Kedua insan yang sedang berbulan madu itu menikmati tiap sentuhan pasangan di bibirnya. Tangan Radit mulai mengusap kepala Dita, tanpa melepaskan ciumannya. Lalu turun ke lengan, hingga ke punggung. Jemarinya mulai menarik bagian bawah kaus Dita ke atas. Semakin ke atas ….
Kini, kulit di jari-jemari Radit langsung bersentuhan dengan punggung Dita tanpa sekat. Terus menjalar ke samping dan … tiba-tiba Dita menghentikan tangannya. Radit menjauhkan wajah dan menatapnya heran. Beberapa detik kemudian, ia kembali mendekatkan wajahnya. Namun, Dita justru menolak.
“Kenapa, Ta? Lo belum siap?” tanya Radit lembut.
Dita menggeleng pelan.
“Terus?”
“Gue ….” Dita tampak ragu-ragu mengatakannya.
Radit menggenggam tangann
Dita tampak tertidur lelap saat Radit memasuki kamar hotel, tepat pukul 02.00. Lampu kamar masih menyala terang. Ponsel masih tergenggam di tangan Dita. Radit tahu, Dita pasti terus mencoba menghubungi nomornya yang sengaja ia non-aktifkan.Radit memandangi wajah Dita lekat-lekat. Ia lalu menggeser kaki Dita agar posisi tidurnya lurus, kemudian menyelimutinya. Radit menghela napas sambil menatap wajah polos Dita saat tertiduralu mematikan lampu kamar dan menyalakan lampu tidur, lalu merebahkan diri di sofa.Saat pagi, Dita yang terbangun lebih dulu, terkejut ketika melihat kamarnya sudah tak seterang sebelum ia tidur.“Radit?” Ia langsung bangkit dan mematung saat melihat lelaki itu masih terlelap di sofa, dengan posisi sedikit meringkuk dan melipat kedua tangan di dada.Perlahan Dita mendekati dan menyelimuti Radit
Hari kedua kerja setelah bulan madu, lagi-lagi Radit meninggalkan Dita hingga wanita itu harus naik taksi lagi ke kantor. Saat siang pun, Radit kembali makan berdua dengan Tiara. Namun, kali ini Dita tak lagi mengganggu mereka. Ia lebih memilih menahan lapar di ruang kerjanya dari pada harus melihat kebersamaan Radit dengan staf baru itu.Sepulang kerja, Dita yang sedang menunggu taksi online, bersisian dengan Radit yang berjalan menuju parkiran bersama Tiara. Pandangannya sempat bertemu dengan pandangan Radit, yang menatapnya tajam. Seketika, hatinya bagai dihujani batu-batu besar. Matanya terasa panas dan mulai berkaca-kaca. Dita menunduk. Setetes demi setetes air matanya mulai mengalir. Segera ia usap dengan tangan.Dari kaca spion, Radit dapat melihat Dita menangis. Kesedihan pun menyergapnya. Ia pegang kemudi dengan erat dan merapatkan gigi-giginya untuk menahan segala perasaannya.
"Kalian anggap apa pernikahan?!" tanya Bu Meri geram terhadap dua insan di hadapannya. "Dari awal Mama udah curiga. Pantas aja kalian tiba-tiba menikah, gak mau pesta. Rupanya ini rencana kalian!""Kami bisa jelasin, Ma," sahut Dita."Kamu, Dita! Ini pasti akal-akalan kamu, 'kan?" hardik mamanya."Maaf, Ma. Biar Radit yang jelasin," pinta Radit."Coba jelasin.""Awalnya, Radit yang ngajak Dita menikah, Ma. Dita menolak. Tapi, daripada Mama terus memaksa Dita menikah dengan Arya, kami buat perjanjian.""Perjanjian macam apa, Radit?" Kali ini mamanya Radit yang tampak geram."Perjanjian untuk menikah pura-pura.""Kamu!" Papanya Radit bangkit dan memukul anaknya."Pa, jangan! Hentikan!" Semuanya melerai hingga lelaki paruh baya itu cukup tenang. Sedangkan papanya Dita hanya menarik napas dalam-dalam."Tapi satu hal yang perlu Radit tekankan,
"Gue tahu siapa pelakunya!""Siapa?" Radit tampak tak sabaran."Gak ada waktu lagi!" Danu segera mengunci pintu rumahnya, sedangkan Radit berlari ke mobil.Tiba-tiba Danu masuk dan duduk di sampingnya. "Gue ikut mobil lo."Tanpa menjawab, Radit segera tancap gas mengemudikan mobilnya dengan kencang menuju Ninty Cafe. Tampak ketegangan dan kekhawatiran di wajah dua lelaki yang duduk bersampingan di mobil itu.Danu baru teringat kalau siang tadi ia sedang makan bersama Arya. Saat itu, ia sempat ke toilet dan meninggalkan ponselnya di sana. Ia lantas memeriksa isi chatnya pada Dita. Kosong. Arya sudah menghapus chat itu sebelum Danu kembali dari toilet.'Sialan Arya! Dia pakai nama gue buat ngejebak Dita!' batinnya geram.
Radit memeluk Dita erat, lalu mendaratkan bibir di kening sang istri saat wanita itu membuka mata."Radit ...."Radit meletakkan telunjuknya di bibir Dita. "Jangan bicara apa-apa. Kondisi kamu sekarang gimana, Sayang?" tanya Radit lembut."Udah enakan," jawab Dita."Yakin? Apa perlu cek ke dokter?""Enggak. Aku gak apa-apa." Dita menegakkan punggungnya untuk meyakinkan Radit."Ya udah. Tapi, hari ini libur aja dulu. Jangan kerja."Mendengar kata 'kerja', D
"Ke Inggris?!” pekik Dita. Ia tampak sangat terkejut dengan keputusan Radit.Radit mengangguk. “Aku gak mau pisah sama kamu, Ta. Walau cuma Jakarta-Bandung,” tutur Radit.“Tapi kamu gak harus ke Inggris, ‘kan?”“Apalagi yang harus kulakukan biar kamu gak pergi, Ta?” tanya Radit pelan. Ekspresinya kini menunjukkan kekecewaan. Radit teringat kata-kata rekan kerjanya, yang mengatakan ia terlalu lemah terhadap Dita.Dita menunduk. Hatinya benar-benar kalut. Ia tak ingin Radit berangkat ke Inggris, tetapi juga tak mau menahan studinya yang pernah tertunda demi dirinya.“Lusa kamu ke Bandung?” tanya Radit kemudian.Dita mengangguk.Radit menghela napas. “Tidurlah,”
‘Gue yang mau ngerjain Radit, napa malah dia yang duluan ngerjain gue?’ Dita menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.“Ciee ... ada yang nangis-nangis minta aku jangan pergi.” Terdengar suara Radit di depan wajahnya. Dita masih belum berani membuka selimut. Ia merasa malu.“Gak usah malu-malu. Sini-sini aku cium,” goda Radit. Ia membuka selimut itu, tetapi Dita menariknya kembali.“Jangan pergi ....” Radit menirukan gaya Dita saat mengatakannya tadi. “Aku gak kuat nahan rindu ...,” lanjutnya lagi dengan gaya yang sama.Dita yang tak tahan dengan keusilan Radit akhirnya membuka selimut dan memandang Radit dengan wajah cemberut.“Udah, puas?!” Dita cemberut, memajukan bibirnya.
“AAA ...!!!” Dita langsung berlari ke kamar mandi dan mengunci pintu. Sementara, Radit menelan ludah setelah tersadar atas apa yang baru saja terjadi. Ia tak pernah menyangka akan melihat pemandangan yang cukup mengejutkan dan mengganggu kesadarannya.Radit menghela napas panjang berkali-kali untuk menetralkan degup jantungnya yang mendadak kencang.Dita yang berada di dalam kamar mandi tak kalah terkejut dengan kejadian beberapa saat lalu. Meski sudah mencoba menyiapkan mental untuk hal tersebut, tetapi ia tak menyangka Radit masuk ke kamar ketika ia sedang memandangi dirinya yang memakai lingerie di depan cermin.Detak jantung Dita begitu cepat hingga membuat kedua tangannya terasa dingin. Wajahnya benar-benar terasa panas. Ia berkaca di cermin kecil kamar mandi dan melihat wajahnya yang memerah.‘Kenapa Rad
“Dita?” Radit bergegas keluar ruangan dan menghampiri istrinya yang tampak terkejut dengan kejadian barusan.“Aku udah taruh makan siang kamu di meja,” ucap Dita dengan mencoba untuk bersikap biasa. Namun, dari raut wajahnya masih tampak emosi yang sulit diartikan oleh Radit.“Kita makan bareng, ya?” ajak Radit. Ia yakin bahwa istrinya telah salah paham padanya.“Enggak. Aku mau langsung pulang aja.” Dita mencoba tersenyum meski hatinya ingin menangis melihat suaminya sangat dekat dengan wanita lain.“Mbak Dita.” Tiara yang mengerti bahwa telah terjadi kesalahpahaman pun akhirnya keluar ruangan dan menghampiri sepasang suami istri itu.“Maaf, Mbak. Jangan salah pah—““Enggak. Tena
“Sayang, kamu gak apa-apa?”Dita menggeleng lemah setelah membersihkan mulutnya. “Rada pusing aja.”Radit memapahnya keluar kamar mandi.“Aku mau istirahat di kamar.”“Ya udah. Nanti aku bawakan sarapan kamu ke kamar.” Radit pun menuntun Dita ke kamar mereka.“Mama, Papa, maaf. Gak bisa ikut sarapan bareng,” ucap Radit.Orang tuanya tersenyum dan mengangguk.Di kamar, Radit membantu Dita berbaring. Ia memberikan air minum yang tersedia di meja di dekat kasur untuk Dita.“Kamu mau sarapan, Sayang?” tanya Radit setelah menaruh kembali gelas ke tempatnya.Dita menggeleng. “Aku lagi gak nafsu
Dita berbaring di kamarnya, kamar yang selalu ia tempati sebelum menikah. Ruangan itu kini telah disulap menjadi kamar pengantin bernuansa putih, dengan bunga-bunga di setiap sudutnya. Hatinya berdebar-debar menanti esok tiba, juga luahan rindu yang tiada tara.Sudah dua hari ini ia tidak bisa bertemu dengan Radit, sang kekasih yang akan ia kenalkan pada dunia esok hari sebagai seorang suami. Keluarga mereka melarang keduanya bertemu dua hari sebelum resepsi. Bahkan, mamanya Dita menyita ponsel sang anak agar tidak bisa menghubungi Radit.“Biar seperti pengantin baru lagi, biar rindu,” ujar Bu Meri kala itu.Kini, Dita benar-benar dilanda perasaan tersebut. Demam rindu yang begitu besar terhadap sosok lelaki yang selama ini berada di sisinya. Sangat berbeda kala Radit meninggalkannya selama seminggu ke Semarang, saat lelaki itu baru sehari melakuka
“Habis ini kita langsung pulang, ya,” goda dengan mengedipkan sebelah matanya.“Bukannya mau ke rumah Mama?”Radit mendesah. “Yah, gagal deh.”“Kayak malam gak bisa aja!”“Kamu sih menggoda banget. Aku kan jadi gak sabar.” Radit mencubit gemas hidung Dita.“Luntur deh make up ku. Buruan ah kancingin. Tukang fotonya dah nunggu tuh!” protes Dita.Radit pun menaikkan ritsleting gaun Dita. Ia lalu memutar tubuh istrinya ke kanan dan kiri.“Kenapa, sih? Udah buruan.”Radit menahan Dita yang hendak keluar kamar ganti.“Tunggu! Ganti aja nih baju,” ucapnya.
Radit meringis saat Dita menyentuh luka di wajahnya.“Sakit?” tanya Dita lembut.Radit mengangguk.“Emangnya waktu pukul-pukulan tadi gak sakit?”Kali ini Radit menggeleng.Gemas, Dita menekan luka di pelipis lelaki itu.“Aw! Kenapa sih?”“Kenapa harus pukul-pukulan coba? Bonyok kan nih muka!” geram Dita.“Gak laki kalau gak mukul,” jawab Radit asal.“Kalimat apaan, tuh!”“Kamu gak suka aku kasar atau gak suka aku mukulin Danu?” Pelan, Radit mendekatkan wajahnya dan menatap intens kedua bola mata Dita.
“Kalian di sini juga?”“Kak Danu?” Dita tampak bingung dengan kehadiran sosok lelaki itu. Berbeda dengan Radit yang justru memperhatikan lelaki yang berdiri di samping mejanya dari ujung kepala hingga kaki.“Apa maksudnya ‘juga’?’ tanya Dita dalam hati.“Apa ... Arya yang meminta kalian ke sini?” tanya Danu kemudian.Dita mengangguk, tetapi raut tanya tak hilang dari wajah cantiknya.“Kalau begitu, boleh saya tunggu dia di sini sama kalian?”Dita memandang Radit. Ia takut Radit akan cemburu seperti sebelumnya.“Dita, sini.” Radit meminta Dita duduk di sampingnya. Lalu, dengan kode matanya, ia menyuruh Danu duduk di hadapan mereka.
Dita mendekatkan wajahnya hingga berjarak beberapa senti saja dengan wajah Radit.“Kamu beneran amnesia atau cuma ngerjain aku?” tanyanya curiga.Tiba-tiba Radit menarik kepalanya hingga wajah mereka bersentuhan. Dita yang terkejut berusaha mengangkat kepala, tetapi Radit justru menekannya lebih kuat dan terus menghujani bibirnya dengan ciuman.Radit akhirnya melepaskan Dita setelah wanita itu tampak sulit bernapas.“Kamu ngerjain aku lagi ya!” Dita mengusap kasar mulutnya. Napasnya masih terengah-engah.“Aku cuma mau buktiin kalau kamu emang beneran istriku,” jawab Radit dengan santainya.“Kamu nyebelin banget siiih! Gak usah pura-pura amnesia kalau cuma mau nyium aku!”“Kenap
“Maaf untuk semuanya. Semua kesalahan dan kebodohanku selama ini,” lirih Dita. Tangannya berhenti mengusap keringat di wajah Radit.“Maaf ya udah nyinggung kamu,” balas Radit.Keduanya kini saling melempar senyum. Dita kembali mengusap keringat yang terus bercucuran di kening Radit. Tanpa sadar, ia terpesona dengan sosok Radit yang tengah mengganti ban.“Suka ngeliat aku berkeringat?” tanya Radit tiba-tiba, membuat Dita tersadar dan malu karena ketahuan menatap lelaki itu tanpa berkedip.“Eh, a-anu, aku ke mobil dulu. Di sini panas,” ucap Dita gugup. Ia hendak berdiri, tetapi Radit menahan tangannya.“Sesekali, ikutlah olah raga denganku.”Dita mengangguk.Radit tersenyum
“Yaah, napa gak sepuluh menit lagi aja sih sampainya?” keluh Radit yang sudah bersiap menyelam di lautan cinta bersama sang istri. Ia yang masih mengenakan celana panjangnya sejak semalam, lantas memakai kaus dan menuju ke pintu depan.Dita tertawa geli melihat ekspresi Radit yang gagal ‘sarapan' di kasur pagi ini. Ia pun segera mengenakan pakaian dan mengambil lingerie untuk segera dimasukkan ke mesin cuci.Di depan, Radit tampak bingung setelah membuka pintu. Tak ada sesiapa pun di sana. Namun, ada sebuah kotak berukuran sebesar kotak sepatu yang tergeletak di teras rumahnya.“Siapa yang naruh ini di sini?” gumam Radit.“Mana buburnya?” tanya Dita yang menghampirinya di pintu depan.“Gak ada. Tapi ada ini.” Radit mengambil kotak tersebut.