#8 Marah pada Baila

Edgar menjawab dengan deheman. Di sisi lain Zura tahu, tidak mungkin seorang Edgar takut pada Baila. Ia pun mematikan ponsel Edgar. 

Setelah masakan jadi, mereka makan malam bersama, Edgar begitu perhatian pada Zura, menyendokkan nasi ke piringnya, mengambilkan beberapa lauk, menuangkan air.

Sikap lembut Edgar bukan karena pria itu hanya ingin Zura kembali padanya. Tapi dari mereka pacaran dulu, selalu Edgar yang lebih memperhatikan Zura, bahkan pria itu berkata dia akan terus melayani Zura sampai menikah. Sayangnya, mereka putus satu tahun yang lalu. 

"Makan yang banyak, aku tidak suka melihatmu kurus," ucap Edgar. Apalagi saat Zura tidak berpakaian tadi, Edgar bisa melihat jelasnya tulang rusuk di tubuh gadis itu. 

Zura hanya menganggukan kepala sebagai jawaban. Lagi pula makanan yang dimasak Edgar selalu enak dan membuat gadis itu mau nambah lagi dan lagi. 

Selesai makan, Edgar mencuci piring dan Zura tengah minum air hangat di meja makan. Sesekali ia memperhatikan punggung pria itu. 

Zura membatin dalam hatinya. "Kalau saja waktu bisa terulang kembali, aku seharusnya tidak perlu takut untuk meminta tolong padamu kalau Papah memberikanku pada Charlos untuk melunasi utang-utangnya. Dan Charlos yang mengancam Papah agar tidak meminta bantuan kepadamu. Aku sebodoh itu karena berpikir kamu tidak bisa membawaku pergi dari Charlos. Aku juga takut kamu terluka karena Charlos, yang ternyata kamu lebih hebat dari dia." 

Ya, Zura mengakui itu, saat di Rumah Sakit ia baru sadar Edgar bukan pria biasa. Dia bisa melindungi dirinya, Charlos tak berdaya ditangan Edgar. 

Baila uring-uringan di kamarnya sendiri, ia begitu gelisah, kemana perginya Edgar, telpon darinya tidak diangkat sama sekali, pesannya juga tidak dibalas. Baila khawatir memikirkan Edgar, bagaimana cara Edgar melampiaskan nafsunya karena obat itu? Apakah dia akan membeli seorang perempuan di klab. 

Baila langsung menggeleng kuat-kuat. Tidak, itu tidak boleh terjadi, apalagi jika si perempuan sampai hamil. Tidak mungkin kan Edgar menghamili sembarang perempuan.

Ia menggaruk kepalanya frustasi, berkali-kali ia melihat jam di pergelangan tangannya. Ini sudah hampir larut malam tapi suaminya masih belum kembali. Dengan putus asa ia duduk di ranjang dan seketika pintu kamar terbuka membuat mata Baila berbinar senang seketika. 

"Edgar ..." Edgar langsung menghunus tatapan tajam pada Baila, membuat Baila ketakutan hingga memudarkan senyuman di wajahnya. 

"K-kamu kenapa?" tanyanya terbata. 

Edgar melangkah mendekati Baila. "Masih berani bertanya? Minuman apa yang kamu berikan kepadaku, Baila!" 

"I-itu hanya orange jus." 

"Ya, aku tau itu orange jus. Kamu mencampurnya dengan obat apa?!" 

Baila berusaha tenang. "Aku tidak memasukan apa-apa. Obat apa yang kamu maksud? Aku tidak mengerti, Edgar!" 

Edgar dengan amarah yang kuat mencengkram wajah Baila. "Berani kamu berbohong kepadaku! Kamu ingin menjebakku!" hardinya dengan rahang mengeras marah hingga urat-urat di pelipisnya pun terlihat. 

Baila menepis tangan Edgar. "Siapa yang ingin menjebakmu?! Kalaupun benar aku melakukannya, itu karena sikapmu sendiri yang tidak berubah setelah satu tahun lamanya kita bersama! Apa salah seorang istri berharap ingin disentuh oleh suaminya? Dan mendapatkan keluarga kecil yang bahagia dengan adanya seorang anak!" 

"Apa kamu lupa dengan perjanjian kontrak kita yang hanya dua tahun? Bagaimana mungkin kamu berpikir untuk mempunyai anak, Baila!"

Ya, hanya dua tahun, Baila sadar itu. Hanya saja saat perjanjian kontrak dibuat, Baila setuju karena ia merasa yakin sebelum dua tahun Edgar akan mencintainya dan memutus kontrak itu. Tapi ternyata keyakinannya salah, tidak ada yang berubah pada sikap Edgar. Tapi, masih ada waktu satu tahun lagi, bukan?

"Aku tidak mau bercerai. Aku, aku mencintaimu Edgar!"

"Dan aku tidak ingin mengubah kontraknya!" hardik Edgar. 

"Aku mohon, Edgar ..."

Edgar mengacuhkan ucapan Baila dan memilih berjalan ke lemari sambil membuka kancing kemejanya. Seruan Baila tak berhenti untuk memohon.

"Aku tidak ingin kita terikat kontrak, berapa lamapun itu, aku bersedia menunggumu menyukaiku." 

Edgar tetap tidak menanggapi. 

"Tapi aku yakin sebelum satu tahun lagi, kamu pasti bisa menerimaku dan melupakan Zura!" 

Edgar mendengus kasar selepas memakai kaos putih polos ditubuhnya. Ia pun berbalik menatap Baila. "Aku tidak suka nama Zura keluar dari mulutmu!" 

Baila mengerutkan dahinya. "Apa kamu masih belum bisa melupakan dia?" Dari awal Baila menikah dengan Edgar, memang tidak ada pembahasan yang keluar dari mulut Edgar soal Zura. 

Tapi pria itu selalu kesal dan marah jika Balia mengucapkan nama Zura. Balia pikir Edgar membenci Zura, itu sebabnya ia tidak mau mendengar lagi nama mantannya itu, tapi ternyata mendengar nama Zura membuat Edgar sangat merindukan gadis itu dan masih teramat mencintai Zura. Baila tahu saat Edgar mabuk parah dan terus memanggil nama Zura seraya meracau mengatakan ia sangat merindukan mantannya itu. 

"Aku tidak suka kamu menyebut nama Zura! Aku tidak suka nama itu keluar dari mulutmu!" 

"Edgar!!" Balia memegang lengan Edgar yang hendak pergi dari kamar. Menghentikan langkah pria itu.

Edgar segera menghempaskan lengannya membuat Baila menghela nafas panjang. 

"Apa yang kamu harapkan dari mantanmu yang meninggalkanmu demi menikah dengan pria lain! Dia tidak menyukaimu seperti aku menyukaimu, Edgar!" 

Edgar mendesis kesal dan menunjuk wajah Baila. "Jangan berkomentar apapun tentang hubunganku dan Zura. Kamu tidak tau apapun!"

"Tapi Edgar --- EDGAR!!" Baila berteriak sebab Edgar pergi dari kamar. Tangan Baila mengepal kuat, seakan tengah mengenggam amarah yang berpindah dari kepala ke tangannya.