Clara dengan berbisik, supaya Vessia tidak mendengar dan tidak malu.Azriya terkikik geli. "Sudah, biarkan saja. Lebih baik kita ngopi-ngopi cantik, yuk, di halaman belakang."Clara mengangguk antusias, tetapi sebelum beranjak ia menyempatkan diri mengecup lembut pipi gembul putrinya.
Hari-hari berganti minggu, tanpa terasa sudah menginjak bulan dan ini tepat enam bulan pasca kecelakaan nahas itu. Dokter mengatakan hari ini Aurell dan Austin akan menjalani operasi pelepasan pen, tentu saja kabar itu membawa kebahagiaan untuk semua orang.Saat ini semua orang sedang duduk di kursi tunggu yang terletak di depan ruang operasi, ada keluarga Erlando dan keluarga Mahendra di sana. Tiga puluh menit kemudian...Pintu ruang operasi terbuka, Dokter keluar bersama perawat dengan mendorong dua brankar yang masing-masing berisi Aurell dan Austin, mereka dibawa ke ruang pemulihan dan seluruh keluarga turut mengikuti ke sana.•"Bagaimana keadaan anak-anak saya, Dok? Semuanya normal 'kan?" tanya Gavriel, saat ini dirinya sedang berada di dalam ruang Dokter setelah beberapa saat lalu Dokter memanggilnya."Syukurlah operasinya berjalan lancar, juga membawa hasil baik, Pak. Setelah ini Aurell dan Austin cukup menjalani latihan di rumah, dan datang ke rumah sakit untuk kontrol dua b