Setelah menghabiskan makan pagi dan segelas susu, semua makanan itu kini berpindah ke dalam toilet di lantai bawah. Peluh membasahi wajah Dania. Tetapi, sekali lagi perutnya bergolak. Kali ini cairan pahit yang keluar. Tenaga Dania sudah terkuras habis. Bahkan ia sudah tak mampu berdiri dan benar-benar akan jatuh pingsan saat pintu kamar mandi yang tak sempat ia tutup rapat-rapat itu terjemblak sepenuhnya. Memunculkan sosok Raka yang tercengang menemukan dirinya.“Dan?” Raka segera berjongkok di belakang Dania. Membatu Dania bangkit dari simpuhnya. Dadanya berdenyut menyakitkan dengan penderitaan yang dialami Dania. “Kita harus ke rumah sakit.”Dania menggeleng, di antara suaranya yang lemah ia bertanya, “Di mana Dewa?”Raka menggeram dalam hati. Tak akan menjawab pertanyaan Dania meski tahu Dewa masih ada di ruang kerja pria itu. “Aku akan mengantarmu ke kamar dan memanggil dokter. Kau tidak perlu kuliah, Dan.” Raka melempar tas yang tersangkut di lengan Dania ke lantai.“Ta ....”“T
“Apa yang kaupikirkan, Dan? Kau pucat sekali, tekanan darahnya cukup tinggi dan detak jantung bayimu lemah. Apa kauyakin baik-baik saja tinggal di sini?” tanya Richard penuh kekhawatiran. Ia sudah menduga keaadan Dania akan seperti ini.Dania menggeleng lemah. “Selera makan Dan berkurang dan setiap menelan apa pun selalu keluar. Lebih banyak yang Dan muntahkan daripada yang bisa Dan telan.”“Apa Dewa membuatmu tertekan?”Dania tersenyum tipis. “Ya, sedikit. Tapi akhirnya dia mengalah dan membawa kakak kemari.”Richard hanya diam. Ia cukup terkejut ketika pagi-pagi Dewa menelpon dan menyuruhnya memeriksa keadaan Dania. Bahkan ia masih tak memercayainya hingga ia benar-benar diarahkan ke kamar Dewa dan melihat adiknya itu dengan mata kepalanya sendiri. “Kakak akan memberimu infus.”Dania memperhatikan kakaknya yang mulai membongkar isi tas. Mengeluarkan selang, cairan, dan entah peralatan lainnya lagi. Lalu mulai mengikat lengan bagian atasnya dengan sesuatu berwarna orange.“Bahkan Zaf
“Aku tidak tahu, kapan aku bisa melupakan dendamku, kapan aku bisa menghapus Zaffya dari hidupku, dan kapan aku berhenti bersikap brengsek padamu. Mungkin butuh waktu satu tahun, lima tahun, sepuluh tahun, atau bahkan lebih. Tapi aku yakin suatu saat aku bisa hidup bahagia dengan anak kita. Tanpa mengingat semua kehancuran ini dan memenuhi ingatanku dengan semua kebahagiaan di setiap detik dalam hariku. Sampai saat itu tiba, aku ingin kau dan anakkulah yang ada di sampingku. Merawat semua luka-lukaku. Aku berjanji akan mencukupi kalian dengan kasih sayang tanpa kalian merasa kurang sedikit pun.”“Yang kutahu, aku tidak punya keyakinan untuk bahagia tanpamu dan anak kita. Jadi maukah kau meyakinkanku jika suatu saat nanti aku merasa terpuruk? Dan jangan merasa lelah untuk mengingatkanku bahwa aku memiliki kalian berdua sebagai alasan untuk bahagia suatu hari nanti.”Kata-kata Dewa kembali berputar di benaknya. Dewa mengucapkan janji itu dengan ketulusan dan sungguh-sungguh. Meski pria
Dewa merasa kehampaan menyambutnya begitu membuka pintu kamar dan menemukan hanya kegelapan di dalam sana. Kamarnya sunyi dan ia tahu Dania tak ada di ruangan ini. Sekali lagi ia mencoba menghubungi nomor Dania sambil menyalakan lampu kamar. Untuk kesekian kalinya, nomor Dania tidak aktif. Padahal siang tadi ia masih berbincang dengan Dania. Dewa pikir ponsel Dania kehabisan daya hingga ia memperkirakan wanita itu sudah ada di rumah, dan ponsel Dania tetap tak bisa dihubungi. Bahkan wanita itu belum sampai di rumah.Apa yang terjadi? Dewa membuka pintu kamar mandi yang kosong. Bergegas ia menyambar kunci mobilnya dan kembali keluar kamar. Meskipun tak tahu harus ke mana mencari Dania di luar sana.“Bik, apa istriku sudah pulang?” tanya Dewa menemukan salah satu pelayan yang sedang melintasi ruang tengah.“Dewa,” panggil Monica sebelum pelayan itu sempat menjawab pertanyaan Dewa.Dewa menoleh, melihat mamanya berdiri di depan pintu ruang kerja papanya yang terbuka.“Masuklah. Mama perl
Dania tak tahu apa yang menyebabkan morning sicknessnya lebih parah dari pada sebelum-sebelumnya. Semua makan malam yang bisa ia lahap tadi malam hanya bertahan selama beberapa jam di perutnya. Raya mengusap punggung Dania dengan sabar dan sesekali ikut meringis mengingat kembali rasa sakit yang harus ia lewati sewaktu hamil Richard dan Dania dulu. Tanpa sosok seorang suami, beban akan terasa berkali-kali lipat lebih berat daripada seharusnya. Terlihat jelas di manik kosong Dania.“Apa perutmu masih mual?” tanya Raya menyeka keringat di dahi Dania dengan tisu ketika napas Dania mulai kembali normal.Dania mengangguk. Membiarkan mamanya membantunya berdiri dan memapahnya ke kasur. Memberinya segelas air putih yang ia tolak.“Apa kauingin teh hangat?”Dania menggeleng, mencari posisi nyaman di bantal dan menjawab, “Dania ingin tidur lagi.”“Baiklah. Mama akan membangunkanmu satu jam lagi untuk membawa sarapanmu. Kau harus tetap makan untuk bayimu.”Dania tak menjawab. Memejamkan matanya
Keduanya berdiri sangat lama, hingga Dania mulai merasakan pegal di kaki dan hendak terjatuh. Dewa menangkap pinggan Dania, menarik kepalanya dan berputar mulai mencari sesuatu untuk duduk. Kursi di samping kakinya menjadi pilihan, ia menarik Dania dan mendudukkan wanita itu di pangkuannya. Memeluk tubuh rapuh itu dengan erat-erat dan tetap akan melakukannya meski Dania berniat menolak.Dania tak pernah menyangka pelukan Dewa akan senyaman dan sehangat ini. Semua perasaan yang bercampur aduk di dadanya kini mengurai dan memberinya ruang kosong yang sangat melegakan.“Aku tidak bisa kehilangan kalian, Dan. Kumohon, jangan tinggalkan aku lagi.”Tangisan dalam suara Dewa membuat mata Dania memanas. Tangan Dania terangkat, mengalung di leher Dewa dan telapak tangannya mengelus rambut di kepala Dewa yang masih lembut meski terlihat kusut. “Maaf, aku pergi tanpa memberitahumu.”“Kenapa kau menandatangi surat sialan itu?” desis Dewa geram.“Aku tidak bisa kembali ke rumahmu, Dewa.”Dewa meng
Monica mengekor di belakang Dewa yang masuk ke kamar pria itu. Setelah hampir seminggu putra bungsunya itu tak pulang, tentu Monica merasa sangat senang melihat kedatangan Dewa. Dengan senyum lebarnya, Monica bertanya, “Raka bilang kau tidak ke kantor selama dua hari. Ke mana saja kau?”“Dewa akan kembali bekerja mulai besok,” jawab Dewa datar. “Bagaimana persiapan pernikahan?”Monica tak langsung menjawab. Raka bersikeras menolak kesepakatan di balik perjanjian yang sudah Dewa tanda tangani. “Kakakmu menolaknya.”“Kalau begitu dia pasti punya cara lain untuk menyelamatkan perusahaan, kan?”“Kau harus bercerai dengan Dania.”“Dan menikahi Alra?” sengit Dewa sinis. “Omong kosong apa ini, Ma?”“Kau yang menandatangani kesepakatan itu.”“Baiklah, Dewa akan menikahi Alra. Tapi Dewa tak akan pernah menceraikan Dania. Katakan itu pada Toni Wardhana.”“Dewa!”Dewa tak memedulikan panggilan keresahan mamanya. Berjalan masuk ke walk in closet dan menarik koper besarnya ke arah almari pakaian.
“Apa yang dia katakan hingga membuatmu begitu resah, Dan?” Pertanyaan Dewa menghentikan Dania yang hendak berbalik memunggunginya. Entah berapa puluh kali ia menghitung Dania yang berganti-ganti posisi di sampingnya. Ia mengabaikannya, mungkin karena pengaruh kehamilan sehingga perut wanita itu bermasalah dan mengganggu tidurnya. Namun, semakin lama gerak keresahan Dania mulai mengganggunya. Dan sungguh, ia merasa bersalah telah menegur Dania. Kepalanya sangat pusing karena pekerjaan kantor yang menumpuk, perutnya yang lapar sudah terisi dan badannya yang lengket sudah segar. Sekarang ia ingin memejamkan mata untuk beristirahat untuk menghadapi pekerjaan yang masih menggunung dengan otaknya yang jernih.“Apa ... apa aku mengganggumu?”Ya, batin Dewa dalam hati. Pemikiran tentang Raka yang mampu memengaruhi Dania hingga tak bisa tidur seperti ini, tentu saja mengganggu pikiran Dewa. “Apa yang kaupikirkan?”‘Apa kau akan menikahi Alra?’ Pertanyaan itu sudah diujung lidah, tapi kepala Da
"Bayinya lahir dengan selamat. Karena bayi lahir prematur dan memiliki berat badan di bawah normal, kami membawanya ke ruang NICU di lantai empat. Anda bisa melihatnya di jam-jam tertentu.""Bagaimana keadaan istri saya, Dok?""Istri Anda masih belum sadar dan sedang berada di ruang pemulihan. Setelah sadar, kami akan memeriksanya sekali lagi sebelum membawanya ke ruang perawatan. Keadaannya masih sangat rentan."Rasanya Dewa bisa kembali bernapas. Tubuhnya jauh di kursi dengan kelegaan yang luar biasa. Karena keadaan Dania yang belum boleh dilihat, Dewa pun pergi ke lantai empat, untuk melihat bayinya.Tak ada sepatah kata pun yang bisa mengungkapkan perasaan Dewa. Pertama kali Dewa menatap bayi mungilnya, dan ia langsung jatuh cinta. Hanya itu satu-satunya perasaan yang bisa ia telaah. Setetes air mata jatuh, kebahagiaan dan rasa pedih bercampur aduk memenuhi dada Dewa. Melihat bayi mungilnya yang rapuh, tak berdaya, dan sangat kecil dan harus berjuang hidup di sana sendirian. Dewa
Sepertinya Raka tak bisa lagi memasang senyum palsu di bibir kepada para tamu yang diperkenalkan mamanya. Dengan alasan hendak ke kamar mandi sebentar, Raka melepas lengan Alra yang melingkari lengannya. Berjalan ke dalam rumah. Entah kenapa, firasat buruk menyergap dadanya hanya dengan memikirkan Dania yang tak berhenti memenuhi kepalanya. Ditambah ia pun tak melihat Dania sejak Zaffya entah pergi ke mana dengan Nadia Farick sedangkan Dewa terjebak dengan teman-temannya tak jauh dari tempatnya.Seorang pelayan berlari ke arahnya dan menyenggol pundaknya. Pelayan itu berhenti sejenak untuk meminta maaf dengan wajah pucat. Lalu berlari ke dalam pesta. Raka hanya mengerutkan kening dan mengabaikannya. Melanjutkan langkahnya. Teapi kemudian jantung Raka berdebar keras, melihat beberapa pelayan berlari ke arah ruang tengah dengan terburu-buru, dan bukan ke arah taman belakang. Raka tak tahu apa yang begitu menarik perhatian para pelayan itu, tapi kakinya ikut bereaksi dan berlari menngiku
Suara musik yang mengalun indah dan pelan, dengan berbagai jenis bunga menghiasi sepanjang jalan masuk ke taman belakang kediaman Sagara. Dengan konsep pesta kebun, yang terlihat santai dan elegan."Kau gugup? Kauingin kembali? Jangan membuatku salah paham, Dan," bisik Dewa mendekatkan bibirnya di telinga Dania saat mereka melintasi halaman samping rumah menuju halaman belakang, tempat pernikahan akan berlangsung. Genggaman tangan Dania di tangannya semakin mengetat, dan kegugupan tergaris jelas di sepanjang bibir wanita itu yang menipis. Menandakan bahwa Dania menggigit bibir bagian dalam. "Kau hanya boleh gugup karenaku."Dania memutar bola matanya jengah. Sempat-sempatnya pria itu mengurusi kecemburuan di saat kegugupan mendera dirinya sekuat ini. Gaun yang ia pakai adalah pilihan terbaik dengan harga fantastis, Dania tak akan bertanya darimana uang Dewa karena suaminya sudah melarang dan mewanti-wanti bahwa ia hanya perlu memilih gaun yang membuatnya terpesona. Dan tanpa sengaja p
Dengan perut besar, Dania tampak begitu riang menatap semua benda-benda yang memenuhi toko tempat peralatan bayi. Dewa tak berhenti mengawasi Dania, mengekor ke mana pun wanita itu melangkah. Setiap gerakan lincah Dania membuatnya was-was, karena terlalu bersemangat memeriksa satu persatu benda-benda mungil yang memenuhi rak-rak yang berjajar panjang.Mata Dania tak berhenti beredar, berpindah dari satu rak ke rak yang lain. Bahkan tak jarang Dewa lah yang dengan sigap menyingkirkan benda-benda di depan Dania sebelum wanita itu menabraknya."Sepertinya sudah cukup." Dania akhirnya merasa kelelahan, menatap tiga troli besar yang penuh dengan pakaian dan segala macam pernak-pernik untuk bayi."Kauyakin?" tanya Dewa sangsi. Ini kalimat 'sepertinya sudah cukup' yang Dania ucapkan untuk ketiga kalinya.Dania mengangguk dengan mantap. Lalu mencari tempat duduk dan menemukan kursi panjang yang berada tak jauh dari tempat mereka berdiri. "Kakiku pegal sekali."Dewa menatap Dania yang menjauh,
Take LoveDewa & Dania###Part 28###"Untuk pertama kalinya, Mama melihat mereka sebagai pasangan yang cocok," gumam Monica dengan senyum di bibir.Raka mengikuti arah pandang Mamanya. Sudah cukup kesal hanya dengan mendengar cara bicara Dania dan Dewa bicara, sekarang ia benar-benar merasa gerah melihat pasangan yang duduk di meja. Dewa sibuk menyuapkan makanan dari kotak bekal untuk Dania, -makanan yang katanya dibuat oleh Dewa-. Melihat bentuk makanannya dari jarak sejauh ini, Raka tak yakin dengan rasanya. Tapi Dania tampak menikmati makanan itu seolah itu adalah makanan terlezat yang pernah gadis itu makan. Padahal, makanan yang ia pesan untuk sarapan Dania adalah makanan khusus wanita hamil yang direkomendasikan oleh ahli gizi, yang kemudian ia berikan pada koki dengan tangan ajaib yang tak mungkin diragukan lagi keahlian memasaknya. Apalagi dibanding dengankan dengan tangan Dewa.Apakah cinta memang sebuta itu? CkDewa bahkan tak pernah menginjakkan kaki di dapur, tapi adikny
Take LoveDewa & Dania###Part 27###Raka belum menghabiskan makanannya ketika ponsel pria itu kembali berdering. Wajahnya berubah tegang, setelah mendengar kalimat dari seberang."Kecelakaan?"Dania menegakkan punggung. Tak bisa menahan tubuhnya untuk sedikit condong ke arah Raka."Luar kota?" ulang Raka tak percaya. Kenapa hal seperti ini datang di saat yang tepat seperti ini. "Baiklah. Aku ..." Raka menghela napas pendek. "Aku tak tahu apakah bisa langsung mengeceknya. Aku sedang di rumah sakit.""...""Oke, akan aku usahakan." Raka menurunkan ponselnya, mengurut kening dengan tangan kiri dan pundaknya menurun seolah beban seberat ribuan ton tertumpu di sana."Apa Kak Raka harus pergi?"Raka mendesah keras."Biar Dan yang menjaga Mama. Kak Raka bisa pergi."Raka diam. Mempertimbangkan tawaran Dania."Sepertinya masalah Kakak sangat mendesak.""Bagaimana dengan Dewa? Dia pasti akan menerorku.""Biar Dan yang mengurusnya.""Baiklah," putus Raka setelah memikirkan kembali tawaran Da
Take LoveDewa & Dania###Part 26###"Mau ke mana kau?" tanya Dewa melihat Dania sudah berpakaian rapi dengan sibuk mengaplikasikan pelembab di wajah. Satu tas kecil sudah siap di meja rias."Jika kau tidak ingin ke rumah sakit, sebaiknya kau tak mencegahku." Dania mengakhiri sesi dandannya dengan mengoleskan lipbalm di bibir. Bibirnya sudah merah tanpa bantuan lipstik, setidaknya hal itu yang bisa ia banggakan dibandingkan dengan wanita-wanita yang mengejar Dewa. Dania mengusir pemikiran gila itu, untuk apa dia memedulikan wanita-wanita di sekitar Dewa."Apa kau mencoba menjadi lebih keras kepala melebihiku?""Katakan ya jika memang terlihat seperti itu. Kaupikir hanya kau yang bisa menjadi keras kepala di sini."Dewa menggeram frustrasi. Seperti biasa, langsung mengangkat kedua tangan ke kepala dan menggusur keseluruh jemari di antara rambut yang masih basah. Menang melawan wanita yang sedang hamil jelas bukan kemenangan."Sebelum kau mengalahkan orang lain, kalahkan dulu keegoisa
Take LoveDewa & Dania###Part 25###Dania terkejut melihat Dewa duduk mematung di sofa ruang tamu saat masuk ke dalam apartemen. Pria itu duduk dengan kedua siku disanggah lutut, dan wajah tenggelam dalam kedua telapak tangan. Kefrustrasian jelas terlihat dari rambut kusut Dewa yang sepertinya berkali-kali tergusur oleh jemari. Dania juga melihat jas Dewa yang terlempar begitu saja di sofa, bersama dasi yang jatuh di lantai.Apa Dewa memiliki masalah lagi dengan pekerjaan? Cubitan kecil menyakiti hatinya karena ia tak bisa membantu kesulitan Dewa selain hanya sebagai pendukung dan tempat bersandar pria itu. Dania ingin melakukan lebih."Dewa?" Dania menyentuh pundak Dewa dengan perlahan. Hampir mengira Dewa tertidur karena pria itu sama sekali tak bergerak. Sekali lagi ia mengangkat tangan ke arah Dewa dengan panggilan yang sedikit lebih keras. "Dewa?""Dari mana kau?" desis suara dingin Dewa ketika pria itu bergerak menaikkan kepala menatap Dania yang berdiri di sampingnya.Dania
###Hari ini, Dewa pulang lebih malam. Dania menunggu di ruang tengah sambil menonton televisi dengan toples dalam pelukannya ketika pintu apartemen terbuka. Dania bergegas menghampiri Dewa. Memeluk tubuh dan menghirup aroma Dewa yang sangat ia rindukan seharian penuh."Apa kau sangat merindukanku?" Dewa merangkul Dania dan keduanya berjalan masuk.Dania mengelak dengan menggelengkan kepala. "Aku bosan seharian menghabiskan waktu di apartemen sendirian.""Kau harus bersabar." Dewa melemparkan jasnya ke sofa dan duduk."Kauingin minum atau langsung mandi?""Kopi." Dewa menyandarkan kepala di punggung sofa. Menatap layar televisi yang menampilkan film romance tanpa suara. Sama sekali bukan seleranya, tapi melihat adegan ketika si pria mencium perut wanita hamil di sampingnya dengan air mata berurai, Dewa memahami perasaan itu. Perasaan takjub dan terharu. Keajaiban yang tak pernah ia sangka datang di hidupnya.Dania melewati sofa menuju dapur. Tak lama kembali dengan cangkir kopi yang m