"Sayang, bangun. Sebentar lagi makan malam." Asami menggoyang lengan Aira perlahan. Senyum hangat terukir di wajahnya, menyaksikan gadis kesayangannya mengerjap beberapa kali."Pukul berapa sekarang, Bu?" Aira duduk bersandar kepala ranjang, memperhatikan wajah cantik wanita yang telah merawatnya bertahun-tahun ke belakang.Asami mengangkat jam digital di atas meja dan mendekatkannya ke depan Aira."6.30. Masih ada waktu beberapa menit untukmu membersihkan diri. Kalau kamu masih lemah, ibu akan mengantarkan makanannya ke sini."Aira menggeleng, sudah merasa lebih baik."Aku akan bergabung dengan kalian di meja makan.""Sungguh? Kamu tidak pusing atau lemas?""Aku baik-baik saja, Bu."Meski masih sedikit pusing, Aira menutupinya. Dia segera masuk ke kamar mandi dan bersandar di pintu sambil memejamkan mata. Bergerak secara tiba-tiba seperti barusan membuat penglihatannya sedikit berbayang. Untung saja dia hafal letak pintu ini. Jadi, tidak perlu membuka mata untuk sampai di sana."Ibu
"Kamu sengaja melakukannya?" pertanyaan Aira langsung menyasar Ken saat keduanya sudah masuk ke kamar tamu di lantai bawah. Karena tidak ada lift untuk mengantarkan kursi roda Ken ke kamar Aira, jadilah mereka bermalam di sini."Apa?" Nada bicara pria cacat itu kembali dingin seperti biasa. Tak ada ramah tamah seperti di meja makan tadi.Aira tak menjawab, duduk di tepi ranjang dan mengamati suaminya yang masih diam di belakang pintu. Setelan formal masih melekat di tubuhnya, tanpa topeng yang sekarang entah di mana. Setelah melepasnya di meja makan, pria itu tak lagi mengenakannya. “Kamu puas?” Aira melepas ikatan rambutnya sebelum membuat cepol agak sedikit ke atas, membuat lehernya tampak begitu jelas. Ken meneguk ludah melihatnya. Bagaimanapun juga, dia seorang pria dewasa.“Sejak awal kamu tahu kalau kakak tidak suka dengan penampilan fisikmu. Kamu sengja memamerkannya agar dia jijik. Apa aku salah?” Nada bicara Aira terdengar ketus. Dia tidak suka acara makan malam dengan kelu
“Ai-chan, kau cantik,” puji Ken sambil memainkan jari telunjuknya di pipi Aira. Atensinya tertuju pada wajah bulat sang istri yang terlelap sejak beberapa jam lalu. Begitu dia keluar dari kamar mandi, wanita ini sudah tidur nyenyak di sisi kiri ranjang. Kondisi fisiknya memang belum kembali fit seperti sedia kala. Satu dua hari ini dia harus banyak istirahat.“Kenapa baru sekarang aku bisa memiliki kesempatan seperti ini? Aku bodoh ya karena sudah mengabaikanmu.” Ken menatap Aira lekat-lekat, seolah memindai seluruh bagian wajah cantiknya tanpa terkecuali. Bahkan tanpa sapuan make up, Aira tetap terlihat memesona.Tak ada suara apa pun selain deru halus penghangat ruangan di kejauhan. Aira sama sekali tidak menyadari pergerakan yang dilakukan suaminya. Tentu saja dia tidak melihat Ken yang berjalan tegap dari kursi roda menuju ranjang mereka.“Terlepas dari itu, aku penasaran. Antara Ken dan Hiro, mana yang lebih kau sukai, Ai-chan?”Ken tersenyum seorang diri, menerka-nerka. Beberapa
Aira mengerjap dua kali, mendapatkan kembali kesadarannya setelah tidur lelap selama delapan jam. Sesekali mulutnya menguap, merasa kantuk masih mendera. Tubuhnya butuh istirahat lebih lama, belum sepenuhnya sehat seperti sedia kala, tapi logikanya berkata cukup."Jam berapa ini?" tukas Aira lirih, meraih jam di samping kiri tubuhnya."Jam empat? Masih terlalu pagi untuk bangun."Detik berikutnya Aira kembali ke posisinya, memejamkan mata dan memeluk bantal hangat yang entah sejak kapan terasa begitu nyaman.Namun, hati kecilnya merasakan ada sesuatu yang lain. Situasi janggal yang tidak seharusnya."Bantal guling ini terasa aneh sekali? Kenapa bentuknya tidak bulat? Aroma pengharum yang melekat di kain pembungkusnya juga berbeda? Bukankah aku ada di kamarku sendiri, tapi rasanya asing sekali." Aira bergumam lirih, meraba bantal berbentuk manusia yang menjadi sandaran kepalanya. Keningnya kembali berkerut, masih dengan mata yang terpejam.Belum habis pertanyaan di dalam kepala terucap
Aira keluar dari kamar mandi sambil mengendap-endap, meminimalkan suara yang ditimbulkan dari langkah kakinya. Dengan hati-hati, Aira menghidupkan lampu yang ada dan mengamati wajah Ken. Tampak pria itu masih terlelap di posisinya, tak berubah sama sekali sejak dia tinggalkan."Semoga saja dia tidak bangun," ucap Aira sambil mendorong kursi roda Ken menjauh. Menempatkannya di samping pintu, terpisah empat meter dari ranjang. Jarak yang bisa Aira gunakan untuk menguji kemampuan suaminya. Dia tidak bisa percaya ucapan Kosuke sebelum melihat bukti dengan mata kepalanya sendiri."Aku akan setia menunggu." Aira keluar dari kamarnya dan stand by di depan pintu, menyisakan ruang kecil yang digunakan untuk mengintai. Sesekali atensinya berkeliling, memeriksa adakah penghuni lain rumahnya yang terjaga. Suasana hening menandakan kalau ayah, ibu, dan Sakura kemungkinan besar masih terlelap di tempatnya masing-masing.Tanpa Aira ketahui, Ken membuka matanya perlahan. Pria itu mengintai tingkah ist
“Pergi!” Untuk ke sekian kali Ken mengusir Aira. Namun, wanita itu sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Dia justru memeluk Ken sekuat tenaga, seperti seorang ibu yang berusaha melindungi putranya.“Maaf, tapi aku tidak akan pergi.”Ken berhenti meronta, mulai mendengarkan detak jantung Aira dengan telinga kanan yang menempel ke dada wanita itu. Aira bersimpuh menggunakan lutut, sedang Ken duduk di lantai karena gagal berdiri untuk ke sekian kali.“Aku mengaku salah. Aku benar-benar minta maaf, Yamazaki-san.” Suara Aira kembali terdengar, bahkan kali ini agak sedikit bergetar. Rasa bersalahnya semakin menjadi, tidak bisa disembunyikan lagi.“Aku tidak bisa memercayaimu, berpikir kalau mungkin saja kamu membohongiku.”Demi memuluskan drama yang dimainkannya, Ken mendorong tubuh Aira dan berbalik badan setelahnya.“Pergi. Tinggalkan aku sendiri,” pintanya lirih, tak lagi dikuasai emosi seperti sebelumnya. “Aku tidak butuh belas kasihan darimu!” tegasnya sambil mengepalkan tangan.A
Aira terdiam di posisinya, menatap ponsel yang sudah redup layarnya. Ingatannya kembali pada setiap penjelasan yang disampaikan oleh Kosuke yang memberikan alasan logis kenapa Ken bisa berubah demikian.“Meskipun selama ini Tuan Muda terlihat seolah begitu berkuasa, tetap saja Tuan Besar masih berdiri menjadi bayang-bayang di belakangnya. Beliau tidak akan tinggal diam jika keadaan perusahaan belum stabil. Bahkan jika ada investor nakal, beliau juga akan turun tangan meskipun Tuan Muda tidak meminta bantuan.”Aira meneguk ludahnya dengan paksa, membasahi kerongkongannya yang terasa kering seketika. Dia pikir Ken memiliki otoritas sendiri atas perusahaan yang dia pimpin. Ternyata, hidupnya saja masih diatur oleh kakek Subaru. Ini fakta mengejutkan yang baru diketahui olehnya.“Sepuluh tahun lalu, hubungan nona Erina dan Tuan Muda baik-baik saja. Sama seperti muda mudi lain yang kasmaran. Namun, saat kondisi fisik Tuan Muda jadi seperti itu, nona Erina mulai menjauh. Sebenarnya, itu ju
Aira bergegas keluar dari kamarnya sambil menutup mulut. Wanita itu berlari begitu saja, menghindari Ken yang hampir melewati batasannya.“Mana boleh seperti ini!” Aira menggeleng tegas, mengenyahkan bayangan saat Ken mulai menekuri lehernya. “Aku tidak boleh mengkhianati Hiro,” lanjutnya sambil memegangi perut, merasa bersalah pada pria yang telah menanam benih di dalam rahimnya. Satu tangan yang lain mencengekeram liontin kalung yang tertaut di leher.“Maafkan aku, Hiro-kun,” ucapnya lirih sambil bersandar pada kepala ranjang.Di saat yang sama, Hiro tidur terlentang di atas ranjang dengan selimut berantakan di belakang tubuhnya. Pria itu tekekeh tanpa suara, menyembunyikan tawa bahagia yang seolah ingin meledak.“Menggemaskan sekali,” ujarnya sambil mengingat wajah Aira yang memerah saat diberikan rangsangan di titik sensitif tubuhnya. Jelas sekali wanita itu menikmati permainan mereka. Sayang sekali, logikanya kembali saat Ken memanggil wanita itu dengan sebutan Ai-chan dan mening
"Teruntuk suamiku, Yamazaki Kenzo ....Saat kamu membaca pesan ini, artinya aku tak ada lagi di dunia ini. Setelah perjuangan panjang yang kita lalui, kita sampai di titik ini. Posisi di mana raga kita tak bisa bertemu lagi meski hati masih saling mencintai. Saat jemari tak lagi bertaut, juga senyum yang tak mungkin kita lihat satu sama lain.Melalui surat ini, izinkan aku berpamitan padamu. Pamit karena aku tidak akan bisa lagi menyentuh wajahmu, juga mencium bibirmu yang membuat candu. Aku pasti akan merindukanmu dari surga dan berharap di kehidupan selanjutnya kita bisa kembali menjadi pasangan. Saat itu terjadi, aku yang akan mengejarmu, bukan sebaliknya."Ken menahan gemuruh di dada sambil menghapus kumpulan air tanpa warna yang terkumpul di kelopak matanya. Dua hari setelah pemakaman Aira, Kaori datang menyampaikan surat yang entah kapan dititipkan padanya."Kenzo, maaf menyembunyikan fakta lain darimu. Sebenarnya, di awal kehamilan aku mendapat peringatan dari Kaori tentang kemu
Lampu operasi masih menyala meski tiga jam telah berlalu. Ken, Sayaka, Kakek Subaru, juga Kosuke ada di sana. Mereka terus memanjatkan doa yang sama, berharap Aira baik-baik saja. Kesabaran mereka semakin menipis saat mendengar tangis bayi yang saling bersahutan. "Ken, anak-anakmu," bisik Sayaka, memeluk lengan anaknya sambil menghapus air mata yang tak dapat dibendung lagi. Ken hanya bisa mengangguk, bersyukur karena buah hatinya bisa dilahirkan dalam keadaan baik. Namun, dia belum bisa tenang karena kondisi Aira belum diketahui detailnya. Dari arah lain, tampak Yamada Yu bergegas masuk rumah sakit. Dia segera menyingkirkan pekerjaannya setelah mendengar kabar buruk menimpa Aira. Bagaimanapun juga, Aira sudah seperti saudara untuknya. Dia harus ada di sana untuk memastikan keadaannya. Bukan hanya keterangan dari orang lain saja. "Bagaimana keadaannya, Ken?" Kenzo menoleh, menggeleng karena tidak bisa berkata apa pun. Selain suara tangis bayi yang melengking, tidak ada kabar lain
"Sayang, lihat. Mana yang kamu suka? Ini atau ini?" Sayaka mengarahkan ponsel di tangannya ke arah ranjang bayi bergambar bulan bintang sebelum memindahkannya ke sisi lain di mana terlihat motif boneka beruang yang tak kalah bagusnya."Semua bagus, Bu. Terserah ibu saja," jawab Aira sembari mengelus perutnya yang semakin besar. Ken berdiri tak jauh darinya, membereskan ranjang tempat Aira berbaring sebelumnya.Sejak memasuki trimester ketiga, wanita itu banyak menghabiskan waktu di kamar dan membaca banyak buku. Kemarin, dia mengalami flek saat berlatih bela diri, jadi memutuskan untuk menghentikan seluruh aktivitas fisik yang mungkin berbahaya."Ibu ambil yang motif teddy bear saja, ya. Kamu tidak keberatan?"Aira menggeleng sambil tersenyum. Mendapat perhatian yang begitu intens dari keluarga suaminya adalah anugerah terindah darinya. Dia merasa dicintai, juga dianggap ada. Sebaliknya, Hirota dan Asami justru seolah semakin jauh dengan anak angkatnya itu. Hanya sekali saja datang ka
"Ai-chan, apa kau siap mengorbankan nyawamu saat melahirkan anak kita?"Detak jantung Aira seolah terhenti detik itu juga, bersamaan dengan tangan yang lepas dari genggaman Ken. Bayangan saat dikejar orang-orang berbaju hitam masih teringat jelas, kenapa sekarang Ken menanyakan hal aneh seperti itu? Apakah akan ada bahaya lain yang mengancam keselamatannya seperti waktu itu?"Apa maksudmu?"Ken menyergah napas, mengubah posisi tubuhnya jadi terlentang menghadap langit-langit kamar yang berjarak 2.5 meter dari tempatnya berbaring. Ada beban berat di hatinya, bimbang antara harus mengungkap firasat buruk yang dirasakan Kakek Subaru atau tidak."Ken?!" Tangan Aira menarik lengan Ken, meminta perhatian darinya."Aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya padamu, Love.""Itu yang membuatmu terus bungkam akhir-akhir ini?"Ken mengangguk setelah menoleh ke arah Aira, menatap wajah cantik yang mulai terlihat semakin chubby pipinya. Cekungan di pangkal tulang selangkanya tidak terlalu kentar
"Sayang, bukankah hari ini jadwalmu memeriksakan kandungan?" Sayaka yang baru muncul di depan pintu segera menghampiri Aira yang sibuk menata bunga di dalam vas. Gerakannya terhenti, mengingat tanggal dan hari.Ken yang duduk tak jauh dari sana, melirik monitor laptopnya di pojok kanan bawah. Tanggal 23, dua pekan setelah kunjungan dokter spesialis kandungan saat kondisi Aira drop."Kenzo, kenapa diam saja? Antar istrimu ke dokter!"Ken tak lantas beranjak, mengamati ekspresi wajah Aira yang terlihat keberatan bepergian dengannya. Mereka masih saling diam dan Ken memang senagaja menjaga jarak. Meskipun mual muntah Aira tak lagi sehebat pada awalnya, tapi dia takut wanita itu masih tidak nyaman berdekatan dengannya. Satu kondisi medis yang memang diiyakan oleh Kaori saat Ken meminta penjelasan."Ibu bisa mengantarnya? Aku masih ada sedikit pekerjaan yang harus—"Plak!Gulungan kertas di tangan Sayaka segera mendarat di salah satu sisi kepala Ken, membuat si empunya menarik diri seketik
"Jangan dekat-dekat. Aku benci aroma tubuhmu!" Aira mundur saat Ken bersiap menyuapinya sup ayam jahe. Dia sengaja memanggil koki khusus yang bertugas menyiapkan makanan sarat gizi untuk Aira. Sejak mengalami morning sickness, wanita itu sama sekali tidak bisa makan nasi. Mual hanya karena mencium aromanya. Dan sekarang, dia juga menolak aroma tubuh suaminya."Ai-chan, kau tidak suka sampo yang kupakai?"Aira membekap mulutnya sekaligus menutup indra penciumannya. Dia menggeleng, mundur menjauhi Ken sampai tubuhnya menabrak dinding kayu yang membatasi kamar dengan taman belakang."Pergi!"Sayaka yang kebetulan ingin melihat kondisi Aira, segera masuk melalui pintu geser di sisi kanan sang menantu. Detik itu juga Aira berlari ke belakang mertuanya, menyembunyikan tubuh mungilnya dari tatapan Ken yang masih keheranan.Ada saja tingkah Aira beberapa hari ke belakang yang rasanya tidak masuk akal. Pertama, dia mual dan muntah tanpa mencium aroma apa pun. Ken masih percaya itu bagian dari
Ken kembali ke kamar dan tidak mendapati Aira di atas ranjangnya. Dia berdiri di depan jendela, menikmati semilir angin yang membelai pipinya. Sayaka tak ada di sana lagi, segera pergi setelah memberikan petuah pada menantunya."Ai-chan," panggil Ken lirih, sarat akan keraguan. Perasaan canggung menyelimutinya, bersama rasa bersalah karena sudah membuat wanitanya marah.Aira melirik, tapi tak menjawab panggilan sang suami. Sebaliknya, embusan napas berat keluar dari mulutnya. Berbagai hal memenuhi kepala, tak lain dan tak bukan kecuali memikirkan ucapan Sayaka. Ken banyak berkorban demi hubungan mereka. Lantas, apa yang bisa Aira lakukan untuk membalasnya?"Minumlah. Ini bisa meredam rasa mualmu," lirih Ken sambil menyodorkan cangkir yang berisi air berwarna kuning kecokelatan. Asap tipis menguar di atasnya, juga aroma jahe yang menyegarkan.Aira menerimanya, berjalan ke arah balkon kamar dan duduk di sofa bed yang ada di sana. Meskipun semua dekorasi mengambil konsep tradisional dan
"Hoek!"Untuk ke sekian kali Aira kembali muntah. Belum habis hidangan di piringnya, tapi dia sudah berlari ke beranda dan mengeluarkan cairan kekuningan yang terasa pahit luar biasa. Ken segera menyusul dan berjongkok di sampingnya."Dia kenapa?" gumam Sayaka sambil menatap punggung Ken dan Aira yang membelakangi ruang makan."Apa lagi? Bukankah kau juga wanita?"Sayaka tampak berpikir sepersekian detik sebelum menyadari menantunya sedang hamil muda. Morning sickness mulai muncul saat usia kandungan memasuki bulan ketiga.Ken tampak sigap memijat tengkuk Aira, juga memegang lengannya. Tak hanya itu, dia juga menggendong wanita itu kembali ke kamar mereka. Sayaka yang menyelesaikan makan paginya lebih awal, memilih menyusul keduanya.Wajah Aira terlihat pucat, matanya terpejam rapat. Ken membenahi posisinya, membuat wanita itu nyaman di atas pembaringannya."Siapkan minuman hangat untuk istrimu," pinta Sayaka sambil memegang pundak Ken.Meskipun awalnya tidak rela meninggalkan Aira ya
"Erina, berhentilah memperalukan dirimu sendiri," ucap seorang wanita yang merupakan ibu kandung Erina. Dia tak tahan lagi melihat kesedihan anak gadisnya sejak kemarin siang, tapi juga muak dengan pemberitaan yang menyebutkan Yoshiro sebagai pemimpin Yamazaki, Inc. yang menggantikan Ken."Sampai kapan kamu akan menangisi pria yang sudah beristri? Bahkan, dia tidak pernah sekalipun memikirkan kamu. Jangan menangis lagi!" teriaknya dengan nada frustrasi.Erina mengangkat wajahnya, menunjukkan mata sebab dan memerah karena terus menangis sejak semalam. Berkali-kali dia menghubungi Ken, tapi tidak sekalipun mendapat jawaban. Dunianya seolah berhenti berputar, tidak mengingat orang lain yang juga kecewa dan terluka."Bukankah sejak awal Ibu tidak mengizinkanmu kembali? Kamu dengan percaya diri mengatakan Ken pasti akan menerimamu. Omong kosong, bulshit! Kenyataannya, kamu disia-siakan. Dan lagi, orang-orang bahkan tidak memilihmu untuk memimpin perusaahaan busuk itu.""Sia-sia saja semua