“Aku ngerasa ini nggak pedas, Nan. Kalau kamu nggak tahan, aku akan buatkan makanan baru untukmu. Sorry banget! Aku pikir, kamu suka pedas.” Ayu bangkit dari kursinya.
Nanda menyambar pergelangan tangan Ayu. Membuat Ayu mengurungkan niatnya untuk bangkit dan membuat wajahnya dan wajah Nanda saling bertemu.
“Nan, kamu ...!?”Ayu menatap mata Nanda yang hanya berjarak sekitar lima sentimeter dari matanya dan membuat wajah mereka saling menempel.
“Nggak perlu siapin makanan baru untukku! Ini saja,” pinta Nanda sambil mengulum lembut bibir Ayu dan menghisapnya semakin dalam.
Ayu langsung membalas ciuman dari Nanda. Seluruh tubuhnya tiba-tiba menegang, dadanya mengencang dan bagian inti tubuhnya minta diperlakukan lebih. Pagi-pagi seperti ini, Nanda sudah berhasil membangkitkan gairahnya. Parahnya lagi, ia menjadi mudah terpancing hasratnya dan tidak bisa menahan diri. Mungkinkah hormon kehamilan memengaruhi perasaannya seperti yang sering ia baca di artike
Nanda mengangguk sambil tersenyum manis. “Aku akan temani kamu. Aku buru-buru harus ke kantor. Besok pagi, buatkan aku nasi goreng lagi! Tapi jangan sepedas ini karena bisa bikin aku minta menu yang lebih enak dari makanan. Apalagi, adik kecilku ini semakin nakal setiap kali bertemu denganmu.” Ayu tertawa kecil sambil menatap bagian bawah tubuh Nanda. Ia mempercepat langkahnya menaiki anak tangga untuk membersihkan diri. Nanda tersenyum puas dan segera melenggang santai keluar dari rumahnya. Ia merasa, hidupnya lebih baik seperti ini. Bisa bersenang-senang dengan istrinya kapan saja ia mau tanpa khawatir dengan apa pun. Meski Arlita pandai menemaninya bersenang-senang di luar sana, tapi ia sama sekali tidak memiliki keinginan untuk melakukan hal lebih terhadap wanita itu. Hanya ingin membawanya pergi ke tempat-tempat mewah untuk menutupi rasa gengsinya sendiri. Ia tidak mungkin pergi ke perjamuan atau klub malam tanpa wanita cantik di sisinya. Baginya, Ayu masih terl
Nanda langsung menoleh ke arah remaja tadi. Ia merasa tidak enak karena semua orang tidak menginginkan Ayu berhenti. Namun, kehamilan istrinya itu memang membatasi gerak-gerik Ayu dan ia tidak ingin terjadi hal buruk karena istrinya terlalu banyak bergerak. “Mbak Roro Ayu lagi hamil muda. Nggak bisa leluasa untuk bergerak. Mohon pengertian kalian!” ucap Nanda sambil menunduk sopan. “Kalau nggak bisa menari, bisa melatih kami ‘kan?” sahut seorang remaja lain. “Iya, bener. Kalau nggak ada Mbak Roro Ayu, kami gimana? Nggak seru!” ucap salah seorang remaja sambil bangkit dari lantai dan melangkah pergi begitu saja. Enggar langsung menatap remaja yang telah lancang beranjak dari sana. “Prima, kembali!” perintahnya. Remaja yang dipanggil Prima itu tidak menghiraukan teriakan Enggar dan pergi begitu saja dari aula gedung tempat mereka biasa berlatih kesenian. Semua yang ada di sana mulai pergi satu persatu menyusul Prima. Merek
Minggu pagi, Ayu sudah terlihat rapi. Gaun warna putih dengan gambar ilustrasi bunga Allamanda warna kuning dan rambutnya yang lurus terurai, membuatnya terlihat lebih fresh dari biasanya. “Ay, kamu mau ke mana?” Kening Nanda berkerut saat melihat istrinya itu sudah berpenampilan rapi pagi-pagi sekali. “Ini weekend. Aku mau main ke rumah bunda. Kamu nggak kerja ‘kan? Aku nggak perlu siapin pakaian dan sarapan untuk kamu. Makan di luar sama Arlita aja kayak biasanya. Aku juga ada janji sama Dokter Nadine dan Dokter Sonny. Kebetulan, mereka lagi main ke Surabaya,” tutur Roro sambil tersenyum manis. “Oh. Kamu nyuruh aku pergi sama Arlita karena kamu mau ketemu sama Sonny?” tanya Nanda. “He-em.” Ay mengangguk sembari menatap tubuhnya di depan cermin sekali lagi untuk memastikan tidak ada yang minus dari penampilannya. Nanda terdiam sambil melirik tubuh Ayu. Kulit wanita itu tidak terlalu putih, tapi sangat mulus. Tidak ada bekas luka sedikit
“Ya. Aku memang mau ketemu sama mantan pacarku dan kamu nggak perlu ikut karena bisa mengacaukan suasana!” tegas Ayu sambil berlalu pergi. Nanda mendengus kesal. Ia menarik lengan Ayu dan langsung menghisap kuat leher wanita itu. Meninggalkan bercak merah di sana dengan sengaja. “Kamu apa-apaan sih, Nan!?” seru Ayu sambil berusaha mendorong tubuh Nanda. Nanda semakin menarik kuat tubuh Ayu dan kembali menghisap leher dan dada wanita itu dengan paksa. Meninggalkan bercak merah di tubuh wanita itu. “Silakan ketemu sama Sonny dan dia akan berpikir apa kalau lihat kissmark ini?” Ayu menghela napas sambil menatap wajah Nanda. “Sonny itu pria yang dewasa dan baik hati. Dia nggak akan menolak kehadiranku hanya karena bekas cupangan di tubuhku ini. Meski seluruh tubuhku merah karena kissmark dari kamu, aku akan tetap ketemu sama Sonny dan Nadine!” tegasnya dan berlari keluar dari dalam kamar. Nanda mendengus kesal sambil menatap punggung Ayu yang berg
“Nggak perlu, Nad. Ayu sudah menikah. Tidak pantas kalau aku hanya bicara berdua dengannya saja. Kamu bisa jadi saksi pembicaraan kami. Dengan begini, aku akan lebih mudah menjelaskan pada Nanda jika dia mempertanyakan pertemuan ini,” tutur Sonny. “Aku sudah bilang ke Nanda kalau ketemu kamu di sini. Dia juga lagi pergi sama Arlita,” ucap Ayu lirih. “Arlita siapa?” tanya Nadine. “Pacarnya Nanda,” jawab Sonny. Nadine mengernyitkan dahi. “Hubungan kalian ini gimana, sih? Aku nggak paham. Asli. Roro nikah sama Nanda. Tapi dia jalan sama Sonny. Terus, suami kamu itu masih punya pacar? Aku pusing mikirinnya, Ro.” Ia mengaduk-aduk orange juice di hadapannya dan menyesapnya perlahan sambil menatap wajah Ayu. “Nggak usah dipikirin, Nad. Kalau bukan karena desakan keluarga, aku nggak akan nikah sama Nanda, sementara aku sudah tunangan sama Sonny. Aku ...” Ayu menghentikan ucapannya sambil melirik ke arah Sonny. Nadine menaikkan k
“Kalian berdua udah jadian lagi?” tanya Ayu sambil tersenyum bahagia melihat Nadine dan Rocky. “Nggak Ro, males aku jadian sama cowok kayak gini,” sahut Nadine. “Males tapi mau dicium juga,” goda Rocky sambil menyolek dagu Nadine. “Apaan sih, Ky?” Nadine menepis tangan Rocky. “Nggak sengaja. Lagian, kamu kebiasaan banget main cium-cium aja!” Ayu dan Sonny tertawa kecil melihat tingkah Rocky dan Nadine. Mereka terlihat saling mencintai, tapi enggan untuk berkomitmen. Mungkin karena Rocky yang don juan, membuat Nadine enggan dengan pria itu meski ada cinta di dalam hatinya. “Nggak papa kamu nolak aku terus. Yang penting, papamu nggak nolak aku sebagai calon mantu dia,” tutur Rocky sambil duduk santai di sebelah Nadine. Tangan satunya, terlentang di belakang punggung wanita idamannya itu. “Nggak usah bawa-bawa papa, ya!” dengus Nadine. “Hehehe. Yah, mau gimana lagi. Aku nggak punya cara lain selain deketin papamu. Abisnya, kamu no
Nanda menghela napas kesal. Ia akhirnya men-dial nomor Ayu untuk mempertanyakan keberadaan wanita itu. “Halo ...!” suara merdu Roro Ayu langsung menggema di telinga Nanda. “Ach, sial ...!” umpat Nanda dalam hati. Ia memijat kepalanya yang berdenyut saat mendengar suara Ayu yang begitu sensual di telinganya. Dadanya tiba-tiba penuh sesak hanya karena mendengar satu kata lembut saja dari bibir wanita itu. “Halo, Nanda ...! Are you there?” tanya Ayu lembut. Nanda menarik napas dalam-dalam dan membuangnya dengan kasar. “Kamu di mana? Sudah selesai makannya?” “Masih di restoran sama Nadine, Rocky dan Sonny,” jawab Ayu. “Rocky itu siapa lagi?” tanya Nanda. “Pacarnya Nadine,” jawab Ayu lembut. “Di restoran mana?” tanya Nanda lagi. “Kamu mau nyusul?” tanya Ayu balik. Nanda terdiam selama beberapa saat. “Kalau kamu mau nyusul, aku akan kasih tahu tempatnya. Without Arlita,” jawab Ayu.
Arlita bergelayut manja di lengan Nanda saat pria itu mengantarkannya pulang ke apartemennya. Tak peduli pria itu sudah menikah dengan wanita lain. Asalkan kebutuhannya masih dipenuhi, ia tidak akan melepaskan Nanda dengan mudah begitu saja. “Nan, thank’s ya udah belanjain aku hari ini!” Arlita tersenyum manis dan mengecup pipi Nanda. “Gimana kalau malam ini kamu nginap di apartemen aja? Aku kangen sama kamu.” “Nggak bisa kalau nginap, Lit. Ada istriku di rumah. Kalo dia laporin aku ke papa dan mama, bisa habis hidupku.” “Dia jahat banget, sih?” “Dia nggak jahat, Lit.” “Jahat. Dia udah rebut kamu dari aku.” “Bukan dia yang rebut. Aku yang udah bikin dia hamil. Aku harus bertanggung jawab, Lit,” sahut Nanda. “Kamu hamilin aku juga! Biar kita bisa nikah juga, Nan.” “Kamu mau jadi istri kedua?” tanya Nanda. Arlita menggeleng. “Aku mau jadi satu-satunya buat kamu, Nan. Kapan kamu bercerai sama Ayu? Kayaknya, akhir-a
Nanda mengernyitkan dahi. “Waktu aku nggak punya apa-apa, kamu tetep mau sama aku karena aku ganteng ‘kan? Bisa aja kamu tertarik sama yang lebih ganteng lagi. Iya ‘kan?” “Hahaha. Masa aku mau sama berondong, sih? Nggaklah. Aku tetep sayang sama kamu. Nggak ada yang bisa gantikan kamu karena aku bukan sekedar sayang, aku juga butuh kamu ada di sisiku,” ucap Ayu sambil menyentuh lembut pipi Nanda. Nanda tersenyum sambil mengecup bibir Ayu berkali-kali. “Janji? Nggak akan ada cowok lain selain aku?” Ayu mengangguk. “Harusnya aku yang tanya seperti itu ke kamu. Bukannya kamu yang selalu gonta-ganti pasangan, hah?” “Aku sudah tobat, Ay. Lebih baik jadi mantan anak nakal daripada malah jadi mantan anak baik. Iya, kan?” “Memang harus tobat karena kamu akan menjadi seorang ayah dari anak perempuan. Tugas kita jauh lebih berat untuk mendidik dan merawat dia. Aku yang sudah dilindungi begitu kuat oleh orang tuaku saja, masih bisa dilahap oleh predator sepertimu,” ucap Ayu sambil menatap w
Hari-hari berikutnya, Nanda dan Ayu menjalani hari-harinya dengan bahagia. Setiap hari, Nanda melakukan rutinitas kesehariannya di kantor. Sementara, Ayu mengisi waktu luangnya dengan menyibukkan diri menjadi dosen di salah satu universitas ternama di kota Surabaya. “Selamat sore, Ibu Dosen ...! Sudah mau pulang?” sapa Nanda sambil tersenyum manis saat Ayu keluar dari kelasnya di fakultas bisnis dengan perut yang sudah membesar. “Sore ...!” balas Ayu dengan senyum merekah di bibirnya. Nanda langsung melingkarkan lengannya di belakang pinggang Ayu. “Gimana kelasmu hari ini? Asyik?” Ayu mengangguk sambil tersenyum manis. “Nggak ada mahasiswa yang godain kamu ‘kan?” bisik Nanda. Ayu menggeleng. “Mereka hanya bercanda sesekali. Nggak godain serius,” jawab Ayu. “Hmm ... aku nggak mau kalau harus bersaing sama mahasiswa S2 kamu, ya!” “Bersaing apaan? Aku ini sudah bersuami, mana ada mahasiswa yang mau bersaing sama suami sepertimu,” sahut Ayu. “Hahaha. Baguslah. Aku sudah buat janj
Ayu menggeleng sambil menyembunyikan tawa di dalam hatinya. “Aku maunya sekarang, Nan!" pintanya dengan gaya centil. Nanda langsung mengernyitkan dahi sambil bangkit dari tempat tempat tidur. “Kamu ini kenapa? Nggak kesurupan ‘kan?” Ayu menggeleng sambil tersenyum centil. Nanda langsung menempelkan punggung tangannya ke kening Ayu. “Normal, kok?” Ayu segera menepis tangan Nanda dari keningnya. “Kamu kira aku gila?” “He-em. Kamu nggak pernah secentil ini? Kenapa jadi centil banget?” “Bukannya kamu suka cewek yang centil dan agresif?” tanya Ayu balik. “Itu dulu, Ay. Lagian, kamu nggak cocok bertingkah centil kayak gini. Aku geli lihatnya,” sahut Nanda. Ayu mendengus kesal menatap wajah Nanda. Ia segera menarik selimut, menutup tubuhnya dengan rapat dan berbalik membelakangi Nanda. Nanda menahan tawa sambil melihat tubuh Ayu yang ada di bawah selimut. “Ay ...!” panggilnya lirih. “Ay ...!” panggil Nanda lagi sambil menggoyang-goyangkan tubuh Ayu. “Aku ngantuk. Mau tidur!” seru
“Ay, lain kali jangan candain aku seperti ini lagi. Aku hampir gila karena kehilangan kamu, Ay,” pinta Nanda sambil menatap wajah Ayu yang sedang membersihkan riasannya di dalam kamar. “Aku juga nggak tega lihat kamu kayak gitu. Idenya Nadine, Okky sama Sonny,” jawab Ayu sembari menengadah menatap Nanda. “Sonny tuh memang minta disepak,” tutur Nanda sambil memperhatikan wajah Ayu. “Belum kelar bersihin mukanya?” “Sebentar lagi,” jawab Ayu sembari mengusapkan kapas ke atas bibirnya. Nanda tersenyum sembari menyentuh lembut bibir Ayu. Ia menarik dagu wanita itu dan mengecup bibirnya. Tak sabar menunggu wanita ini selesai membersihkan seluruh riasannya. “Nan, aku masih bersih—” Ucapan Ayu terhenti saat Nanda kembali menyambar bibirnya dengan sensual. Seluruh tubuhnya menegang dan ia membalas ciuman Nanda dengan senang hati sembari mengalungkan lengannya ke leher pria itu. Semakin lama, ciuman Nanda semakin dalam. Dengan cekatan, pria itu menggendong Ayu naik ke atas ranjang tanpa m
Nanda memukul tiang pilar dengan kesal sembari memeluk kain gaun milik Ayu. Perasaannya tak karuan melihat banyak darah yang tertinggal. Semua bayangan buruk tentang Ayu memenuhi otaknya hingga membuat lututnya tak bisa berdiri tegak. “AARGH ...! Roro Ayu ... jangan tinggalin aku!” teriak Nanda histeris sambil memeluk potongan gaun pengantin Ayu seperti sedang memeluk seorang bayi mungil. Ia benar-benar takut kehilangan wanita yang baru ia nikahi beberapa jam lalu. Banyak hal yang telah mereka korbankan untuk bisa bersatu kembali dan Tuhan masih saja membuat mereka harus berpisah dengan cara yang begitu keji. Nanda terus menangis sesenggukan di halaman dalam keraton tersebut dan tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi kemungkinan buruk yang terjadi pada istrinya itu. Ia benar-benar tidak siap kehilangan karena belum sempat membuat wanitanya itu hidup bahagia. Sementara itu ... dari lantai tiga menara keraton tersebut. Sepasang mata Ayu menikmati tubuh Nanda yang sedang meratap k
“Saya terima nikah dan kawinnya Raden Roro Ayu Rizki Prameswari binti Raden Mas Edi Baskoro Hadiningrat dengan mas kawin uang tunai sebesar lima ratus ribu dollar dibayar tunai ...!” ucap Nanda tegas sembari menjabat tangan penghulu yang membimbing hari pernikahannya dengan Roro Ayu. SAH! SAH! SAH! “Alhamdulillah ...!” Semua orang ikut tersenyum lega saat Nanda bisa mengucapkan ijab kabul dengan baik di hadapan penghulu yang menikahkannya dengan Ayu. Air mata Ayu menetes perlahan. Meski ini pernikahan yang kedua kalinya, tapi ia tetap saja tidak bisa menahan rasa haru ketika Nanda benar-benar mengucapkan ijab kabul dari hatinya sendiri. Bukan dengan cara terpaksa seperti yang sudah terjadi pada pernikahan sebelumnya. Bunda Rindu langsung memeluk tubuh Ayu dan menangis sesenggukan. Banyak hal yang telah membuat puterinya itu sakit dan Ayu tetap memilih untuk mencintai Nanda. Hati seorang wanita bisa begitu sabar dan setia pada pria yang pernah menyakiti. Dan ia kagum pada puteri
Keesokan harinya ... Nanda menarik napas dalam-dalam sambil menatap dirinya di depan cermin. Setelan jas warna cream dengan lis warna cokelat, sudah ia kenakan dan membuat tampilannya jauh lebih segar dari biasanya. “Udah siap?” tanya Nia sambil melangkah masuk ke dalam kamar Nanda. Nanda mengangguk. “Gimana? Ganteng, nggak?” “Ganteng, dong!” ucap Nia sambil tersenyum menatap wajah Nanda. Nanda tersenyum lebar dan merapikan kembali jasnya yang sudah rapi. “Nan, kamu jaga baik-baik pernikahanmu kali ini, ya!” pinta Nia sambil menyentuh lengan Nanda. Nanda mengangguk sambil tersenyum menatap Nia. “Baik atau buruknya rumah tangga, semua tergantung suami sebagai pemimpin. Kalau istri salah, ingatkanlah dan kembalikan ke jalan yang baik. Kalau kamu yang salah, kamu harus berani untuk mengakui dan meminta maaf,” ucap Nia sambil menatap wajah Nanda. “Kamu boleh egois di depan semua orang, tapi tidak boleh egois demi kebaikan rumah tanggamu di masa depan.” “Iya, Ma. Aku pasti ingat s
Jalanan kota Solo yang basah oleh embun pagi, mulai menghangat dan langkah kaki penghuni kota itu mulai ramai. Keraton Kesultanan Surakarta dan masyarakat di sekelilingnya disibukkan dengan persiapan pernikahan Puteri Mahkota keraton tersebut. “Bunda, apakah pernikahanku harus seberlebihan ini?” tanya Ayu sambil menatap wajah Bunda Rindu. Bunda Rindu tersenyum sambil merangkul tubuh Ayu. “Bunda tahu, kamu selalu menyukai hal yang sederhana. Tapi ini semua keinginan masyarakat sekitar. Mereka sangat mengenalmu dan meminta untuk mengadakan pesta rakyat. Ay, kamu ini puteri mahkota di keraton ini. Saat ayahmu tutun tahta, kamu dan keturunanmu yang harus menggantikannya. Semua warga di sini mencintai dan membutuhkanmu. Jangan kecewakan mereka, ya!” ucapnya lembut. Ayu mengangguk. Ia mengedarkan pandangannya menatap begitu banyak abdi dalem dan masyarakat sekitar yang antusias menyambut pesta pernikahannya. “Aku dengar, calon suami Ndoro Puteri itu orang biasa saja. Bukan dari keluarga
“Jangan, Ay! Belum selesai, kan?” Nanda langsung menghadang langkah kaki Ayu. “Kalau udah tahu belum selesai, kamu jangan main game, dong! Apa susahnya sih diskusi bareng? Aku nggak suka kalau cowok itu ngomong ikut aja – ikut aja! Ngeselin tahu, nggak!?” sahut Ayu. “Hehehe. Iya, iya.” Nanda langsung merangkul tubuh Ayu. “Pilih, deh! Kamu sukanya yang mana?” “Aku udah pilih, Nanda! Tinggal cari baju untuk kamu. Kamu sukanya yang mana?” seru Ayu menahan kesal. “Apa pun pilihan kamu, aku pasti suka, Ay. Kamu aja yang pilih, ya! Sesuaikan aja sama baju pengantin kamu,” jawab Nanda sambil menatap wajah Ayu. “Ntar kamu nggak suka, Nan. Kalau warnanya putih juga, bagus atau nggak, sih? Kayak gimana gitu, ya?” “Yang ini aja, deh!” Nanda menunjuk salah satu jas berwarna cream dengan lis cokelat keemasan. Ayu mengangguk. “Oke. Ambil yang ini aja.” Nanda tersenyum sambil menatap Ayu yang sedang berbincang dengan pegawai butik tersebut. Hal sederhana yang kerap dipermasalahkan oleh wani