"Aku merasa sedih dengan tuan Dewa. Bukankah seharusnya mereka pergi berbulan madu? Bukannya muncul di rumah sakit dan berpapasan dengan tuan Dewa." Tania menggerutu pada sopir yang berdiri menunggu di sampingnya. "Aku bahkan merasa sangat sedih dengan kakaknya yang malah menginginkan perpisahan ini. Bukankah ini bisa dikatakan sebagai pengkhianatan persaudaraan?""Ssttt ... sebaiknya kau diam. Jika tuan Dewa mendengarnya, kau ..." sopir itu terpaku. Menyadari kehadiran Dewa dan ikut terpaku sepertinya, tapi dengan alasan yang berbeda."Kakakku?" Dewa merasakan nyeri mencekik lehernya ketika suara serak itu keluar dari bibirnya. "Apa kak Raka tahu mengenai ini semua?"***Satu pukulan telak menghantam wajah Raka tepat di hidungnya. Tubuh pria itu terpelanting di lantai dan jeritan keras Monica Sagara menggema di seluruh penjuru ruang tengah.Dewa seperti kesetanan. Matanya yang merah membutakan hubungan persaudaraan yang terjalin sejak lahir."Dewa!" Monica berusaha menjauhkan tubuh D
"Jadi, apa kak Raka tidak bisa ikut makan malam dengan kak Rich?" Dania menutup pintu apartemen dengan ponsel yang tertempel di telinga. Tas pink dan gaun malamnya yang berwarna pastel, sangat cocok dengan penampilannya yang ceria."..."Bibir Dania mengerucut kecewa. "Hmm, baiklah. Semoga cepat sembuh.""...""Selamat malam, Kak Raka." Tepat ketika Dania memutus panggilan, ia tersentak dan tubuhnya mundur ke belakang. Terkejut menemukan sosok yang tengah berdiri dengan kepala tertunduk dan bersandar di dinding. Rambut yang acak-acakan, dua kancing kemeja yang tak terkait dan keluar dari celananya, jas dan dasi yang entah ada di mana. Ditambah darah yang sudah mengering tampak begitu jelas melumuri jemari di tangan kanan. Dania tak berani mempertanyakan apa yang sudah tangan itu lakukan karena tatapan dingin Dewa lebih mengerikan. Penampilan pria itu lebih mengejutkannya seperti keberadaan pria itu di depan apartemen Dania."Dewa?" Dania berusaha terlihat tenang dengan aura dingin Dew
Richard mulai gelisah. Dania tidak menepati janji seperti biasa. Adiknya itu tidak datang di makan malam yang mereka janjikan. Hanya sekali panggilannya masuk tapi tidak diangkat, setelahnya nomor Dania bahkan tak bisa dihubungi.Hingga pagi ini pun, nomer Dania masih tidak aktif. Mungkinkah adiknya itu sakit? Terlalu sibuk dengan tugas kuliah hingga tidak memiliki waktu semenit pun untuk menghubunginya? Padahal, selama ini Danialah yang selalu cerewet untuk komunikasi keluarga yang tidak lancar karena kesibukan Richard sebagai seorang dokter. Panggilan tak terjawab belasan kali dari Dania yang masuk ke ponselnya bukanlah hal yang aneh. Bahkan sangat aneh jika sampai nomor Dania tidak bisa dihubungi seperti ini.Tadi malam. Richard berpikir baterai ponsel Dania habis, tapi seharusnya pagi ini sudah bisa dihubungi, bukan?"Apakah masih tidak ada kabar dari adikmu?"Richard mengangguk lesu. Rambutnya yang acak-acakan masih basah karena belum sempat ia keringkan."Kita bisa mengunjungi a
"Mau ke mana kau?" Dewa menghalangi pintu ketika bersamaan Dania akan keluar dari kamarnya. Sudah rapi dengan gaun kuning muda dan tas yang sewarna."Bukan urusanmu," ketus Dania sambil mendorong tubuh Dewa minggir. Namun, tubuh pria itu tak bergerak satu senti pun."Kau sudah menjadi seorang istri. Tidak baik seorang gadis sekaligus istri berjalan-jalan saat hari mulai malam tanpa ditemani suami.""Kita hanya menikah, Dewa. Bukan mencampur adukkan hidupku dengan hidupmu. Apalagi saling ikut campur urusan masing-masing."Tatapan Dewa menajam. Penentangan Dania membuat amarahnya tersulut, tapi ia teringat rencananya. Seketika wajahnya melembut dan tersenyum lembut. "Apa kauingin makan malam di rumah kakakmu?"Dania tersentak kaget. Bagaimana Dewa bisa tahu?"Apa kau tidak ingin memperkenalkanku pada kakakmu?"***"Zaf, apa kau sudah menghubungi mamamu?" Ryffa tak membutuhkan sapaan Zaffya ketika panggilan mereka langsung tersambung."Aku akan menyiapkan meja makan." Richard berjalan ke
"Apa kau puas sekarang?" Dania bertanya sinis ketika mereka baru saja keluar dari lift dalam keheningan sejak meninggalkan apartemen kakaknya.Dewa tak menjawab. Kalimat Zaffya masih bergaung dan suara-suara dalam kepalanya meneriakkan kata pengecut pada dirinya. Apakah dia puas setelah membuat Zaffya dan Richard merasakan penderitaan yang ia dapatkan? Sejujurnya ia tak puas, dan ia tahu ia tak akan pernah puas."Kuharap kau puas, Dewa." Dania melangkah mendahului Dewa. Ia tak ingin pulang dan harus menghabiskan waktu dalam ruangan yang sama dengan Dewa. Ia butuh waktu untuk sendiri.Dewa terpaku memandang punggung Dania. Kemarahan dan rasa bersalah yang bergulat dalam hatinya masih belum menemukan pemenangnya. Yang ia tahu hanyalah kesesakan dalam dadanya sama sekali tak berkurang. Malah semakin sempit dan lebih menghimpit dari sebelumnya.****Zaffya ingin menangis, tapi air mata sialannya tak ingin keluar meskipun hanya sekedar melonggarkan gumpalan besar di tenggorokannya. Richard
Dania terbangun karena panas sinar matahari yang menerpa wajahnya. Di antara tubuhnya yang terasa berat, ia mencoba melihat jam di dinding. Lebih satu jam dari seharusnya ia bangun sesuai rutinitasnya. Dengan ketelanjangannya di balik selimut, ia berusaha bangun melepaskan lengan Dewa yang melingkari perutnya."Tetaplah di sini?" Dewa kembali melingkarkan lengannya di perut Dania. Merapatkan tubuh mereka."Aku harus pergi kuliah." Dania beralasan."Aku juga harus pergi ke kantor." Suara Dewa terbenam bantal. "Tapi aku masih menginginkan istriku di ranjang."Dania memilih mengalah. Membiarkan Dewa memeluknya hingga napas pria itu kembali teratur dan terlelap lagi.Semalam, Dewa mengambil apa pun yang bisa diambil darinya. Merenggutnya dengan cara yang tak pernah Dania bayangkan. Menyakiti, tapi terkadang melembut. Lebih banyak sengaja menyakiti dirinya. Kemarahan pria itu pada semua orang diluapkan jadi satu padanya. Setidaknya ia bisa menghalau semua kemurkaan Dewa hanya padanya. Meli
Dania melambai pada mobil Raka yang melaju melewatinya. Bernapas dengan lega akhirnya ia bisa menolak ajakan pria itu untuk mengantarnya pulang. Beberapa kali Dewa muncul di apartemennya dengan sangat tidak terduga. Ia tak mau mengambil resiko Raka akan bertemu dengan Dewa dan baku hantam kedua pria itu.Ponsel Dania bergetar. Merasa tekanan dalam batinnya bertambah satu ton ketika melihat caller id yang tertera."Aku sudah menyuruh orang untuk mengurus barangmu. Kau tak perlu kembali ke apartemenmu sepulang kuliah." Suara Dewa dari seberang menghentikan Dania yang akan menuruni tangga café."Aku sudah bilang ...""Aku tahu. Tapi tidak bisakah kau berterima kasih lebih dulu karena aku meringankan pekerjaanmu?"Dania menghela napas. Kelegaannya tak bertahan lama."Aku ada rapat di sekitar kampusmu. Apakah aku harus menjemputmu?""Tidak!" Dania menjawab dengan cepat.Dewa terdiam sesaat. "Kenapa?""Aa ... ku, aku sudah naik taxi." Dania terpaksa berbohong."Benarkah?"Dania terdiam. Nad
Zaffya berjalan mondar-mandir di tengah ruang tamu. Menatap pintu apartemen dengan jantung berdebar keras. Ia belum pernah segugup ini bertemu ketika menunggu seseorang. Dan memangnya siapa yang berani membuatnya menunggu? Inilah alasan kenapa Zafya sangat benci menunggu. Apalagi dengan perasaan mencekam seperti ini. Segala pemikiran buruk dan perasaan tak mengenakkan selalu mengambang naik di saat-saat seperti ini. Membuatnya merasa lemah dan tak mampu.Zaffya kembali masuk ke dalam kamar. Berdiri mematut tubuhnya di kaca. Entah untuk yang ke berapa kalinya dalam satu jam terakhir. Lalu bertanya, apakah bajunya terlihat bagus? Adakah bagian yang kusut? Di lengan, kerah, di bagian belakang? Atau apakah pakaiannya sopan untuk disebut sebagai menantu yang baik? Apakah ada bagian tubuhnya yang terlihat dengan tidak sopan?Mamanya Richard adalah orang yang menjunjung tinggi adat istiadat dan pakaiannya tertutup serta sopan. Pembawaannya penuh kehangatan dan kelembutan. Bertolak belakang d
"Bayinya lahir dengan selamat. Karena bayi lahir prematur dan memiliki berat badan di bawah normal, kami membawanya ke ruang NICU di lantai empat. Anda bisa melihatnya di jam-jam tertentu.""Bagaimana keadaan istri saya, Dok?""Istri Anda masih belum sadar dan sedang berada di ruang pemulihan. Setelah sadar, kami akan memeriksanya sekali lagi sebelum membawanya ke ruang perawatan. Keadaannya masih sangat rentan."Rasanya Dewa bisa kembali bernapas. Tubuhnya jauh di kursi dengan kelegaan yang luar biasa. Karena keadaan Dania yang belum boleh dilihat, Dewa pun pergi ke lantai empat, untuk melihat bayinya.Tak ada sepatah kata pun yang bisa mengungkapkan perasaan Dewa. Pertama kali Dewa menatap bayi mungilnya, dan ia langsung jatuh cinta. Hanya itu satu-satunya perasaan yang bisa ia telaah. Setetes air mata jatuh, kebahagiaan dan rasa pedih bercampur aduk memenuhi dada Dewa. Melihat bayi mungilnya yang rapuh, tak berdaya, dan sangat kecil dan harus berjuang hidup di sana sendirian. Dewa
Sepertinya Raka tak bisa lagi memasang senyum palsu di bibir kepada para tamu yang diperkenalkan mamanya. Dengan alasan hendak ke kamar mandi sebentar, Raka melepas lengan Alra yang melingkari lengannya. Berjalan ke dalam rumah. Entah kenapa, firasat buruk menyergap dadanya hanya dengan memikirkan Dania yang tak berhenti memenuhi kepalanya. Ditambah ia pun tak melihat Dania sejak Zaffya entah pergi ke mana dengan Nadia Farick sedangkan Dewa terjebak dengan teman-temannya tak jauh dari tempatnya.Seorang pelayan berlari ke arahnya dan menyenggol pundaknya. Pelayan itu berhenti sejenak untuk meminta maaf dengan wajah pucat. Lalu berlari ke dalam pesta. Raka hanya mengerutkan kening dan mengabaikannya. Melanjutkan langkahnya. Teapi kemudian jantung Raka berdebar keras, melihat beberapa pelayan berlari ke arah ruang tengah dengan terburu-buru, dan bukan ke arah taman belakang. Raka tak tahu apa yang begitu menarik perhatian para pelayan itu, tapi kakinya ikut bereaksi dan berlari menngiku
Suara musik yang mengalun indah dan pelan, dengan berbagai jenis bunga menghiasi sepanjang jalan masuk ke taman belakang kediaman Sagara. Dengan konsep pesta kebun, yang terlihat santai dan elegan."Kau gugup? Kauingin kembali? Jangan membuatku salah paham, Dan," bisik Dewa mendekatkan bibirnya di telinga Dania saat mereka melintasi halaman samping rumah menuju halaman belakang, tempat pernikahan akan berlangsung. Genggaman tangan Dania di tangannya semakin mengetat, dan kegugupan tergaris jelas di sepanjang bibir wanita itu yang menipis. Menandakan bahwa Dania menggigit bibir bagian dalam. "Kau hanya boleh gugup karenaku."Dania memutar bola matanya jengah. Sempat-sempatnya pria itu mengurusi kecemburuan di saat kegugupan mendera dirinya sekuat ini. Gaun yang ia pakai adalah pilihan terbaik dengan harga fantastis, Dania tak akan bertanya darimana uang Dewa karena suaminya sudah melarang dan mewanti-wanti bahwa ia hanya perlu memilih gaun yang membuatnya terpesona. Dan tanpa sengaja p
Dengan perut besar, Dania tampak begitu riang menatap semua benda-benda yang memenuhi toko tempat peralatan bayi. Dewa tak berhenti mengawasi Dania, mengekor ke mana pun wanita itu melangkah. Setiap gerakan lincah Dania membuatnya was-was, karena terlalu bersemangat memeriksa satu persatu benda-benda mungil yang memenuhi rak-rak yang berjajar panjang.Mata Dania tak berhenti beredar, berpindah dari satu rak ke rak yang lain. Bahkan tak jarang Dewa lah yang dengan sigap menyingkirkan benda-benda di depan Dania sebelum wanita itu menabraknya."Sepertinya sudah cukup." Dania akhirnya merasa kelelahan, menatap tiga troli besar yang penuh dengan pakaian dan segala macam pernak-pernik untuk bayi."Kauyakin?" tanya Dewa sangsi. Ini kalimat 'sepertinya sudah cukup' yang Dania ucapkan untuk ketiga kalinya.Dania mengangguk dengan mantap. Lalu mencari tempat duduk dan menemukan kursi panjang yang berada tak jauh dari tempat mereka berdiri. "Kakiku pegal sekali."Dewa menatap Dania yang menjauh,
Take LoveDewa & Dania###Part 28###"Untuk pertama kalinya, Mama melihat mereka sebagai pasangan yang cocok," gumam Monica dengan senyum di bibir.Raka mengikuti arah pandang Mamanya. Sudah cukup kesal hanya dengan mendengar cara bicara Dania dan Dewa bicara, sekarang ia benar-benar merasa gerah melihat pasangan yang duduk di meja. Dewa sibuk menyuapkan makanan dari kotak bekal untuk Dania, -makanan yang katanya dibuat oleh Dewa-. Melihat bentuk makanannya dari jarak sejauh ini, Raka tak yakin dengan rasanya. Tapi Dania tampak menikmati makanan itu seolah itu adalah makanan terlezat yang pernah gadis itu makan. Padahal, makanan yang ia pesan untuk sarapan Dania adalah makanan khusus wanita hamil yang direkomendasikan oleh ahli gizi, yang kemudian ia berikan pada koki dengan tangan ajaib yang tak mungkin diragukan lagi keahlian memasaknya. Apalagi dibanding dengankan dengan tangan Dewa.Apakah cinta memang sebuta itu? CkDewa bahkan tak pernah menginjakkan kaki di dapur, tapi adikny
Take LoveDewa & Dania###Part 27###Raka belum menghabiskan makanannya ketika ponsel pria itu kembali berdering. Wajahnya berubah tegang, setelah mendengar kalimat dari seberang."Kecelakaan?"Dania menegakkan punggung. Tak bisa menahan tubuhnya untuk sedikit condong ke arah Raka."Luar kota?" ulang Raka tak percaya. Kenapa hal seperti ini datang di saat yang tepat seperti ini. "Baiklah. Aku ..." Raka menghela napas pendek. "Aku tak tahu apakah bisa langsung mengeceknya. Aku sedang di rumah sakit.""...""Oke, akan aku usahakan." Raka menurunkan ponselnya, mengurut kening dengan tangan kiri dan pundaknya menurun seolah beban seberat ribuan ton tertumpu di sana."Apa Kak Raka harus pergi?"Raka mendesah keras."Biar Dan yang menjaga Mama. Kak Raka bisa pergi."Raka diam. Mempertimbangkan tawaran Dania."Sepertinya masalah Kakak sangat mendesak.""Bagaimana dengan Dewa? Dia pasti akan menerorku.""Biar Dan yang mengurusnya.""Baiklah," putus Raka setelah memikirkan kembali tawaran Da
Take LoveDewa & Dania###Part 26###"Mau ke mana kau?" tanya Dewa melihat Dania sudah berpakaian rapi dengan sibuk mengaplikasikan pelembab di wajah. Satu tas kecil sudah siap di meja rias."Jika kau tidak ingin ke rumah sakit, sebaiknya kau tak mencegahku." Dania mengakhiri sesi dandannya dengan mengoleskan lipbalm di bibir. Bibirnya sudah merah tanpa bantuan lipstik, setidaknya hal itu yang bisa ia banggakan dibandingkan dengan wanita-wanita yang mengejar Dewa. Dania mengusir pemikiran gila itu, untuk apa dia memedulikan wanita-wanita di sekitar Dewa."Apa kau mencoba menjadi lebih keras kepala melebihiku?""Katakan ya jika memang terlihat seperti itu. Kaupikir hanya kau yang bisa menjadi keras kepala di sini."Dewa menggeram frustrasi. Seperti biasa, langsung mengangkat kedua tangan ke kepala dan menggusur keseluruh jemari di antara rambut yang masih basah. Menang melawan wanita yang sedang hamil jelas bukan kemenangan."Sebelum kau mengalahkan orang lain, kalahkan dulu keegoisa
Take LoveDewa & Dania###Part 25###Dania terkejut melihat Dewa duduk mematung di sofa ruang tamu saat masuk ke dalam apartemen. Pria itu duduk dengan kedua siku disanggah lutut, dan wajah tenggelam dalam kedua telapak tangan. Kefrustrasian jelas terlihat dari rambut kusut Dewa yang sepertinya berkali-kali tergusur oleh jemari. Dania juga melihat jas Dewa yang terlempar begitu saja di sofa, bersama dasi yang jatuh di lantai.Apa Dewa memiliki masalah lagi dengan pekerjaan? Cubitan kecil menyakiti hatinya karena ia tak bisa membantu kesulitan Dewa selain hanya sebagai pendukung dan tempat bersandar pria itu. Dania ingin melakukan lebih."Dewa?" Dania menyentuh pundak Dewa dengan perlahan. Hampir mengira Dewa tertidur karena pria itu sama sekali tak bergerak. Sekali lagi ia mengangkat tangan ke arah Dewa dengan panggilan yang sedikit lebih keras. "Dewa?""Dari mana kau?" desis suara dingin Dewa ketika pria itu bergerak menaikkan kepala menatap Dania yang berdiri di sampingnya.Dania
###Hari ini, Dewa pulang lebih malam. Dania menunggu di ruang tengah sambil menonton televisi dengan toples dalam pelukannya ketika pintu apartemen terbuka. Dania bergegas menghampiri Dewa. Memeluk tubuh dan menghirup aroma Dewa yang sangat ia rindukan seharian penuh."Apa kau sangat merindukanku?" Dewa merangkul Dania dan keduanya berjalan masuk.Dania mengelak dengan menggelengkan kepala. "Aku bosan seharian menghabiskan waktu di apartemen sendirian.""Kau harus bersabar." Dewa melemparkan jasnya ke sofa dan duduk."Kauingin minum atau langsung mandi?""Kopi." Dewa menyandarkan kepala di punggung sofa. Menatap layar televisi yang menampilkan film romance tanpa suara. Sama sekali bukan seleranya, tapi melihat adegan ketika si pria mencium perut wanita hamil di sampingnya dengan air mata berurai, Dewa memahami perasaan itu. Perasaan takjub dan terharu. Keajaiban yang tak pernah ia sangka datang di hidupnya.Dania melewati sofa menuju dapur. Tak lama kembali dengan cangkir kopi yang m